Selasa, 21 Februari 2012

AGARIYA VINAYA


1. Pancasila
Dalam pengamalan kehidupan beragama, setiap umat Buddha pada setiap kesempatan, khususnya dalam suatu upacara keagamaan selalu meminta sila seperti Pancasila dan Atthangasila kepada seorang bhikkhu. Tindakan ini mempunyai nilai spiritual, karena mereka telah mengucapkan tekadnya untuk melaksanakan sila di hadapan seorang bhikkhu, panutan umat Buddha yang senantiasa menjaga kesucian sila.
Pancasila adalah latihan moral tahap pertama dari seseorang untuk memasuki kehidupan beragama menurut agama Buddha. Sila ini bila dilaksanakan dengan baik akan membawa kehidupan swarga, baik sebagai manusia atau sebagai Dewata. Sila ini terdiri dari lima latihan moral, yaitu:
a. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
b. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pengambilan-barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya.
c. Kamesumicchacara veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila.
d. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari ucapan yang tidak benar.
e. Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhipadam samayami.
Aku bertekad akan melatih diri untuk menghin dari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan.
a. Panatipata.
Istilah ini terdiri dari kosakata: pana dan atipata. Kosakata pana, secara harfiah berarti makhluk atau kehidupan dan atipata berarti lepas dengan cepat. Gabungan kedua kosakata itu mempunyai makna membuat suatu makhluk, atau kehidupan mati, atau meninggal sebelum waktunya. Jadi, panatipata dapat disepadankan dengan pembunuhan.

Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut:
1. ada makhluk hidup (pano)
2. mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup (pannasanita)
3. berniat untuk membunuh (vadhabacittam)
4. melakukan usaha untuk membunuh (upakkamo)
5. makhluk itu mati melalui usaha itu (tena maranam).
Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran Sila pertama, oleh karena Sila berhubungan erat dengan Kamma, maka pembunuban ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu.
b. Adinnadana.
Istilah adinnadana terdiri dari kosakata: a, dinna dan adana. Kata a merupakan sebuah sangkalan dan dinna berarti barang yang diberikan oleh pemiliknya, maka adinna berarti barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya. Kosakata adana berarti mengambil barang atau merampas.
Gabungan ketiga kosakata itu, herarti mengambil barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya. Jadi, adinnadana dapat disepadankan dengan pencurian.
Suatu pencurian telah terjadi bila terdapat lima faktor, sehagai berikut:
1. suatu barang milik orang lain (para paringgabitam).
2. mengetabui bahwa barang itu ada pemiliknya (paraparinggabitamsannitam).
3. berniat untuk mencurinya (theyyacittam)
4. melakukan usaha untuk mengambilnya (upakkamo)
5. berhasil mengambil melalui usaha itu (tena baranam).
Yang dimaksud dengan berhasil melalui usaha itu adalah apabila harang itu telah berpindah dari tempat semula. Misalnya, pencurian kambing telah terjadi bila keempat kaki kambing itu telah berpindah tempat. Pencurian benda lain telah terjadi bila harang itu telah terangkat dari tempat barang itu terletak. Sebagai contoh: seseorang mencuri, tetapi tiba-tiba pemilik barang itu datang di tempat kejadian itu. Meskipun pencuri itu mengembalikan barang yang dicurinya ke tempat semula, dia tetap telah melakukan pencurian, karena barang itu telah berpindah tempat. Dia melanggar Sila kedua.
Demikian pula, bila seseorang tidak membayar hutangnya sesuai dengan waktu yang dijanjikan; jika kemudian orang yang meminjamkan uang itu menganggap uangnya telah hilang, karena tidak dibayar kembali, maka peminjam itu telah melakukan pencurian.
Pelanggaran Sila berakibat buruk, sesuai dengan kekuatan kehendak untuk mencuri, nilai barang yang dicuri dan tingkat kemajuan rohani pemiliknya, misalnya orang suci.
c. Kamesumicchacara.
Istilah kamemicchacara terdiri dari kosakata kama, miccha, dan cara. Kata miccha, berarti salah atau menyimpang; dan cara, berarti pelaksanaan atau perilaku. Sedangkan kamesu merupakan bentuk jamak dari kosakata kama pada kasus ketujuh tata bahasa Pali.
Kama, berarti: nafsu atau kesenangan indriawi. Ada lima kesenangan indria, yaitu; kesenangan indria-mata, kesenangan indria-telinga, kesenangan indria-hidung, kesenangan indria-lidah, kesenangan indria-kulit (permukaan jasmaniah yang merasakan sentuhan).
Jadi kamesumicchacara, berarti: pemuasan nafsu indriawi-nafsu indriawi yang menyimpang (dari yang dibenarkan) atau dengan kata lain memuaskan nafsu indriawi secara salah.
Kesenangan indria kulit yang dirasakan melalui sentuhan dalam konteks kamesumicchacara diartikan sebagai hubungan kelamin. Oleh karena pemuasan indria-kulit melalui sentuhan secara salah membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain dan menggangu ketentraman masyarakat, maka pengertian kamesu micchara ditekankan dan diartikan dengan "melakukan hubungan kelamin yang salah".
Kamesumicchacara telah terjadi bila terdapat lima faktor yang terdiri dari:
1. orang yang tidak patut untuk disetubuhi (agamantavitthu)
2. mempunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut (tasmim sevacittam).
3. melakukan usaha untuk menyetubuhinya (sevanappayogo)
4. berhasil menyetubuhinya.
Yang dimaksudkan dengan berhasil menyetubuhinya adalah berhasil memasukkan alat kelaminnya ke dalam salah satu dari rahim, dubur dan mulut walaupun sedalam biji wijen. Mengenai orang yang tidak patut disetubuhi (Agamaniaoutthu) adalah wanita-wanita sebagai berikut;
1. di bawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. di bawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. dalam perlindungan ayah dan ibunya (matapiturakkhita)
4. dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakhita)
5. dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita)
6. dalam perlindungan sanak-keluarganya (natirakkhita)
7. dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8. dalam perlindungan pelaksana Dhamma (dhammarakkhita)
9. yang sudah dipinang oleh raja atau orang-orang yang berkuasa (saparidanda)
10. yang sudah bertunangan (sarakkheta)
11. yang sudah dibeli oleh seorang lelaki, atau telah digadaikan oleh orang tuanya (dhanakkheta).
12. yang tinggal oleh lelaki yang dicintainya (chandavisini).
13. yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan harta benda (bhagavasini)
14. yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan barang-barang sandang (patavansini)
15. resmi menjadi istri seorang lelaki dalam suatu upacara adat istiadat (odapattagagini).
16. yang menjadi istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakan (abhatasumbatta)
17. tawanan yang kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (dhajabata).
18. pekerja yang dikawini oleh mijikannya (kammakaribhariya).
19. budak yang kemudian dikawini oleh majikannya (dasibhariya)
20. yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika).
Dari rincian di atas, kelihatan bahwa 12 terakhir yang mulai dari saparidanta (9) hingga muhuttika (20) adalah wanita yang mempunyai suami tanpa mempersoalkan latar belakang wanita atau motivasi perkawinan mereka.
Seorang yang menyetubuhi salah satu dari 20 jenis wanita tersebut di atas berarti telah melakukan hubungan kelamin yang salah dan melanggar Sila ketiga.
Pelanggaran ini akan berakibat buruk, yang berat ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan cara pelaksanaannya (misalnya, suatu perkosaan), serta status atau tingkat rohani dari wanita yang bersangkutan, misalnya seorang bhikkhuni atau mereka yang telah mencapai kesucian.
d. Musavada.
Istilah musavada terdiri kosakata musa dan vada. Kosakata musa, berarti sesuatu yang benar dan vada, berarti ucapan. Gabungan kedua kosakata itu mengandung makna mengucapkan sesuatu yang tidak benar. Istilah musavada dapat disepadankan dengan berbohong.
Musavada telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:
1. sesuatu atau hal yang tidak benar (atthama-vatthu)
2. mempunyai niat untuk menyesatkan (visamudanacittam)
3. berusaha untuk menyesatkan (tajjo vayamo)
4. orang lain jadi tersesat (parassa tadatthaavijanain).
Musavada tergolong perbuatan buruk (akusala-kammapatha), dan dapat dibedakan menurut akibatnya pada alam kelahiran. Suatu kebohongan tidak akan menyeret seseorang ke dalam alam kelahiran yang rendah, apabila tidak menimbulkan kerugian yang tidak berarti kepada yang dibohongi. Misalnya, seorang dokter yang memberikan keterangan yang tidak benar tentang penyakit pasiennya dengan tujuan agar orang sakit itu tidak cemas atau mengalami goncangan batin yang dapat membuat penyakit lebih parah lagi.
Demikian juga bila seseorang menolak memberi pinjaman uang karena alasan peminjam tidak masuk akal atau untuk hal yang tidak berguna dengan berkata tidak punya uang. Kebohongan ini tidak akan menyeret yang berbohong ke alam kelahiran yang rendah. Akan tetapi jika merugikan orang lain akan berakibat buruk baginya, misalnya: memberikan kesaksian palsu dalam pengadilan sehingga orang lain dihukum penjara.
Musavada dalam pengertian yang lebih luas mencakup: pisunavaca (memfitnah), pharusavaca (berkata kasar), dan samphappalapa (bergunjing atau pembicaraan yang tidak berguna).
e. Surameraya majjapamadatthana.
Istilah ini terdiri dari empat kosakata, yaitu: sura, meraya, majja, dan pamadatthana. Yang dimaksud dengan meraya adalah minuman keras yang didapat dari peragian dari berbagai bahan, antara lain: gula, tepung beras atau ketan, buah-buahan, misalnya anggur. Minuman ini bila disuling untuk meningkatkan aroma dan kekuatannya akan menjadi sura. Kedua jenis ini sama buruknya karena memperlemah pengendalian diri, dengan demikian menyebabkan seseorang melakukan apa yang ia tidak pernah mimpikan untuk melakukannya dalam saat-saat normal.
Majja, berarti sesuatu yang menyebabkan orang tidak sadarkan diri. Sedangkan pamadatthana, berarti: yang menjadi dasar atau landasan untuk timbulnya kelengahan, kecerobohan, kelaparan.
Sura mengacu kepada minuman keras yang disuling, meraya kepada minuman keras yang didapat dari bahan yang diragikan yang kedua-duanya menyebabkan lemahnya pengendalian diri dan majja mengacu kepada ganja, morfin, heroin dan sebagainya. Gabungan keempat kosakata itu mengandung pengertian: memakai/menggunakan sesuatu yang dapat memabukkan atau membuat tidak sadar diri, yang menjadi pamadatthana (dasar untuk timbuinya kelengahan atau kecerobohan). Oleh sebab itu suramerayameraya majja pamadatthana dapat disepadankan dengan: segala yang menyebabkan lemahnya kewaspadaan.
Sila kelima ini telah dilanggar, bila terdapat lima macam faktor sebagai berikut:
1. sesuatu yang merupakan sura, meraya, atau maja (suramerayamajjabhavo)
2. ada niat untuk meminum, menggunakannya (pivitukamata)
3. meminum/menggunakannya (pivanam)
4. timbul gejala-gejala mabuk (maddanam).
Menurut Buddhaghosa, suramerayamajjapamadatthana yang terdapat dalam Dasasila faktor keempat tersebut, ialah meminumnya hingga masuk melalui tenggorokan (pite ca pavisati).
Jadi, walaupun belum atau bahkan tidak mabuk, seorang samanera yang meminum minuman keras berarti telah melanggar Sila kelima. Penjelasan ini digunakan juga untuk menafsirkan istilah maddanam dalam Atthanga Sila.
Mereka yang tidak melaksanakan Pancasila yang merupakan latilian moral yang minimal, berarti mereka telah memotong akar kelahirannya sebagai manusia. Sang Buddha bersabda:
"Siapa saja yang memusnahkan makhluk hidup, berkata tidak benar di alam ini, mengambil yang tidak diberikan kepadanya atau pergi bersama isteri orang lain (untuk – memuaskan nafsu-indria yang salah) dan memuaskan diri demikian, memotong akar (kebajikan) dalam dirinya di alam ini" (Dhammapada 246 - 247).
Sila tersebut disebut manussa-dhamma (dhamma manusia), karena pelaksanaan sila ini akan mendapatkan kelahiran di tempat yang berbahagia. Kadar pelaksannan sila menentukan apakah ia akan terlahir sebagai dewa, atau manusia yang beruntung (manusasombhaggama) atau manusia yang sengsara (manusaadobhaggama).
2. Atthanga-Samanagata Uposatha
Di dalam kehidupan keagamaan, umat Buddha dalam satu bulan terdapat hari-hari khusus untuk melaksanakan peraturan latihan tertentu (sikkhapada). Hari khusus itu dipandang sebagai hari suci (sakral) disebut uposatha-divasa atau Hari Uposatha dan peraturan latihan itu adalah Atthagasamanagala Uposattha (Delapan unsur uposatha yang ada pada samana/sramana) atau Atthangika Uposatha (upostha dengan delapan unsurnya).
Dalam kehidupan sehari-hari Atthangika Uposatha disebut Atthangansila. Istilah ini tidak terdapat dalam Kitab Tipitaka dan tidak disebut Sila atau Atthangika uposatha. Dalam KitabAnguttara Nikaya dijumpai uraian rinci mengenai Atthangika Uposatha, di antaranya dalam Uposatha Sutta.
Hari Uposatha adalah hari-hari menjelang tanggal 1, 8, 15, dan 23 malam menurut penanggalan lunar. Biasanya terdapat empat hari Uposatha, jadi setiap tujuh hari atau dalam satu minggu terdapat satu hari Uposatha, tetapi kadangkala di dalam satu bulan terdapat lima Hari Uposatha. Pada kalender yang dibuat oleh umat Buddha tanggal jatuhnya hari Uposatha diberi tanda dengan warna tertentu, sehingga mempermudah bagi mereka yang akan melaksanakan Atthangika Uposatha.
Istilah uposatha arti harfiahnya adalah masuk untuk berdiam (Dalam keluhuran). Setiap Hari Uposatha tanggal 15, pertengahan bulan, digunakan oleh Sangha untuk mewedarkan Dhamma dan pada hari uposatha lain mereka gunakan untuk membacakan Patimokha Sila.
Para upasaka/upasika pada Hari Uposatha melaksanakan Uposathasila selama sehari semalam tinggal di vihara untuk mendengarkan khotbah Dhamma dan melatih samadhi; dan pada hari yang dipandang suci itu, mereka lebih banyak berbuat baik daripada hari biasa, antara lain: membersihkan vihara dan berdana kepada orang yang membutuhkan bantuan, terutama kepada Bhikkhu Sangha.
Mereka yang melaksanakan Atthangika Uposatha disebut Upasathan upavasati dan upacara memasuki uposatha disebut Upasatham samadiyati.
Dalam upacara memasuki hari Uposatha ini para upasaka/upasika merenungkan Atthangasamangata Uposatha (Uposatha paccavekkhanapatha) sebagni berikut:
(1) "Para bhikkhu ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat telah meninggalkan pembunuhan terhadap makhluk hidup (panatipata), sebagai orang yang menahan diri dan menghindari pembunuhan terhadap makhluk-makhluk hidup, telah meletakkan kayu pemukul, cambuk serta senjata-senjata yang lain, memiliki rasa malu, mempunyai rasa cinta kasih dan mengharap kebahagian bagi sesama makhluk hidup. Demikian selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, telah meninggalkan pembunuhan terhadap makhluk hidup (Panatipata), sebagai orang yang menahan diri dan menghindari pembunuhan terhadap makhluk hidup, kayu pemukul, cambuk serta senjata-senjita yang lain-lain telah kita letakkan, memiliki rasa malu, mempunyai rasa cinta kasih dan mengharapkan kebahagian bagi sesama makhluk hidup. Selama satu hari satu malam pada hari ini.
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dapat mengikuti jejak para Arahat. Uposatha yang demikian ini ada pada diri kita, kita telah menjaganya.
(2) Para Bhikkhu, ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat telah meninggalkan mengambil barang yang tidak diberikan oleb pemiliknya (addinnadana). Sebagai orang yang menahan diri dan menghindari mengambil barang yang tidak diberikan, hanya mengambil yang mereka berikan. Berperilaku baik, bukan seorang pencuri, bertingkah-laku bersih. Demikian ia selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, telah meninggalkan mengambil barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya. Sebagai orang yang menahan diri mengambil barang yang tidak diberikan, hanya mengambil barang yang diberikan, berkehendak hanya terhadap barang yang diberikan. Berperilaku baik, bukan seorang pencuri, bertingkah-laku bersih. Selama satu hari satu malam pada hari ini.
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dapat mengikuti jejak para Arahat. Uposatha yang demikian ini ada dalam diri kita. Kita telah menjaganya.
(3) Para Bhikkhu, ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat telah meninggalkan hubungan kelamin (brahmacari) yang merupakan musuh bagi kehidupan samana. Menjalankan kehidupan seorang samana, menjauhi atau menghindari perbuatan yang tidak pantas, tidak menyalahgunakan kehidupan seperti selayaknya seorang perumahtangga. Demikian ia selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, telah meninggalkan hubungan kelamin yang merupakan musuh bagi kehidupan Pertapa, menjalankan kehidupan seperti Pertapa, menghindari dari perbuatan yang tidak pantas. Tidak menjalankan kehidupan seperi layaknya seorang perumahtangga. Selama satu hari satu malam pada hari ini.
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dapat mengikuti jejak para Arahat. Uposatha yang demikian ini ada dalam diri kita. Kita telah menjaganya.
(4) Para bhikkhu, ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat telah meninggalkan ucapan yang tidak benar (Musavada), sebagai orang yang menghindari darl ucapan yang tidak benar, hanya mengatakan yang sesungguhnya, mempunyai kata-kata yang pasti, berkata dengan disertai alasan-alasan, tidak berbicara yang menyebabkan timbulnya kesalahpahaman (pandangan tidak benar) terhadap lingkungan sekitar (dunia), Demikianlah ia selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, telah meninggalkan ucapan yang tidak benar, sebagai orang yang menghindari kata-kata yang tidak benar, hanya mengatakan yang sesungguhnya, mempunyai kata-kata yang pasti, berkata dengan disertai alasan-alasan, tidak berbicara yang menimbulkan kesalahpahaman (pandangan salah) terhadap lingkungan sekitarnya (dunia). Demikian selaina satu hari satu malam pada hari ini.
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dapat mengikuti jejak (perbuatan) paraArahat. Uposatha yang demikian ini ada dalam diri kita, kita telah menjaganya.
(5) "Para bhikkhu ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat telah meninggalkan sebab-sebab yang dapat melemahkan pengendalian diri, seperti minuman keras yang dapat menyebabkan mabuk, lemahnya pengendalian diri. Sebagai orang yang menjauhi atau menghindari dari hal-hal yang dapat menyebabkan lemahnya pengendalian diri. Demikianlah ia selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, telah meninggalkan sebah-sebab yang dapat melemahkan pengendalian diri, seperti minuman keras (Surameraya) yang dapat menyebabkan mabuk, lemah kesadaran. Sebagai orang yang menjauhi atau menghindari dari hal-hal yang dapat menyebabkan lemahnya pengendalian diri. Demikianlah selama satu hari satu malam pada hari ini.
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dapat mengikuti jejak para Araliat. Uposatha yang demikian ini ada dalam diri kita, kita telah menjaganya.
(6) "Para bhikkhu, ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat makan makanan dalam satu waktu, tidak makan makanan (yang tidak diijinkan) pada waktu malam hari. Menghindari dari makan makanan pada waktu yang salah (Vikala). Demikian ia selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, makan makanan dalam satu waktu, tidak makan makanan (yang tidak diijinkan) pada waktu malam hari. Menghindari diri dari makan makanan dalam waktu yang salah. Demikian selama satu hari satu malam pada hari ini. 
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dapat mengikuti jejak para Arahat. Uposatha yang demikian ini ada dalam diri kita. Kita telah menjaganya.
7. "Para bhikkhu, ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat telah tidak menari, menyanyi, bermain alat musik, melihat pertunjukan, yang merupakan musuh dari perbuatan menuju kepada kesucian. Tidak menghias dirinya dengan bunga-bungaan, wangi-wangian serta alat kosmetik lain dengan tujuan memperindah diri. Para Arahat telah menghindari hal-hal tersebut. Demikianlah ia selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, telah meninggalkan perbuatan menari, menyanyi, bermain alat musik, melihat pertunjukan yang merupakan musuh dari perbuatan menuju kesucian. Tidak menghias diri dengan bunga-bungaan, wangi-wangian serta alat kosmetik lainnya yang dengan tujuan mempercantik diri, kita telah menghindari hal-hal tersebut, Demikianlah selama satu hari satu malam pada hari ini. 
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dapat mengikuti jejak para Arahat. Uposatha yang demikian ini ada dalam diri kita. Kita telah menjaganya.
8. "Para bhikkhu, ariyasavaka dalam ajaran ini hendaknya merenungkan demikian:
Para Arahat telah meninggalkan pakaian, tempat duduk, tempat tidur yang tinggi dan mewah. Menghindari memakai tempat duduk, tempat tidur yang tinggi dan mewah. Merasa cukup dengan duduk dan tidur di tempat yang rendah, yaitu di atas dipan atau tempat yang dialasi dengan rumput. Demikian selama hidupnya.
Demikian pula diri kita, telah meninggalkan pemakaian tempat duduk, tempat tidur yang tinggi dan mewah. Menghindari memakai tempat-tempat tersebut. Merasa cukup dengan duduk dan tidur di tempat yang rendah, yaitu di atas dipan atau tempat yang dialasi dengan rumput. Demikian selama satu hari satu malam pada hari ini.
Walaupun hanya dengan bagian ini, berarti kita telah dipat mengikuti jejak para Arahat. Uposatha yang demikian ini ada dalam diri kita dan telah menjaganya.
Para bhikkhu, Uposatha yang terdiri dari delapan hagian yang telah ada pada pahala para Arahat ini apabila telah dijalankan dan dengan cara demikian akan memberikan hasif atau pahata yang besar, akan membawa kemajuan, kemakmuran yang maha besar. Demikian sabda Bhagava.
Setelah mendengar sabda Bhagava tersebut batin para bhikkhu diliputi kebahagian luhur, merasa puas dengan sabda Beliau.
Umat Buddha yang baik akan menghindari hal-hal yang bertentangan dengan Uposathasila.
Membuat pikiran mereka selalu terarah kepada Uposathasila, dan tidak ke arah yang lain. Mengucapkan Uposathasila dengan penuh hormat dan melaksanakan sesuai dengan kemampuannya sebagai perumah tangga. Pelaksanaan Uposathasila dipandang sebagai penghormatan tertinggi terhadap sang Buddha. Dalam kehidupan keagamaan baik pada hari Uposathasila atau pada hari-hari biasa umat Buddha memohon Uposathasila dalam rumusan sebagai berikut:
1. Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan.
3. Abrahamcariya veramani sikkhadapam samadiyayami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari hubungan kelamin.
4. Musavada veramni sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan salah.
5. Suramerayamajapamadatthana veramani sikkhapadam samdiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman yang dapat meyebabkan lemahnya kesadaran.
6. Vikalabhojana veramni sikkhadapam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari makan makanan pada waktu yang salah (setelah jam 12 siang).
7. Naccagitavaditavisukadassana malagandhavilepana dharanamandana vibhusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain musik dan melihat tontonan-tontonan.
8. Uccasayana mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami.
Aku bertekad melatih diri menghindari memakai perhiasan, wangi-wangian dan alat kosmetik untuk tujuan menghias dan mempercantik diri.
Kedelapan unsur tersebut adalah sikkhadapa dan tidak disebutkan sebagai Sila atau sikkhapada dalam Kitab Tipitaka, tetapi Atthangasamanagata Uposatha atau atthangka Uposattha. Dalam permohonan Sila (aradhana sila), untuk memudahkan umat waktu mengucapkannya disebut Atthangasila).
Bagian pertama sampai dengan kelima dari Attangasila adalah sila, sedangkan yang keenam (vikalabhojana) sampai kedelapan adalah sikkhapada. Latihan ini merupakan peningkatan dari Paca­sila. Dalam Pancasila orang masih diperkenankan memuaskan nafsu-indriaiwi yang tidak bertentangan dengan Pancasila, tetapi dalam Atthangasila orang sama sekali tidak diperbolehkan lagi memuaskan nafsu-indriawi, bahkan memperindah diri dengan kosmetik dan perhiasan serta menggunakan tempat tidur yang mewah.
Dalam latihan ini orang tidak diperkenankan makan lewat tengah hari, kecuali makanan yang dipandang sebagai obat dan cairan yang tertentu. 
3. Vyagghapajja Sutta
Demikianlah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berdiam di sebuah kota perdagangan suku Koliya yang disebut Kakkarapatta. Dighajanu, salah seorang suku Koliya, menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat, lalu ia duduk di samping Beliau. Setelah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagava sebagai berikut:
"Kami, Bhante, adalah upasaka yang masih menyenangi kesenangan duniawi. Kami menjalani hidup dibebani oleh anak dan istri. Kami mempergunakan wangian dari Kasi. Kami menghiasi diri kami dengan kembang, minyak wangi dan krem. Kami mempergunakan emas dan perak. Kepada mereka yang seperti kami ini, Bhante, berkenanlah Sang Bhagava memberikan Dhamma, ajarkanlah segala sesuatu yang membawa kekayaan dan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang".
Empat keadaan, Vyagghapajja, yang akan membawa kekayaan dan kebahagiaan bagi gharavasa dalam kehidupan sekarang. Apakah yang empat itu?
Memiliki ketekunan (utthana-sampada), memiliki keseksamaan (arakkha-sampada), sahabat yang baik (kalyana-mitta) dan hidup serasi, selaras serta seimbang (sama-jivikata).
a. Apakah yang dimaksud dengan memiliki ketekunan?
Dalam hal ini, Vyagghapajja adalah, apapun yang dilakukan oleh gharavasa untuk memenuhi kebutuhannya, baik sebagai petani, pedagang, peternak, berburu, penjahat atau dengan keahlian lainnya dia harus ahli dan tidak malas. Dia dilengkapi ketajaman mengenai cara dan jalan yang benar; dia mampu melaksanakan dan memberikan tugas. Inilah yang dimaksudkan dengan memiliki ketekunan.
b. Apakah yang dimaksudkan dengan memiliki keseksamaan?
Dalam hal ini, Vyagghapajja, kekayaan apapun yang dimiliki gharavasa, yang dimiliki berkat kerja keras, dengan jerih payah sendiri, dengan cucuran keringat, yang diperoleh dengan cara yang halal berhemat dengan melindungi dan menjaga, sehingga raja-raja tidak menyitanya, pencuri-pencuri tidak mencurinya, tidak terbakar dan tidak di hanyutkan oleh air atau tidak juga diambil oleh pewaris-pewaris yang bersikap tidak baik. Inilah yang dimaksudkan dengan memiliki keseksamaan.
c. Apakah yang dimaksudkan dengan sahabat yang baik?
Dalam hal ini, Vayagghapajja, di desa atau di kota apapun gharavasa tinggal, dia bergaul, bercakap-cakap, berbincang-bincang dengan gharavasa atau anak dari gharavasa, baik yang muda dan sangat terpelajar maupun yang tua dan sangat terpelajar; memiliki keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), kedermawanan (caga) dan kebijiksanaan (panna).
Dia berbuat sesuai dengan keyakinan orang yang memiliki keyakinan, sesuai dengan kebajikan orang yang memiliki kebajikan, sesuai dengan kedermawanan orang yang memiliki sifat orang kedermawanan. Inilah yang dimaksudkan dengan memiliki pergaulan yang baik.
d. Apakah yang dimaksudkan dengan kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang?
Dalam hal ini, Vyagghappajja, seorang gharavasa yang mengetahui penghasilan dan pengeluarannya akan mengatur hidupnya seimbang, tidak boros maupun tidak pelit. Dengan pengetahuan itu ia akan membuat pemasukannya akan lebih besar dari pengeluarannya, bukannya pengeluarannya lebih besar dari pemasukkannya.
Seumpama pedagang emas atau muridnya mengetahui cara mempergunakan timbangan-emas, dengan naiknya lengan timbangan sekian akan turun lengan lainnya sekian. Demikian pula gharavasa yang mengetahui pemasukkan dan pengeluarannya akan hidup seimbang, tidak boros dan juga tidak pelit. Dengan pengetahuannya itu, ia akan membuat penghasilannya akan lebih banyak dari pengeluarannya, bukan pengeluarannya lebih banyak dari penghasilannya.
Vyagghapajja, jika seorang gharavasa yang penghasilannya kecil hidup boros, orang akan berkata: orang ini menikmati kekayaannya seperti seorang yang makan apel-hutan (udumbarakhadaka). Vyagghapajja, jika seorang yang berpenghasilan besar menjalani hidup susah sekali (karena pelit), ada orang akan berkata: Orang ini akan mati seperti orang kelaparan.
Harta yang dikumpulkan demikian, Vyagghapajja, akan lenyap dalam empat cara, yaitu:
(1) Pesta pora yang berlebih-lebilian, (2) mabuk-mabukkan, (3) perjudian dan (4) persahabatan, pergaulan dan kekariban dengan orang jahat.
Sebagaimana halnya sebuah tangki air yang besar yang mempunyai empat saluran air masuk dan empat saluran air ke luar. Bila orang membuka saluran air ke luar dan menutup saluran air masuk, dan tidak ada hujan yang cukup deras, maka air akan berkurang, tidak akan bertambah dalam tangki tersebut. Demikian juga ada empat jalur untuk menghabiskan harta kekayaan yang telah ditimbun yaitu: mengadakan pesta-pora yang berlebih-lebihan, mabuk-mabukkan, perjudian dan persahabatan, pergaulan dan keakraban dengan orang-orang yang jahat.
Ada empat persyaratan untuk memperbanyak harta kekayaan yang telah ditimbun, yaitu:
(1) tidak mengadakan pesta-pora yang berlebih-lebihan, (2) tidak bermabuk-mabukkan, (3) tidak terlibat dalam perjudian dan (4) berteman, bergaul dan akrab dengan orang baik.
Sebagaimana halnya sebuah tangki air yang besar yang memiliki empat saluran air masuk dan empat saluran air ke laur, jika seseorang membuka saluran masuk dan menutup saluran ke luar dan cukup banyak air hujan, maka air dalam tangki dapat diharapkan akan bertambah banyak dan tidak akan berkurang. Demikian juga, ada empat persyaratan untuk memperbanyak harta kekayaan yang telah ditimbun.
Empat persyaratan ini, Vyagghapajja, yang membawa kekayaan dan kebahagian bagi gharavasa dalam hidup sekarang ini.
Empat persyaratan, Vyagghapajja, yang membawa kekayaan dan kebahagian bagi gharavasa dalam masa yang akan datang.
Apakah yang empat itu?
Memiliki keyakinan (saddha-sampada), memiliki kesusilaan (sila), memiliki kedermawanan (caga-sampada) dan memiliki kebijaksanaan (panna-sampada).
a. Apakah memiliki kepercayaan itu?
Dalam hal ini, seorang gharavasa memiliki kepercayaan, ia percaya Penerangan Sempurna Tathagata:
Demikianlah sesungguhnya Sang Bhngava: Arahat (Orang Suci), Sammasambuddho (telah mencapai penerangan Sempurna), Vijjacaranasampano (Sempurna pengetahuan dan laku-1ampahNya), Sugato (telah sampai di tempat yang benar), Lokavidhu (mengenal semua alam), Anuttaro purisadhammasarathi (pelatih makhluk yang tidak ada bandingannya). Sattha devamanussanam (guru paradewa dan manusia), Buddho (yang telah bangun) dan Bhagava (yang layak dihormati). Inilah yang disebut memiliki kepercayaan.
b. Apakah memiliki Sila?
Dalam hal ini, seorang gharavasa tidak melakukan pembunuhan, pencurian, hubungan kelamin yang salah, ucapan yang salah dan minuman yang menyebabkan lemahnya kesadaran dan pengendalian diri. Inilah yang disebut memiliki Sila.
c. Apakah yang disebut memiliki kedermawaan?
Dalam hal ini, seorang gharavasa menempati rumah dengan hati yang bebas dari keserakahan, senantiasa berdana, murah hati, senang dengan kedermawanan, mempehatikan kebutuhan orang lain, senang dalam membagikan sedekah. Inilah yang disebut memiliki kedermawaan. 
d. Apakah memiliki kebijaksanaan?
Dalam hal ini, seorang gharavasa adalah bijaksana: Dia diberkahi dengan kebijaksanaan yang memahami timbul dan lenyapnya (lima kelompok-unsur makhluk hidup): dia memiliki pandangan-terang yang bersih yang membawa lenyapnya penderitaan. Inilah yang disebut memiliki kebijaksanaan.
Empat kondisi ini, Vyagghapajja, yang membawa gharavasa sejahtera dan berbahagia dalam hidup yang akan datang.
Bersemangat dan cermat dalain tugasnya,
dengan bijaksana mengatur kekayaannya, 
ia hidup sesuai dengan penghasilan,
memelihara apa yang telah diperolehnya.
Juga diberkahi dengan keyakinan dan kesusilaan,
ia murah hati dan bebas dari kekikiriti;
ia selalu mengembangkan magga.
Itulah yang membawa kesejahteraan dalam hidup yang akan datang.
Demikian pula bagi upasaka yang penuh keyakinan,
baginya demikian sesungguhnya yang disebut
mencapai Penerangan Sempurna.
Delapan kondisi yang membawa kebahagian dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang telah disabdakan.
Delapan kondisi yang membawa kebahagian dalam 
kehidupan sekarang dan yang akan datang telah disabdakan
Keterangan Vyagghapjja Sutta
Vyagghapajja adalah nama keluarga dari Dighajanu yang tinggal di kota Kakkarapata, Kerajaan Koliya. Oleh sebab itu khotbah Sang Buddha kepada Dighajanti disebut Vyaghapajja Sutta. Dalam sutta itu disebutkan Dighajanu sewaktu menguji sang Buddha memohon agar berkenan memberikan suatu ajaran yang berguna bagi upasaka yang berkeluarga, mempunyai istri dan anak untuk mendapatkan kebahagian dalam kehidupan sekarang dan akan datang.
Sabda Sang Buddha yang berguna untuk mendapatkan kebahagian dalam kehidupan sekarang dan akan datang dirangkum sebagai berikut:
1. Ia ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap pekerjaan dan mengerti pekerjaan yang dilakukannya dengan baik.
2. Ia pandai melindungi penghasilannya yang diperolehnya dengan pekerjaan yang halal dan dengan mencucurkan banyak keringat, bahkan melipat gandakannya.
3. Ia mencari pergaulan yang baik, yang setia kepadanya, terpelajar, baik budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan membantunya dengan cara yang benar, jauh dari kejahatan.
4. Ia dapat hidup dalam batas-batas kemampuannya, dan sesuai dengan penghasilannya serta tidak boros.
5. Ia mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai moral, spritual dan intelektual.
6. Ia menjauhkan diri dari pembunuhan, dari penipuan dan pencurian, dari hubungan kelamin yang salah, dari ucapan salah dan dari minuman keras.
7. Ia suka menolong orang lain, baik hati dan tidak kikir.
8. Ia melatih diri dan mengembangkan pandangan-terang yang akan membawanya keselamatan dan kebahagian yang kekal, yaitu: Nibbana.
Dari Vyagghapajja Sutta terlihat bahwa Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi perlu untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan dunlawi ini, tetapi Belinu tidak memandang kemajuan ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan dengan mengabaikan dasar-dasar moral dan spiritual.
Dari Sabda sang Buddha tersebut di atas kelihatan bahwa biarpun Beliau menganjurkan kemajuan material, sang Buddha selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral dan spiritual untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman dan sejahtera.

4. Parabbava Sutta
"Demikianlah yang saya dengar: Pada suatu ketika sang Bhagava sewaktu berdiam dekat Savatthi di Jetavana dalam asrama persembahan Anathapindika. Ketika menjelang subuh, datanglah menghadap sang Bhagava, seorang dewa yang bercahaya gemerlapan menerangi seluruh taman Jeta, ia berdiri pada salah satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava sebagai berikut:
1. "Kami ingin bertanya kepada Yang Mulia Gotama, tentang orang yang menghadapi penderitaan. Kami telah datang untuk bertanya kepada Sang Bhagava, apakah sebab terjadinya penderitaan (apaya mukkha) itu?
2. Orang yang sejahera mudah diketahui, orang yang menghadapi penderitaan mudah pula diketabhui. Orang yang mencintai Dhamma akan sejahtera, dan orang yang mengingkari Dhamma akan mengalami penderitaan.
3. Demikianlah kami telah mengetahui, sebab penderitaan yang pertama. Kami mohon agar Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderitaan yang kedua.
4. Ia yang mencintai orang-orang jahat, dan tidak berbuat sesuatu yang menyenangkan orang baik-baik, tetapi menyenangi kejahatan dan tipu muslihat, inilah sebab pendertian.
5. Demikianlah, kami telah mengetahui sebab penderitaan kedua dan kami mohon agar Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebah penderitiaan ketiga.
6. Orang yang senang tidur, senang pergaulan yang foya-foya, malas, mudah tersinggung, tidak bersemangat, inilah sebah penderitaan.
7. Demikianlah, kami telah mengetahui sebab penderitaan ketiga dan kami mohon ........ agar Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab pendertiam keempat.
8. Orang berada dalam keadaan makmur, tetapi tidak menyokong ibu atau ayahnya yang telah tua dan lemah, inilah sebab penderitaan.
9. Demikianlah kami telah mengetahui sebab pendertiaan keempat. Kami mohon agar Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderitaan kelima.
10. Ia yang dengan berbohong menipu seorang brahmana atau samana, atau para suci lainnya inilah sebab penderitan.
11. Demikianlah kami telah mengetahui sebab penderitaan kelima. Kami mohon sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderitaan keenam.
12. Orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah (emas dan makanan), namun ia hanya memakainya untuk dirinya sendiri tanpa membagikannya pada orang lain (yang membutuhkannya), inilah sebab penderitan.
13. Demikianlah kami telah mengetahui sebab penderitam keenam. Kami mohon agar Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderitaan ketujuh.
14. Orang yang merasa sombong atas keturunannya, kekayaannya dan sukunya, bahkan merendahkan sanak ke luarganya sendiri, inilah sebab penderitan.
15. Demikianlah kami telah mengetahui sebab penderitam yang ketujuh. Kami mohon Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderiman kedelapan.
16. Ia yang menyerahkan dirinya pada wanita-wanita, minuman keras, perjudian serta menghamburkan apa yang diperolehnya dengan susah payah, inilah sebab penderitaan.
17. Demikianlah kami telah mengetahui sebab pendertaan kedelapan. Kami mohon agar Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderitam yang kesembilan.
18. Orang yang tidak puas dengan istrinya sendiri, berhubungan dengan wanita-wanita pelacur, serta terlihat bersama-sama dengan istri orang lain, inilah sebab penderiman.
19. Demikianlah kami telah mengetahui sebab pendertinan yang kesembilan. Kami mohon Sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderitaan yang kesepuluh.
20. Orang yang telah melewati masa mudanya, tetapi membawa pulang seorang wanita yang berpayudara seperti buah timbaru, dan tidak dapat tidur karena merasa cemburu terhadap dia, sebab penderitam.
21. Demikianlah kami telah mengetahui, sebab penderitam yang kesepuluh. Kami mohon Sang Bhagava agar berkenan menjelaskan sebab penderitaan yang kesebelas.
22. Ia yang memuliakan seorang wanita yang serakah, yang suka menghamburkan harta kekayaan, atau lelaki yang sejenis itu, inilah sebab penderitaan.
23. Demikianlah kami telah mengetahui, sebab pendertaan yang kesebelas. Kami mohon sang Bhagava berkenan menjelaskan sebab penderiman yang keduabelas.
24. Ia yang memiliki sedikit kekayaan, tetapi mempunyai banyak keinginan, terlahir sebagai seorang kesatria dan mengharapkan sebuah kerajaan, inilah sebab penderiman.
25. Orang bijaksana yang mengetahui dengan baik sebab-sebab dari penderitaan ini, orang mulia itu yang mendapat berkah kesempurnaan-pandangan akan hidup dalam dunia-kemenangan.
Dalam Manggala Sutta terdapat petunjuk-petunjuk yang mengangkat harkat manusia dan membawa kemajuan serta kebahagian, baik duniawi maupun dalam kehidupan spritual yang tinggi sehingga mencapai Nibbana. Parabhava Sutta melengkapinya dengan menunjukkan gerbang menuju kependeritaan (apaya mukkha).
Parabbava Sutta ini berisikan jawaban Sang Buddha atas pertanyaan dewa tentang sebab-sebab kejatuhan. Barang siapa membiarkan dirinya hanyut dalam 12 arus noda-noda perilaku seperti yang disebutkan dalam sutta itu, akan membawanya hanyut jauh dari kemajuan mental dan spritual dalam dunia ini serta merendahkan harkat dan segala yang agung dalam dirinya.
Akan tetapi, barang siapa selalu waspada terhadap 12 noda perilaku yang tidak baik tersebut akan selalu terbuka jalan baginya untuk mencapai 38 berkah tertinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar