Selasa, 21 Februari 2012

CARA MENGATUR JASMANI


Rambut kepala tidak boleh tumbuh lebih dari dua bulan, atau lebih dari dua inci panjangnya.

Rambut harus dicukur apabila telah tumbuh dalam batas waktu dua bulan telah dicapai sekalipun panjang rambut itu belum mencapai dua inci panjangnya. Sebaliknya apabila rambut kepala sudah sepanjang dua inci sebelum masa dua bulan tiba, ia harus dicukur.
Hendaknya dipahami bahwa tradisi ini telah berubah sedikit demi sedikit. Diduga perubahan ini timbul sejak para bhikkhu mulai menumbuhkan rambutnya lebih panjang dari peraturan yang ada, oleh karena itu timbullah larangan-larangan menyisir atau menyikat rambut:
Seorang bhikkhu tidak boleh menggunakan jari-jari tangan menelusuri rambut seperti orang menyisir rambut.
Seorang bhikkhu tidak boleh merawat rambutnya dengan menggunakan minyak yang dicampur dengan lilin lebah atau dengan minyak dicampur dengan air yang sekarang disebut minyak rambut atau yang semacam itu dalam dunia kosmetik.
Seorang bhikkhu tidak boleh memotong rambut dengan gunting terkecuali dalam keadaan sakit.
Seorang bhikkhu tidak boleh mencabut uban.
Kesemua larangan ini berlaku bagi seorang bhikkhu yang membiarkan rambutnya tumbuh lebih dari dua inci. Barangkali pada waktu itu tidak terdapat batasan atas panjang rambut kepala dan oleh karena itu sudah sewajarnya bahwa orang harus mencukur rambutnya sebelum menjadi terlalu panjang sehingga dapat dengan mudah dicukur dengan pisau cukur. Di antara kaum pertapa Niggantha rambut diperbolehkan tumbuh dari satu bulan hingga empat bulan. Sesudah empat bulan rambut itu cukup panjang untuk disisir dan dirawat. Hal ini, dilarang bagi para bhikkhu.

Seorang bhikkhu tidak boleh memelihara kumis atau jenggot

Berbeda dengan rambut, mengenai kumis atau jenggot tidak terdapat batasan yang jelas mengenai panjangnya. Barangkali kumis dan jenggot itu tidak cukup panjang untuk dapat dibentuk dalam berbagai macam mode dan tidak dapat dicukur dengan pisau. Barangkali pada mulanya kumis itu dibiarkan tumbuh begitu panjangnya sehingga perlu dilarang memelihara kumis dalam berbagai mode dan memotong kumis dengan gunting.

Seorang bhikkhu tidak boleh membiarkan kukunya panjang.

Kuku harus dipotong pendek sejejar dengan daging (ujung jari) dengan alat tajam yang kecil, dan tidak boleh dipoles menjadi halus. Apabila kuku-kuku tersebut terkenal atau terselip kotoran, benda yang mengotori itu boleh digosok dan dicukil keluar. Pembersihan ini harus dilakukan.
Seorang bhikkhu tidak boleh membiarkan bulu hidung tumbuh panjang. Rambut-rambut ini harus dicabut dengan memakai alat penjepit.
Dalam ilmu fisikologi dijelaskan bahwa rambut di dalam lubang hidung itu berguna untuk mencegah debu terbawa ke dalam paru-paru sewaktu menarik napas. Larangan ini berarti bahwa bulu hidung itu tidak boleh menonjol keluar dari lubang hidung.

Rambut yang tumbuh di tempat-tempat sempit tidak boleh dicabut.

Rambut di badan yang tertutup oleh civara dan rambut di ketiak tidak boleh dicabut, terkecuali apabila dalam keadaan sakit. Dalam hal ini rambut dapat dicabut agar di tempat yang sakit dapat diolesi dengan obat cair atau obat berbentuk serbuk.
Di dalam vinaya, yang dimaksud dengan “tempat-tempat sempit” adalah tempat di sekitar anus. Larangan ini dapat berarti bahwa rambut di sekitar anus tidak boleh dicabut.
Wajah tidak boleh dibedaki atau diolesi dengan cairan-cairan kosmetik atau dicat atau diwarnai dengan zat pewarna. Dahi tidak boleh diberi warna. Badan tidak boleh diwarnai. Kecuali dalam keadaan sakit.
“Membedaki” adalah memakai bedak kering untuk memperindah kulit. “Melapisi wajah”, mengoleskan bubuk kosmetik yang dilarutkan dalam air. Apabila sudah kering muka akan menjadi berwarna sesuai dengan warna bahan kosmetik yang dilarutkan dalam air. Para artis dan remaja, misalnya, melapisi wajahnya seperti ini dan disebut “membedaki wajah”.
Dalam vinaya kedua hal ini, ‘membedaki’ dan ‘mengolesi’ dikatakan sebagai dua hal yang dibendakan dengan jelas. Dan tepat bila dikatakan “melapisi” wajah. “Mengecat muka” adalah memakai kosmetik berwarna berupa bubukan. “mewarnai muka” adalah memakai kunyit (curcuma longa). “Memakai warna-warna di dahi “adalah memoles dahi dengan bubukan harum seperti yang dilakukan pada upacara pemberkahan oleh orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Dalam vinaya dijelaskan sebagai bubuk digunakan bubuk batu merah, suatu larutan atau pewarna yang dipakai untuk membuat lukisan. Ada juga umat Hindu memoles muka mereka dengan susu sapi.
Metode mengecat dan menghiasi muka dengan zat pewarna kiranya lebih tua dari zaman Sang Buddha sendiri, yang dimaksudkan untuk membuat penampilan lebih menarik atau malah lebih menakutkan daripada yang sebenarnya. Orang-orang Cina juga menggunakan teknik pengecatan ini dalam pementasan cerita-cerita kuno.
“Mewarnai badan” adalah mengecat badan dengan memakai cairan kunyit. Kesemua perbuatan ini dilarang karena bersifat memperindah wajah atau badan. Pengecualian diberikan dalam kasus mengindap penyakit kulit bila diperlukan memakai atau memolesi dengan ramuan obat tradisional. Dalam Kitab Vinaya perbuatan ini dijelaskan hanya berkenan dengan muka tetapi badan juga harus dimasukkan.
Seorang bhikkhu tidak boleh menghiasi tubuhnya dengan suatu ornamen seperti anting-anting, gelang, kalung, ikat pinggang, perhiasan-perhiasan tangan dan cincin.
Seorang bhikkhu tidak boleh melihat wajahnya dikaca atau benda yang mirip dengan kaca.
Di dalam kasus sedang sakit atau luka, seorang bhikkhu dapat melihat ke dalam kaca untuk mengamati lukanya agar dapat memoleskan obat atau untuk menutupinya dengan plester dan lain-lain.
Pada waktu yang lampau belum ada kaca yang dibuat dari gelas, kaca dibuat dari lembaran perunggu yang digosok sehingga refleksi muka dapat dilihat. Para bhikkhu dilarang untuk melihat wajahnya pada kaca atau pada permukaan air karena dipandang untuk mempercantik diri. Karena ada larangan memperindah badan, maka melihat gambar atau refleksi itu juga dilarang. Akan tetapi dalam kasus sedang sakit, maka dalam hal ini diperbolehkan.
Tidak ada pelanggaran terhadap penggunaan sebuah kaca demi dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu, umpamanya, mencukur muka atau kepala sendiri walau dapat dilakukan tanpa melihat di kaca.
Seorang bhikkhu tidak boleh bepergian tanpa mengenakan jubah (telanjang) di tempat-tempat yang sesuai dan pada waktu-waktu yang tidak sesuai pula.
Seorang bhikkhu adalah thullaccaya jika ia bepergian dengan telanjang seperti yang biasa dilakukan pada umumnya oleh pertapa Niggantha. Seorang bhikkhu adalah dukkata apabila ia telanjang pada waktu ia melakukan perbuatan-perbuatan berikut dengan bhikkhu lain: memberi hormat dengan anjali, menerima penghormatan, sedang melakukan pelayanan (parikamma), sedang memberikan barang-barang, menerima barang-barang, sedang makan dan minum, tetapi dibolehkan tanpa menggunakan jubah apabila sedang berada dalam rumah api atau rumah api.
Sebab itu, apabila seorang bhikkhu seorang bhikkhu sedang melakukan parikamma di dalam rumah api dan di rumah mandi uap, umpamanya memijat atau orang sakit dan parikamma membersihkan tubuh orang lain bukan suatu apatti. Apabila bhikkhu telah menutupi dirinya sendiri dengan secarik kain, maka ia tidak lagi dianggap telanjang.
Rumah api adalah tempat memanaskan badan sehingga keluar keringat, seperti apa dipakai pada zaman dahulu dengan membuat tenda kain yang berlubang agar kepala berada di luar tenda. Seorang bhikkhu tidak pacittiya bila memanaskan badannya di sana, atau dukkata karena melakukan parikamma telanjang di sana dengan bhikkhu lainnya sebab diperkenankan dalam rumah api.
Pada zaman dahulu tidak banyak tersedia jubah tambahan yang dapat dipakai, tradisi bhikkhu untuk mandi adalah bertelanjang. Apabila para bhikkhu mandi mereka memilih tempat yang terpencil, atau menunggu waktu yang sunyi. Jubah yang dlepas dan yang diletakan di tempat yang dianggap aman. Ia dengan hati-hati merendamkan diri sambil memperhatikan tempat ia meletakan jubahnya. Setelah selesai mandi naik kembali dengan seksama. Kemudian, tempat mandi dibuat di dalam vihara yang dibuat dari kayu atau batu dengan menyikat kayu, lantai bata, batu atau kayu untuk mencegah terpeleset.
Di dalam hubungan ini para bhikkhu dilarang mandi dengan menggosok-gosok badannya dengan benda-benda yang tidak cocok seperti tangan dari kayu, pengaruk berbentuk gigi, atau seutas tali kasar, pohon, tiang, tembok rumah dan papan-papan. Menggosokan punggung dengan punggung bhikkhu lainnya juga dilarang. Secarik kain dan telapak tangan boleh digunakan untuk itu.
Seorang bhikkhu tidak boleh memakai pakaian orang awam.
Peraturan ini melarang bhikkhu memakai pakaian orang awam seperti celana, baju dan topi atau penutup kepala, juga berbagai jenis kain terdiri dari berbagai macam warna dalam cara memakai yang tidak sama dengan bagi kaum bhikkhu.
Di dalam Vibhanga, sikkhapada ke 6 Civaravagga, dalam bab Nisaggiya Pacittiya dijelaskan bahwa apabila pencuri telah mencuri atau merampas jubah-jubahnya, maka seorang bhikkhu dapat menutupi dirinya sendiri dengan benda apapun juga, kain yang dapat dipakai untuk jubah atas dan bawah atau daun-daun, karena seorang bhikkhu tidak boleh bepergian dengan telanjang. Apabila bhikkhu yang pergi dengan telanjang, maka ia melakukan apatti dukkata.
Apabila seorang bhikkhu sudah selesai buang air besar dan di sana terdapat air, maka air itu harus dipakai untuk menyiram. Apabila di sana terdapat air atau ada air tetapi tidak ada gayung, maka mengusap harus dilakukan dengan memakai kayu atau dengan benda lain.
Seorang bhikkhu tidak boleh melakukan Satthakamma di tempat sempit atau dalam jarak dua inci dari tempat sempit. Orang-orang tidak memperbolehkan orang lain melakukan Vatthikamma. Seorang bhikkhu adalah thulaccaya karena memperbolehkan hal-hal ini dilakukan.
“Tempat sempit” berarti anus. Melarang satthakamma di dalam tempat sempit adalah melarang melakukan operasi pada anus atau batas jarak dua inci dari anus dengan memakai benda-benda tajam.
Atthakatha-Acariya telah menjelaskan bahwa memperbolehkan orang lain melakukan satthakamma di dalam tempat sempit berarti memperbolehkan mengoperasi ujung benjolan yang keluar dari anus. Melarang vatthikamma berarti melarang mengikat anus.
Atthakatha-Acariya telah menjelaskan bahwa memperbolehkan orang lain mengikar ujung dari piles itu sedemikian rupa hingga ia dapat mongering dan terlepas sendiri adalah berarti memperbolehkan orang lain untuk melakukan vatthikamma di dalam anus.
Kedua perbuatan ini dilarang, tetapi membersihkan cairan yang terdapat di ujung benjolan serta mengikat ujung itu dengan benang untuk mencegah ia mengerut masuk ke dalam dapat dilakukan. Apabila ujung piles itu terlepas, maka harus memakai obat oles bahkan memasukan obat ke dalam anus, atau memasukan pipa ke dalam anus untuk mengoleskan cairan atau minyak.
Menusuk testikel yang membengkak demi untuk mengeringkan cairan atau mengoperasi benjolan atau bisul dilarang. Kata “Vatthi” di tempat-tempat lain mengandung arti saluran kencing. Melarang vatthikamma adalah dilarang memasukan peralatan ke dalam saluran kencing. Metode ini dilakukan ini sudah dikenal para dokter sudah lama, tetapi pada waktu itu tidaklah terdapat peralatan yang baik.
Dikatakan bahwa orang memasukan daun yang berbentuk tabung seperti daun bawang masuk ke dalam saluran air kencing, sama juga dengan tabung bambu atau rumput yang berbentuk tabung dimasukkan ke dalam anus. Sekalipun pada masa Sang Buddha para dokter memiliki pengetahuan operasi tentang luka-luka, tetapi mereka itu tidak begitu ahli.
Melakukan operasi pada tempat-tempat itu bahkan malah akan membahayakan diri si penderita daripada mengobatinya. Oleh sebab itu hal tersebut dilarang. Merupakan apatti berat. Namun begitu, sekarang terdapat banyak dokter yang berspesialisasi dalam jenis operasi semacam ini dan karena itu maka larangan ini sekarang malah menjadi hambatan untuk keselamatan dari bahaya. Memperlakukan larangan ini pada zaman sekarang tidak tepat lagi.
Adalah suatu tradisi bagi para bhikkhu untuk menggunakan sekerat kayu untuk membersihkan gigi sebab pada zaman dahulu belum digunakan sikat gigi. Di Siam orang menggunakan sekerat kayu lembut seperti sanoh (sesbana spp), atau akar dari lamphu (sonneratia spp), dikunyah sampai menjadi serat-serat.
Kayu gigi harus dibuat seukuran daun sirih yang digulung (kira-kira empat inci panjangnya). Kayu itu harus dikunyah hingga ia menjadi serat kemudian diludahkan seperti jambe itu. Kayu jenis ini adalah sangat baik untuk membersihkan gigi.
Di dalam Vinaya keuntungan menggunakan kayu gigi dijelaskan sebagai berikut: gigi (menjadi) tidak kotor, mulut tidak berbau, syaraf-syaraf (pengecap) menerima rasa makanan dengan baik, ludah tidak membungkus makanan dan apabila memakan makanan rasanya akan menjadi enak. Kayu gigi tidak boleh dibuat terlalu pendek atau terlalu panjang, batas ukuran adalah empat hingga delapan inci panjangnya. Mengulang kunyah kayu gigi seperti mengunyah daun teh atau daun sirih pada waktu lain selain waktu makan dan di dalam tempat-tempat seperti latrines, adalah dilarang.
Air minum harus disaring lebih dahulu. Oleh sebab itu, dibolehkan memiliki saringan air untuk melindungi binatang-binatang kecil dan serangga serta memurnikan air untuk menjaga kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar