Selasa, 21 Februari 2012

TUGAS-TUGAS ATAU VATTA



I. Kiccavatta

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan:
1. Seseorang saddhiviharika harus merawat upajjhayanya dalam segala cara yang mungkin selama ia hidup bersamanya. Di dalam Vinaya disebutkan berbagai pembagian tugas yang harus dilaksanakan oleh saddhiviharika, tetapi di sini akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
a. Ia harus merawat upajjhayanya, melakukan segala, suatu tugas yang diberikan kepadanya, misalnya: ia harus menawarkan air untuk kumur, air cuci muka dan kayu untuk tusuk gigi.
b. Ia harus dengan senang hati menerima instruksi-instruksi dari upajjhayanya.
c. Ia harus mencoba untuk mencegah atau mengakhiri suatu penyimpangan yang akan terjadi atau yang telah terjadi yang terdapat pada upajjhayanya. Dalam Vinaya ditunjukkan bagaimana harus mengakhiri nafsu atau kekejaman dan bagaimana ia harus mencoba untuk membebaskan dirinya dari pandangan salah. Tugas inilah yang membantu upajjhayanya keluar dari appatti berat dan mencoba untuk membujuk Sangha untuk mengakhiri masa hukuman atau meringankan hukuman upajjhayanya.
d. Ia harus mencoba agar upajjhaya tetap dalam keadaan ceria. Ia tidak boleh berhubungan dengan orang-orang yang akan menyebabkan upajjhayanya tidak menyukainya. Di dalam Vinaya dijelaskan bahwa sewaktu menerima dan memberikan benda-benda kepada orang-orang semacam itu, saddhaviharika harus memberitahukan kepada upajjhaya terlebih dahulu dan ia tidak boleh melakukannya sendiri tanpa sepengetahuan upajjhayanya.
e. Ia harus menghormati upajjhayanya. Di dalam Vinaya dijelaskan bahwa bila ia berjalan bersama dengan upajjhaya, ia harus berjalan di belakangnya, tidak terlalu dekat maupun terlalu jauh. Sewaktu upajjhayanya sedang berbicara, ia tidak boleh menginterupsi. Apabila upajjhayanya berbicara salah ia tidak boleh membetulkannya secara langsung, tetapi secara tidak langsung sehingga ia tahu dengan sendirinya.
f. Ia tidak boleh pergi ke tempat-tempat lain menurut kesukaannya sendiri, tetapi sebelum ia pergi harus pamit dahulu kepada upajjhayanya.
g. Apabila upajjhayanya sakit ia harus dengan penuh kesabaran merawatnya dan sebelum sembuh atau setelah upajjhanya meninggal ia tidak boleh meninggalkannya pergi ke mana saja.
2. Upajjhaya harus bermurah hari terhadap saddhiviharika selama mereka masih tergantung kepadanya. Secara singkat, dijelaskan sebagai berikut:
a. Ia melaksanakan tugasnya untuk mendidik saddhiviharikanya.
b. Ia memberikan bantuan mereka dengan mangkok, jubah dan lain-lain keperluan. Apabila ia tidak mempunyai semuanya itu, ia mencoba untuk mencari benda-benda kebutuhan itu.
c. Ia mencoba melindungi mereka terhadap penyimpangan yang mungkin telah terjadi atau yang akan terjadi. Hal ini telah dijelaskan dalam tugas-tugas dari saddhiviharika.
Tegas-tugas yang harus dilakukan oleh acariya serta antevasika masing-masing dapat diketahui dari dua bagian di atas.
3. Seorang bhikkhu yang merupakan pengunjung dari vihara lain harus berperilaku yang patut sebagai seorang tamu sebagai berikut:
a. Sebagai seorang bhikkhu (pengunjung) harus hormat terhadap bhikkhu lain yang tinggal di sana. Hal ini dijelaskan dalam Vinaya bahwa apabila pengunjung memasuki tapal batas sebuah Vihara, ia harus melepaskan sandal, menutup payung, melepaskan kain yang menutupi kepala (dan zaman sekarang ini membuka jubah luar sehingga terbuka bahu kanannya).
b. Ia harus menunjukkan rasa prihatin terhadap para bhikkhu yang tinggal di sana. Dalam Vinaya hal ini dijelaskan sebagai berikut: seorang pengunjung melihat penghuninya sedang mengerjakan beberapa pekerjaan, misalnya sedang menyapu di sekeliling cetiya atau sedang membuat obat untuk para bhikkhu yang sakit, dan bilamana penghuni melihatnya datang, akan berhenti bekerja untuk menyambutnya, tetapi pengunjung harus berkata, "Silakan selesaikan pekerjaan Anda dahulu".
Dengan kata lain, apabila pengunjung sewaktu memasuki Vihara dan melihat penghuni sedang bekerja, maka ia harus menunggu hingga penghuni telah menyelesaikan pekerjaannya sebelum mendekatinya. Apabila penghuni harus meninggalkan pekerjaannya untuk melayaninya, maka bhikkhu pengunjung tidak boleh tinggal lama-lama.
c. Ia harus menunjukkan sikap sopan santun. Apabila kaki-kakinya kotor, ia harus membersihkannya terlebih dahulu sebelum memasuki suatu tempat yang tidak pantas dilalui dengan kaki kotor. Setelah masuk, ia harus mengambil asana yang sesuai baginya dari segi senioritas, atau sederajat dengan penghuni dalam masa Vassa.
d. Ia harus menunjukkan dirinya sendiri dalam keadaan tenang dengan para penghuni. Hal ini dijelaskan di dalam Vinaya sebagai berikut:
Apabila ia ingin minum, ia mengambil air dan meminumnya atau bila ingin menggunakan air untuk keperluan lain, ia menggunakan air untuk keperluannya. Dengan cara demikian bila penghuni menyambutnya, maka ia akan menerima dengan keramah tamahan dan tidak akan menunjukkan sikap enggan.
e. Apabila pengunjung ingin tinggal di Vihara, ia harus berperilaku seperti para penghuni Vihara tersebut. Dikatakan di Vinaya bahwa ia harus meminta kuti, dan petunjuk di mana ia bisa menerima dana makanan, apakah tempat itu dekat atau jauh dan apakah harus pergi pagi sekali atau agak siang. Ia harus bertanya tentang rumah-rumah yang terbatas makanan (yang didanakan) atau jumlah bhikkhu (yang diundang).
Ia harus bertanya tentang rumah-rumah yang tidak baik untuk mengumpulkan makanan seperti umpama rumah-rumah dari orang-orang yang memiliki pandangan salah atau yang membahayakan. Ia harus bertanya tentang fasilitas toilet, tentang kolam air, dan akhirnya tentang peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh sangha itu.
f. Apabila si pengunjung telah menempati tempat tinggal, ia tidak boleh mengabaikan tugas-tugasnya, merasa berkewajiban untuk menyapunya, membersihkan serta menjaga agar tetap dalam susunan yang rapi.
4. Apabila tamu telah datang, para penghuninya harus menyambutnya secara layak dan dengan cara sebagai berikut:
a. Para penghuni berkewajiban untuk menyambut para bhikkhu tamu itu. Dalam Vinaya hal itu dijelaskan sebagai berikut:
Apabila mereka sedang membuat civara, atau sedang membangun atau memperbaiki tempat tinggal, atau sedang menyapu teras dari cetiya, atau membuat obat-obat untuk para bhikkhu yang sakit mereka harus meninggalkan pekerjaan tersebut dan menyambut tamu, kecuali mereka yang sedang mempersiapkan peralatan obat-obatan bagi seorang bhikkhu yang sedang sakit keras dan tergesa-gesa menyelesaikan obat itu.
b. Mereka harus menghormat bhikkhu yang berkunjung. Dalam vinaya, hal ini dijelaskan bahwa mereka harus menyambut dengan memberikan air untuk membasuh kaki serta dengan sesuatu untuk mengelapnya, menata dan membentangkan asana dan menanyakan apakah ia butuh air minum atau untuk keperluan lain.
c. Mereka harus menyambut tamu sesuai dengan kewenangan dari tamu tingkat vassa. Telah dijelaskan dalam Vinaya bahwa apabila pengunjung itu lebih senior, mereka harus bangkit berdiri untuk membawa mangkok dan jubah tamu, menghormat dengan selayaknya. Apabila penghuni menghendaki, ia boleh membersihkan sandal tamu, memijat kaki tamu dengan minyak serta mengipasinya. Apabila pengunjung itu lebih senior dari mereka, mereka mengatakan di mana asana baginya untuk duduk, di mana ada air untuk minum dan keperluan lainnya dan membiarkan ia minum dan memakai air oleh dirinya sendiri. Pada zaman sekarang dapat memerintah orang lain untuk melayani atau membantu bhikkhu pengunjung itu.
d. Apabila bhikkhu pengunjung datang untuk tinggal di vihara tersebut, para penghuni harus memberikan bantuan dan menunjukkan padanya tempat dari yang akan ditempatinya. Apabila bhikkhu penghuni kehendaki, mereka dapat menyapu kamar itu, dan menunjukkan jalan-jalan serta tempat-tempat yang bhikkhu-tamu harus ketahui, seperti apa yang disebutkan di dalam agantuka-vatta ( tugas-tugas untuk seorang bhikkhu pengunjung).
3. Seorang bhikkhu yang akan pergi untuk tinggal di tempat lain harus berperilaku sebagai berikut:
a. Ia harus membenahi tempat tidurnya. Apabila ia melihat bahwa atapnya bocor atau berantakan, ia harus terlebih dahulu menambalnya atau memperbaikinya. Apabila tempat tidurnya tidak rapi dan kotor, ia harus membersihkannya, membenahi benda-benda seperti ranjang, kursi, tikar, bantal dan lain-lain sehingga mereka itu menjadi teratur kembali. Ia tidak boleh meninggalkan kamar dalam keadaan tidak rapi ia harus mengusahakan agar mereka tidak dalam keadaan bahaya. Jendela-jendela dan pintu harus dikunci atau digembok.
b. Ia harus mengembalikan tempat tinggalnya kepada senasana-gahapaka (orang-orang yang bertugas membagi-bagikan tempat tinggal), atau apabila di sana tidak ada orang yang ditunjuk, ia harus mengatakan kepada bhikkhu teman yang tinggal bersamanya. Apabila ia hidup sendiri, ia harus memberitahukan kepada donator yang utama atau kepala desa itu.
c. Ia harus berpamitan dengan bhikkhu dengan siapa ia telah mengambil nissaya, yakni, upajjhayanya atau acariyanya. Sekarang ini orang harus berpamitan juga kepada Thera yang merupakan Kepala Vihara.
6. Seorang bhikkhu yang akan memasuki daerah berpenduduk untuk mengumpulkan makanan harus bertingkah laku sesuai dengan tradisi sebagai berikut:
a. Ia harus mengenakan jubah atas dan bawah dengan rapinya, antavaseka menutup pusar dan lutut, dan setelah memakai ikat pinggang, ia harus memakai sanghati di atas uttarasangga, jadi menjadikan dua jubah, dan mengenakan mereka menutup kedua belah bahu yang dimantapkan/disekur dengan tali-temali dan simpul-simpul.
b. Ia harus menaruh mangkok di bawah jubahnya, dikeluarkan hanya apabila sedang menerima dana makanan itu.
c. Ia harus memiliki sikap yang terkendali sesuai dengan tingkah laku yang layak bagi samana seperti yang diberikan di dalam Sekkhiyavatta.
d. Ia harus memperhatikan sikapnya sewaktu memasuki atau waktu keluar dari pemukiman dan cara-cara bagaimana perumah tangga itu memberikan makanan dan sebagainya.
e. Apabila ia tahu bahwa seseorang perumah tangga berkeinginan untuk memberikan makanan: ia harus menerima makanan itu dengan sikap yang terkendali dengan baik seperti apa yang disebutkan di dalam Bagian Makanan dari Sekhiyavatta.
f. Bhikkhu yang kembali ke vihara lebih dahulu dari bhikkhu-bhikkhu lainnya, ia harus menyiapkan tempat duduk, air minum, panci-panci untuk makanan dan sebagainya sampai kepada air untuk mencuci kaki dan alat-alat untuk mengelap atau mengeringkan kaki untuk kepentingan bhikkhu-bhikkhu lain yang datang kemudian. Para bhikkhu yang selesai makan paling akhir harus meringkasi alat-alat yang disebutkan di atas dan menyapu ruang makan.
Tradisi berjalan dalam vihara-vihara yang para bhikkhunya memakan makanan dalam tempat sama tapi tidak dalam waktu sama. Tradisi zaman sekarang, para bhikkhu yang tinggal di vihara dalam kota, memakan makanan pada tempat yang berbeda-beda, tetapi dalam waktu yang sama, sedangkan para bhikkhu yang tinggal di vihara di dalam hutan, memakan makanan di tempat yang sama dalam waktu yang sama.
7. Seorang bhikkhu yang akan menyantap makanannya harus bertingkah laku yang layak sesuai dengan tradisi, sebagai berikut
a. Jubah luar dan dalam harus dikenakan secara rapi sesuai dengan peraturan, baik sewaktu menerima makanan di dalam vihara maupun di rumah perumah tangga. Di dalam Atthakatha dikatakan bahwa apabila seorang bhikkhu pergi ke suatu tempat di mana seorang donor memberikan makanan, walaupun hal itu terjadi di vihara, ia harus menutup kedua belah bahunya, tetapi pada zaman sekarang di dalam vihara, semua bhikkhu membuka satu bahu.
b. Ia harus tahu asana mana yang pantas baginya untuk duduk. Apabila berada di tempat pemberian makanan, ia harus duduk dalam barisan tempat duduk, ia tidak boleh berdesakan dengan para Thera. Apabila di sana terdapat banyak tempat duduk, ia harus membebaskan (mengosongkan) satu atau dua tempat duduk antara dirinya sendiri dan para Thera. Ia tidak boleh duduk pada asana-asana yang digelar untuk para bhikkhu yang telah ditentukan, tetapi ia harus bertanya kepada para Thera untuk diperkenankan duduk. Dia tidak perlu mencegah para bhikkhu yang memiliki vassa yang lebih rendah untuk menggunakan tempat-tempat duduk pada akhir dari deretan itu, sebab yang tersebut belakangan itu tidak akan kebagian tempat duduk yang lain lagi.
c. Apabila seorang donor menawarkan makanan dan minum, seorang bhikkhu harus menerimanya dengan senang hati. Apabila orang itu tidak memberikan makanan untuk masing-masing bhikkhu secara individu tetapi memberikannya kepada bhikkhu dalam suatu panci yang besar agar mereka masing-masing mengambil sendiri, atau apabila donor itu membagi-bagikan makanan dengan harapan cukup bagi semua bhikkhu, jika sedikit dan kelihatannya tidak cukup, maka para bhikkhu harus mengambil bergiliran, ada yang menerima dan ada yang tidak kebagian.
d. Di dalam ruang makan yang kecil sehingga semua bhikkhu dalam ruangan itu dapat terlihat, bhikkhu senior tidak boleh mulai makan sebelum semua bhikkhu menerima makanan mereka. Apabila dalam ruang makan itu terdapat banyak bhikkhu dan sanghathera tidak dapat melihat kesemuanya, atau apabila tidak mungkin untuk menunggu lebih lama lagi karena waktu makan sudah harus dijalani, maka ia dapat memulai makan.
c. Para bhikkhu harus makan dengan cara-cara yang baik sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan dalam. Bagian tentang Makanan dari sekhiyavatta.
f. Para bhikkhu harus menyelesaikan makan pada waktu yang sama. Dikatakan di dalam vinaya bahwa sanghathera tidak boleh menerima air untuk cuci tangan apabila para bhikkhu lain belum. selesai makan. Zaman sekarang, pengganti dari menerima air pembasuh, ia tidak berkumur-kumur maupun atau mencuci tangan.
g. Orang harus berhati-hati jangan sampai air cuci mulut dan air pencuci tangan memerciki bhikkhu lain yang duduk di dekatnya, atau juga jangan sampai membasahi jubahnya sendiri.
h. Para bhikkhu harus membacakan anumodana gatha apabila mereka telah selesai santap makanan yang diberikan oleh donator. Di dalam tradisi kuno adalah menjadi tugas dari sanghathera untuk membacakan anumodana yang sama seperti zaman sekarang ini. Empat atau lima, bhikkhu duduk bersebelahan dengan sanghathera menemaninya, sementara sisanya (bhikkhu-bhikkhu lain ) kembali lebih dahulu. Thera dapat menunjukkan bhikkhu lain untuk membacakan anumodana. Pada zaman sekarang para bhikkhu membacakan anumodana bersama-sama. Kadangkala seorang bhikkhu dapat memberikan khotbah pendek yang isinya menekankan pada, anumodanna.
i. Apabila meninggalkan tempat makan itu, para bhikkhu tidak boleh berdesak-desakan. Apabila ruangan makan sempit, bhikkhu yang duduknya paling ujung dari barisan harus keluar lebih dahulu walaupun bertentangan dengan kebiasaan susunan vassa, maka ia berdiri menunggu di luar sampai sanghathera keluar. Apabila ruang makan luas, mereka harus meninggalkan ruangan dengan sanghathera, terlebih dahulu dan di ikuti oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya sesuai dengan peringkatnya.
j. Adalah larangan untuk melemparkan air bekas mencuci tangan yang masih ada sisa nasi pada waktu mereka masih berada di dalam rumah. Sisa-sisa makanan juga tidak boleh dibuang.
8. Kaki sebuah pohon adalah senasana asli bagi para bhikkhu, tetapi waktu musim hujan para bhikkhu harus mencari tempat yang dapat melindungi mereka dari curahan hujan, baik tempat berlindung yang dibuat manusia atau alami. Tempat tinggal biasanya dibuat manusia dan rumah-rumah dengan berbagai jenis corak semuanya dapat digunakan kecuali bila seluruhnya terbuat dari tanah liat, baik dibakar maupun tidak dibakar. Ada larangan untuk bhikkhu tinggal di dalam sebuah bejana dan ini mungkin mempunyai arti sebuah kuti terbuat dari tanah liat yang dibakar. Dari benda-benda yang alami itu, hanya gua di kaki atau di lereng gunung dapat dipakai sebagai tempat tinggal. Sebuah lobang di dalam pohon tidak boleh dipakai untuk tujuan ini.
Dalam tempat tinggal Sangha, semua bhikkhu mempunyai hak untuk tinggal terkecuali mereka berbuat salah terhadap Dhamma dan vinaya, dan diusir dari vihara tersebut. Sangha menunjuk seorang pembagi tempat tinggal (kuti) yang disebut senasana-gahapaka.
Para bhikkhu tidak dibolehkan untuk memiliki atau memanfaatkan senasana bagi dirinya sendiri. Distribusi atau pembagian tempat tinggal atau kamar bagi para bhikkhu itu terjadi dua kali (dalam setahun), pada waktu vassavasa dan di luar vassavasa. Di dalam vassavasa seorang bhikkhu mengambil tempat tinggal dan mempunyai hak untuk tinggal di sana sepanjang vassavasa. Di luar vassavasa, pembagian tempat tinggal dapat memindahkan para bhikkhu dari satu tempat tinggal ke tempat tinggal yang lain bhikkhu-bhikkhu tersebut dapat memperoleh tempat tinggal yang saling cocok bagi mereka. Pada waktu semacam itu mereka dilarang memberikan alasan apa pun menolak untuk pindah.
Dijelaskan dalam vinaya bahwa seorang bhikkhu dilarang untuk menguasai bagi dirinya sendiri sebuah tempat tinggal atau kamar dari sangha, dengan menganggap tempat itu adalah miliknya sendiri sepanjang waktu. Demikian juga seorang bhikkhu yang sakit, tidak layak menuntut sebuah tempat tinggal untuk dirinya sendiri.
Bhikkhu senasana-gahapaka harus tahu bhikkhu yang harus pindah dan yang tidak boleh. Senasana-gahapaka tidak boleh:
memindahkan bhikkhu senior agar tempatnya dapat diberikan kepada bhikkhu yunior;
memindahkan bhikkhu yang sedang sakit, kecuali bhikkhu tersebut mengidap penyakit menular, seperti sakit lepra, atau suatu penyakit yang mengotori kamar seperti diaree. Senasana-gahapaka harus mengatur tempat tinggal lain untuk mereka yang terpisah; memindahkan seorang bhikkhu penjaga gudang karena tugasnya untuk merawat tempat penyimpanan barang-barang milik sangha.
memindahkan seorang bhikkhu yang sangat terpelajar atau pandai dan yang menjadi pembantu umum dari semua bhikkhu, memberi nasihat dalam attha dan Dhamma.
memindahkan seorang bhikkhu yang menempati kuti yang telah diperbaikinya. Kuti tersebut telah lama sekali rusak dan dia berhasil memperbaikinya dan dapat mengembalikan fungsi kuti tersebut dalam keadaan baik, haruslah tidak dipindahkan karena ia adalah seorang yang rajin dan karenanya harus diperkenankan untuk tetap tinggal di situ. Hal ini berarti ia tidak dipindahkan dari kuti yang baik ke kuti yang jelek. Seorang bhikkhu tidak boleh memiliki dua tempat tinggal.
Seorang Yang menghuni sebuah kuti Sangha harus merawat dan menjaganya sebagai berikut:
a. Dia tidak boleh mengotorinya.
Dalam vinaya dijelaskan bahwa bhikkhu dilarang untuk meludah di lantai yang telah disiapkan (seperti lantai yang terbuat dari plester, atau lantai kayu yang diperhalus dan digosok). Dilarang juga berjalan di atas lantai seperti itu sementara masih memakai sandal.
Bhikkhu dilarang berjalan di atas lantai tersebut apabila kakinya kotor atau bila sudah dicuci namun masih basah. Ia harus mengeringkannya lebih dahulu untuk mencegah adanya jejak kaki di lantai.
Bhikkhu dilarang bersandar pada tembok yang telah dipersiapkan (diplester, dicat, diwarnai dengan berbagai gambar atau diberikan finishing touch dengan berbagai cara). Demikian jaga, ia, tidak boleh bersandar pada tiang, panel pintu, panel jendela, atau sandaran punggung.
Bangku atau ranjang milik sangha tidak boleh diduduki atau ditiduri oleh seorang bhikkhu dengan badan telanjang, karena benda-benda itu akan menjadi asam baunya oleh keringat orang. Ia harus menggunakan selembar kain untuk mengalasi benda-benda sebelum duduk atau tidur di atasnya.
Sang Buddha memperkenankan untuk memiliki berbagai alat-alat kebutuha.1 pribadi seperti kain untuk alas ranjang dan alas duduk untuk menyerap kotoran badan. Demikian juga kasur atau bantal. Walaupun mereka dimaksudkan untuk dipakai tidur, seorang bhikkhu tidak boleh tidur di atasnya (tanpa alas kain). Kasur harus mempunyai kain alas sedangkan bantal harus mempunyai sarung bantal. Tidak pantas bagi seorang bhikkhu tidur di atasnya tanpa alas kain. Kain yang dipakai untuk duduk tidak boleh untuk tidur atau tidak boleh ditiduri, sedangkan kain seprei serta sarung bantal yang dimaksudkan untuk menampung kotoran badan, dapat diduduki.
Atthakatha Acariya sangat teliti dalam menjelaskan hal ini. Apabila seorang bhikkhu tidur di atas ranjang atau balai (yang tidak dilapisi dengan kain ), ia harus menerima apatti sesuai dengan jumlah rambut yang telah menyentuh ranjang. Beruntunglah karena Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu boleh mengaku lebih dari satu appatti secara kolektif dengan mengatakan "sambahula". Aka tidak, bayangkan apabila orang harus menghitung berbagai kesalahannya dan mengakui kesalahannya itu satu per satu.
Para bhikkhu melapisi kasur dan bantal sebelum tidur di atasnya agar benda-benda tersebut dapat dipakai untuk waktu lama. Orang-orang biasa, dalam cara yang sama, membentangkan seprei di atas ranjang dan bantal diberi sarung demi melindungi benda miliknya itu. Orang-orang kayapun melindungi benda miliknya walaupun sebenarnya ia bisa, menggantikan setiap bulan sekali. Apabila tidak melindungi benda-benda itu, hal itu adalah pemborosan dan tidak selayaknya berbuat demikian.
b. Ia harus membereskan tempat tinggalnya, tidak boleh dibiarkan begitu saja, sehingga penuh dengan sarang laba-laba, kotoran dan debu.
c. Seorang bhikkhu harus berhati-hati untuk tidak merusaknya, misalnya mengangkat ranjang atau bangku dan lain-lain masuk atau keluar kuti. Ia tidak boleh membenturkannya pada kusen pintu atau penyekat. Ia harus menempatkan barang sesuatu di bawah kaki ranjang atau bangku apabila menurunkannya di atas lantai yang tidak selesai dikerjakan agar jangan sampai merusak lantai tersebut.
d. Seorang bhikkhu harus menjaga kebersihan dan kerapian barang-barang lain di tempat tinggalnya, mulai dari ranjang atau balai sampai tempat ludah.
c. Ia harus mempersiapkan air minum dan air yang akan digunakan untuk keperluan lain.
f. Benda-benda yang ada di dalam kamar tidak boleh untuk lain kamar sehingga mereka tidak berserakan. Barang untuk satu tempat dan hanya boleh dipakai di tempat itu saja. Meskipun demikian, para bhikkhu dapat meminjam sementara dan kemudian mengembalikannya, atau apabila di sana tidak ada bhikkhu yang tinggal dan barang tersebut bisa hilang atau rusak karena digigit binatang atau serangga, maka dalam hal ini senasana-gahapaka untuk meminjamkan ke tempat lain.
9. Di tempat yang banyak penghuninya yang masing-masing penghuni akan membuang hajadnya. Hal ini akan merupakan beban berat bagi orang yang diberi tugas untuk menyediakan tempat-tempat pembuangan hajad.
Setiap orang tidak dibolehkan membuang hajadnya di sembarang tempat, sebab apabila hal itu terjadi tempat tinggal itu menjadi kotor sekali. Oleh sebab itu, di tempat pembuangan hajad itu haruslah diatur dengan seksama dan rapi.
Tempat-tempat untuk buang air besar dan kecil juga disebutkan dalam Vinaya. Tempat-tempat seperti ini yang digunakan untuk umum harus dijaga kebersihannya oleh para bhikkhu sendiri. Sang Buddha menggariskan tugas-tugas yang harus dilaksanakan berkenaan dengan vacakutti (tempat pribadi):
a. Buang air besar dan kecil, mandi dibolehkan menurut susunan dari kedatangan para bhikkhu di sana. Hal ini dilakukan sesuai dengan susunan peringkat vassa.
b. Seorang bhikkhu harus mengendalikan dirinya. Walaupun ia dalam keadaan tergesa-gesa, seorang bhikkhu dilarang mendorong pintu cepat-cepat. Ia harus batuk dan berdehem, dan apabila di dalam ada bhikkhu lain, maka bhikkhu yang berada di dalam harus berbuat sama sebagai jawaban. Apabila tidak ada jawaban, ia harus mendorong perlahan-lahan pintu itu hingga terbuka. Ia tidak boleh masuk ataupun keluar dengan cepat-cepat tapi harus melakukan dengan lambat-lambat. Ia tidak boleh membuka antavasaka apabila sedang membuang air besar maupun sedang membersihkan.
c. Ia harus tahu cara untuk melindungi alat-alat keperluannya itu. Ia harus melepaskan civara dan menaruh di luar dan tidak boleh memasuki kamar kecil dengan memakai civaranya.
d. Ia harus tahu cara melindungi tubuhnya dengan tidak mengedan keras-keras pada waktu buang air, yang dapat merusak dirinya sendiri, terkecuali apabila ia sedang mengalami sembelit yang luar biasa. Ia tidak boleh menggunakan sepotong kayu untuk membersihkan diri yang dapat merusak tubuhnya, seperti kayu yang ada pecahan, tombolan, duri-duri atau yang telah membusuk. Ia harus memakai kayu yang halus dan kemudian dicuci dengan air.
e. Ia tidak boleh melakukan hal-hal dalam waktu yang sama. Dalam vinaya hal ini dikatakan tidak boleh mengunyah kayu gigi.
f. Ia harus berhati-hati agar tidak menjadi kotor, atau membuat lubang wc kotor, atau kencing di luar saluran yang telah ditentukan. Ia tidak boleh membuang dahak atau ingus dalam saluran air untuk kencing, atau di atas tanah. Kayu pembersih tidak boleh dibuang ke dalam lubang wc, tetapi harus dibuang ke dalam keranjang untuk tujuan ini. Apabila ia sudah selesai membersihkan dirinya setelah buang hajad, sisa air tidak boleh ditinggalkan di tempat air itu. Ini hanya berlaku apabila menggunakan tempat air untuk umum. Bila menggunakan bejana milik sendiri, hal ini tidak dilarang.
g. Ia harus membantu menjaga wc agar tetap bersih Apabila ia mengetahui bahwa wc itu dibuat kotor oleh orang lain, ia membantu membersihkannya. Apabila wc penuh sampah, ia membantu membuang sampah itu dan apabila air pembanjur dalam kamar kecil habis, ia mengambil air untuk mengisi lagi bejana itu.
Tempat kencing dijelaskan dalam Vinaya sebagai berikut:
Ia harus diatur di dalam suatu tempat yang dikelilingi dengan tembok batu bata atau batu dan harus ada pula pembatas dari kayu. Harus ada kayu tatakan kaki apabila berjongkok, dan di bawahnya harus ada bejana untuk mengumpulkan air kencing. Metode tentang bagaimana tugas ini harus dilakukan tidak dijelaskan. Di dalam vihara susunan tempat kencing semacam ini tidak ditemukan, tetapi bila tidak ada akan tercium bau pesing atau busuk dari air kencing yang dikeluarkan di sana. Oleh sebab itu, tempat-tempat kencing itu harus jauh dari tempat-tempat pertemuan, seperti dekat dengan ruangan Upasatha, ruang Dhamma, atau ruang untuk para pendukung. Tidak dilarang untuk kencing di mana saja jika jauh dari tempat-tempat tersebut.
Menempatkan bejana di bawah untuk menampung air kencing kiranya adalah untuk sementara saja, bukan secara permanen dipakainya seperti vaccakuti, tetapi membuang air kencing dan membuat tempat itu bersih bukanlah suatu pekerjaan berat. Bhikkhu yang mendapat giliran untuk membersihkan tempat-tempat pertemuan itu dapat dikerjakannya. Tidak terdapat uraian yang jelas tentang tugas berkenaan dengan tempat kencing itu.
10. Apabila ada seorang bhikkhu jatuh sakit, para bhikkhu yang menjadi teman se-Dhamma harus memiliki rasa untuk merawatnya., mereka tidak boleh mengabaikan tugas ini. Sang Buddha, yang prihatin terhadap bhikkhu yang sakit mengatakan:
"Para bhikkhu, kamu tidak mempunyai ibu maupun ayah, oleh sebab itu, apabila kamu tidak saling merawat, siapa lagi yang akan merawatmu? Apabila ada seorang bhikkhu berkeinginan untuk melayani diri-KU, maka biarkanlah para bhikkhu itu merawat bhikkhu yang sakit. Apabila ada upajjhaya, acariya, saddhiviharika atau antevasika yang sakit, biarkanlah bhikkhu merawatnya sampai ia sembuh kembali atau meninggal. Apabila tidak ada seorang bhikkhu pun, bhikkhu-bhikkhu lain dengan upajjhaya atau acariya yang sama harus merawatnya. Apabila bhikkhu yang sakit datang sendiri, biarkan Sangha merawatnya".
Butir terakhir ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sanghathera mengambil tugas merawat bhikkhu yang sakit sebagai tugas dari sangha dan menunjuk pada saat itu beberapa bhikkhu untuk merawat atau mengatur agar ada orang-orang yang merawat orang yang sakit. Di antara para bhikkhu itu ada yang pandai dalam hal merawat dan ada juga yang tidak pandai.
Apabila penyakit itu gawat haruslah memilih bhikkhu yang pandai yang memiliki kualitas sebagai berikut. Ia harus tabu bagaimana untuk meracik obat, ia tahu apa yang bakal mempergawat penyakit dan mana yang tidak, ia hanya membawa obat-obat kepada bhikkhu sakit yang tidak mempergawat keadaan bhikkhu yang sakit, ia adalah orang yang tidak merasa jijik terhadap kekotoran-kekotoran yang dihasilkan oleh penyakit itu, ia tidak kikir dan mempunyai rasa kasih sayang.
Seorang bhikkhu yang sakit mengetahui bahwa dirinya itu merupakan beban bagi saudaranya dalam Dhamma, karena itu ia harus merasa dirinya mudah dirawat dan dengan berbuat demikian, ia membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Dia tidak makan makanan berkelebihan yang dapat mempergawat atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan lain yang dapat mencegah pulihnya kesehatannya. Dia tahu tindakan-tindakan yang moderat yang tidak akan mempergawat penyakitnya. Dia tidak makan terlalu banyak disediakan untuknya. Dia minum obat dengan mudah dan menceritakan kondisi badannya pada orang yang merawatnya serta sabar dalam mengemban rasa sakitnya. Para samanera harus juga dirawat dengan cara yang sama seperti para bhikkhu.
Saudara-saudara dalam Dhamma, bhikkhu atau samanera, yang sakit dan tinggal jauh di tempat lain. Sekalipun sangat berjauhan dan pada waktu vassa, haruslah dirawat sesuai dengan perkenan Sang Buddha tentang sattaha (tujuh) malam meninggalkan vihara. Bhikkhu seperti itu yang pergi untuk melakukan perawatan itu mendapat pengecualian dari nissaya serta dari tugas-tugas lain.
Pada zaman sekarang sesuai dengan kemajuan zaman tugas merawat bhikkhu yang sakit telah diambil oleh Rumah Sakit, sehingga tugas bhikkhu merawat yang sakit menjadi lebih ringan, bahkan bebas sama sekali.
II Cariyavatta
Tugas yang berkenaan dengan perilaku.
Para bhikkhu dilarang menginjak kain putih yang digelar di tempat-tempat mereka diundang.
Telah diceritakan bahwa (putra mahkota) Bodhirajahakurama adalah mandul, tidak mempunyai anak laki-laki maupun perempuan. Ia mengundang Sang Buddha beserta Bhikkhu sangha untuk mengambil makanan. Setelah membentangkan kain putih di atas jalan, ia berkata:
"Apabila saya akan mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, biarlah Sang Guru menginjak kain putih ini, tetapi jika saya tidak akan memperoleh anak laki-laki dan perempuan, Sang Guru janganlah menginjak kain putih ini".
Sang Buddha tidak menginjak kain putih tersebut dan Beliau juga melarang para bhikkhu untuk tidak menginjakkan kaki-kaki mereka pula. Apakah hal itu bisa terjadi bahwa Sang Buddha tidak menginjak kain putih tersebut sehingga tidak akan mengotorinya?
Zaman sekarang kain putih dibentangkan untuk duduk para bhikkhu. Bhikkhu yang ceroboh akan menginjak kain putih itu sehingga meninggalkan bekas kaki yang mengotori pemandangan. Mereka tidak tahu bagaimana, melaksanakan perilaku para bhikkhu dan hal itu tercela. Bahkan para bhikkhu dalam kelompok yang sama yang duduk bersama akan merasa tidak enak.
Hasil dari tidak melaksanakan perilaku pada zaman sekarang ini dapat membantu kita untuk melihat dengan jelas sebab dari larangan tersebut. Oleh sebab itu, para bhikkhu harus berhati-hati untuk tidak menginjak kain putih yang digelar untuk tempat duduk. Kain yang digelar atau dibentangkan dalam upacara-upacara besar untuk berdiri dan kain untuk mengelap kaki sesudah mencucinya boleh diinjak tanpa larangan.
Apabila seorang bhikkhu yang tidak mempertimbangkan baik-baik sebelumnya, maka ia tidak boleh duduk di atas asana.
Hal ini dijelaskan sebagai berikut: Apabila seorang bhikkhu akan duduk di atas asana, ia tidak boleh dengan mendadak duduk di atasnya, sebab jika di atas asana itu diletakan sesuatu benda, maka ia akan menduduki benda itu, atau malah dapat memecahkan benda yang didudukinya itu. Apabila benda itu merupakan bejana air, airnya akan tumpah dan dapat dianggap sebagai yang bertingkah laku tidak baik. Dia harus terlebih dahulu melihat atau meraba dengan tangan sehingga ia tahu tidak ada sesuatu pun di bawah asana dan barulah dia duduk perlahan-lahan.
Adalah larangan untuk duduk di atas asana panjang dengan seorang wanita atau seorang yang berkelamin tidak normal. Ia dapat duduk di atas asana panjang dengan seseorang yang tidak sama derajatnya.
Benda-benda panjang dan dibuat untuk duduk dan yang dapat dipindah-pindahkan, seperti bangku panjang yang ditempatkan di bawah pohon rindang, atau yang ditaruh pada suatu tempat misalnya bangku dengan tiang-tiang yang dipancang di atas tanah atau sebuah batu tempat duduk yang dapat diduduki oleh tiga orang atau lebih dinamakan asana panjang. Seorang bhikkhu tidak pantas duduk di atas asana tersebut dengan seorang wanita atau orang yang mempunyai kelamin yang tidak normal, misalnya banci. "seseorang yang bukan sederajat mengandung" arti para bhikkhu yang yunior atau senior lebih dari tiga vassa. Semua bhikkhu yang samanasanika dapat duduk bersama-sama. Samanasanika, berarti 'mereka yang mempunyai peringkat yang sama dalam asana'. Dalam vinaya dijelaskan bahwa samanasanika itu adalah para bhikkhu yang mempunyai masa musim penghujan hampir sama dan tidak menjadi yunior atau senior yang lebih dari tiga Vassa.
Apabila para bhikkhu yunior sedang makan, seorang bhikkhu senior tidak boleh menyuruh mereka pergi atau pindah.
Hal ini dijelaskan sebagai berikut: Para bhikkhu sedang makan di dalam. ruang makan, pada saat itu datang seorang bhikkhu senior. Dia datang terlambat. Apabila dia memasuki ruang makan, para bhikkhu yunior harus pindah untuk memberikan asanna kepadanya sesuai susunan vassa. Dalam hal ini, bhikkhu senior tidak membolehkan para bhikkhu yunior itu pindah tempat dan harus membolehkan mereka meneruskan makan mereka. Bhikkhu senior yang datang terlambat itu harus duduk di tempat mana saja yang kosong sehingga tidak mengganggu yang lain-lain. Apabila Bhikkhu senior berkeras untuk tetap duduk di tempat yang layak sesuai dengan vassanya, maka bhikkhu yunior tersebut harus pindah untuk memberikan asanna sesuai dengan vassanya. Mereka tidak boleh menghalangi seorang bhikkhu yang lebih senior dari mereka sendiri.
Apabila seorang bhikkhu sedang istirahat pada tengah hari, ia harus menutup pintu.
Dalam hal ini Atthakatha-Acariya menjelaskan lebih daripada yang diperlukan tentang jenis pintu yang harus dan jenis yang tidak perlu ditutup. Secara singkat maksud mereka adalah, bahwa jenis pintu yang harus ditutup adalah pintu kamar, sedangkan pintu yang tidak harus ditutup adalah pintu yang rusak engselnya sehingga tidak dapat ditutup, atau pintu yang digunakan oleh banyak orang.
Tujuan menutup pintu hendaknya dipahami sebagai untuk istirahat di dalam kamar. Bila datang orang asing, maka mereka tidak dapat melihatnya sedang tidur. Apabila ia mengerti tentang hal ini, maka ia harus melatih sesuai dengan tujuan menutup pintu sebagai berikut: Orang harus mencari tempat pribadi, walaupun tidak ada daun pintu, atau kuncinya rusak sehingga tidak dapat ditutup, namun sesuatu masih harus digunakan untuk menutup pintu itu. Dikatakan bahwa tidak perlu menutup pintu di tempat-tempat yang juga dipakai oleh orang-orang lain. Hal ini dapat dilihat, umpama, pada waktu sedang sakit yang pada waktu itu ada teman yang bertindak sebagai juru rawatnya.
Adalah larangan untuk melempar keluar kotoran, air kencing, sisa-sisa atau sampah keluar tembok (atau kuti) atau melalui pagar luar atau tembok.
Apabila seorang bhikkhu berada dalam kuti dan ia melemparkan sisa-sisa makanan, sampah keluar melalui jendela dan menimpu orang lain, maka hal itu merupakan perbuatan yang buruk sekali. Apabila kuti itu tidak terletak di suatu tempat dekat jalan tempat orang hilir mudik dan bhikkhu itu melempar sampah-sampah keluar lewat jendela, maka daerah di sekitar kuti akan menjadi kotor.
Para bhikkhu harus melaksanakan latihan tersebut dengan sungguh-sungguh. Di samping itu dilarang untuk melemparkan atau membuang barang-barang seperti yang disebutkan di atas ke kebun sayur, di sawah atau ladang gandum atau ladang lain maupun tanaman. Pada zaman sekarang adalah juga dilarang untuk melempar benda-benda itu ke jalan raya atau halaman rumah.
Dilarang pergi melihat dan mendengar tarian-tarian, menyanyi dan main musik.
Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat tarian-tarian atau nyanyian atau semacam itu untuk suatu pekerjaan tanpa niat untuk mendengar atau melihatnya, kebetulan melihatnya pada waktu ia berada di sana, dia tidak melakukan apatti.
Apabila seorang bhikkhu berada dalam vihara dan di hadapannya ada drama dansa, walaupun ia melihat serta mendengarnya, ia tidak melakukan apatti. Zaman sekarang sudah barang tentu ia dilarang juga untuk perbuatan yang sama, menyetel alat-alat elektronik yang dapat mendatangkan hiburan semacam itu, yakni menyetel radio dan televisi.
Adalah larangan bagi seorang bhikkhu untuk membicarakan Dhamma dengan intonasi yang ditarik- amat panjang (seperti bernyanyi).
Khotbah Dhamma, atau membaca Dhamma dalam, gaya membaca yang sengaja ditarik panjang-panjang sehingga mengakibatkan salah mengucapkan kata-katanya itu, hendaknya tidak dilakukan. Berkhotbah atau menyanyikan syair-syair dengan metode intonasi yang dikenal sebagai sarabhanna, dapat dilakukan. Berkhotbah atau membaca paritta dengan gaya membuat lelucon atau menjadikan bahan tertawaan adalah salah dari segi samana. Semuanya dimasukkan ke dalam kelompok ini dan oleh karena itu dilarang.
Adalah larangan bagi seorang bhikkhu untuk mengerjakan hal-hal yang merupakan anamasa, yakni, hal-hal atau benda-benda yang tidak patut disentuh.
Mereka adalah sebagai berikut:
a. Wanita, bahan-bahan perlengkapan busananya, dan bahan-bahan yang mewakili wanita. Binatang-binatang yang berjenis kelamin betina termasuk yang boleh disentuh. Bahan busana atas dan bawah dari kaum wanita yang telah dibuang dan yang dapat dipakai untuk asana tidak termasuk anamasa ini.
b. Emas, perak, dan benda-benda berharga. Di dalam Atthakatha, disebutkan ada delapan jenis mutiara, kristal, lapis-lazuli, coral, rubi, topas (masaragalla), kerang laut, dan (semi berharga) batu-batu.
Dengan memasukkan emas dan perak ke dalam daftar ini membuatnya menjadi 10 macam benda-benda berharga. Berlian tidak dimasukkan ke dalam daftar ini, tetapi berlian juga benda berharga. Karang laut harus dipahami sebagai yang didekoresi dengan emas atau batu permata untuk tempat minyak di dalam tradisi brahmana, atau kerang yang dipakai untuk ditiup. Ia adalah sekedar hanya kerang biasa. Sedangkan batu-batu yang disebut di atas, mereka haruslah batu alam (bukan batu buatan) tetapi yang sangat berharga, seperti jade dan onyx (batu akik). Kiranya batu-batu tersebut telah dipakai sebagai perhiasan sudah sejak zaman dahulu, seperti gelang batu jade (giok) dari orang-orang Cina, atau manik-manik terbuat dari batu merah yang dilapisi dengan emas yang penggunaannya barangkali sesudah batu giok itu. Maka dari itu, hal ini tidak menunjuk kepada batu-batu biasa.
c. Berbagai macam alat senjata yang berbahaya bagi kehidupan dan bagi badan jasmani. Peralatan untuk kerja, seperti umpama kapak dan lain-lain tidak termasuk dalam hal ini.
d. Peralatan untuk menjerat binatang-binatang, baik di darat maupun di dalam air.
e. Semua jenis alat musik.
f. Biji beras dan buah-buahan di tempat-tempat di mana mereka dihasilkan (mereka masih berada di pohonnya).
Larangan untuk menangani benda-benda tersebut yang merupakan nanamasa bukan langsung datang dari vinaya. Atthakatha-Acariya membandingkan di dalam vininatthu hal-hal yang ditetapkan sebagai apatti, atau di tempat-tempat lain mereka membentuk tradisi, tetapi bagaimanapun juga hal itu sudah selayaknya. Umpama saja, seorang bhikkhu yang berpantang melakukan pembunuhan tetapi menggunakan senjata-senjata atau alat-alat untuk membunuh atau alat-alat menjerat mereka, tampaknya sangat jelek atau seorang bhikkhu yang berpantang memainkan alat-alat musik, tetapi menggunakannya, juga tampak jelek. Oleh sebab itu, benda-benda ini dinamakan anamasa dan selamanya tidak pernah patut untuk bhikkhu sejak permulaannya.
III. Vidhivatta
Tugas-tugas yang harus dikerjakan secara metodik.
Cara mengenakan jubah yang dipakai pada zaman sekarang adalah seperti berikut: antaravasaka dikenakan dengan cara menggulung pinggirannya masuk ke dalam menuju ke sisi kiri (berlawanan dengan jarum jam) dan kemudian mendorong ujung bagian atas menuju ke pusar tanpa mengambil tepi tepinya dan mengikat mereka. Kain bagian bawah harus menutup lutut-lutut, menggelantung kurang lebih hingga batas separuh betis. Ia tidak boleh dikenakan terlalu panjang sehingga dapat mengganggu betis apabila berjalan. Seorang bhikkhu harus mengenakan ikat pinggang bila memasuki ruang rapat, keluar dari Vihara, atau keluar dari tempat tinggalnya.
Uttarasanga dipakai dengan menggulungnya masuk ke dalam menuju ke sebelah kiri sama seperti halnya (dengan anataravasaka). Di dalam vihara atau di dalam tempat tinggal ia harus dikenakan dengan menutupi pundak kiri, pundak sebelah kanan tetap terbuka. Di luar vihara tempat tinggal bhikkhu itu, dia harus menutup kedua bahu, membuka "gulungan loofah" dan menjulurkan tangan kanan keluar melalui ujung-ujung dari jubah yang terbagi dua itu dan kemudian mengikatkan tali temali serta simpul-simpulnya.
Dikatakan dalam vinaya mengenai sanghati bahwa ia harus dipakai di atas uttarasanga apabila pergi ke daerah yang berpenduduk, tetapi apabila berada di dalam vihara, sekalipun pada waktu sedang melakukan uposatha-sanghakamma, tidaklah disebutkan sama sekali. Di Thailand sanghati ditaruh (terlipat) di atas utarasanga pada bahu sebelah kiri.
Mangkok disimpan di bawah tempat tidur atau bangku. Metode untuk mengambil mangkok itu adalah mengambilnya dengan satu tangan dari bawah tempat tidur (atau bangku) dan kemudian dibawa pergi.
Berkenaan dengan cara berjalan, para bhikkhu dinasihatkan berjalan satu persatu sesuai dengan peringkat vassa dengan celah antara bhikkhu yang cukup lebar agar orang dapat lewat di antara sela-sela itu. Apabila terdapat banyak bhikkhu dan barisan sangat panjang dan para bhikkhu berharap agar dapat berjalan lebih berdekatan daripada semestinya, mereka harus membagi menjadi kelompok-kelompok masing-masing dengan sela-antara untuk orang dapat lewat di antaranya. Apabila hal ini tidak dilakukan, orang-orang lain dapat terganggu.
Apabila seorang bhikkhu akan melakukan Vinayakamma, ia harus memakai uttarasanga menutupi bahu kiri dan kemudian jongkok merangkapkan kedua belah tangan sikap menghormat, seperti halnya tugas mengaku apatti, pavarana dan lain sebagainya.
Tugas-tugas yang harus dilakukan secara metodis itu tidak memiliki pola tertentu dan berubah-ubah menurut waktu dan tempat. Mereka itu dimasukkan di sini demi untuk sekelompok bhikkhu mengetahui bahwa mereka itu diharuskan bertingkah laku yang sama dan perlu untuk melakukan perbuatan dalam gaya yang sama, seperti cara yang sama mengenakan jubah. Ini dilakukan di zaman dulu, dan apabila pola melakukan hal-hal ini sudah kuno dan tidak lagi dapat dipraktekkan, maka cara lain harus menggantinya. Tetapi apabila hal ini tidak dipraktekan, maka cara lain harus menggantinya. Metode-metode ini akan hilang satu demi satu sehingga tidak tersisa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar