1. Pengertian Citta
Banyak orang di dunia ini hidup dengan pikiran yang
kacau. Mereka tidak dapat hidup dengan tenang dan damai. Mereka mempunyai
banyak masalah yang selalu mengganggu pikirannya. Pikirannya kalut karena
selalu dihantui oleh berbagai masalah yang sulit dielakkan. Banyak orang yang
hidup dalam kegelisahan dan kesedihan. Mereka selalu merasa gelisah, cemas,
bingung, ragu-ragu, dan takut. Mereka sering diserang oleh bermacam-macam
perasaan yang tidak atau kurang menyenangkan hatinya. Mereka merasa sedih,
susah hati, kecewa, dan putus asa. Sebagai akibatnya, mereka mengalami
kesulitan ketika akan tidur pada malam harinya. Mereka menderita penyakit
insomnia atau susah tidur.
Banyak orang tidak dapat mengatasi kekacauan
pikirannya. Sesungguhnya, kekacauan pikiran tersebut timbul karena citta atau
pikiran itu tidak terlatih. Pikirannya selalu mengembara ke masa lalu atau ke
masa depan. Mereka terlalu menyesali kegagalan-kegagalan yang telah dialaminya pada
masa yang lampau atau karena mereka terlalu merisaukan peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi pada masa yang akan datang. Demikian juga dengan kekecewaan yang
timbul karena mereka sangat mengharapkan sesuatu yang ternyata tidak dapat
diperolehnya. Banyak pula orang yang hidup dalam kebencian karena mereka tidak
dapat menerima kritik-kritik yang dilontarkan kepadanya. Banyak orang yang
tidak menyadari bahwa kemalangan yang datang menimpanya itu sebagai akibat dari
perbuatannya sendiri, tetapi sebaliknya mereka menyalahkan orang atau makhluk
lain sehingga hidupnya semakin menderita.
Kegelisahan yang timbul dalam diri manusia itu
sesungguhnya dibuat oleh manusia itu sendiri. Mereka ciptakan kegelisahan itu
di dalam pikiran melalui ketidakmampuan atau kegagalan untuk mengerti bahaya
perasaan keakuan dan melalui khayalan-khayalan yang melambung serta kesalahan
dalam menilai benda-benda. Oleh sebab itu, mereka sendiri juga yang harus
berusaha untuk mengatasi kekacauan pikiran, kesedihan, dan kegelisahan yang timbul
dalam diri mereka itu dengan menggunakan pedoman dan cara penyelesaian yang
tepat. Umat Buddha tentu yakin bahwa apa pun kesulitan mereka dan bagaimana pun
beratnya kesulitan yang timbul itu pasti ada akhirnya. Tidak ada persoalan yang
tak terpecahkan. Tidak ada kesulitan yang tak terselesaikan. Tidak ada
kesedihan yang tak berujung. Yang penting adalah mereka mau berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mengatasi segala kesulitan yang timbul.
Dari uraian di atas, nyatalah betapa pentingnya
mengendalikan pikiran atau citta. Pikiran yang terkendali akan memberikan
ketenangan dan kebahagiaan. Pikiran yang ditujukan pada jalan benar akan
memberikan manfaat bagi si pemiliknya dan juga bagi masyarakat. Oleh sebab itu,
setiap umat Buddha seyogyanya mengerti tentang seluk-beluk citta atau pikiran,
sehingga mereka dapat mengarahkannya ke hal-hal yang baik.
Arti Citta
Citta adalah keadaan yang mengetahui objek atau keadaan
yang menerima, mengingat, memikir, dan mengetahui objek. Citta disebut juga
kesadaran atau pikiran. Istilah lain untuk Citta ialah Viññāöa.
'Ārammana× cintetiti: Citta×", yang berarti: "Keadaan yang
mengetahui objek, yaitu selalu menerima objek, disebut kesadaran atau
pikiran."
Citta atau kesadaran atau pikiran itu akan timbul dalam
diri seseorang bila ada indera yang mencerap objek. Selama orang itu tidak
sedang tidur nyenyak, inderanya selalu mencerap objek-objek yang baik atau pun
yang tidak baik. Bi1a indera mencerap objek-objek yang baik, maka timbul1ah
perasaan senang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, bila indera mencerap
objek-objek yang tidak baik, maka timbullah perasaan tidak senang, sedih, atau
kecewa. Namun, bagi mereka yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian,
batinnya tentu tidak akan tergoncang lagi dalam menghadapi keadaan yang
menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan. Mereka telah mencapai
keseimbangan batin yang dalam bahasa Pali disebut upekkhā.
Bila kesadaran itu timbul karena indera mata
(cakkhu-pasāda) mencerap objek bentuk (rūpārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran mata (cakkhu-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera telinga (sota-pasāda)
mencerap objek suara (saddārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran telinga (sota-viññāöa). Bila kesadaran itu timbul karena indera hidung (ghāna-pasāda)
mencerap objek bau (gandhārammaöa), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran hidung (ghāna-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera lidah (jivhā-pasāda)
mencerap objek rasa atau kecapan (rasārammaöa), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran lidah (jivhā-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera badan jasmani (kāya-pasāda)
mencerap objek sentuhan (pho habbārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran badan jasmani (kāya-viññāna). Bila kesadaran itu timbul karena indera pikiran (mano-pasāda)
mencerap objek bentuk pikiran (dhammārammana), maka kesadaran itu dinamakan kesadaran pikiran (mano ).
Hubungan pikiran dengan otak
Pada umumnya orang mencampurbaurkan pikiran dengan
otak. Mereka mengatakan bahwa orang yang pandai itu 'otaknya encer' dan orang
yang bodoh itu dianggap 'tak berotak'. Namun sesungguhnya, kepandaian dan
kebodohan tidak selalu tergantung pada 'ada' atau 'tidak ada otak' nya.
Menurut penyelidikan sarjana-sarjana modern, otak hanya
alat jasmani yang tidak dapat memilih atau menelurkan angan-angan yang asli.
Segala angan-angan timbul dari pemikiran yang sungguh-sungguh. Pikiran dapat
dipunyai oleh setiap orang, asalkan ia mau sungguh-sungguh memikir. Setiap
manusia harus melatih pikiran dengan otak dan otak inilah yang akan
mengeluarkan akal untuk melaksanakan apa yang dipikirkan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa segala sesuatu
tergantung pada cara pemakaian otak itu. Otak manusia dibagi atas tiga bagian,
yaitu pangkal otak, otak kecil, dan otak besar. Pangkal otak terdiri dari
susunan sel-sel simpul saraf (sel ganglion) yang besar-besar. Otak kecil
berukuran kira-kira sebesar jeruk manis dan tergantung pada bagian bawah dari
otak besar. Otak besar tumbuh di bagian depan dari pangkal otak dan tumbuh
seperti tanduk kambing jantan, mula-mula ke arah depan, kemudian membelok ke
atas dan ke belakang, dan akhirnya ke bawah dan ke depan lagi.
Antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan dalam
beratnya otak. Berat otak laki-laki rata-rata 1450 gram dan berat otak
perempuan rata-rata 1250 gram. Beratnya otak tidak menjadi suatu ukuran bodoh
atau pintarnya seseorang. Menurut penyelidikan sarjana-sarjana, perbedaan dalam
kecerdasan manusia ini tergantung juga pada banyaknya sel-sel dalam otak itu.
Itulah sebabnya orang dianjurkan untuk melatih diri
dengan tujuan untuk menambah kecakapan. Dengan demikian, sel-sel dalam otaknya
akan bertambah, dan bersama dengan ini akan bertambah pula budi pekertinya,
kecerdasan, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Manusia ini, selain mempunyai otak, diperlengkapi
dengan enam indera (mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani, dan pikiran)
yang masing-masing mempunyai perangsang (prikkel). Perangsang-perangsang ini
ialah tenaga yang berubah menjadi tenaga listrik setelah melewati enam indera.
Tenaga listrik ini mula-mula mengalir ke dalam pangkal otak, kemudian masuk ke
dalam pusat kesadaran di dalam otak besar. Dari pusat kesadaran, tenaga listrik
ini mengalir ke dalam pusat ingatan.
2. Sifat Citta
Citta atau pikiran itu termasuk Saºkhata Dhamma atau keadaan yang bersyarat karena citta itu tertampak
munculnya (uppādo-paññāyati), tertampak lenyapnya (vayo-paññāyati), dan selama
citta itu masih ada tertampak perubahan-perubahan (thitassa-aññathattan-paññāyati).
Pada saat citta atau pikiran itu muncul, tampak kemunculan itu pada wajah seseorang.
Pada saat citta atau pikiran itu lenyap pun tampak kelenyapan itu pada wajah
seseorang. Selama manusia itu masih mempunyai citta atau pikiran, pikiran itu
tidak pernah tetap. Pikiran manusia itu selalu berubah-ubah dan perubahan itu
pun tampak pada wajah seseorang.
Citta atau pikiran manusia itu tidak kekal, tidak
tetap, tidak dapat bertahan untuk selamanya, selalu mengalami timbul dan padam
tiada hentinya dengan cepat sekali. Dalam satu detik entah sudah berapa kali
citta itu mengalami timbul dan padam tiada hentinya. Dengan demikian, citta itu
tidak mempunyai inti yang kekal karena citta itu selalu mengalami perubahan.
Dengan kata lain, citta itu dicengkeram oleh Tilakkhana atau tiga corak umum,
yaitu anicca, dukkha, dan anatta.
Anicca
Menurut Buddha Dhamma, tidak ada sesuatu di alam
semesta ini yang dapat terus menerus tetap kekal, langgeng, abadi, atau tidak
berubah-ubah. Semua benda itu selalu dalam keadaan berubah-rubah, bersifat
sementara, tidak langgeng. Jasmani dan batin manusia pun tidak kekal. Citta
atau pikiran manusia itu selalu mengalami perubahan. Citta itu timbul dan
kemudian lenyap kembali. Lalu, muncul citta yang baru dan kemudian lenyap
kembali. Begitu seterusnya.
Dalam Kitab Maha-vagga, bagian dari Anguttara Nikaya
(IV. 100f), Sang Buddha menasihati para siswa-Nya sebagai berikut:
"0 para siswa, segala sesuatu (saºkhāra) itu tidaklah kekal, tidaklah langgeng, tidak abadi. Karena
itu, tidaklah ada suatu alasan untuk menikmati dan memuaskan diri pada sesuatu
dengan terus-menerus, sehingga akhirnya menjadi bosan dan jemu terhadap segala
sesuatu yang bersifat tidak kekal itu. Oleh karena itu, merasa jijiklah
kepadanya dan bebaskanlah diri dari padanya."
Dalam kitab Sa×yutta Nikāya II : 49 diuraikan sebagai berikut:
"Segala sesuatu yang menjelma atau timbul akan
berlalu dan lenyap menurut kodrat yang sewajarnya. Ini meliputi segala sesuatu
dan siapa saja, baik makhluk yang paling berkuasa maupun makhluk yang paling
lemah dan tak berdaya."
Dari uraian di atas nyatalah bahwa semua kelompok
benda-benda ditaklukkan oleh keadaan timbul dan lenyap. Segala sesuatu yang
dilahirkan, akhirnya akan menemui ajalnya.
Dukkha
Dalam Sa×yutta Nikāya III : 22 dijelaskan bahwa segala sesuatu yang tidak
kekal itu adalah dukkha, menimbulkan ketidakpuasan, dan dicengkeram oleh
penderitaan.
Sang Buddha telah mengatakan bahwa manusia akan
berusaha mengejar kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak disenangi. Hal
inilah yang akan membawa kesedihan atau penderitaan karena segala sesuatunya
adalah tidak kekal. Oleh karena itu, apabila seseorang telah melihat bahwa
segala sesuatu itu tidak kekal, maka seharusnyalah ia mengakhiri ketidakpuasan
atau penderitaan ini dan tidak terikat kepadanya.
Anatta
Sang Buddha pernah bersabda, "Bentuk jasmani,
perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran, O para siswa,
adalah tidak kekal (anicca), dan sesuatu yang tidak kekal adalah tidak
memuaskan atau menderita (dukkha), dan sesuatu yang tidak memuaskan atau
menderita atau dukkha itulah yang disebut anatta, bukan pribadi, dan sesuatu
yang bukan pribadi itu adalah tidak dari aku, bukan aku, tanpa aku, bukan
diriku, tidak ada aku."
Dalam Cha-cakkha Sutta no. 148 dari Majjhima Nikāya,
Sang Buddha mengatakan, "Bila seseorang menganggap mata (indera
penglihatan), telinga (indera pendengaran), hidung (indera penciuman), lidah
(indera pengecapan), badan jasmani (indera rasa sentuhan), dan pikiran itu
sebagai pribadi, maka itu tidak dapat dibenarkan atau dipertahankan karena
sudah jelas bahwa ia selalu timbul dan lenyap menurut kenyataan. Demikian pula,
bila seseorang mengatakan bahwa bentuk-bentuk atau objek yang dilihat, suara
yang didengar, bau yang dicium, rasa yang dikecap, sentuhan yang dirasa, dan
objek bentuk pikiran itu sebagai pribadi, maka itu pun tidak dapat
dipertahankan. Jadi, kedua-duanya, baik indera maupun objek-objeknya, adalah
bukan pribadi atau anatta."
3.Jenis Citta
Citta atau pikiran, jika menurut sifat atau keadaan,
hanya ada satu jenis, yaitu bahwa citta adalah keadaan yang mengetahui objek
saja. Namun, bila menurut "keadaan yang diketahui dan "bagian yang
diketahui, maka citta itu ada delapan puluh sembilan atau seratus dua puluh
satu jenis, yaitu mengetahui dalam hal nafsu keinginan yang baik dan tidak baik,
mengetahui dalam hal jhana bermateri atau tingkat ketenangan batin bermateri,
mengetahui dalam hal jhana tidak bermateri atau tingkat ketenangan batin yang
tidak bermateri, mengetahui dalam hal Nibbana/Nirvana.
Citta itu bisa berjumlah delapan puluh sembilan atau
seratus dua puluh satu jenis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan Lokuttara Citta
atau kesadaran yang dimiliki oleh Ariya Puggala atau makhluk suci. Lokuttara
Citta dapat berjumlah delapan atau empat puluh. Sebabnya ialah bahwa ada Ariya
Puggala yang mempunyai jhana dan ada pula yang tidak mempunyai jhana. Jika kita
membicarakan Ariya Puggala yang tidak mempunyai jhana, maka Lokuttara Citta
berjumlah delapan. Namun, bila kita membicarakan Ariya Puggala yang mempunyai
jhana, maka lokuttara citta berjumlah empat puluh. Dengan demikian, jika citta
dikatakan berjumlah delapan puluh sembilan, maka ini berarti Lokuttara cittanya
dihitung delapan. Namun, jika citta dikatakan berjumlah seratus dua puluh satu,
maka ini berarti lokuttara-cittanya dihitung empat puluh.
Citta dibagi menjadi empat bagian, yaitu
1.
Kamavacara Citta, yang terdiri
atas lima puluh
empat jenis.
2.
Rupavacara Citta, yang terdiri
atas lima belas
jenis.
3.
Arupavacara Citta, yang terdiri
atas dua belas jenis.
4.
Lokuttara Citta, yang terdiri
atas delapan atau empat puluh jenis.
3.Peranan Citta
Citta atau pikiran memang harus dikendalikan bi1a kita ingin
hidup berbahagia. Pikiran menentukan
segala galanya. Pikiran memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
kita. Pikiran dapat membuat kita menjadi baik atau jahat, bahagia atau
sengsara, berhasil atau gagal, tenang atau cemas. Ada
sebuah peribahasa dari Persia
yang mengatakan bahwa apabila dua hati bersatu padu, maka mereka dapat
mengalihkan gunung. Peribahasa ini mengandung makna bahwa pikiran itu berkuasa.
Citta atau pikiran dapat menciptakan dunia ini, tetapi
citta atau pikiran itu juga yang dapat menghancurkan dunia ini. Keadaan dunia
yang tampak dewasa ini sesungguh nya adalah dari daya guna pikiran manusia.
Pikiran-pikiran yang dipersatu-padukan oleh sekelompok manusia, oleh suatu
masyarakat, oleh suatu bangsa dapat menimbulkan perang dan damai, kemakmuran
atau kemelaratan, pembunuhan, kekacauan, atau kerukunan dan kegotong-royongan.
Dalam kitab suci Dhammapada
Bab I ayat 1 dikatakan, “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran
adalah pemimpin dari segala sesuatu, pikiran adalah pembentuk segala sesuatu.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan
akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang
menariknya."
Dalam kitab suci Dhammapada
Bab I ayat 2 dikatakan, “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin dari segala sesuatu, pikiran adalah pembentuk segala
sesuatu. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka
kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan baying-bayang yang tak pernah
meninggalkan bendanya."
Pikiran manusia juga sangat mempengaruhi badan
jasmaninya. Jika pikiran dibiarkan berfungsi tidak benar, maka pikiran tersebut
dapat mengakibatkan bencana atau bahkan dapat membunuh makhluk hidup. Ada ungkapan mengatakan,
"Kesusahan akan mengeringkan darah, lebih cepat daripada yang dilakukan
oleh usia." Sang Buddha pun pernah bersabda, "Tidak ada musuh yang
dapat mencelakakan seseorang sampai separah yang disebabkan oleh
pikiran-pikiran sendiri yang jahat, kejam, membenci, iri hati, dan
lain-lain."
Sebaliknya, jika pikiran dipusatkan pada hal-hal yang
benar, disertai dengan usaha benar dan penuh pengertian, maka pikiran itu dapat
menyelamatkan tubuh yang sakit dan mempunyai banyak manfaat lainnya. Dari
pikiran yang baik akan lahir ucapan dan perbuatan yang baik. Oleh sebab itu,
kita harus berusaha mengendalikan pikiran kita agar selalu terpusat pada hal-hal
yang baik. Sesungguhnya, pikiran yang bersih dan terkendali akan dapat menuntun
kita pada kehidupan sehat yang menyenangkan.
Kegagalan dan
keberhasilan
Kita tentu pernah mengalami kegagalan dan juga meraih
keberhasilan. Kita yang belum mencapai kesucian tentu pernah melakukan
kesalahan-kesalahan. Namun, kita hendaknya tetap berusaha untuk hidup dengan
kenyataan hari ini. Jika kita pernah melakukan kesalahan-kesalahan pada masa
lampau, maka kita hendaknya tidak menyesalinya karena sikap ini hanya merupakan
suatu kebodohan dan tidak berguna. Jika kita selalu menyesali
kesalahan-kesalahan masa lampau, maka ini berarti bahwa kita masih hidup dalam
suasana masa lampau, sedangkan kenyataannya kita hidup pada masa sekarang.
Jadi, sikap ini perlu diubah. Kita harus berusaha untuk melupakan
kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami. Kita pun harus berusaha untuk
melupakan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan, agar pikiran kita tidak
kacau.
Kita memang boleh menelusuri kembali kehidupan kita
selama bertahun-tahun yang lampau. Kita memang sebaiknya merenungkan apa yang
pernah kita lakukan dan meneliti apa yang telah terjadi pada diri kita. Dari
sini kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat bermanfaat. Kita tidak akan
menyalahkan orang atau makhluk lain atas segala kemalangan yang datang menimpa
kita karena kita menyadari bahwa hukum karma itu pasti adil. Dengan demikian,
kita akan mau mengakui segala kesalahan dan kegagalan kita serta mencari
sebab-sebab yang mengakibatkan hal itu terjadi. Selanjutnya, kita akan berusaha
untuk tidak mengulangi kesalahan atau kegagalan yang sama pada hari-hari
mendatang.
Sesungguhnya, kegagalan merupakan tonggak keberhasilan.
Belajar dari kegagalan akan menuntun kita ke arah keberhasilan. Tidak pernah
mendapat kegagalan berarti tidak akan pernah memperoleh kemenangan. Tanpa mengalami kegagalan dan
akibat sampingannya, maka kita tidak akan dapat sepenuhnya menghargai
kemenangan. Pertapa Gotama yang kemudian berhasil menjadi Buddha juga pernah
mengalami kegagalan ketika Beliau melakukan penyiksaan diri yang ekstrim. Di
samping itu, kegagalan juga membuat kita menjadi murah hati, ramah, bersimpati,
penuh pengertian, dan kaya dalam pengalaman.
Kita pun harus menyadari bahwa perpisahan merupakan hal
yang tidak dapat dihindari. Hal ini dapat terjadi kadang-kadang pada permulaan
dari jalan kehidupan, kadang pada
pertengahannya, atau kadang-kadang pada akhir kehidupan. Jika perpisahan dengan
kekasih itu terjadi misalnya, maka kita harus mencoba untuk mencari
penyebabnya. Walau bagaimana pun, kalau perpisahan itu terjadi di luar dugaan
kita, maka kita harus berani menerima kenyataan itu dengan menyadari
sifat-sifat kehidupan yang sebenarnya. Kita harus menyadari bahwa kehidupan itu
hanyalah suatu proses yang selalu berubah-ubah. Kita harus selalu siap untuk
menerima setiap perubahan yang terjadi atas diri kita.
Kecemasan dan
ketenangan
Kita tentu pernah mengalami kecemasan dan juga hidup
dalam ketenangan. Kita cemas karena terlalu merisaukan masa depan.
Sesungguhnya, masa depan tidak perlu terlalu dirisaukan. Namun, ini bukan
berarti bahwa kita tidak boleh mempunyai cita-cita. Kita sebagai manusia yang
berakal budi tentu harus mempunyai cita-cita yang setinggi mungkin, harapan
yang seluhur mungkin, tujuan hidup yang sebaik mungkin. Namun, kita hendaknya
tidak terikat pada cita-cita itu. Kita hendaknya tidak hanya memikirkan
cita-cita yang tinggi itu, tetapi kita juga harus berusaha untuk melakukan
segala sesuatu yang baik untuk mencapai cita-cita itu. Jika kita telah berusaha
secara maksimal, tentunya kita tidak perlu menyesal bila cita-cita itu ternyata
tidak tercapai juga. Kita hendaknya selalu ingat bahwa kita hidup dalam, dunia
yang selalu berubah. Kita harus dapat belajar untuk mengendalikan diri sesuai
dengan keadaan kehidupan kita sehari-hari, agar kita dapat hidup dengan tenang
dan bahagia.
Kita hendaknya mau menyisihkan waktu sebentar di antara
kesibukan kita sehari-hari untuk melaksanakan meditasi atau pemusatan pikiran,
yaitu pikiran dikonsentrasikan atau dipusatkan ke suatu objek. Jadi, pikiran
itu tidak berhamburan atau berkeliaran kian kemari. Dengan sering melatih
pikiran seperti ini, maka kita akan dapat melupakan rasa keakuan yang merupakan
khayalan liar yang berlari ke sana
kemari. Dengan sering melakukan meditasi, kita akan dapat menyingkirkan semua
keinginan rendah yang menyebabkan timbulnya ketidakbahagiaan kita. Kita akan
menyadari bahwa sesungguhnya kita bukan menikmati kesenangan-kesenangan,
melainkan kita dikuasai oleh kesenangan-kesenangan, yaitu dengan adanya kecemasan
yang tidak berkeputusan dalam mencari kesenangan-kesenangan tersebut. Kita
lebih banyak menderita daripada menikmati kebahagiaan dalam mencari
kesenangan-kesenangan hidup dalam dunia yang fana ini.
Selanjutnya, kita harus berusaha untuk mengerjakan
segala sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, terutama orang tua kita, agar
kita dapat melupakan kecemasan kita dan juga untuk mengembangkan batin kita.
Kita harus senantiasa belajar bagaimana membahagiakan orang lain. Kita harus
berusaha untuk dapat melayani dan berguna bagi kemanusiaan. Sang Buddha pernah
mengatakan bahwa kita tidak dapat memiliki dua pikiran yang berlawanan pada
waktu yang bersamaan. Salah satu pikiran akan selalu mengusir pikiran yang
lain. Jika suatu saat pikiran kita sedang terpusat hanya untuk menolong orang
lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun, maka rasa ketakutan dan kegelisahan
tidak akan muncul di dalam pikiran kita pada saat itu. Oleh sebab itu, kita
hendaknya hanya mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat,
agar kita dapat selalu berada dalam suasana hati dan pikiran yang tenteram dan
bahagia.
Perlu pula diingat bahwa bila kegelisahan itu timbul
juga dalam diri kita, maka kita hendaknya tidak menunjukkan kegelisahan itu
kepada setiap orang yang kita temui. Kita sebaiknya hanya menceritakan dan
menyatakan kegelisahan kita kepada orang yang benar-benar dapat menolong kita.
Kita hendaknya dapat tetap memelihara senyum di wajah kita meskipun banyak
kesulitan menghadang di depan kita. Kita hendaknya tetap tenang dan terus
berusaha mengatasi segala kesulitan kita dengan tekun dan cermat. Bila di dalam
batin kita tidak ada lagi kecemasan dan kegelisahan, tetapi yang ada adalah
ketenangan, maka itulah kebahagiaan.
Guru Agung kita, Sang Buddha Gotama, selalu tenang
batinnya, sehingga Beliau dapat tidur dengan nyenyak walaupun hanya satu jam
dalam sehari, yaitu setiap pukul 3.00 sampai dengan pukul 4.00 pagi. Pernah
suatu ketika Sang Buddha kemalaman, sehingga Beliau tidur di dalam hutan di
bawah sebuah pohon dengan beralaskan daun-daun dan rumput-rumput kering.
Keesokan paginya, Beliau keluar dari hutan untuk melanjutkan perjalanan. Pada
saat itu, Beliau berjumpa dengan seorang pangeran yang tidak dapat tidur
semalaman karena sedang mempunyai problem. Kemudian, Sang Pangeran bertanya
kepada Sang Buddha, "Dari mana Sang Bhagava?"
"Saya kemalaman dan tidur di dalam hutan."
"Apakah Sang Bhagava dapat tidur dengan
nyenyak?"
"Oh... bukan malam ini saja, tetapi setiap malam
saya selalu dapat tidur dengan nyenyak meski pun di dalam hutan."
Sang pangeran sangat tercengang, karena ia sendiri yang
tidur di atas ranjang yang empuk dan mewah di dalam istana ternyata tidak dapat
tidur dengan nyenyak, sedangkan Sang Buddha dapat tidur dengan nyenyak walaupun
di bawah pohon dengan beralaskan daun-daun dan rumput-rumput kering.
Kita memang harus berusaha untuk hidup dengan kenyataan
hari ini. Kita memang harus berusaha untuk memusatkan seluruh perhatian kita
pada pekerjaan yang sedang kita lakukan agar pekerjaan kita itu memuaskan banyak
pihak. Kita harus mengerjakan apa yang dapat kita kerjakan sekarang dengan
sebaik-baiknya. Kita harus berjuang untuk mengatasi penderitaan sekarang juga.
Sekaranglah saat yang tepat bagi kita untuk belajar Buddha Dhamma, untuk
menjadi bijaksana, untuk mempraktekkan kebaikan, untuk mengembangkan cinta
kasih. Ya... kita memang harus berbuat kebaikan sekarang juga. Tak berguna
menunggu sampai kelak di suatu hari untuk berbuat kebaikan. Terlebih-lebih bila
kita memutuskan akan mulai melatih diri dalam kebaikan pada kehidupan yang akan
datang. Sikap ini sungguh merupakan suatu kebodohan.
Kita memang sebaiknya tidak menunda melakukan pekerjaan
sampai esok bila hari ini kita dapat melakukannya. Kita hendaknya tidak
mengabaikan hal-hal yang bersifat spiritual. Kita hendaknya tidak beranggapan
bahwa agama hanyalah sebagai selingan dalam hidup ini. Kita hendaknya tidak
sampai berkata, "Kita masih muda, tidak perlu memikirkan hal-hal mengenai
agama dulu. Nanti, kalau sudah tua baru kita pikirkan. Semasih muda kita bersenang-senang
dulu." Sesungguhnya, kita tidak akan pernah merasa puas dalam mengumbar
hawa nafsu. Jadi, kita hendaknya dapat mengendalikan diri terhadap nafsu
indera. Sesungguhnya, orang yang berbahagia adalah orang yang mempunyai sedikit
keinginan.
Kita memang sebaiknya tidak menyia-nyiakan hidup yang
sangat berharga ini. Kita harus mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari
hidup ini. Kita harus dapat mempergunakan setiap waktu yang ada untuk melakukan
hat-hal yang bermanfaat. Kita harus berusaha melakukan semua kewajiban kita
dengan penuh tanggung jawab, agar kelahiran kita di dunia ini bermanfaat bagi
diri kita dan orang lain. Kita harus mengetahui bagaimana cara untuk
memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya. Kita harus dapat memanfaatkan
kekayaan, kekuasaan, tenaga, dan pengetahuan kita pada saat yang tepat, pada
tempat yang sesuai, dan dengan cara yang bijaksana untuk keuntungan kita
sendiri dan untuk kesejahteraan serta kebahagiaan makhluk lain. Kita harus
berusaha untuk menjadikan hidup kita ini 'berarti' dan mempunyai nilai.
4.Manfaat
mempelajari Citta.
Menimbulkan
Pengertian Benar
Kita pun harus menyisihkan waktu beberapa menit dalam
sehari untuk membaca buku-buku yang bernilai, di antaranya buku
Abhidhammatthasangaha. Orang yang tekun mempelajari Abhidhammatthasangaha akan
dapat melihat dengan nyata dari pengalaman sendiri tentang proses timbul dan
lenyapnya nama dan rupa yang berlangsung pada setiap saat. Nama dan rupa itu
timbul karena adanya persyaratan-persyaratan bagi terjadinya hal tersebut.
Citta akan muncul kalau terdapat kondisi yang sesuai. Jika pada suatu saat
terdapat citta yang tidak baik, maka orang itu telah menimbun suatu kondisi
untuk hal yang tidak baik, dan jika pada suatu saat citta itu baik, maka orang
itu telah menimbun suatu kondisi yang kelak akan berakibat baik. Dengan
demikian, kita tidak lagi berkecenderungan untuk lekas-lekas menghukum
orang-orang yang melakukan kesalahan karena kita mengerti bahwa setiap orang
mempunyai timbunan-timbunan sifat yang berbeda-beda. Sebaliknya, kita akan
berusaha keras untuk memberikan mereka pengertian yang benar tentang
sebab-sebab yang menjadi benih dari perbuatannya itu dan dengan demikian
memungkinkan mereka untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya untuk selanjutnya
dapat hidup dengan lebih baik.
Pelajaran Abhidhammatthasangaha dapat menolong kita
untuk mengembangkan pengertian lebih banyak tentang kejadian-kejadian atau
saat-saat yang berbeda dari kesadaran. Kejadian-kejadian yang berbeda dari
kesadaran itu berubah begitu cepat. Kita akan berpengalaman mengenai timbul dan
lenyapnya suatu kesadaran yang terjadi sekarang dan setiap saat jika kita
mengerti Abhidhammatthasangaha. Kita akan dapat memahami kejadian-kejadian dari
saat ke saat. Kejadian masa lampau telah tiada dan tidak akan timbul lagi.
Kejadian masa mendatang belum tiba yang berarti belum ada. Kejadian pada saat
ini nyata dan benar-benar ada. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menyesali masa lalu
dan merisaukan masa depan, tetapi kita harus hidup dengan kenyataan hari ini.
Abhidhammatthasangaha memungkinkan kita untuk melihat
perbedaan di antara seluruh saat kehidupan, untuk mengetahui saat dari melihat
adalah berbeda dari saat mendengar, saat pengecapan berbeda dengan saat
penciuman bau. Pelajaran mengenai saat-saat yang berbeda dari kesadaran yang
terjadi akan menolong kita mengembangkan pengertian hidup yang tepat. Apa yang
kita ambil untuk diri hanya merupakan gejala-gejala yang saling berubah. Dalam
Paramattha Sacca atau Kebenaran Tertinggi tidak ada "saya" maupun
“dia". Yang ada hanyalah unsure yang berbeda yang timbul dan dapat lenyap
kembali. Kehidupan kita sebenarnya hanyalah satu saat dari kesadaran yang
mengalami satu objek. Saat ini segera lenyap kembali dan kemudian suatu saat
lain muncul. Objek yang dialami pun tidak statis, tetapi lenyap dan kemudian
muncul objek yang lain. Jadi, pada satu saat tertentu hanya ada satu kesadaran.
Kesadaran yang muncul berikutnya memiliki sifat-sifat dari kesadaran yang
mendahuluinya. Jadi, kehidupan kita menyerupai seutas rantai dari saat-saat
kesadaran.
Dalam hidup kita sehari-hari, kita perlu mengetahui
berbagai jenis kesadaran atau citta dan tahu kesadaran mana yang menjadi dasar
akan timbulnya sesuatu perbuatan sehingga kita dapat melakukan perbuatan baik
karena cinta kasih dan kasih sayang yang murni tanpa adanya pikiran tidak baik
yang mengotori perbuatan itu. Kita akan memberikan dana kepada bhikkhu tanpa
adanya unsur-unsur kemelekatan, yaitu dengan cara memberikan dana kepada
bhikkhu, baik yang sudah kita kenal maupun yang belum kita kenal. Kita akan
memberikan pertolongan kepada mereka yang menderita dengan tulus ikhlas, tanpa
adanya pengharapan balas jasa. Sesungguhnya, jika kita memberikan sesuatu
kepada orang lain, maka kita melakukan perbuatan pembersihan diri sendiri. Pada
saat itu tidak ada pikiran mementingkan diri sendiri. Pada saat itu tidak ada
lobha, dosa, dan moha. Memberikan dengan pengertian benar bahwa perbuatan itu
baik adalah lebih bermanfaat daripada memberikan tanpa pengertian benar.
Sebabnya ialah jika kita memberikan sesuatu dengan pengertian bahwa perbuatan
itu membersihkan diri kita sendiri, maka kita seolah-olah mendapat rangsangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak-banyaknya. Untuk itu, kita
akan berusaha untuk menciptakan keadaan-keadaan yang memungkinkan kusala citta
dapat timbul lebih sering.
Menimbulkan
kesadaran akan pengendalian diri
Pada orang yang tekun mempelajari Abhidhammatthasangaha
lambat laun akan timbul kesadaran akan pengendalian diri. Ia akan berusaha
secara maksimal untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik karena ia
telah mengetahui akibatnya yang tentunya tidak menyenangkan.
Banyak sekali terdapat bukti-bukti bahwa setelah
mengetahui lebih banyak tentang citta, mereka telah berubah sama sekali
hidupnya. Orang-orang yang semula sering marah-marah atau orang-orang yang
semula memiliki perasaan dendam yang kuat sekali telah berubah menjadi
orang-orang yang sabar dan pengasih. Semua ini dapat terjadi setelah mereka
mempelajari citta dan memeriksa atau mengecek pengetahuan ini dalam hidup
sehari-hari.
Bila kita mengerti bahwa kehidupan kita adalah nama dan
rupa yang muncul karena keadaan-keadaan dan dapat lenyap kembali, maka kita
akan semakin mengurangi keterikatan pada hasil yang menyenangkan dan akan
mengurangi kecenderungan untuk menyalahkan orang lain karena hal yang tidak
menyenangkan yang kita alami. Kita tidak berhasrat untuk melekat erat-erat pada
rangsangan-rangsangan nafsu yang menyenangkan karena rangsangan-rangsangan
nafsu itu tidak mungkin dapat memberikan kebahagiaan yang kekal.
Kita akan menjadi lebih sabar, bahkan dalam situasi
yang menyulitkan. Kita tidak akan marah bila tiba-tiba kita yang sedang
berjalan di pinggir jalan ditubruk dari belakang oleh sebuah becak. Kita tidak
akan terlalu kecewa bila kita dihina karena kita menyadari bahwa itu hanyalah
suara yang masuk melalui telinga kita.
Menimbulkan
kesadaran akan kesucian diri
Orang yang tertarik belajar Abhidhamma ingin
mempelajari segala sesuatu lebih mendalam dalam pengertian Paramattha Dhamma (Kebenaran
Tertinggi) karena hal ini juga ada hubungannya dengan salah satu nasihat dari
Sang Buddha yang berbunyi, "Sacitta pariyodapana×" yang berarti sucikanlah hati dan pikiran. Untuk mensucikan
pikiran, orang harus mempelajari seluk-beluk pikiran. Pikiran merupakan dasar
timbulnya semua perbuatan baik dan tidak baik yang kita lakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Inilah yang dipelajari dalam Abhidhammatthasangaha. Setelah
mempelajari Abhidhammatthasangaha, orang dapat menyadari betapa pentingnya
peranan pikiran bagi kehidupannya. Mereka yang menyadari hal ini tentu1ah
berusaha memperkembangkan pikiran-pikiran baik atau kusala citta dalam dirinya.
Ia akan berusaha membersihkan pikirannya dari segala noda. Ia akan berhenti
menjadi orang yang hanya memikirkan diri sendiri saja. Ia akan menuntut suatu
kehidupan yang baik dan berguna setelah ia mengerti dengan benar mana yang baik
dan mana yang tidak baik dan mengerti pula akibat dari perbuatan baik dan tidak
baik itu.
Akusala-citta atau keadaan mental yang tidak baik dan
kusala citta atau keadaan mental yang baik merupakan hal-hal yang nyata dalam
hidup sehari-hari. Untuk mengetahuinya lebih dalam, kita harus mempelajari dan
menyelidiki diri kita sendiri, apa yang menyebabkan suatu citta muncul dan
apakah akibatnya.
Dengan mengerti apa yang dimaksud dengan Akusala Citta
dan Kusala Citta serta tahu bila citta-citta itu muncul, kita dapat
menyingkirkan kekotoran-kekotoran batin yang ada dalam diri kita. Jika kita
selalu dapat menyadari dan mengetahui saat-saat citta itu muncul, maka kita
dapat mengenali citta-citta itu. Kita pun dapat mengenal citta-citta yang
mempunyai fungsi-fungsi tertentu, seperti melihat, mendengar, memikir, dan
lain-lain. Dengan mengenal citta-citta itu, kebijaksanaan atau paññā kita akan
berkembang. Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa segala sesuatu yang kita
nikmati dalam hidup kita tidaklah kekal sehingga kita akan berusaha untuk tidak
lagi melekat pada hal-hal yang enak dan nikmat tetapi tidak kekal itu.
Pengetahuan ini juga akan mendorong kita untuk melatih diri dalam melaksanakan
meditasi Pandangan Terang atau Vipassana Bhavana. Dengan melaksanakan Vipassana
Bhavana sedikit demi sedikit, kegelapan batin yang menjadi akar dari semua
kekotoran batin dapat disingkirkan. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana
sedikit demi sedikit kita dapat melihat hal-hal dalam keadaan yang wajar dan
sebenarnya. Kita dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam hidup kita
sehari-hari. Kita dapat mengetahui apa yang sedang terjadi pada waktu sekarang
ini. Kita akan memiliki pengetahuan yang sempurna tentang segala macam
kejadian-kejadian batin dan jasmani. Kita akan menjadi "Orang yang telah
sadar" dan melihat Kesunyataan. Jadi, dengan melaksanakan Vipassana
Bhavana, kita dapat melenyapkan kekotoran-kekotoran batin secara menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar