Selasa, 21 Februari 2012

CARA MENGGUNAKAN ALAT-ALAT KEBUTUHAN (PARIKKHARA


1. Jubah (Civara)

Alat-alat kebutuhan atau parikkhara dari seorang bhikkhu adalah barang-barang yang dibutuhkan atau diperlukan bagi seorang bhikkhu yang harus dimilikinya waktu mulai ditahbiskan. Salah satu di antaranya dinamakan civara atau jubah. Seorang yang ingin mendapatkan upasampada harus memiliki satu set civara.
Jumlah civara pertama mungkin hanya dua, kain untuk pinggang dan jubah bagian atas. Hal ini disebutkan dalam Sutta sebagai berikut: "di pagi hari Sang Buddha (setelah) memakai kain pinggang, mengambil mangkoknya dan jubah di tangan, kemudian pergi ke kota Savathi untuk mengumpulkan makanan".
Seseorang yang tidak mengenal tradisi ini akan berpikir: "apakah berjalan mengumpulkan sedekah ini tidak memakai jubah luarnya?" Dan demikian memang.
Jangankan berbicara tentang tradisi yang telah berjalan dua ribu empat ratus tahun yang lalu, di beberapa daerah di Indonesia pada 60 tahun yang lalu penduduk baik tingkat rendah maupun kalangan tinggi pergi ke mana-mana, bahkan pergi ke istana kerajaan, untuk beraudiensi pada Raja hanya mengenakan kain pinggang, kain bagian atas diikatkan ke sekeliling pinggang dan membiarkan bagian atas telanjang. Pada waktu itu tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran hal tersebut jelek, memalukan atau tidak sopan.
Pada masa-masa Sang Buddha, para bhikkhu akan pergi ke rumah-rumah untuk mengumpulkan dana makanan hanya dengan mengenakan kain pinggang yang dikenakan rapi, membawa mangkok dan jubah di tangan. Bagian atas dari badan mereka terbuka. Setelah mereka sudah mendekati rumah penduduk, mereka berhenti dan memakai civara dan sambil memegang, mangkok pergi mengunjungi rumah-rumah itu. Tradisi ini ditulis dalam Vinaya dan dalam Atthakatha, tanpa menyebutkan apa yang mereka perbuat ketika mereka kembali dari pindapata, selain mereka pergi untuk mendapatkan makanan ke mana saja dan kemudian kembali.
Barangkali saja mereka melepaskan civara dan dibawa seperti mereka mencari dana makanan itu. Apabila orang mulai menggunakan lebih banyak kain dalam Vinaya disebutkan bahwa Sang Buddha mengenakan baik j ubah bawah dan atas sesuai dengan sikap dari seorang samana.
Dalam, vinaya disebutkan bahwa waktu melakukan Vinayakamma, haruslah dilakukan dengan penuh hormat, para bhikkhu dibolehkan memakai civara dengan bahu atau pundak kiri tertutup, sedangkan tentang sanghati sama sekali tidak disebut-sebut. Selang beberapa waktu kemudian Sang Buddha memperkenalkan sanghati sebagai salah satu jubah tambahan pada musim dingin. Dikatakan Sang Buddha memakai sehelai civara sudah cukup pada permulaan malam hari. Beliau mengatakan bahwa tiga lapis civara sudah cukup untuk dipakai sepanjang malam.
Oleh sebab itu, Sang Buddha mengizinkan sebuah sanghati terdiri dari dua lapis kain sebagai jubah tambahan. Uttarasanga dari satu lapis dan sanghati dari dua lapis sehingga menjadikan tiga lapis bersama-sama. Jumlah jubah tetap tidak berubah dari dahulu hingga sekarang, dan dinamakan ticivaram, berarti secara harfiah tiga helai jubah.
Sanghati adalah jubah untuk dipakai di musim dingin atau untuk ditaruh di bagian luar; uttarasanga adalah jubah untuk dipakai di bagian atas; dan antaravasaka adalah jubah untuk dilibatkan (tubuh bagian bawah) seperti sarung. Walaupun sanghati itu dibolehkan tetapi tidak dijelaskan bagaimana pemakaiannya.
Di dalam sutta dijelaskan bahwa civara, itu dibentangkan agar Sang Buddha dapat duduk di atasnya dan tidur. Di dalam Vinaya hal itu dijelaskan bahwa sanghati untuk menutupi jubah lain apabila seseorang memasuki daerah pemukiman, tetapi tidak menyebutkan bagaimana cara menggunakannya pada waktu ada pertemuan Sangha di dalam vihara. Tidak disebutkan bahwa ia harus ditaruh meliputi pundak, hanya para bhikkhu di Thailand memakainya dengan gaya ini, sedangkan di Burma dan Srilanka memakainya untuk menutupi civara lain apabila mereka pergi ke daerah-daerah pemukiman, tetapi mereka tidak memakainya di dalam vihara.
Ukuran dari ketiga macam jubah haruslah diketahui sebagai berikut: ukuran dari uttarasanga dijelaskan sesuai dengan ukuran sugatacivara. Di dalam Patimmokha ukuran ini diterangkan sebagai sembilan depa (bentangan tangan) panjangnya dan enam depa lebarnya menurut ukuran sugata.
Dapat diambil kesimpulan dari melihat corak patung Sang Buddha di India bahwa jubah pendek dan sempit yang digunakan tidak digulung seperti yang dipakai sekarang. Cara atau metode lain akan diberikan di bawah ini.
Apabila Sang Buddha dianggap lebih besar daripada para savaka, para bhikkhu dapat menambah ukuran dari civara di atas batas yang terkecil itu sebab batas dari civara mereka didasarkan pada ukuran civara sugata. Apabila civara menjadi besar seperti ini, ia dikenakan atau digulung seperti gulungan sikat badan berbentuk tahu itu. Ukuran yang dipakai di Thailand tidak melebihi enam hasta (panjang dari siku sampai ujung jari) panjangnya dan empat hasta lebarnya. Ukuran ini jika terlalu besar dikurangi sesuai dengan ukuran pemakaiannya. Tidak ada batasan ukuran yang pasti.
Barangkali dapat disimpulkan bahwa civara yang pendek dan yang sempit itu mudah terlepas. Oleh sebab itu civara yang dipakai oleh seorang bhikkhu haruslah cukup ukurannya serta dapat digulung dan menempatkan ujung di tangan. Ukuran dari sanghati harus dibuat juga seukuran dengan uttarasanga.
Ukuran dari antaravasaka tidak dikemukakan secara jelas seperti uttarasanga, tetapi ia harus cukup lebar dan panjang sehingga dapat menutup pusar dan dengkul, sebaliknya tidak boleh terlalu panjang sehingga tidak rapi.
Patung Buddha zaman dahulu terlihat seperti mengenakan antaravasaka dengan pinggiran-pinggiran tidak digulung bersama seperti apa yang dilakukan pada zaman sekarang ini. Apabila hanya pinggirannya dipegangi untuk melipatnya ke arah badan, maka akan kelihatan tidak rapi.
Secara singkat dikatakan di dalam vibhanga; "seorang bhikkhu harus mengenakan kain pinggang melingkari secara merata dan sepenuhnya menutupi lingkaran pusar dan lingkaran lutut,". Ukuran antaravasaka biasanya enam hasta panjang dan dua setengah hasta lebarnya. Mereka yang tinggi harus menambah lebarnya, sedangkan yang gemuk menambah panjangnya agar tidak sempit.
Kain tebal (dari dimensi di atas) yang jenisnya mengandung bulu, harus dikurangi ukurannya sehingga menjadi lima hasta panjang dan dapat diperkecil lagi dengan delapan inci, sedangkan lebarnya hingga satu depa dan empat inci, cukuplah sudah. Orang yang besar harus menambah leher (membuat jubahnya lebih panjang) dan orang gemuk, harus menambah panjang (sehingga dapat membungkus seluruh badannya).
Ada enam jenis kain yang diperbolehkan untuk dibuat jubah atas dan bawah: kahoma kain yang terbuat dari serat tumbuh-tumbuhan; kappasika kain yang terbuat dari kapas; koseyya kain terbuat dari benang sutera; kambala kain terbuat dari bulu binatang, terkecuali terbuat dari rambut kepala manusia dan badan manusia; di sana kain terbuat dari serat hemp/semacam tumbuhan-tumbuhan jenis tertentu; bhanga kain terbuat dari beberapa jenis tersebut yang dicampur bersama.
Linen adalah contoh dari kahoma sementara contoh dari kapassika dapat dilihat, umpama jenis satin. Kain dari kambala adalah kain dari wol murni dan bahan seperti scarlet (nama kuno bagi sejenis kain wol merah). Kain yang disebut sana dapat dilihat pada zaman dahulu dalam bentuk kain kasar apabila dipegang tetapi sekarang sudah tidak lagi. Bhanga adalah kapas dicampur dengan sutera.
Kain di luar keenam jenis tersebut dilarang dan tidak digunakan. Benda-benda yang dapat dipakai oleh kaum pertapa Jain untuk menutupi tubuh mereka seperti yang disebutkan dalam Vinaya adalah sebagai berikut: rumput kusa yang dipintal, serat kulit pohon yang dipintal, serat dari buah-buahan yang dipintal (seperti buah kelapa), kain yang terbuat dari rambut manusia, kain dari binatang-binatang yang berambut/ekor dari binatang, sayap burung hantu, kulit macan dan kain dari serat jute/karung goni.
Seorang bhikkhu yang memakai salah satu dari kain itu adalah thullaccaya, tetapi di mana di tempat-tempat lain kain terbuat dari junte itu dilarang, larangan ini adalah landasan dukkata.
Hal ini membuat kita beranggapan bahwa seorang bhikkhu mengambil kain untuk digunakan terus, adalah thullaccaya, sedangkan apabila hanya sekedar memakainya, adalah dukkata. Hal ini adalah sama dengan badan telanjang yang dapat menjadi dasar dari thullaccaya maupun dukkata, seperti yang telah disebutkan ketika menjelaskan tentang cara mengatur badan.
Telah ditetapkan bahwa tiga jubah (ticivaram) harus dipotong. Apabila kain itu cukup, tiga set komplit dari tiga jubah harus dibuat dari potongan-potongan kain oleh para bhikkhu, tetapi apabila kain tidak cukup maka satu atau dua paling banyak dibolehkan untuk tidak dipotong, hal ini tergantung dari apa yang mungkin. Apabila kain tidak cukup untuk dibuat jubah dengan cara demikian, maka orang harus menjahit potongan-potongan kain menjadi satu.
Civara harus dipotong dari pola sawah dari magadha, yakni terdiri dari panel-panel yang dibagi oleh garis-garis. Panel yang besar dinamakan mandala dan yang kecil dinamakan atthamandala. Terdapatlah garis-garis pembagi seperti tepi-tepi melintas sawah, ini dinamakan atthakusi. Mandala, atthamandala dan atthakusi, bersama-sama dinamakan khanda atau sesi, di antara setiap sesi terdapat garis-garis pembagi seperti tepi panjang dari ladang yang dinamakan kusi.
Sebuah civara harus mempunyai tidak kurang dari lima khanda, tetapi apabila lebih dari ini dapat dipakai terkecuali bahwa anggota dari mereka adalah bilangan ganjil, tujuh, sembilan, sebelas. Banyak khanda yang dapat dipakai apabila seorang bhikkhu tidak dapat menemukan sepotong kain yang lebar. Kain di sekeliling pinggir civara dinamakan anuvata, atau givivata, dan dua khanda bagi kedua sisi adalah anivivata.
Sekali lagi apabila civara itu mempunyai lima khanda, yang bagian tengah dinamakan giveyakka, sebab apabila seorang bhikkhu mengenakan civara, attha mandala, dari khanda tersebut adalah mencapai leher. Khanda pada kedua bagian sebelah dari ini dinamakan jangheyyaka sebab atthamandata dari kedua khanda tersebut adalah garis apabila seorang bhikkhu mengenakan jubah itu, dan kedua khanda terakhir pada bagian luar dinamakan bahanta sebab atthamandala mereka pada tangan apabila jubah itu dipakai.
Akan tetapi, atthakata-acariya mengatakan bahwa giveyyaka adalah sepotong kain yang dijahitkan pada tempat yang menutupi leher. Maka dari itu jangheyya adalah kain yang dijahitkan pada tempat yang menutupi garis-garisnya. Giveruyyaka dan jangheyyaka, menurut Atthakatha, barangkali dapat dipahami sebagai masing-masing anuvata di atas dan di bawah, jadi mereka itu menjadi potongan-potongan kain lain yang telah dijahitkan terpisah.
Pada mulanya, barangkali diinstruksikan membuat civara dari kain yang telah dipotong-potong, sehingga civara tidak merupakan sehelai kain yang utuh, karena terdapat larangan memakai civara yang garis batasnya tidak dipotong, yang panjang, memiliki hiasan gambar bunga, atau kain itu tebal seperti pelat. Kemudian Sang Buddha memerintahkan kepada para bhikkhu memotong kain untuk civara dengan mengambil pola sawah-sawah di Magadha.
Haruslah diingat bahwa giveyyaka dan bahannya hanya pada uttarasanga dan antaravasaka yang dibuat dengan cara yang sama. Sanghati mungkin adalah potongan-potongan kain yang dijahit menjadi satu seperti yang dipakai dewasa ini. Selain dari uttarasanga dan antaravasaka, tidak disebutkan untuk kain-kain seperti kain mandi, pacaran (mantel/jas), dan koala (permadani yang biasanya dengan bulu-bulu panjang). Mojave yang tidak berbulu halus, harus dipotong dengan cara seperti civara.
Civara boleh dicelup dengan salah satu dari zat-zat: akar-akaran, tumbuh-tumbuhan, kulit pohon, dedaunan, bunga-bunga dan buah-buahan. Bahan-bahan ini harus dimasukkan ke dalam air dan dididihkan dalam waktu panjang. Vinaya tidak menyebutkan nama-nama dari keenam obat celup, tidak pula menyebutkan warna dari civara ketika dicelupkan. Ia hanya mengatakan bahwa kasaya atau cassava artinya "berwarna coklat kebiru-biruan air pewarna".
Warna-warna seperti indigo, kuning, merah, magenta, ungu, merah muda dan hitam dilarang sebagai pewarna civara. Oleh karena itu, civara harus berwarna selain dari warna-warna tersebut. Warna yang biasa digunakan (dikenal) adalah kuning dicampur dengan warna merah yang banyak, atau cohere kuning yang didapat dari inti kayu nangka yang disebut: "berwarna merah keabu-abuan" itu.
Sang Buddha melarang civara berwarna cemerlang atau menyala dan dihiasi dengan gambar-gambar seperti binatang dan atau bunga-bunga. Bunga yang sangat kecil yang polanya tidak terlalu mencolok seperti gambar bunga lada atau pola garis-garis dalam sejenis kain sutera, diperbolehkan.
Uttarasanga dan sanghati mempunyai lobang-lobang serta tali-temali untuk pengikatan tetapi tidak dikatakan di mana beradanya. Lobang dan tali-temali itu diperbolehkan untuk mencegah angin dapat menghembuskan civara itu sehingga terbuka.
Kita tahu bahwa lobang serta tali-temali itu seharusnya berada di sebelah bawah dan ini sangat perlu waktu untuk mengenakan kain yang pendek dan sempit. Pada zaman sekarang ada pada pinggiran bawah dan pinggiran sebelah atas dari anuvata di tengah-tengah khanda sebuah lobang untuk tali-temali pada bagian kanan dan tali-temalinya bagian kiri. Tali-temali itu tidak diperkenankan apabila dibuat dari bahan halus atau baik.
Dalam vinaya disebutkan salah satu dari bahan-bahan berikut ini dapat dipakai untuk membuat cantelan tali semacam kancing dari tulang, gading, tanduk, bambu kecil, kayu pernis, inti kayu, tempurung kelapa, kulit kerang, atau benang yang dipintal agar civara tidak terlepas ditiup angin kencang.
Dua macam ikat pinggang diperbolehkan untuk antaravasaka: ikat pinggang yang bentuknya rata (terbuat dari kain) dan yang lain berbentuk buntut babi (bulat). Ikat pinggang yang bentuknya teramat cantik adalah dilarang. Di Indonesia ikat pinggang dari sutera seperti ekor babi dilarang untuk menggunakan ujung-ujung yang indah untuk mengikat tali dari ikat pinggang itu. Mereka dapat dibuat dari bahan-bahan seperti kancing untuk civara.
Cara memakai civara tidak dijelaskan secara jelas dalam Vinaya. Dalam Sekhiya disebutkan bahwa seorang bhikkhu harus belajar untuk mengenakan anttaravasakka dan uttarasakka dengan rapi. Di dalam Vibhanga, secara gamblang mengemukakan bahwa seseorang harus mengenakan antaravasakka dengan rapi, yang dapat menutup baik pusar ataupun lutut. Orang harus membuat ujung-ujung dari jubah sama rata dan mengenakan utarasanga dengan rapinya.
Pada waktu memberi hormat atau vinayakamma, pundak kanannya harus terbuka tanpa ditutupi oleh civara. Pada waktu memasuki pemukiman dikatakan bahwa orang harus mengenakan sanghati sehingga digunakan lebih dari satu lapis (kain) dan kemudian merapikannya dan memegangnya dengan hati-hati untuk menutup tubuh sebaik-baiknya. Para bhikkhu dilarang membuka atau memperlihatkan badan dengan mengangkat jubah tinggi-tinggi dari bawahnya.
Cara ini memperlihatkan bahwa bhikkhu diharuskan menutup kedua belah bahunya bila di daerah pemukiman. Dengan melihat contoh serta bukti kita dapat mengerti bahwa pada saat memakai civara kecil, seorang bhikkhu mengenakan antaravasaka dan memegangi batas pinggiran kain, mengumpulkannya dan kemudian melipatnya masuk ke dalam ke arah pusar dan kemudian mengikatnya dengan ikat pinggang.
Ikat pinggang adalah sebuah alat yang benar-benar mempunyai kegunaan dan oleh karena itu dilarang untuk bepergian tanpa ikat pinggang itu ke daerah pemukiman. Pada zaman sekarang para bhikkhu telah menggunakan jubah yang panjang dan itu mereka diharuskan untuk menggulung civara atau anuaravasaka mulai dari pinggirnya.
Seorang bhikkhu mengenakan jubahnya untuk menutupi kedua bahunya dengan menaruh ujung civara pada bahu kiri, membiarkan menggantung melalui dada. Sedangkan cara yang lain, ke luar dari lingkaran leher dan menutup bahu kanan, dilemparkan melalui bahu kiri dan ujung kemudian ditangkap dan dipegang oleh tangan kiri. Tangan kanan kemudian ke luar dari jubah di bawah ujung sebelah bawah dan kedua ujungnya dirapikan (dengan tali dan kancing) pada bagian kiri.
Gaya mengenakan civara ini adalah contoh untuk menerima dana makanan, hal mana dikemukakan dalam Pindacarikavata, apabila ada donor menawarkan makanan, bhikkhu harus mengangkat sanghati dengan tangan kiri, sambil menyodorkan mangkok dengan tangan kanan, memegangi mangkok itu dengan hati-hati dengan kedua tangan untuk menerima tangan itu.
Dengan merapikan atau memantapkan jubah bagian bawah itu mempunyai keuntungan nyata. Para bhikkhu kemudian berharap untuk lebih enak dalam menjulurkan tangan kanannya dari bawah jubah dan membuat tangannya itu dapat ke luar dan masuk seperti sebelumnya.
Pada zaman dahulu cara mengenakan jubah kiranya tidak terlalu digariskan. Sudah cukup bagi seorang bhikkhu hanya sekedar menutup badannya dengan baik ketika ia pergi ke daerah pemukiman dan sudah cukup bila bahu kirinya tertutup dan yang kanan terbuka. Tidak ada cara memakainya yang pasti.
Kemudian cara pemakaiannya digariskan sedikit demi sedikit sehingga cara pemakaian jubah menjadi ciri dari nikaya. Sekarang di Indonesia, pada umumnya cara pemakaian jubah menurut cara orang Mon (Myanmar Selatan) yang dibawa oleh bhikkhu-bhikkhu dari Thailand.
Sanghati adalah jubah yang dipakai apabila pergi ke daerah pemukiman. Apabila ditaruh meliputi uttarasanga, dalam Vinaya disebut "sangahatis" (jamak), menggunakan hanya satu kata saja tetapi dalam bentuk jamak. Ada larangan bila hanya mengenakan uttarasanga dan anttaravasaka ketika pergi ke tempat pemukiman, kecuali pada waktu-waktu berikut: sakit, mengetahui bahwa hari akan hujan, pergi ke tepi sungai, vihara, atau kuti yang dikunci dan aman dan pada waktu sedang memotong kain kathina. Pada salah satu waktu-waktu ini seorang bhikkhu boleh pergi tanpa memakai sanghati.
Pada mulanya, Sang Buddha menginginkan para bhikkhu memiliki hanya satu set jubah yang terdiri dari tiga jubah. Oleh sebab itu beliau menggariskan peraturan yang melarang para bhikkhu untuk menggunakan jubah-jubah ekstra. Kemudian beliau perkenan para bhikkhu untuk menyimpan jubah ekstra untuk waktu 10 hari.
Kain untuk mandi dan kain untuk mandi uap/air mendidih dibolehkan untuk sementara dan keduanya mempunyai pembatasan-pembatasan mengenai ukurannya. Kain untuk mandi panjangnya enam depa lebarnya dua setengah depa dari ukuran sugata.
Para bhikkhu boleh memiliki satu kain mandi selama vassa dan setelah itu harus diberikan. Hanya satu kain mandi uap dapat digunakan untuk sakit menular seperti cacar, cacar ayam, borok, bisul. Kain itu harus dibuang apabila sakitnya sudah sembuh.
Kain yang tidak digunakan untuk ticivara dapat dijadikan alat kelengkapan milik pribadi, misalnya untuk alas duduk yang dinamakan nisi dana. Seorang bhikkhu diperkenankan mempunyai satu nisidana.
Kain seprei disebut pacatarana, tidak mempunyai batas jumlahnya, tetapi biasanya satu kain saja. Kain flanel untuk muka dan untuk mengusap mulut dinamakan mukhapucana, dan kain yang digunakan untuk alat kebutuhan seperti bungkus dan tas (untuk bhikkhu) tidak ada batas jumlahnya.
Kain-kain ini yang tidak digunakan untuk civara tidak ada pembatasan mengenai warna walaupun biasanya nisidana itu berwarna kuning dan dapat dikelompokkan dengan ticivara. Kain untuk dipakaikan bagian bawah atau bagian atas badan, atau kain untuk serbaguna diperkenankan menjadi milik pribadi dan harus ditetapkan (adhithanna) untuk tujuan-tujuan itu.
Jika seorang bhikkhu berkeinginan untuk menukarkan yang telah ditentukan yang jumlahnya telah dibatasi, maka ia terlebih dahulu harus melepaskan kain yang sudah lama. Pencabutan adhitthana ini disebut paccuthavarana. Misalnya jika ticivara itu tidak akan dipakai lagi, mungkin karena telah lusuh, sebelum ditukar dengan yang lain adhitthana yang lama harus dicabut lebih dahulu sebelum menetapkan (adhitthana) jubah yang baru untuk digunakan selanjutnya.
Kain selain dari yang disebutkan di atas yang terbatas ukurannya, maka kain yang panjangnya lebih dari delapan inci dan lebarnya lebih dari empat inci harus dimasukkan ke dalam kasus atirekacivara Sang Buddha memperbolehkan jubah-jubah yang telah dilakukan vikkapa menjadi milik berdua dengan bhikkhu lain dan dipakai bersama-sama bhikkhu tersebut. Seorang bhikkhu dapat memakainya dengan menyadari bahwa jubah itu milik bersama.
Oleh karena Sang Buddha mengizinkan menjadi milik pribadi kain-kain yang tidak digunakan untuk membuat jubah atas atau bawah, tidak terkena pembatasan warna dan karena atirekacivara mempunyai batas ukuran lebih dari delapan kali empat inci harus ditetapkan pemakaiannya (adhitthana) dan dijadikan milik bersama dengan bhikkhu lainnya, maka atirekacivara dapat diartikan sebagai kain yang dapat dibuat ticivara. Dengan kata lain, semua kain yang dapat disambung-sambungkan dengan menjahitnya menjadi ticivara adalah atirekacivara.
Nisidana bukan merupakan alat kebutuhan yang penting, tetapi mempunyai ukuran yaitu: panjang dua bentangan tangan dan lebar satu setengah, dengan cara garis batas satu bentangan tangan.
Oleh karena nisidana bukan merupakan alat kebutuhan yang penting, maka berbagai pandangan dan mengenai mode dari nisidana tidak perlu kita permasalahkan.
Contoh pertama, bordir itu panjangnya satu setengah hasta dan lebar satu hasta yang dipotong menjadi tiga bagian yang sama besarnya, masing-masing enam inci (panjang) pada bagian yang lebih pendek. Apabila bordir itu telah dilekatkan menjadi satu, maka nisidana itu panjangnya menjadi tiga hasta dan satu setengah hasta lebarnya.
Contoh kedua, mempunyai bordir yang dua hasta panjangnya dan lebar satu hasta yang dipotong menjadi tiga potongan bordir, yang lebih besar lebarnya enam inci dan kedua border lebih kecil itu masing-masing lebarnya tiga inci panjangnya sama ukurannya. Apabila border itu telah digabungkan maka nisidana itu mempunyai panjang dua hasta dan enam inci dan lebar dua hasta.
Cara lain untuk melihat bordir dari satu hasta menjadi suatu persegi empat. Mode ini menguntungkan karena dapat memberikan cukup ruang untuk dapat diduduki.
Nisidana merupakan alat kebutuhan tambahan dan memiliki kekhususan, bila dilihat ada larangan bagi seorang bhikkhu yang hidup tanpa nisidana untuk jangka waktu empat bulan. Barangkali dalam kasus ini harus dipahami dalam cara lain, yaitu suatu kebutuhan yang perlu dan harus dipunyai orang untuk dirinya sendiri.
Seorang bhikkhu boleh hidup tanpa memilikinya untuk sementara waktu, tetapi tidak untuk jangka waktu empat bulan. Pandangan ini dilihat dari sudut Uphanidhana Shikkhapada, yakni Surapanavagga ke-10 dalam bagian Pacittiya yang mengangkat nisidana di antara dasar-dasar bagi paccittiya yang sama dengan kebutuhan-kebutuhan lain seperti mangkok, civara, dan lain-lain.

2. Mangkok (Patta)

Mangkok adalah salah satu dari alat kebutuhan atau persyaratan yang pertama seorang bhikkhu yang bersamaan dengan ticivara. Seseorang yang berkeinginan untuk menjalani upasampada haruslah memiliki mangkok sebelumnya. Ada dua jenis mangkok diperbolehkan yaitu mangkok yang terbuat dari tanah liat (dibakar hingga menjadi kehitam-hitaman), dan mangkok terbuat dari besi.
Panci tanah liat, kulit buah labu dan tengkorak manusia adalah benda-benda yang dilarang untuk digunakan sebagai mangkok. Jenis-jenis mangkok lain yang juga dilarang, yakni mangkok yang terbuat dari: perak, batu permata (batu-batuan berharga), batu pualam, batu kuarsa, kuningan, timah, seng dan kayu.
Di dalam kisah kehidupan Sang Buddha, dikatakan bahwa mangkok Sang Guru tersebut dibuat dari batu. Batu tadi disebutkan di antara mangkok-mangkok yang dilarang atau jenis ini dilarang. Mangkok terbuat dari emas dan perak adalah tidak cocok. Mengenai mangkok dari batu-batuan berharga barangkali mangkok-mangkok tersebut dihiasi dengan butir-butir permata.
Potongan-potongan batu kuarsa yang berwarna susu itu tidak cukup besar untuk dibuat mangkok. Imitasi gelas batu permata yang dibuat menjadi mangkok itu akan mudah pecah menjadi serpihan yang akan ditelan oleh seorang bhikkhu. Sedangkan mangkok-mangkok yang terbuat dari tembaga, kuningan, timah dan seng akan asin, akan menimbulkan racun yang akan mengganggu kesehatan orang yang memakan makanan tersebut.
Pada zaman sekarang terdapat bahan-bahan yang membahayakan untuk dibuat mangkok, yakni perunggu. Guru-guru zaman dahulu barangkali sudah mengerti tentang hal itu dan menasehati para bhikkhu untuk tidak memakai tutup mangkok yang terbuat dari tembaga dan perunggu tetapi hanya menasehati tutup mangkok dari laquar. Mangkok dari kayu tidak bersih karena bahan-bahan makanan dapat masuk menembus ke dalam celah-celah kayu tersebut.
Ukuran dari mangkok barangkali adalah seukuran dengan botol buah labu, tengkorak orang atau panci tanah liat. Sang Buddha mengambil benda-benda tersebut hanya sebagai contoh dan melarang digunakan sebagai pengganti mangkok. 
Ada tiga jenis mangkok yang disebutkan di dalam Vibhanga: yang besar, medium dan kecil. Zaman yang lalu patokan ukuran dari mangkok ini dilihat dari banyaknya nasi yang dapat dimasukkan ke dalamnya. Pada zaman sekarang ukuran dari mangkok medium adalah mangkok dengan garis lingkaran 27,5 inci. Ukuran ini sama dengan ukuran medium zaman dulu, tetapi isinya lebih banyak nasi daripada yang dibutuhkan. Mangkok yang besar adalah terlalu besar dan berisi terlalu banyak nasi.
Mangkok terbuat dari berbagai jenis bahan dan ukuran sebagai disebutkan di atas, tetapi seorang bhikkhu hanya diperbolehkan memiliki satu saja dan digunakannya untuk pindapatta. Di luar dari itu, mangkok-mangkok tersebut merupakan atirekapatta dan seorang bhikkhu hanya mempunyai hak untuk menyimpannya selama 10 hari dan ia harus dibagi kepemilikannya dengan bhikkhu lain (vikappa) dalam batas waktu tersebut. Apabila seorang bhikkhu ingin mengganti mangkoknya yang lama, terlebih dahulu ia harus membuat adhitthana melepas mangkoknya yang lama dan kemudian memutuskan (adhitthana) untuk memakai yang baru.
Sebuah mangkok tidak dapat dipakai apabila retak atau berlubang pada satu atau beberapa tempat semuanya sepanjang 10 inci, atau sudah pecah sehingga tidak dapat menampung makanan lagi. Ia harus ditukar (apabila terjadi salah satu dari kondisi tersebut) dengan mangkok baru.
Zaman Sang Buddha mangkok yang biasanya digunakan terbuat dari tanah liat yang dibakar dan jarang sekali mangkok dari besi. Oleh sebab itu, terdapat peraturan yang mengharuskan para bhikkhu bersikap hati-hati terhadap mangkok dan menyimpannya pada tempat-tempat yang tidak membahayakan mangkok itu. Dalam Vinaya terdapat larangan seorang bhikkhu menaruh mangkok di tempat tidur, di atas kursi, bangku, hale, tempat gelap di bawah bayangan sinar matahari, pada sandaran kursi, di atas balustrada dan di atas pangkuan (apabila bhikkhu berdiri tanpa sadar, mangkok itu akan jatuh dan pecah).
Mangkok tidak boleh digantung (pada tali), tetapi dibolehkan menaruh mangkok di dalam kantong yang menggelantung dengan tali di bahu. Dilarang seorang bhikkhu meletakkan mangkok di atas tanah yang keras dan kasar yang dapat membahayakan mangkok tersebut, kecuali bila diletakkan terbalik (mulutnya di atas tanah) atau di atas tanah yang ada papan yang rata. Para bhikkhu dibolehkan meletakkan mangkok di atas tatakan mangkok yang terbuat dari rumput, kain, atau tikar. Bhikkhu yang sedang memegang mangkok dilarang mendorong pintu terbuka atau tertutup.
Bhikkhu harus mengetahui cara-cara bagaimana menggunakan dan menyimpan mangkok. Mereka dilarang untuk menggunakan mangkok sebagai tempat berludah, membuang tulang-tulang ikan, tulang-tulang, daging atau bahan-bahan lain yang, merupakan sisa ke dalam mangkok. Mereka juga dilarang mencuci tangan dalam mangkok, atau membuang air cuci mulut ke dalam mangkok itu.
Adalah tidak pantas menyentuh mangkok dengan tangan-tangan kotor. Seorang bhikkhu harus membersihkan mangkok setelah selesai makan, tetapi dilarang menyimpannya jika mangkok tersebut masih basah. Mangkok harus dijemur terlebih dahulu di sinar matahari dan tidak boleh ketika masih basah. Mangkok harus dilap lebih dahulu hingga kering baru kemudian dijemur dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Diperbolehkan menggunakan alat penyangga mangkok agar dapat berdiri dan tidak terguling sewaktu dijemur yang terbuat dari seng, kayu atau bambu, tetapi dilarang untuk menggunakan benda-benda yang didekorasi dengan warna-warni atau gambar-gambar atau benda-benda lain yang tidak sesuai. Kemudian dibolehkan memakai tutup mangkok untuk mencegah dasar mangkok rusak karena gesekan dan mencegah masuknya kotoran-kotoran ke dalam mangkok.
Masih ada benda lain yang diperbolehkan oleh Sang Buddha bagi para bhikkhu dan hal ini adalah kantong untuk menyimpan mangkok, yakni kantong dengan tali untuk menggantungkannya di atas pundak apabila sedang bepergian.
3 Alat-alat yang digunakan
Pada mulanya, kelihatannya Sang Buddha membiarkan para bhikkhu memiliki alat-alat kebutuhan, tetapi hanya sedikit saja yang dapat dibawa-bawa dengan mudahnya. Alat-alat kebutuhan ini disebutkan dalam Pacittiya, Surapanavagga, Apanidhana Sikkhapada ke 10 yaitu: sebuah mangkok, tiga jubah, satu nisidana, satu kotak jarum, dan sebuah ikat pinggang. Alat keperluan bhikkhu bertambah dengan cepatnya sesuai dengan keadaan dan kondisi dalam waktu tertentu. Sang Buddha memperkenankan lebih banyak alat-alat apabila dirasakan perlu bagi bhikkhu. Kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat disebutkan semuanya di sini.
Parikkhara (alat-alat keperluan) para bhikkhu yang merupakan tradisi bhikkhu adalah:
Kotak jarum.
Kotak ini dilarang bila terbuat dari tulang, gading, atau tanduk. Aka para bhikkhu membuat sendiri adalah Pacittiya dan bila menerima dari seorang lain dan menggunakannya adalah dukkata. Adalah dilarang untuk membuat kotak-kotak jarum yang menjadi mode pada waktu itu, tetapi tidak dilarang untuk membuat barang-barang lain seperti simpul dan ujung-ujung dari ikat pinggang. Kotak jarum yang dibuat dari barang-barang lain seperti kayu atau metal dibolehkan untuk digunakan oleh bhikkhu. Kotak kayu jarum yang asli dibuat dari kayu.
Saringan air
Boleh dibuat dari sepotong kain, atau dibuat dari sesuatu benda bulat yang berlubang (seperti sepotong bambu atau tube metal) dengan kain yang dilekatkan pada dasarnya, atau dibuat dari jenis lain dan disebut dhammakarata. Segala sesuatu yang dapat menyaring air dapat digunakan. Sudah menjadi tradisi dari para bhikkhu dilarang melakukan perjalanan sejauh setengah Yojana (satu yojana = kurang lebih 10 mil atau 16 km), bila mereka tidak mempunyai alat penyaring air. Apabila para bhikkhu tidak dapat menemukan benda-benda lain untuk menyaring air, maka tepi dari sanghati dapat juga dipakai sebagai saringan air. Para bhikkhu yang melakukan perjalanan jauh harus membawa-saringan air dan jika tidak punya, ia dapat meminjam dari bhikkhu lain dan bhikkhu lain harus meminjaminya.
Dikarenakan ada sikkhapada yang melarang para bhikkhu untuk minum air yang di dalamnya terdapat makhluk hidup, maka haruslah dipahami bahwa tradisi para bhikkhu untuk menyaring air agar mencegah atau terbuangnya makhluk-makhluk hidup dalam air yang digunakannya, dan juga untuk tujuan mendapatkan air bersih seperti yang dapat dilihat dari air hasil saringan air yang diperkenankan.
Apabila di dalam air terdapat makhluk-makhluk hidup, mereka akan tertangkap oleh kain saringan dan tetap tinggal di sana sewaktu air mengalir. Ini adalah bukan alat untuk menghancurkan atau membunuh makhluk-makhluk hidup, jenis saringan air ini untuk menjernihkan air. Saringan air besar untuk menyaring air bagi banyak orang, misalnya untuk seluruh pekerja dibuat dengan cara sama sedemikian sehingga air itu mengalir melalui kain tersebut tanpa membunuh makhluk hidup dalam air.
Pisau cukur serta sarungnya.

Batu serta gerinda untuk mengasah pisau itu, adalah barang-barang yang diperbolehkan untuk mencukur rambut dan muka. Pisau cukur itu bukan senjata, tetapi ada larangan bagi seorang bhikkhu bekas tukang cukur untuk memiliki sebuah pisau cukur bagi dirinya sendiri.
Pisau cukur itu haruslah dipahami sebagai alat usahanya untuk mencari nafkah sebelum ia menjadi bhikkhu. Tanpa memiliki barang itu, ia tidak akan teringat dan lebih mudah untuk melupakan masa lampaunya. Ia hanya berlatih sesuai dengan samadadhamma.
Payung
Benda tidak disebut-sebut dalam Vinaya, tetapi di dalam Atthakatha terdapat larangan terhadap pemakaian benda-benda yang cemerlang, umpama, payung-payung yang dibordir dengan kain sutera warna-warni serta dengan kain-kain hias. Orang harus memakai benda-benda yang umum saja. Sang Buddha membolehkan para bhikkhu untuk memakai payung di dalam vihara atau di sekitarnya.
Terdapat suatu larangan terhadap seorang bhikkhu untuk memakai payung di daerah pemukiman dan larangan membawa payung terbuka sepanjang jalan yang dekat dengan daerah pemukiman.
Seorang bhikkhu boleh membawa payung terbuka di daerah pemukiman apabila ia sakit, atau bila sakitnya itu pusing kepala yang akan dapat bertambah gawat jika ia terkena sinar matahari atau, hujan. Di dalam Atthakatha, peraturan itu demikian diperlonggar untuk mencegah civara menjadi basah kuyup oleh hujan, untuk menghindari bahaya, dan untuk melindungi badan (seperti teriknya sinar matahari). Dalam kasus-kasus yang demikian ini, maka seorang bhikkhu dapat memakai sebuah payung.
Sandal
Sandal terdiri dari dua macam, yakni paduka dan upahana. Paduka itu barangkali adalah sandal yang mempunyai sol, seperti bakiak kayu di Indonesia, tetapi di dalam Vinaya berarti jenis-jenis sepatu lain juga. Tidak diketahui dengan pasti bahwa sandal-sandal ini mempunyai sol yang tinggi.
Paduka yang disebut-sebut dalam Vinaya terdiri dari berbagai macam jenis: sandal kayu, sandal emas, sandal perak yang diberi dekorasi dengan batu-batu permata, batu kuarsa dan lain-lain; sandal-sandal yang terbuat dari bronse, tembaga, besi, timah atau seng; sandal yang dilapisi dari daun-daun palem, dari keratan bambu, dari berbagai jenis rumput, dari ilalang; dan terbuat dari kain wool yang dipintal. Kesemua jenis paduka ini tidak boleh dipakai. Paduka yang terbuat dari kayu hanya dilarang dipakai di jalan umum, tetapi dibolehkan dipakai yang telah diletakkan di tempat buang air besar dan kecil, serta di tempat mencuci pakaian.
Upahana mungkin sandal yang tidak mempunyai hak tinggi. Jenis sandal yang diperbolehkan itu dibuat dari kulit yang biasa. Semua sandal yang mempunyai satu lapisan (lapisan dari kulit untuk haknya) dapat dipakai dan sandal yang mempunyai lapisan lebih dari empat lapis dapat juga dipakai, hanya apabila ia sudah tua.
Sandal dengan banyak lapisan (dari kulit) apabila masih baru dapat dipakai di negeri di luar India. Upahana (yang dibolehkan) memiliki tali kulit yang diikatkan di antara tumit. Sandal tersebut tidak menutup kaki sebelah atas atau menutup tumit. Orang tidak boleh memakai upahana yang berlapiskan kulit dua atau tiga lapis, atau apabila mempunyai banyak lapisan atau masih baru, maka tidak dapat dipakai di India (Negara Tengah), dan tidak diketahui alasannya.
Walaupun sandal adalah salah satu di antara jenis-jenis yang dibolehkan mempunyai berbagai macam warna, tetapi warna seperti biru tua, kuning, merah, merah muda, oranye, merah jambu atau hitam, dilarang untuk dipakai pada sandal, telah dapat dipakai apabila warna-warna tersebut sudah dibuat kabur atau dibuang.
Di samping itu para bhikkhu dilarang juga mempunyai berbagai macam warna pada tali-temali sandalnya, tetapi apabila ia telah diganti (dengan warna suram), maka boleh dipakai. Demikian juga dilarang untuk menggunakan upahana yang diberi dekorasi dengan kulit singa, kulit macan, kulit panther, kulit musang, kulit berang-berang, kulit kucing, kulit anjing laut, atau kulit burung hantu, tetapi apabila yang dilarang itu telah dibuang dari sandal, maka sandal itu baru boleh dipakai.
Para bhikkhu dilarang untuk memakai upahana yang menutupi tumit dan menutupi bagian atas dari kaki dan menutupi betis yang mempunyai sol diisi dengan kapuk, yang diberi dekorasi dengan bulu ayam hutan, sandal yang lancip bentuknya seperti tanduk kambing, lancip seperti ekor kalajengking, tetapi apabila ia sudah dirobah sehingga membuat upahana enak dipakai, maka mereka dapat memakainya.
Sandal-sandal yang sudah diperkenankan itu tidak dapat dipakai di semua tempat, kecuali apabila kaki bhikkhu itu sakit; tetapi dilarang memakainya di dalam daerah berpenghuni. Seorang bhikkhu tamu yang mengunjungi vihara harus melepaskan sandalnya. Seorang bhikkhu boleh memakai sandal di dalam hutan dan dalam vihara, kecuali di daerah yang dilarang memakai sandal dalam vihara, misalnya di Cetiya dan lain-lain.
Apabila seorang bhikkhu mempunyai kaki yang tipis dan tidak dapat berjalan di tanah keras yang akan menyebabkan kakinya akan menjadi sakit, atau dalam musim panas ketika tanah itu begitu panasnya sehingga apabila ia melangkah di atas tanah panas itu kakinya akan lecet, maka seorang bhikkhu dapat memakai sandalnya di daerah pemukiman atau masuk ke dalam vihara. Seorangb bhikkhu yang sakit pada sela-sela jari kakinya boleh memakai sandal dalam musim hujan di tempat-tempat lembab untuk mencegah kakinya menjadi dingin.
Atthakatha Acariya menunjukkan pada alat-alat keperluan lain yang mengatakan "hal ini cocok, hal ini tidak cocok" seperti yang disebutkan di dalam Parikkharakatha dari Pubbasikkhavanna, tetapi semuanya tidak jelas serta sukar untuk dipahami. Mereka yang mempelajari Vinaya harus mengerti atau memahami hal sebagai berikut: seorang bhikkhu harus berkeinginan untuk memakai benda-benda yang umum, sederhana dan tidak menggunakan benda-benda yang bagus dan populer pada waktu itu dan dapat dikatakan sebagai barang mewah.
Latihan para bhikkhu yang ingin menggunakan benda-benda sederhana mendatangkan kepercayaan kepada satu kelompok orang yang disebut luk hapa mana, artinya prihatin dengan benda-benda yang sederhana atau benda-benda yang menimbulkan rasa hormat.
Berpikir tentang bagaimana membuat benda-benda menjadi indah dan keterampilan dalam membuat benda-benda untuk manusia berubah menurut zaman. Apa yang indah pada zaman dahulu menjadi jelek pada zaman sekarang, apa yang terampil dalam zaman dahulu menjadi lamban menurut zaman sekarang.
Demikian pula, barang-barang yang boleh Atthakatha Acariya diuraikan sebagai barang-barang baik pada zaman itu, menjadi umum atau jelek pada saat kini. Adalah agak sukar untuk memperoleh barang-barang yang disebutkan oleh Atthakatha Acariya yang menjadi cocok untuk seorang samana. Oleh sebab itu haruslah dipahami bahwa mereka itu menyebut benda-benda itu sesuai atau menurut zamannya.
Seorang bhikkhu yang ketat tetapi tidak memikirkan tentang waktu dan tempat dan sekedar hanya ingin meniru (Acariya-acariya zaman dahulu) akan mendapatkan banyak kesukaran, sebab mereka akan sukar untuk mendapatkan benda-benda itu pada zaman sekarang.
Tetapi, apabila ia melaksanakan terus seperti guru-guru dahulu dan mendapatkan barang-barang yang baru yang tidak sama dengan barang-barang model lama, maka ia tidak akan senang karena tidak bisa menerima dan menggunakannya. Apabila ia menggunakan benda itu yang dirasakannya bahwa sebenarnya ia tidak seharusnya memakainya, maka ia melakukan apatti termasuk dukkata.
Alat-alat kebutuhan yang sederhana dan baik haruslah dipakai sesuai dengan zaman, tetapi barang-barang yang sengaja dibuat untuk diri bhikkhu itu haruslah tidak mengandung keindahan, harus berorientasi pada kegunaannya saja atau yang kuat sehingga dapat dipakai dalam waktu yang lama.
Apabila seorang bhikkhu mengerti tentang hal ini, maka ia harus memilih jalan tengah yang cocok dengan waktu serta tempat pada zaman itu.
4. Perabotan dalam tempat tinggal (kuti)
Kuti tempat tinggal bhikkhu pada zaman Sang Buddha, hanya sebuah gubuk dengan lantai di plester atau dari tanah liat. Oleh karena itu, maka para bhikkhu diperbolehkan memiliki ranjang untuk tidur dan bangku untuk duduk guna mencegah kelembaban.
Ranjang (manca) dan bangku (pitha) harus mempunyai kaki-kaki yang tingginya tidak lebih dari delapan inci dari ukuran sugata, tidak terhitung rangka pada kaki itu dilekatkan. Seorang bhikkhu yang memakainya dan membiarkan bangku itu mempunyai kaki-kaki lebih dari delapan inci tingginya, adalah paccittiya. Kaki-kaki itu harus dipotong.
Apabila bhikkhu menggunakan bangku yang dibuat oleh orang lain, adalah dukkata. Kemudian diperbolehkan untuk menunjang ranjang dengan balok-balok yang tingginya hingga delapan inci. Ranjang, walaupun kaki-kakinya sudah sesuai dengan pembatasannya, namun dilarang memakai ranjang yang memiliki ukir-ukiran binatang buas seperti hidung singa buas yang dinamakan pallamka (dipan).
Asandi adalah sebuah benda untuk duduk seperti bangku. Beberapa bangku ada yang persegi panjang di mana dua orang, dapat duduk. Asandi adalah berbentuk persegi dan hanya dapat diduduki oleh satu orang saja. Pada mulanya dilarang mempunyai kaki-kaki lebih dari delapan inci tingginya, tapi kemudian diperbolehkan.
Tempat duduk yang mempunyai sandaran punggung dan tangan-tangan, seperti kursi sofa, dinamakan sattanga, diterjemahkan sebagai "Tempat duduk dengan tujuh anggota" empat buah kaki dan tiga sisi. Diperbolehkan dipakai walaupun tinggi.
Tempat duduk yang hanya mempunyai sandaran punggung saja, dinamakan pancanga (lima anggota) dan tampaknya seperti kursi tanpa sandaran tangan. Tempat duduk ini tidak dijelaskan tetapi dimasukkan ke dalam sattanga dan boleh juga dipakai bila tinggi.
Kasur untuk ranjang dan bantal kecil untuk bangku dibolehkan, tetapi dilarang untuk mengisinya dengan kapuk (kapas, wool, dimasukkan ke dalam kasur ini). Kasur yang dapat dipakai terdiri dari lima jenis; kasur diisi dengan bulu domba, dengan potongan-potongan kain, diisi dengan serat tumbuh-tumbuhan, diisi dengan rumput, dan diisi dengan dedaunan.
Alas kasur dapat dibuat dari enam jenis kain yang diperkenankan untuk membuat civara. Bulu burung serta binatang berkaki empat lain, terkecuali rambut kepala dan badan manusia, dimasukkan ke dalam bulu domba.
Kasur-kasur yang diisi dengan bulu-bulu tersebut dapat dipakai dan semua jenis daun dapat pula dipakai, terkecuali daun yang tidak dicampur dari kamper borneo, yang dilarang di dalam Atthakatha. Barangkali rambut kepala orang dan rambut badan orang itu dilarang untuk mencegah menyebarnya infeksi dari orang yang sakit. Daun dari kamper borneo itu dilarang barangkali karena ia mempunyai bau yang tajam sekali.
Ranjang atau tempat duduk yang diisi dengan serat-serat apabila berasa nyaman dapat dipakai. Ranjang atau alat tidur yang besar dilarang menggunakannya tetapi pembatasannya tidak disebut-sebut. Apabila seorang bhikkhu yang merupakan brahmacari menggunakan barang-barang, ranjang, yang dipakai untuk sepasang orang tidak sesuai dan oleh karena itu dilarang.
Bantal kepala dibolehkan diisi dengan kapuk tetapi ukurannya harus cocok dengan satu kepala, bukan untuk dua kepala. Adalah dilarang untuk menggunakan bantal panjang. Pada waktu itu, kain merah dapat dipakai untuk penutup bantal dan dalam Atthakatha dijelaskan bahwa bantal-bantal untuk kepala dan kaki yang tidak berwarna merah dapat juga digunakan. Mengapa bantal untuk sisi atau pinggir tubuh (bantal guling) dilarang bagi seorang bhikkhu yang brahmacari dan akan dapat dimengerti apabila seseorang mau memikir sedikit tentang hal tersebut.
Kain penutup lantai dilarang dipakai apabila sangat indah. Yang berikut ini sudah tidak dilarang lagi dimulai waktu diperbolehkan memakai kasa nyamuk seperti yang disebutkan di dalam Vinaya: kain dengan bulu yang panjangnya melebihi empat inci yang disebut goneka; alas lantai terbuat dari bulu domba yang disebut berbagai nama yang dijahit atau dipintal dengan pola yang dinamakan cittaka, atau dengan gambar rangkaian bunga yang dinamakan patalika, atau gambar-gambar binatang buas seperti singa, macan dan lain-lain yang dinamakan vikatika, atau yang putih murni yang dinamakan patika; mempunyai rambut yang disusun disebut uddhalomi, sedang yang mempunyai sikat disebut ekantalomi, satu lembar yang cukup besar untuk enam belas orang menari di atasnya (seperti ruangan berpemadani) disebut kutaka; kain ornamen yang dipintal dengan banyak benang emas dicampur sedikit benang perak serta yang berwarna biru; permadani lantai dari sutra murni, dari kulit yang disebut ajina: yang mempunyai rambut empuk dan halus (seperti "kucing air" yang dalam bahasa Inggris disebut "seal"), pelapis lantai terbuat dari kulit musang, tempat tidur dengan langit-langit di atas yang dipahami sebagai tidur di bawah tirai nyamuk, atau ranjang mempunyai atap, (kain) penutup gajah, (kain) penutup kuda, atau kain penutup kendaraan yang tidak dikatakan dari jenis apa.
Selain dari pada ini, beberapa dari benda-benda ini sekarang sudah menjadi umum atau sebagai pelapis lantai yang terbuat dari bulu domba atau sutra. Atthakatha Acariya) menjelaskan bahwa permadani terbuat dari bulu domba adalah benda-benda mahal pada zaman itu. Kain sutra yang telah dijelaskan sebagai dekorasi dengan bordiran. Pada zaman sekarang, kain pelapis atau penutup yang terbuat dari bulu domba telah menjadi sangat umum dan normal, dan hal itu seharusnya jangan dianggap sebagai terlalu berlebihan.
Perabot-perabot dalam tempat tinggal yang tidak sesuai untuk bhikkhu dan orang awam, seorang bhikkhu dibolehkan duduk, tetapi tidak diperbolehkan tidur di atasnya. Pada mulanya terdapat tiga jenis benda-benda yang dilarang dipakai oleh bhikkhu: asandi, pallamka, dan benda-benda yang diisi dengar kapuk. Kemudian, asandi diperbolehkan dan duduk di atas ranjang atau bangku yang memakai kain yang diisi dengan kapuk, seperti kursi sofa yang diisi dengan kapuk milik orang awam. Seorang bhikkhu dapat duduk di atas tempat duduk yang diisi dengan kapuk, tetapi dilarang duduk di atas pallamka.
Adalah tidak baik bagi dua orang bhikkhu tidur bersama dalam satu tempat tidur, atau di atas penutup lantai yang sama, atau dalam satu selimut, benda-benda ini dilarang. Dua orang Bhikkhu dapat duduk di atas satu ranjang atau di atas bangku tanpa sandaran punggung, bila mereka memiliki masa vassa yang sama.
Bhikkhu itu bukan senior maupun bukan yunior apabila mereka tidak mempunyai perbedaan lebih dari tiga atau bahkan kurang dari tiga vassa, dalam hal ini mereka disebut samanasanika. Mereka dilarang untuk duduk bersama-sama dengan bhikkhu yang mempunyai masa vassa lebih atau kurang dari itu, disebut asamanasanika. Menurut penjelasan dari Acariya, apabila seorang upajjhaya dan seorang saddhiviharika duduk di atas sebuah ranjang yang sama, maka hal itu adalah tidak patut dilakukan.
Dalam Vattakhandaka di bagian Cariyavatta (tugas-tugas berkenaan dengan tingkah laku). Adalah tidak baik bagi seorang bhikkhu tidur di atas kasur yang ditaburi bunga-bunga, ini dilarang. Seorang bhikkhu yang mempunyai bunga, ia dapat meletakkannya di salah satu sisi kutinya. Pada zaman sekarang, bunga itu ditaruh di tempat memuja Sang Buddha, tempat yang benar-benar layak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar