Selasa, 21 Februari 2012

CITTA


1. Pengertian Citta
Banyak orang di dunia ini hidup dengan pikiran yang kacau. Mereka tidak dapat hidup dengan tenang dan damai. Mereka mempunyai banyak masalah yang selalu mengganggu pikirannya. Pikirannya kalut karena selalu dihantui oleh berbagai masalah yang sulit dielakkan. Banyak orang yang hidup dalam kegelisahan dan kesedihan. Mereka selalu merasa gelisah, cemas, bingung, ragu-ragu, dan takut. Mereka sering diserang oleh bermacam-macam perasaan yang tidak atau kurang menyenangkan hatinya. Mereka merasa sedih, susah hati, kecewa, dan putus asa. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan ketika akan tidur pada malam harinya. Mereka menderita penyakit insomnia atau susah tidur.
Banyak orang tidak dapat mengatasi kekacauan pikirannya. Sesungguhnya, kekacauan pikiran tersebut timbul karena citta atau pikiran itu tidak terlatih. Pikirannya selalu mengembara ke masa lalu atau ke masa depan. Mereka terlalu menyesali kegagalan-kegagalan yang telah dialaminya pada masa yang lampau atau karena mereka terlalu merisaukan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Demikian juga dengan kekecewaan yang timbul karena mereka sangat mengharapkan sesuatu yang ternyata tidak dapat diperolehnya. Banyak pula orang yang hidup dalam kebencian karena mereka tidak dapat menerima kritik-kritik yang dilontarkan kepadanya. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kemalangan yang datang menimpanya itu sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, tetapi sebaliknya mereka menyalahkan orang atau makhluk lain sehingga hidupnya semakin menderita.
Kegelisahan yang timbul dalam diri manusia itu sesungguhnya dibuat oleh manusia itu sendiri. Mereka ciptakan kegelisahan itu di dalam pikiran melalui ketidakmampuan atau kegagalan untuk mengerti bahaya perasaan keakuan dan melalui khayalan-khayalan yang melambung serta kesalahan dalam menilai benda-benda. Oleh sebab itu, mereka sendiri juga yang harus berusaha untuk mengatasi kekacauan pikiran, kesedihan, dan kegelisahan yang timbul dalam diri mereka itu dengan menggunakan pedoman dan cara penyelesaian yang tepat. Umat Buddha tentu yakin bahwa apa pun kesulitan mereka dan bagaimana pun beratnya kesulitan yang timbul itu pasti ada akhirnya. Tidak ada persoalan yang tak terpecahkan. Tidak ada kesulitan yang tak terselesaikan. Tidak ada kesedihan yang tak berujung. Yang penting adalah mereka mau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengatasi segala kesulitan yang timbul.
Dari uraian di atas, nyatalah betapa pentingnya mengendalikan pikiran atau citta. Pikiran yang terkendali akan memberikan ketenangan dan kebahagiaan. Pikiran yang ditujukan pada jalan benar akan memberikan manfaat bagi si pemiliknya dan juga bagi masyarakat. Oleh sebab itu, setiap umat Buddha seyogyanya mengerti tentang seluk-beluk citta atau pikiran, sehingga mereka dapat mengarahkannya ke hal-hal yang baik.
Arti Citta
Citta adalah keadaan yang mengetahui objek atau keadaan yang menerima, mengingat, memikir, dan mengetahui objek. Citta disebut juga kesadaran atau pikiran. Istilah lain untuk Citta ialah Viññāöa.
Ada pernyataan dalam bahasa Pali sebagai berikut:
'Ārammana× cintetiti: Citta×", yang berarti: "Keadaan yang mengetahui objek, yaitu selalu menerima objek, disebut kesadaran atau pikiran."
Citta atau kesadaran atau pikiran itu akan timbul dalam diri seseorang bila ada indera yang mencerap objek. Selama orang itu tidak sedang tidur nyenyak, inderanya selalu mencerap objek-objek yang baik atau pun yang tidak baik. Bi1a indera mencerap objek-objek yang baik, maka timbul1ah perasaan senang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, bila indera mencerap objek-objek yang tidak baik, maka timbullah perasaan tidak senang, sedih, atau kecewa. Namun, bagi mereka yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian, batinnya tentu tidak akan tergoncang lagi dalam menghadapi keadaan yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan. Mereka telah mencapai keseimbangan batin yang dalam bahasa Pali disebut upekkhā.
Bila kesadaran itu timbul karena indera mata (cakkhu-pasāda) mencerap objek bentuk (rūpārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran mata (cakkhu-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera telinga (sota-pasāda) mencerap objek suara (saddārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran telinga (sota-viññāöa). Bila kesadaran itu timbul karena indera hidung (ghāna-pasāda) mencerap objek bau (gandhārammaöa), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran hidung (ghāna-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera lidah (jivhā-pasāda) mencerap objek rasa atau kecapan (rasārammaöa), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran lidah (jivhā-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera badan jasmani (kāya-pasāda) mencerap objek sentuhan (pho  habbārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran badan jasmani (kāya-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera pikiran (mano-pasāda) mencerap objek bentuk pikiran (dhammārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran pikiran (mano ).
Hubungan pikiran dengan otak
Pada umumnya orang mencampurbaurkan pikiran dengan otak. Mereka mengatakan bahwa orang yang pandai itu 'otaknya encer' dan orang yang bodoh itu dianggap 'tak berotak'. Namun sesungguhnya, kepandaian dan kebodohan tidak selalu tergantung pada 'ada' atau 'tidak ada otak' nya.
Menurut penyelidikan sarjana-sarjana modern, otak hanya alat jasmani yang tidak dapat memilih atau menelurkan angan-angan yang asli. Segala angan-angan timbul dari pemikiran yang sungguh-sungguh. Pikiran dapat dipunyai oleh setiap orang, asalkan ia mau sungguh-sungguh memikir. Setiap manusia harus melatih pikiran dengan otak dan otak inilah yang akan mengeluarkan akal untuk melaksanakan apa yang dipikirkan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa segala sesuatu tergantung pada cara pemakaian otak itu. Otak manusia dibagi atas tiga bagian, yaitu pangkal otak, otak kecil, dan otak besar. Pangkal otak terdiri dari susunan sel-sel simpul saraf (sel ganglion) yang besar-besar. Otak kecil berukuran kira-kira sebesar jeruk manis dan tergantung pada bagian bawah dari otak besar. Otak besar tumbuh di bagian depan dari pangkal otak dan tumbuh seperti tanduk kambing jantan, mula-mula ke arah depan, kemudian membelok ke atas dan ke belakang, dan akhirnya ke bawah dan ke depan lagi.
Antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan dalam beratnya otak. Berat otak laki-laki rata-rata 1450 gram dan berat otak perempuan rata-rata 1250 gram. Beratnya otak tidak menjadi suatu ukuran bodoh atau pintarnya seseorang. Menurut penyelidikan sarjana-sarjana, perbedaan dalam kecerdasan manusia ini tergantung juga pada banyaknya sel-sel dalam otak itu.
Itulah sebabnya orang dianjurkan untuk melatih diri dengan tujuan untuk menambah kecakapan. Dengan demikian, sel-sel dalam otaknya akan bertambah, dan bersama dengan ini akan bertambah pula budi pekertinya, kecerdasan, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Manusia ini, selain mempunyai otak, diperlengkapi dengan enam indera (mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani, dan pikiran) yang masing-masing mempunyai perangsang (prikkel). Perangsang-perangsang ini ialah tenaga yang berubah menjadi tenaga listrik setelah melewati enam indera. Tenaga listrik ini mula-mula mengalir ke dalam pangkal otak, kemudian masuk ke dalam pusat kesadaran di dalam otak besar. Dari pusat kesadaran, tenaga listrik ini mengalir ke dalam pusat ingatan.
2. Sifat Citta
Citta atau pikiran itu termasuk Saºkhata Dhamma atau keadaan yang bersyarat karena citta itu tertampak munculnya (uppādo-paññāyati), tertampak lenyapnya (vayo-paññāyati), dan selama citta itu masih ada tertampak perubahan-perubahan (thitassa-aññathattan-paññāyati). Pada saat citta atau pikiran itu muncul, tampak kemunculan itu pada wajah seseorang. Pada saat citta atau pikiran itu lenyap pun tampak kelenyapan itu pada wajah seseorang. Selama manusia itu masih mempunyai citta atau pikiran, pikiran itu tidak pernah tetap. Pikiran manusia itu selalu berubah-ubah dan perubahan itu pun tampak pada wajah seseorang.
Citta atau pikiran manusia itu tidak kekal, tidak tetap, tidak dapat bertahan untuk selamanya, selalu mengalami timbul dan padam tiada hentinya dengan cepat sekali. Dalam satu detik entah sudah berapa kali citta itu mengalami timbul dan padam tiada hentinya. Dengan demikian, citta itu tidak mempunyai inti yang kekal karena citta itu selalu mengalami perubahan. Dengan kata lain, citta itu dicengkeram oleh Tilakkhana atau tiga corak umum, yaitu anicca, dukkha, dan anatta.

Anicca
Menurut Buddha Dhamma, tidak ada sesuatu di alam semesta ini yang dapat terus menerus tetap kekal, langgeng, abadi, atau tidak berubah-ubah. Semua benda itu selalu dalam keadaan berubah-rubah, bersifat sementara, tidak langgeng. Jasmani dan batin manusia pun tidak kekal. Citta atau pikiran manusia itu selalu mengalami perubahan. Citta itu timbul dan kemudian lenyap kembali. Lalu, muncul citta yang baru dan kemudian lenyap kembali. Begitu seterusnya.
Dalam Kitab Maha-vagga, bagian dari Anguttara Nikaya (IV. 100f), Sang Buddha menasihati para siswa-Nya sebagai berikut:
"0 para siswa, segala sesuatu (saºkhāra) itu tidaklah kekal, tidaklah langgeng, tidak abadi. Karena itu, tidaklah ada suatu alasan untuk menikmati dan memuaskan diri pada sesuatu dengan terus-menerus, sehingga akhirnya menjadi bosan dan jemu terhadap segala sesuatu yang bersifat tidak kekal itu. Oleh karena itu, merasa jijiklah kepadanya dan bebaskanlah diri dari padanya."
Dalam kitab Sa×yutta Nikāya II : 49 diuraikan sebagai berikut:
"Segala sesuatu yang menjelma atau timbul akan berlalu dan lenyap menurut kodrat yang sewajarnya. Ini meliputi segala sesuatu dan siapa saja, baik makhluk yang paling berkuasa maupun makhluk yang paling lemah dan tak berdaya."
Dari uraian di atas nyatalah bahwa semua kelompok benda-benda ditaklukkan oleh keadaan timbul dan lenyap. Segala sesuatu yang dilahirkan, akhirnya akan menemui ajalnya.
Dukkha
Dalam Sa×yutta Nikāya III : 22 dijelaskan bahwa segala sesuatu yang tidak kekal itu adalah dukkha, menimbulkan ketidakpuasan, dan dicengkeram oleh penderitaan.
Sang Buddha telah mengatakan bahwa manusia akan berusaha mengejar kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak disenangi. Hal inilah yang akan membawa kesedihan atau penderitaan karena segala sesuatunya adalah tidak kekal. Oleh karena itu, apabila seseorang telah melihat bahwa segala sesuatu itu tidak kekal, maka seharusnyalah ia mengakhiri ketidakpuasan atau penderitaan ini dan tidak terikat kepadanya.

Anatta
Sang Buddha pernah bersabda, "Bentuk jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran, O para siswa, adalah tidak kekal (anicca), dan sesuatu yang tidak kekal adalah tidak memuaskan atau menderita (dukkha), dan sesuatu yang tidak memuaskan atau menderita atau dukkha itulah yang disebut anatta, bukan pribadi, dan sesuatu yang bukan pribadi itu adalah tidak dari aku, bukan aku, tanpa aku, bukan diriku, tidak ada aku."
Dalam Cha-cakkha Sutta no. 148 dari Majjhima Nikāya, Sang Buddha mengatakan, "Bila seseorang menganggap mata (indera penglihatan), telinga (indera pendengaran), hidung (indera penciuman), lidah (indera pengecapan), badan jasmani (indera rasa sentuhan), dan pikiran itu sebagai pribadi, maka itu tidak dapat dibenarkan atau dipertahankan karena sudah jelas bahwa ia selalu timbul dan lenyap menurut kenyataan. Demikian pula, bila seseorang mengatakan bahwa bentuk-bentuk atau objek yang dilihat, suara yang didengar, bau yang dicium, rasa yang dikecap, sentuhan yang dirasa, dan objek bentuk pikiran itu sebagai pribadi, maka itu pun tidak dapat dipertahankan. Jadi, kedua-duanya, baik indera maupun objek-objeknya, adalah bukan pribadi atau anatta."
3.Jenis Citta
Citta atau pikiran, jika menurut sifat atau keadaan, hanya ada satu jenis, yaitu bahwa citta adalah keadaan yang mengetahui objek saja. Namun, bila menurut "keadaan yang diketahui dan "bagian yang diketahui, maka citta itu ada delapan puluh sembilan atau seratus dua puluh satu jenis, yaitu mengetahui dalam hal nafsu keinginan yang baik dan tidak baik, mengetahui dalam hal jhana bermateri atau tingkat ketenangan batin bermateri, mengetahui dalam hal jhana tidak bermateri atau tingkat ketenangan batin yang tidak bermateri, mengetahui dalam hal Nibbana/Nirvana.
Citta itu bisa berjumlah delapan puluh sembilan atau seratus dua puluh satu jenis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan Lokuttara Citta atau kesadaran yang dimiliki oleh Ariya Puggala atau makhluk suci. Lokuttara Citta dapat berjumlah delapan atau empat puluh. Sebabnya ialah bahwa ada Ariya Puggala yang mempunyai jhana dan ada pula yang tidak mempunyai jhana. Jika kita membicarakan Ariya Puggala yang tidak mempunyai jhana, maka Lokuttara Citta berjumlah delapan. Namun, bila kita membicarakan Ariya Puggala yang mempunyai jhana, maka lokuttara citta berjumlah empat puluh. Dengan demikian, jika citta dikatakan berjumlah delapan puluh sembilan, maka ini berarti Lokuttara cittanya dihitung delapan. Namun, jika citta dikatakan berjumlah seratus dua puluh satu, maka ini berarti lokuttara-cittanya dihitung empat puluh.
Citta dibagi menjadi empat bagian, yaitu
1.      Kamavacara Citta, yang terdiri atas lima puluh empat jenis.
2.      Rupavacara Citta, yang terdiri atas lima belas jenis.
3.      Arupavacara Citta, yang terdiri atas dua belas jenis.
4.      Lokuttara Citta, yang terdiri atas delapan atau empat puluh jenis.
3.Peranan Citta
Citta atau pikiran memang harus dikendalikan bi1a kita ingin hidup berbahagia.  Pikiran menentukan segala galanya. Pikiran memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita. Pikiran dapat membuat kita menjadi baik atau jahat, bahagia atau sengsara, berhasil atau gagal, tenang atau cemas. Ada sebuah peribahasa dari Persia yang mengatakan bahwa apabila dua hati bersatu padu, maka mereka dapat mengalihkan gunung. Peribahasa ini mengandung makna bahwa pikiran itu berkuasa.
Citta atau pikiran dapat menciptakan dunia ini, tetapi citta atau pikiran itu juga yang dapat menghancurkan dunia ini. Keadaan dunia yang tampak dewasa ini sesungguh nya adalah dari daya guna pikiran manusia. Pikiran-pikiran yang dipersatu-padukan oleh sekelompok manusia, oleh suatu masyarakat, oleh suatu bangsa dapat menimbulkan perang dan damai, kemakmuran atau kemelaratan, pembunuhan, kekacauan, atau kerukunan dan kegotong-royongan.
Dalam kitab suci Dhammapada Bab I ayat 1 dikatakan, “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin dari segala sesuatu, pikiran adalah pembentuk segala sesuatu. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya."
Dalam kitab suci Dhammapada Bab I ayat 2 dikatakan, “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin dari segala sesuatu, pikiran adalah pembentuk segala sesuatu. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan baying-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya."
Pikiran manusia juga sangat mempengaruhi badan jasmaninya. Jika pikiran dibiarkan berfungsi tidak benar, maka pikiran tersebut dapat mengakibatkan bencana atau bahkan dapat membunuh makhluk hidup. Ada ungkapan mengatakan, "Kesusahan akan mengeringkan darah, lebih cepat daripada yang dilakukan oleh usia." Sang Buddha pun pernah bersabda, "Tidak ada musuh yang dapat mencelakakan seseorang sampai separah yang disebabkan oleh pikiran-pikiran sendiri yang jahat, kejam, membenci, iri hati, dan lain-lain."
Sebaliknya, jika pikiran dipusatkan pada hal-hal yang benar, disertai dengan usaha benar dan penuh pengertian, maka pikiran itu dapat menyelamatkan tubuh yang sakit dan mempunyai banyak manfaat lainnya. Dari pikiran yang baik akan lahir ucapan dan perbuatan yang baik. Oleh sebab itu, kita harus berusaha mengendalikan pikiran kita agar selalu terpusat pada hal-hal yang baik. Sesungguhnya, pikiran yang bersih dan terkendali akan dapat menuntun kita pada kehidupan sehat yang menyenangkan.

Kegagalan dan keberhasilan
Kita tentu pernah mengalami kegagalan dan juga meraih keberhasilan. Kita yang belum mencapai kesucian tentu pernah melakukan kesalahan-kesalahan. Namun, kita hendaknya tetap berusaha untuk hidup dengan kenyataan hari ini. Jika kita pernah melakukan kesalahan-kesalahan pada masa lampau, maka kita hendaknya tidak menyesalinya karena sikap ini hanya merupakan suatu kebodohan dan tidak berguna. Jika kita selalu menyesali kesalahan-kesalahan masa lampau, maka ini berarti bahwa kita masih hidup dalam suasana masa lampau, sedangkan kenyataannya kita hidup pada masa sekarang. Jadi, sikap ini perlu diubah. Kita harus berusaha untuk melupakan kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami. Kita pun harus berusaha untuk melupakan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan, agar pikiran kita tidak kacau.
Kita memang boleh menelusuri kembali kehidupan kita selama bertahun-tahun yang lampau. Kita memang sebaiknya merenungkan apa yang pernah kita lakukan dan meneliti apa yang telah terjadi pada diri kita. Dari sini kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat bermanfaat. Kita tidak akan menyalahkan orang atau makhluk lain atas segala kemalangan yang datang menimpa kita karena kita menyadari bahwa hukum karma itu pasti adil. Dengan demikian, kita akan mau mengakui segala kesalahan dan kegagalan kita serta mencari sebab-sebab yang mengakibatkan hal itu terjadi. Selanjutnya, kita akan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan atau kegagalan yang sama pada hari-hari mendatang.
Sesungguhnya, kegagalan merupakan tonggak keberhasilan. Belajar dari kegagalan akan menuntun kita ke arah keberhasilan. Tidak pernah mendapat kegagalan berarti tidak akan pernah memperoleh  kemenangan. Tanpa mengalami kegagalan dan akibat sampingannya, maka kita tidak akan dapat sepenuhnya menghargai kemenangan. Pertapa Gotama yang kemudian berhasil menjadi Buddha juga pernah mengalami kegagalan ketika Beliau melakukan penyiksaan diri yang ekstrim. Di samping itu, kegagalan juga membuat kita menjadi murah hati, ramah, bersimpati, penuh pengertian, dan kaya dalam pengalaman.
Kita pun harus menyadari bahwa perpisahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini dapat terjadi kadang-kadang pada permulaan dari jalan kehidupan, kadang           pada pertengahannya, atau kadang-kadang pada akhir kehidupan. Jika perpisahan dengan kekasih itu terjadi misalnya, maka kita harus mencoba untuk mencari penyebabnya. Walau bagaimana pun, kalau perpisahan itu terjadi di luar dugaan kita, maka kita harus berani menerima kenyataan itu dengan menyadari sifat-sifat kehidupan yang sebenarnya. Kita harus menyadari bahwa kehidupan itu hanyalah suatu proses yang selalu berubah-ubah. Kita harus selalu siap untuk menerima setiap perubahan yang terjadi atas diri kita.

Kecemasan dan ketenangan
Kita tentu pernah mengalami kecemasan dan juga hidup dalam ketenangan. Kita cemas karena terlalu merisaukan masa depan. Sesungguhnya, masa depan tidak perlu terlalu dirisaukan. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh mempunyai cita-cita. Kita sebagai manusia yang berakal budi tentu harus mempunyai cita-cita yang setinggi mungkin, harapan yang seluhur mungkin, tujuan hidup yang sebaik mungkin. Namun, kita hendaknya tidak terikat pada cita-cita itu. Kita hendaknya tidak hanya memikirkan cita-cita yang tinggi itu, tetapi kita juga harus berusaha untuk melakukan segala sesuatu yang baik untuk mencapai cita-cita itu. Jika kita telah berusaha secara maksimal, tentunya kita tidak perlu menyesal bila cita-cita itu ternyata tidak tercapai juga. Kita hendaknya selalu ingat bahwa kita hidup dalam, dunia yang selalu berubah. Kita harus dapat belajar untuk mengendalikan diri sesuai dengan keadaan kehidupan kita sehari-hari, agar kita dapat hidup dengan tenang dan bahagia.
Kita hendaknya mau menyisihkan waktu sebentar di antara kesibukan kita sehari-hari untuk melaksanakan meditasi atau pemusatan pikiran, yaitu pikiran dikonsentrasikan atau dipusatkan ke suatu objek. Jadi, pikiran itu tidak berhamburan atau berkeliaran kian kemari. Dengan sering melatih pikiran seperti ini, maka kita akan dapat melupakan rasa keakuan yang merupakan khayalan liar yang berlari ke sana kemari. Dengan sering melakukan meditasi, kita akan dapat menyingkirkan semua keinginan rendah yang menyebabkan timbulnya ketidakbahagiaan kita. Kita akan menyadari bahwa sesungguhnya kita bukan menikmati kesenangan-kesenangan, melainkan kita dikuasai oleh kesenangan-kesenangan, yaitu dengan adanya kecemasan yang tidak berkeputusan dalam mencari kesenangan-kesenangan tersebut. Kita lebih banyak menderita daripada menikmati kebahagiaan dalam mencari kesenangan-kesenangan hidup dalam dunia yang fana ini.
Selanjutnya, kita harus berusaha untuk mengerjakan segala sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, terutama orang tua kita, agar kita dapat melupakan kecemasan kita dan juga untuk mengembangkan batin kita. Kita harus senantiasa belajar bagaimana membahagiakan orang lain. Kita harus berusaha untuk dapat melayani dan berguna bagi kemanusiaan. Sang Buddha pernah mengatakan bahwa kita tidak dapat memiliki dua pikiran yang berlawanan pada waktu yang bersamaan. Salah satu pikiran akan selalu mengusir pikiran yang lain. Jika suatu saat pikiran kita sedang terpusat hanya untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun, maka rasa ketakutan dan kegelisahan tidak akan muncul di dalam pikiran kita pada saat itu. Oleh sebab itu, kita hendaknya hanya mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat, agar kita dapat selalu berada dalam suasana hati dan pikiran yang tenteram dan bahagia.
Perlu pula diingat bahwa bila kegelisahan itu timbul juga dalam diri kita, maka kita hendaknya tidak menunjukkan kegelisahan itu kepada setiap orang yang kita temui. Kita sebaiknya hanya menceritakan dan menyatakan kegelisahan kita kepada orang yang benar-benar dapat menolong kita. Kita hendaknya dapat tetap memelihara senyum di wajah kita meskipun banyak kesulitan menghadang di depan kita. Kita hendaknya tetap tenang dan terus berusaha mengatasi segala kesulitan kita dengan tekun dan cermat. Bila di dalam batin kita tidak ada lagi kecemasan dan kegelisahan, tetapi yang ada adalah ketenangan, maka itulah kebahagiaan.
Guru Agung kita, Sang Buddha Gotama, selalu tenang batinnya, sehingga Beliau dapat tidur dengan nyenyak walaupun hanya satu jam dalam sehari, yaitu setiap pukul 3.00 sampai dengan pukul 4.00 pagi. Pernah suatu ketika Sang Buddha kemalaman, sehingga Beliau tidur di dalam hutan di bawah sebuah pohon dengan beralaskan daun-daun dan rumput-rumput kering. Keesokan paginya, Beliau keluar dari hutan untuk melanjutkan perjalanan. Pada saat itu, Beliau berjumpa dengan seorang pangeran yang tidak dapat tidur semalaman karena sedang mempunyai problem. Kemudian, Sang Pangeran bertanya kepada Sang Buddha, "Dari mana Sang Bhagava?"
"Saya kemalaman dan tidur di dalam hutan."
"Apakah Sang Bhagava dapat tidur dengan nyenyak?"
"Oh... bukan malam ini saja, tetapi setiap malam saya selalu dapat tidur dengan nyenyak meski pun di dalam hutan."
Sang pangeran sangat tercengang, karena ia sendiri yang tidur di atas ranjang yang empuk dan mewah di dalam istana ternyata tidak dapat tidur dengan nyenyak, sedangkan Sang Buddha dapat tidur dengan nyenyak walaupun di bawah pohon dengan beralaskan daun-daun dan rumput-rumput kering.
Kita memang harus berusaha untuk hidup dengan kenyataan hari ini. Kita memang harus berusaha untuk memusatkan seluruh perhatian kita pada pekerjaan yang sedang kita lakukan agar pekerjaan kita itu memuaskan banyak pihak. Kita harus mengerjakan apa yang dapat kita kerjakan sekarang dengan sebaik-baiknya. Kita harus berjuang untuk mengatasi penderitaan sekarang juga. Sekaranglah saat yang tepat bagi kita untuk belajar Buddha Dhamma, untuk menjadi bijaksana, untuk mempraktekkan kebaikan, untuk mengembangkan cinta kasih. Ya... kita memang harus berbuat kebaikan sekarang juga. Tak berguna menunggu sampai kelak di suatu hari untuk berbuat kebaikan. Terlebih-lebih bila kita memutuskan akan mulai melatih diri dalam kebaikan pada kehidupan yang akan datang. Sikap ini sungguh merupakan suatu kebodohan.
Kita memang sebaiknya tidak menunda melakukan pekerjaan sampai esok bila hari ini kita dapat melakukannya. Kita hendaknya tidak mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual. Kita hendaknya tidak beranggapan bahwa agama hanyalah sebagai selingan dalam hidup ini. Kita hendaknya tidak sampai berkata, "Kita masih muda, tidak perlu memikirkan hal-hal mengenai agama dulu. Nanti, kalau sudah tua baru kita pikirkan. Semasih muda kita bersenang-senang dulu." Sesungguhnya, kita tidak akan pernah merasa puas dalam mengumbar hawa nafsu. Jadi, kita hendaknya dapat mengendalikan diri terhadap nafsu indera. Sesungguhnya, orang yang berbahagia adalah orang yang mempunyai sedikit keinginan.
Kita memang sebaiknya tidak menyia-nyiakan hidup yang sangat berharga ini. Kita harus mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari hidup ini. Kita harus dapat mempergunakan setiap waktu yang ada untuk melakukan hat-hal yang bermanfaat. Kita harus berusaha melakukan semua kewajiban kita dengan penuh tanggung jawab, agar kelahiran kita di dunia ini bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Kita harus mengetahui bagaimana cara untuk memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya. Kita harus dapat memanfaatkan kekayaan, kekuasaan, tenaga, dan pengetahuan kita pada saat yang tepat, pada tempat yang sesuai, dan dengan cara yang bijaksana untuk keuntungan kita sendiri dan untuk kesejahteraan serta kebahagiaan makhluk lain. Kita harus berusaha untuk menjadikan hidup kita ini 'berarti' dan mempunyai nilai.
4.Manfaat mempelajari Citta.
Menimbulkan Pengertian Benar
Kita pun harus menyisihkan waktu beberapa menit dalam sehari untuk membaca buku-buku yang bernilai, di antaranya buku Abhidhammatthasangaha. Orang yang tekun mempelajari Abhidhammatthasangaha akan dapat melihat dengan nyata dari pengalaman sendiri tentang proses timbul dan lenyapnya nama dan rupa yang berlangsung pada setiap saat. Nama dan rupa itu timbul karena adanya persyaratan-persyaratan bagi terjadinya hal tersebut. Citta akan muncul kalau terdapat kondisi yang sesuai. Jika pada suatu saat terdapat citta yang tidak baik, maka orang itu telah menimbun suatu kondisi untuk hal yang tidak baik, dan jika pada suatu saat citta itu baik, maka orang itu telah menimbun suatu kondisi yang kelak akan berakibat baik. Dengan demikian, kita tidak lagi berkecenderungan untuk lekas-lekas menghukum orang-orang yang melakukan kesalahan karena kita mengerti bahwa setiap orang mempunyai timbunan-timbunan sifat yang berbeda-beda. Sebaliknya, kita akan berusaha keras untuk memberikan mereka pengertian yang benar tentang sebab-sebab yang menjadi benih dari perbuatannya itu dan dengan demikian memungkinkan mereka untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya untuk selanjutnya dapat hidup dengan lebih baik.
Pelajaran Abhidhammatthasangaha dapat menolong kita untuk mengembangkan pengertian lebih banyak tentang kejadian-kejadian atau saat-saat yang berbeda dari kesadaran. Kejadian-kejadian yang berbeda dari kesadaran itu berubah begitu cepat. Kita akan berpengalaman mengenai timbul dan lenyapnya suatu kesadaran yang terjadi sekarang dan setiap saat jika kita mengerti Abhidhammatthasangaha. Kita akan dapat memahami kejadian-kejadian dari saat ke saat. Kejadian masa lampau telah tiada dan tidak akan timbul lagi. Kejadian masa mendatang belum tiba yang berarti belum ada. Kejadian pada saat ini nyata dan benar-benar ada. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menyesali masa lalu dan merisaukan masa depan, tetapi kita harus hidup dengan kenyataan hari ini.
Abhidhammatthasangaha memungkinkan kita untuk melihat perbedaan di antara seluruh saat kehidupan, untuk mengetahui saat dari melihat adalah berbeda dari saat mendengar, saat pengecapan berbeda dengan saat penciuman bau. Pelajaran mengenai saat-saat yang berbeda dari kesadaran yang terjadi akan menolong kita mengembangkan pengertian hidup yang tepat. Apa yang kita ambil untuk diri hanya merupakan gejala-gejala yang saling berubah. Dalam Paramattha Sacca atau Kebenaran Tertinggi tidak ada "saya" maupun “dia". Yang ada hanyalah unsure yang berbeda yang timbul dan dapat lenyap kembali. Kehidupan kita sebenarnya hanyalah satu saat dari kesadaran yang mengalami satu objek. Saat ini segera lenyap kembali dan kemudian suatu saat lain muncul. Objek yang dialami pun tidak statis, tetapi lenyap dan kemudian muncul objek yang lain. Jadi, pada satu saat tertentu hanya ada satu kesadaran. Kesadaran yang muncul berikutnya memiliki sifat-sifat dari kesadaran yang mendahuluinya. Jadi, kehidupan kita menyerupai seutas rantai dari saat-saat kesadaran.
Dalam hidup kita sehari-hari, kita perlu mengetahui berbagai jenis kesadaran atau citta dan tahu kesadaran mana yang menjadi dasar akan timbulnya sesuatu perbuatan sehingga kita dapat melakukan perbuatan baik karena cinta kasih dan kasih sayang yang murni tanpa adanya pikiran tidak baik yang mengotori perbuatan itu. Kita akan memberikan dana kepada bhikkhu tanpa adanya unsur-unsur kemelekatan, yaitu dengan cara memberikan dana kepada bhikkhu, baik yang sudah kita kenal maupun yang belum kita kenal. Kita akan memberikan pertolongan kepada mereka yang menderita dengan tulus ikhlas, tanpa adanya pengharapan balas jasa. Sesungguhnya, jika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, maka kita melakukan perbuatan pembersihan diri sendiri. Pada saat itu tidak ada pikiran mementingkan diri sendiri. Pada saat itu tidak ada lobha, dosa, dan moha. Memberikan dengan pengertian benar bahwa perbuatan itu baik adalah lebih bermanfaat daripada memberikan tanpa pengertian benar. Sebabnya ialah jika kita memberikan sesuatu dengan pengertian bahwa perbuatan itu membersihkan diri kita sendiri, maka kita seolah-olah mendapat rangsangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak-banyaknya. Untuk itu, kita akan berusaha untuk menciptakan keadaan-keadaan yang memungkinkan kusala citta dapat timbul lebih sering.

Menimbulkan kesadaran akan pengendalian diri
Pada orang yang tekun mempelajari Abhidhammatthasangaha lambat laun akan timbul kesadaran akan pengendalian diri. Ia akan berusaha secara maksimal untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik karena ia telah mengetahui akibatnya yang tentunya tidak menyenangkan.
Banyak sekali terdapat bukti-bukti bahwa setelah mengetahui lebih banyak tentang citta, mereka telah berubah sama sekali hidupnya. Orang-orang yang semula sering marah-marah atau orang-orang yang semula memiliki perasaan dendam yang kuat sekali telah berubah menjadi orang-orang yang sabar dan pengasih. Semua ini dapat terjadi setelah mereka mempelajari citta dan memeriksa atau mengecek pengetahuan ini dalam hidup sehari-hari.
Bila kita mengerti bahwa kehidupan kita adalah nama dan rupa yang muncul karena keadaan-keadaan dan dapat lenyap kembali, maka kita akan semakin mengurangi keterikatan pada hasil yang menyenangkan dan akan mengurangi kecenderungan untuk menyalahkan orang lain karena hal yang tidak menyenangkan yang kita alami. Kita tidak berhasrat untuk melekat erat-erat pada rangsangan-rangsangan nafsu yang menyenangkan karena rangsangan-rangsangan nafsu itu tidak mungkin dapat memberikan kebahagiaan yang kekal.
Kita akan menjadi lebih sabar, bahkan dalam situasi yang menyulitkan. Kita tidak akan marah bila tiba-tiba kita yang sedang berjalan di pinggir jalan ditubruk dari belakang oleh sebuah becak. Kita tidak akan terlalu kecewa bila kita dihina karena kita menyadari bahwa itu hanyalah suara yang masuk melalui telinga kita.

Menimbulkan kesadaran akan kesucian diri
Orang yang tertarik belajar Abhidhamma ingin mempelajari segala sesuatu lebih mendalam dalam pengertian Paramattha Dhamma (Kebenaran Tertinggi) karena hal ini juga ada hubungannya dengan salah satu nasihat dari Sang Buddha yang berbunyi, "Sacitta pariyodapana×" yang berarti sucikanlah hati dan pikiran. Untuk mensucikan pikiran, orang harus mempelajari seluk-beluk pikiran. Pikiran merupakan dasar timbulnya semua perbuatan baik dan tidak baik yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang dipelajari dalam Abhidhammatthasangaha. Setelah mempelajari Abhidhammatthasangaha, orang dapat menyadari betapa pentingnya peranan pikiran bagi kehidupannya. Mereka yang menyadari hal ini tentu1ah berusaha memperkembangkan pikiran-pikiran baik atau kusala citta dalam dirinya. Ia akan berusaha membersihkan pikirannya dari segala noda. Ia akan berhenti menjadi orang yang hanya memikirkan diri sendiri saja. Ia akan menuntut suatu kehidupan yang baik dan berguna setelah ia mengerti dengan benar mana yang baik dan mana yang tidak baik dan mengerti pula akibat dari perbuatan baik dan tidak baik itu.
Akusala-citta atau keadaan mental yang tidak baik dan kusala citta atau keadaan mental yang baik merupakan hal-hal yang nyata dalam hidup sehari-hari. Untuk mengetahuinya lebih dalam, kita harus mempelajari dan menyelidiki diri kita sendiri, apa yang menyebabkan suatu citta muncul dan apakah akibatnya.
Dengan mengerti apa yang dimaksud dengan Akusala Citta dan Kusala Citta serta tahu bila citta-citta itu muncul, kita dapat menyingkirkan kekotoran-kekotoran batin yang ada dalam diri kita. Jika kita selalu dapat menyadari dan mengetahui saat-saat citta itu muncul, maka kita dapat mengenali citta-citta itu. Kita pun dapat mengenal citta-citta yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu, seperti melihat, mendengar, memikir, dan lain-lain. Dengan mengenal citta-citta itu, kebijaksanaan atau paññā kita akan berkembang. Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa segala sesuatu yang kita nikmati dalam hidup kita tidaklah kekal sehingga kita akan berusaha untuk tidak lagi melekat pada hal-hal yang enak dan nikmat tetapi tidak kekal itu. Pengetahuan ini juga akan mendorong kita untuk melatih diri dalam melaksanakan meditasi Pandangan Terang atau Vipassana Bhavana. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana sedikit demi sedikit, kegelapan batin yang menjadi akar dari semua kekotoran batin dapat disingkirkan. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana sedikit demi sedikit kita dapat melihat hal-hal dalam keadaan yang wajar dan sebenarnya. Kita dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam hidup kita sehari-hari. Kita dapat mengetahui apa yang sedang terjadi pada waktu sekarang ini. Kita akan memiliki pengetahuan yang sempurna tentang segala macam kejadian-kejadian batin dan jasmani. Kita akan menjadi "Orang yang telah sadar" dan melihat Kesunyataan. Jadi, dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kita dapat melenyapkan kekotoran-kekotoran batin secara menyeluruh.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar