Kamis, 23 Februari 2012

SOBHANA CETASIKA


Sobhana Cetasika berarti bentuk-bentuk batin yang baik. Disebut demikian karena cetasika ini umum bagi seluruh kejadian moral yang baik dari kesadaran. Cetasika ini muncul dalam kombinasi yang beraneka ragam dalam pernyataan kesadaran yang baik. Jadi, Sobhana Cetasika sebagai bentuk-bentuk batin yang baik ini selalu timbul mengikuti kesadaran atau pikiran yang baik.

Pembagian Sobhana Cetasika
Sobhana Cetasika berjumlah dua puluh lima jenis yang terbagi atas empat kelompok, yaitu
1.      Sobhanasadharana Cetasika, yang terdiri atas sembilan belas jenis.
2.      Virati Cetasika, yang terdiri atas tiga jenis.
3.      Appamanna Cetasika, yang terdiri atas dua jenis.
4.      Pannindriya Cetasika, yang terdiri atas satu jenis.

Sobhanasadharana Cetasika
Sobhanasadharana Cetasika berarti bentuk-bentuk batin yang bersekutu hanya dengan kesadaran atau pikiran yang baik. Jika pikiran baik muncul, maka bentuk-bentuk batin ini juga ikut muncul.

Sobhanasadharana Cetasika terdiri atas sembilan belas jenis, yaitu Saddha, Sati, Hiri, Ottappa, Alobha, Adosa, Tatramajhattata, Kayapassadhi, Cittapassadhi, Kaya lahuta, Citta lahuta, Kaya muduta, Citta muduta, Kaya kammannata, Citta kammannata, Kaya pagunnata, Citta pagunnata, Kayujukata, dan Cittujukata.

Saddha berarti keyakinan. Umat Buddha seyogyanya mempunyai keyakinan yang teguh terhadap Sang Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha). Keyakinan umat Buddha terhadap Sang Triratna bukan merupakan keyakinan yang membuta, tetapi keyakinan berdasarkan pengertian yang benar. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat menjadi umat Buddha yang tidak akan beralih agama sampai kapan pun.

Sati berarti kesadaran atau ingatan atau perhatian terhadap segala sesuatu yang baik sehingga tidak pernah lupa pada sesuatu yang baik itu. Umat Buddha seyogyanya memiliki sati. Mereka hendaknya selalu ingat akan segala sesuatu yang baik, seperti ajaran-ajaran Sang Buddha, paritta-paritta suci, patung atau gambar Buddha, para bhikkhu yang menjalankan vinaya dengan baik, orang tua yang bijaksana, dan lain-lain. Dengan demikian, pikiran-pikiran yang tidak baik tidak akan mempunyai kesempatan untuk muncul.

Hiri berarti malu, yaitu malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Hiri juga berarti tahu diri. Umat Buddha seyogyanya memiliki hiri. Mereka hendaknya mempunyai rasa malu untuk berbuat jahat, sehingga mereka tidak akan berbuat jahat. Mereka juga hendaknya tahu diri, tidak menuntut terlalu banyak, tidak merongrong harta orang tua, dan sebagainya.

Ottappa berarti takut, yaitu takut akan akibat dari perbuatan jahat. Ottappa juga berarti hati-hati. Umat Buddha seyogyanya memiliki ottappa. Jika mereka akan berbuat jahat, maka mereka hendaknya membayangkan akibat yang akan diterimanya nanti. Jadi, mereka hendaknya mempunyai rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat, sehingga mereka tidak akan berbuat jahat. Mereka juga hendaknya hati-hati, agar segala tindakannya tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Jika semua manusia di dunia ini memiliki ottappa dan juga hiri, maka dunia akan menjadi aman dan damai. Oleh sebab itu, hiri dan ottappa dikatakan sebagai Dhammalokapala yang berarti Dhamma pelindung dunia.

Alobha berarti ketidakserakahan, atau ketidakcenderungan pikiran terhadap objek. Alobha disebut juga Nekkhammadhatu atau anabhijjha. Nekkhammadhatu berarti unsur pengingkaran diri atau meninggalkan keduniawian, sedangkan anabhijjha berarti tidak mempunyai nafsu loba. Orang yang memiliki alobha tentu suka berdana, memiliki kemurahan hati, dan dermawan. Umat Buddha seyogyanya memiliki sifat alobha. Mereka hendaknya suka berdana, mau membantu orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Dengan berdana, mereka telah dapat melepaskan kemelekatan terhadap sebagian harta benda yang dimilikinya. Perbuatan dana yang mereka lakukan ini tentu akan membuahkan hasil yang manis, yaitu antara lain berupa kaya raya.

Adosa berarti ketidakbencian, atau secara etis berarti persahabatan, yaitu kecenderungan dari pikiran ke arah objeknya, atau kemurnian dari pikiran. Adosa disebut juga abyapada atau ketiadaan kemauan jahat, metta atau cinta kasih tanpa pamrih. Umat Buddha seyogyanya memiliki sifat adosa. Mereka hendaknya tidak membenci siapa pun karena membenci merupakan sifat buruk yang akan mengakibatkan penderitaan. Mereka hendaknya selalu memancarkan cinta kasih yang tanpa pamrih kepada semua makhluk, termasuk terhadap orang-orang yang pernah menyakitinya.

Tatramajjhattata berarti keseimbangan pikiran, yaitu sikap pikiran yang tidak terikat pada suatu objek dan tidak takut pun tidak benci kepada objek itu. Tatramajjhattata disebut juga upekkha atau keseimbangan batin. Umat Buddha seyogyanya memiliki sifat tatramajjhattata. Mereka hendaknya tidak sombong bila dipuji dan tidak kecewa bila dicela. Mereka hendaknya tetap tenang kala musibah datang beruntun menimpanya. Batin mereka hendaknya tidak tergoncang dalam menghadapi segala bentuk penderitaan.

Kayapassadhi berarti ketenangan dari bentuk-bentuk batin (cetasika khandha, yang terdiri atas vedana khandha, sanna khandha, dan sankhara khandha) dalam pekerjaan yang baik. Sedangkan, citta passadhi berarti ketenangan dari pikiran (vinnana khandha) dalam pekerjaan yang baik.

Kayalahuta berarti kegembiraan dari bentuk-bentuk batin (Cetasika khandha) dalam pekerjaan yang baik. Sedangkan, citta lahuta berarti kegembiraan dari pikiran (vinnana khandha) dalam pekerjaan yang baik.
Kayamuduta berarti sifat menurut dari bentuk-bentuk batin (cetasika khandha) dalam pekerjaan yang baik. Sedangkan, citta muduta berarti sifat menurut dari pikiran (vinnana khandha) dalam pekerjaan yang baik.
Kayakammannata berarti sifat menyesuaikan diri dari bentuk-bentuk batin (cetasika khandha). Sedangkan, Citta kammannata berarti sifat menyesuaikan diri dari pikiran (vinnana khandha).
Kayapagunnata berarti kemampuan dari bentuk-bentuk batin (cetasika khandha) dalam pekerjaan yang baik. Sedangkan, Citta pagunnata berarti kemampuan dari pikiran (vinnana khandha) dalam pekerjaan yang baik.
Kayujukata berarti ketulusan atau kejujuran dari bentuk-bentuk batin (cetasika khandha) dalam pekerjaan yang baik. Sedangkan, Cittujukata berarti ketulusan atau kejujuran dari pikiran (vinnana khandha) dalam pekerjaan yang baik.


Virati Cetasika
Virati Cetasika berarti bentuk-bentuk batin yang terbebas dari kejahatan sebagai pemimpin. Virati Cetasika terdiri atas tiga jenis, yaitu Samma Vaca, Samma Kammanta, dan Samma Ajiva.

Samma Vaca berarti ucapan benar. Ucapan benar mencerminkan tekad untuk menahan diri dari berbohong (musavada), memfitnah (pisunavaca), bicara kasar (pharusavaca), dan omong kosong (samphappalapa). Umat Buddha seyogyanya berbicara benar. Mereka hendaknya tidak berdusta, agar mereka dipercaya oleh khalayak ramai. Mereka hendaknya tidak memfitnah siapa pun karena fitnahan dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, perpecahan, dan ketidakrukunan antara individu-individu atau golongan-golongan. Mereka hendaknya berusaha tidak menyinggung perasaan orang lain, di antaranya dengan tidak mengucapkan kata-kata yang kasar, pedas, tidak sopan, jahat, atau berupa caci maki. Mereka juga hendaknya tidak melakukan percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat, sia-sia, dan pergunjingan karena hal ini akan merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Umat Buddha hendaknya dapat mengucapkan kata-kata yang lembut, enak didengar, menyenangkan, menarik hati, dan sopan. Bila mereka telah mendengar sesuatu ucapan yang dapat menimbulkan perpecahan, maka mereka hendaknya tidak menyampaikannya kepada orang yang bersangkutan. Mereka hendaknya dapat menjaga kerukunan di antara sesama umat Buddha dan umat-umat lainnya. Dalam Majjhima Nikaya bab I ayat 345 dikatakan bahwa umat Buddha seyogyanya berbicara sesuatu yang benar, bernilai, sesuai dengan kenyataan, pada saat yang tepat, tentang kebajikan, tentang Dhamma, dan tentang Vinaya.

Samma Kammanta berarti perbuatan benar. Perbuatan benar berarti perbuatan yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Melakukan perbuatan benar berarti mengembangkan kelakuan bermoral, mulia, dilandasi oleh cinta kasih dan kasih sayang. Melakukan perbuatan benar berarti menghindari membunuh, menghindari mencuri, dan menghindari berzinah.

Samma Ajiva berarti penghidupan benar atau mata pencaharian benar. Umat Buddha seyogyanya mempunyai mata pencaharian yang tidak merugikan orang lain. Mereka hendaknya tidak melakukan penipuan, pengkhianatan, penujuman, tipu muslihat, atau pemerasan. Bila mereka berdagang, maka mereka hendaknya berusaha menghindari lima bentuk perdagangan salah, yaitu berdagang senjata, makhluk hidup, daging, minuman keras (termasuk obat-obat bius), dan racun.

Appamanna Cetasika
Appamanna Cetasika berarti bentuk-bentuk batin yang tidak terbatas. Disebut demikian karena objek-objek tersebut tanpa batas. Appamanna Cetasika terdiri atas dua jenis, yaitu karuna dan mudita. Karuna berarti belas kasihan, atau keinginan untuk menolong makhluk yang sedang menderita. Umat Buddha seyogyanya memiliki sifat karuna. Mereka hendaknya menaruh belas kasihan terhadap makhluk-makhluk yang menderita. Mereka hendaknya mau menolong orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Mereka hendaknya mau membantu meringankan penderitaan orang lain.
Mudita berarti simpati, yaitu merasa gembira dan bahagia melihat kesuksesan dan kebahagiaan orang lain. Umat Buddha seyogyanya memiliki sifat mudita. Mereka hendaknya merasa turut bergembira melihat orang lain gembira dan berhasil dalam usahanya. Mereka hendaknya merasa turut berbahagia melihat orang lain bahagia dan sukses dalam berbagai bidang.


Pannindriya Cetasika
Pannindriya Cetasika hanya terdiri atas satu jenis, yaitu panna. Panna berarti kebijaksanaan, yaitu dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup dan kehidupan ini dicengkeram oleh Tilakkhana (anicca, dukkha, dan anatta). Istilah lain untuk panna adalah amoha atau ketidakbodohan, nana atau pengertian, vijja atau pengetahuan, samma ditthi atau Pandangan Benar.
Umat Buddha seyogyanya memiliki panna karena panna merupakan 'senjata' untuk mencapai Nibbana/Nirvana. Untuk itu, mereka hendaknya tidak melewatkan setiap kesempatan yang ada untuk belajar Buddha Dhamma dengan sungguh-sungguh. Mereka hendaknya mempunyai tekad yang membara untuk mempelajari Buddha Dhamma dari waktu ke waktu. Mereka hendaknya mau mengadakan diskusi mengenai Buddha Dhamma pada waktu-waktu tertentu. Mereka pun hendaknya mau mengajarkan Buddha Dhamma kepada orang-orang yang belum mengerti. Dengan demikian, kebijaksanaan mereka akan berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar