Selasa, 21 Februari 2012

KAMMAVACARA CITTA

Kamavacara Citta yang merupakan istilah Pali ini sesungguhnya terdiri atas tiga kata, yaitu "kāma" yang berarti nafsu indera atau dimaksudkan pula dengan sebelas alam indriawi, "avacara" yang berarti berkelana atau berdiam, dan "citta" yang berarti kesadaran atau pikiran. Jadi, Kamavacara Citta berarti kesadaran atau pikiran yang berkelana di sebelas alam indriawi (sebelas Kāma Bhūmi).
Kāma Bhūmi merupakan alam kehidupan yang makhluknya masih senang dengan nafsu indera dan terikat dengan panca indera. Kāma Bhūmi terdiri atas sebelas alam kehidupan, yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:
1.      Apāya Bhūmi atau Dugati Bhūmi, adalah alam kehidupan yang menyedihkan, yang terdiri atas empat alam, yaitu alam neraka, alam setan, alam raksasa asura, dan alam binatang.
2.      Kāmasugati Bhūmi, adalah alam nafsu yang menyenangkan, yang terdiri atas tujuh alam, yaitu alam manusia dan enam alam dewa (Cātummahārajika-Bhūmi, Tāvatimsa Bhūmi, Yāmā Bhūmi, Tusitā Bhūmi, Nimmānarati-Bhūmi, dan Paranimmita-vasavatti Bhūmi).
Makhluk-makhluk yang berdiam di Kāma Bhūmi pada umumnya masih memiliki kāma atau nafsu indera. Dalam diri manusia yang masih memiliki kāma atau nafsu indera, akusala citta atau pikiran tidak baik lebih sering timbul daripada kusala citta atau pikiran baik. Manusia yang belum mencapai jhana dan kesucian lehih sering berbuat jahat daripada berbuat baik. Mereka masih mempunyai akusala-citta dan juga kusala-citta yang timbul silih berganti. Sedangkan, arahat tidak lagi memiliki Akusala Citta dan Kusala Citta. Dari Kamavacara Citta, hanya Mahākiriya Citta dan Ahetuka Citta (Hasituppadacitta) yang dapat timbul pada diri arahat.

Pembagian Kāmāvacara Citta
Kāmāvacara Citta atau Kama Citta berjumlah lima puluh empat jenis. Untuk mempermudah mempelajarinya, Kāmāvacara Citta dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1.      Akusala Citta, yang terdiri atas dua belas jenis.
2.      Ahetuka Citta, yang terdiri atas delapan belas jenis.
3.      Kāmāvacara Sobhana Citta, yang terdiri atas dua puluh empat jenis.
1.  Akusala Citta
Akusala Citta berarti kesadaran atau pikiran yang tidak baik atau amoral. Kesadaran atau pikiran ini bersekutu dengan Akusala Cetasika atau bentuk-bentuk batin yang tidak baik. Kesadaran atau pikiran ini timbul dari lobha atau keserakahan, dosa atau kebencian, dan moha atau kebodohan. Lobha timbul karena indera mencerap objek yang baik, dosa timbul karena indera mencerap objek yang tidak baik, sedangkan moha timbul karena adanya ayonisomanasikara yang berarti pertimbangan yang tidak sedetil-detilnya terhadap sesuatu, sehingga tidak dapat mengetahui sesuatu itu dengan sewajarnya.
Lobha, dosa, dan moha merupakan tiga akar kejahatan atau akusala mula yang mengakibatkan penderitaan bagi manusia. Dengan adanya tiga akar kejahatan ini, manusia bertumimbal lahir terus menerus dalam roda samsara ini. Dalam Kamavacara Citta, Ven. Anuruddhacariya Mahathera mengajarkan Akusala Citta terlebih dahulu. Hal ini disebabkan oleh akibat yang timbul dari adanya akusala citta. Jika akusala citta timbul dalam diri seseorang, maka kesadaran ini akan memberikan akibat tidak baik atau penderitaan yang akan dialami orang tersebut dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, setiap umat Buddha seyogyanya mengetahui sifat atau keadaan dari Akusala Citta itu dan kemudian berusaha melenyapkannya.

Pengelompokan Akusala Citta
Akusala Citta berjumlah dua belas jenis. Berdasarkan akusala mula, Akusala Citta dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu:
1.      Lobhamula Citta, yang terdiri atas delapan jenis.
2.      Dosamula Citta, yang terdiri atas dua jenis.
3.      Mohamula Citta, yang terdiri atas dua jenis.

1.      Lobhamula Citta
Lobhamula Citta berarti kesadaran atau pikiran yang berakar pada lobha. Lobha mula Citta terdiri atas delapan jenis, yaitu:
1.      Somanassa sahagata× ditthigatasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pandangan salah.
2.      Somanassa sahagata× ditthigatasampayuttaa× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pandangan salah.
3.      Somanassa sahagata× ditthigatasampayuttaa× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pandangan salah.
4.      Somanassa sahagata× ditthigatasampayuttaa× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pandangan salah.
5.      Upekkhāsahagata× ditthigatasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pandangan salah.
6.      Upekkhāsahagata× ditthigatasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pandangan salah.
7.      Upekkhāsahagata× ditthigatasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pandangan salah.
8.      Upekkhāsahagata× ditthigatasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pandangan salah.

Dalam Lobhamula Citta yang berjumlah delapan jenis ini terdapat tiga pasang Dhamma, yaitu:
a.       Somanassa-sahagata× dan upekkhāsahagata×.
Somanassa-sahagata× berarti timbulnya disertai kesenangan, yaitu kesenangan yang luar biasa. Jika seseorang mempunyai pikiran serakah yang timbulnya disertai kesenangan yang luar biasa, maka ia akan menerima akibat jahat yang berat.
Upekkhāsahagata× berarti timbulnya disertai kemasabodohan, yaitu mempunyai hanya sedikit kesenangan. Jika seseorang mempunyai pikiran serakah yang timbulnya disertai sedikit kesenangan, maka ia akan menerima akibat jahat ringan atau agak ringan.
b.      Di  higatasampayutta dan di  higatavippayutta.
Di  higatasampayutta berarti bersekutu dengan pandangan salah atau miccha-ditthi, seperti menganggap tidak ada akibat dari perbuatan jahat, tidak ada surga dan neraka. Jadi, orang yang berpikiran seperti ini tidak mengetahui bahwa perbuatan itu salah sehingga ia melekat. Ini tentu lebih berat akibatnya karena dapat menjurus ke alam Apāya.
Di  higatavippayutta berarti tidak bersekutu dengan pandangan salah atau miccha-ditthi, tetapi bukanlah berarti mempunyai pandangan benar atau samma-ditthi. Yang dimaksudkan di sini ialah orang itu telah mengetahui bahwa perbuatan itu salah sehingga ia tidak melekat. Karena tidak melekat, hal ini akan membawa akibat yang lebih ringan.
c.       Asankhārika dan sasankhārika.
Asankhārika berarti timbulnya tanpa ajakan. Jadi, kesadaran atau pikiran ini dalam keadaan kuat (tikkha). Jika seseorang mempunyai pikiran serakah yang timbulnya tanpa ajakan, maka ia akan menerima akibat jahat yang berat.
Sasankhārika berarti timbulnya dengan ajakan. Jadi, kesadaran atau pikiran itu dalam keadaan lemah (manda). Jika seseorang mempunyai pikiran serakah yang timbulnya dengan ajakan, maka ia akan menerima akibat karma jahat yang ringan atau agak ringan.
Contoh lobha jenis pertama ialah pikiran seorang pemuda ketika berhadapan dengan kekasihnya dan dengan bernafsu mengatakan, "Aku cinta padamu, say." Contoh lobha jenis kedua ialah pikiran seseorang untuk nonton film di suatu bioskop atas ajakan sahabatnya dengan disertai kesenangan dan ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu menambah lobha. Contoh lobha jenis ketiga ialah pikiran seseorang untuk mencuri ayam yang timbul secara spontan dengan disertai kesenangan, walaupun ia telah mengetahui bahwa perbuatannya itu salah. Contoh lobha jenis keempat ialah pikiran seseorang untuk pergi memancing ikan mengikuti kehendak sahabatnya dengan disertai kesenangan, walaupun ia telah mengetahui bahwa perbuatannya itu salah.
Contoh lobha jenis kelima ialah pikiran seseorang untuk mencuri mangga yang timbul secara spontan (tanpa ajakan) dengan disertai sedikit kesenangan, dan dengan pandangan tiada ketidakbaikan dalam perbuatannya itu. Contoh lobha jenis keenam ialah pikiran seseorang untuk pergi ke pesta dansa atas undangan sahabatnya dengan disertai sedikit kesenangan, dan dengan pandangan tiada ketidakbaikan dalam perbuatannya itu. Contoh lobha jenis ketujuh ialah pikiran seseorang untuk nonton video yang timbul secara spontan dengan sedikit rasa senang disertai segan. Contoh lobha jenis kedelapan ialah tindakan seorang suami pergi berburu yang dilakukan dengan terpaksa (sedikit kesenangan) karena ia ingin memenuhi permintaan isterinya yang sedang 'ngidam' ingin makan daging ayam hutan walaupun ia telah mengetahui bahwa membunuh itu salah.
Dengan mengetahui tiga pasang Dhamma di atas dan melihat contoh-contohnya, kita dapat mengetahui bahwa di antara delapan jenis Lobhamula-citta itu ternyata lobha jenis pertama berakibat paling berat karena pikiran lobha itu timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pandangan salah. Sedangkan, lobha jenis ke delapan berakibat paling ringan karena pikiran lobha itu timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pandangan salah.
Dengan mengetahui berat ringannya akibat dari pikiran yang berakar pada lobha, kita harus berusaha secara maksimal agar jika pikiran lobha itu harus timbul juga dalam diri kita sebagai manusia biasa yang belum mencapai tingkat kesucian, maka hendaknya pikiran lobha yang timbul itu berakibat paling ringan. Jadi, kita harus berusaha untuk melenyapkan pikiran-pikiran lobha, terutama yang berakibat paling berat, agar kita tidak menderita lebih lama lagi sebagai akibat dari perbuatan jahat yang telah kita lakukan pada masa lampau.

2.      Dosamula Citta
Dosamula Citta berarti kesadaran atau pikiran yang berakar pada dosa. Dosamula Citta terdiri atas dua jenis, yaitu:
1.      Domanassasahagata× pa ighasampayutta× asakhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai ketidaksenangan, bersekutu dengan dendam.
2.      Domanassasahagata× patighasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai ketidaksenangan, bersekutu dengan dendam.

Dalam Dosamula Citta yang berjumlah dua jenis ini terdapat hal-hal yang patut dipahami, yaitu:
a.       Domanassa-sahagata×, yang berarti timbulnya disertai ketidaksenangan karena adanya objek yang tidak baik. Domanassa ini merupakan vedanā atau perasaan yang disebut Domanassa Vedanā. Domanassa Vedanā inilah yang timbul hanya bersama dengan Dosa Citta dua jenis ini. Bila dihubungkan dengan Pañcakkhandha, maka Domanassa-sahagata× ini termasuk Vedanakkhandha.
b.      Patighasampayutta×, yang berarti bersekutu dengan dendam. Patigha ini merupakan dosa-cetasika yang mempunyai sifat kejam, kasar. Bila dihubungkan dengan Pañcakkhandha, maka Pa ighasampayutta× ini termasuk Sankhārakkhandha.
Walaupun domanassa dan pa igha berbeda, tetapi keduanya harus selalu timbul bersama. Di mana ada ketidaksenangan atau kebencian (domanassa), di situ adanya dendam (pa igha).
Di antara dua jenis Dosamula Citta ini ternyata dosa jenis pertama mempunyai akibat yang lebih berat daripada dosa jenis kedua. Contoh dosa jenis pertama ialah pembunuhan tanpa rencana terhadap seseorang yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai pikiran yang penuh dengan kebencian. Contoh dosa jenis kedua ialah kebencian seseorang terhadap kekasihnya yang mengakibatkan putusnya hubungan cinta mereka karena ia percaya pada hasutan temannya yang mengatakan bahwa kekasihnya itu tidak setia, tidak jujur, dan semacamnya.
Sesungguhnya, orang yang "membunuh karena kasih sayang (euthanasia atau mercy killing) mempunyai dosa-citta karena ia sesungguhnya tidak senang melihat penderitaan orang itu. Pada umumnya, orang yang menangis pada saat orang yang dicintainya meninggal dunia juga mempunyai dosa-citta karena ia sesungguhnya tidak senang ditinggalkan oleh orang yang dicintainya itu. Orang yang melakukan bunuh diri pun pada umumnya mempunyai dosa citta karena ia sesungguhnya tidak senang dengan keadaan yang sedang dihadapinya itu.

3.      Mohamula Citta
Mohamula Citta berarti kesadaran atau pikiran yang berakar pada moha. Mohamula Citta terdiri atas dua jenis, yaitu:
1.      Upekkhāsahagata× vicikicchāsampayutta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul disertai kemasabodohan, bersekutu dengan keragu-raguan.
2.      Upekkhāsahagata× uddhaccasampayutta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul disertai kemasabodohan, bersekutu dengan kegelisahan.
Kedua jenis Mohamula Citta ini termasuk Asankhārika, yaitu timbulnya selalu tanpa ajakan.
Dalam Mohamula Citta yang berjumlah dua jenis ini terdapat hal-hal yang patut dipahami, yaitu:
a.       Upekkhāsahagata×, yang berarti timbulnya disertai kemasabodohan, yaitu disebabkan oleh ketidaktahuan.
b.      Vicikicchasampayutta×, yang berarti bersekutu dengan keragu-raguan atau kebingungan, yaitu ketidakyakinan kepada sesuatu yang harus diyakini, misalnya terhadap Sang Tiratana/Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha).
c.       Uddhaccasampayutta×, yang berarti bersekutu dengan kegelisahan, yaitu kekacauan pikiran berkenaan dengan sebuah objek. Jadi, pikiran itu gelisah dan terlepas dari konsentrasi pada berbagai macam objek, tidak tenang atau tidak tetap berada dalam objek.

Akibat mempunyai Akusala Citta
Akusala Citta merupakan kesadaran atau pikiran yang tidak baik. Jika seseorang selalu memuncu1kan Akusala Citta di dalam dirinya, maka ia tentu tidak akan dapat hidup dengan tenang dan bahagia. Ia akan hidup dalam kegelisahan dan kecemasan. Pikirannya menjadi kacau, sehingga ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Ia selalu dihantui oleh perasaan bersalah yang mendalam. Ia pun masih akan menerima buah dari Akusala Citta itu pada kehidupan yang akan datang. Ia akan bertumimbal lahir di alam-alam yang menyedihkan. Jadi, orang yang berbuat jahat akan hidup menderita di kedua alam, baik di alam dunia yang sekarang ini maupun pada kehidupan yang akan datang.
Akusala Citta juga merupakan Akusala Mula atau akar kejahatan yang terdiri atas tiga jenis, yaitu lobha, dosa, dan moha. Jika seseorang mempunyai banyak sifat lobha, maka ia akan bertumimbal lahir di alam setan (Peta Bhūmi) atau alam raksasa asura (Asurakāya Bhūmi) setelah kematiannya dari alam manusia ini. Jika seseorang mempunyai banyak sifat dosa, maka ia akan bertumimbal lahir di alam neraka (Niraya Bhūmi) setelah kematiannya dari alam manusia ini. Jika seseorang mempunyai banyak sifat moha, maka ia akan bertumimbal lahir di alam binatang (Tiracchāna Bhūmi) setelah kematiannya dari alam manusia ini.

Pembasmian Akusala Citta oleh Ariya Puggala
Akusala Citta yang berjumlah dua belas jenis ini masih ada dalam diri setiap makhluk yang belum mencapai tingkat kesucian arahat. Namun, umat Buddha yang baik hendaknya berusaha secara maksimal untuk mempertipis sifat-sifat lobha, dosa, dan moha dari dalam diri masing-masing, sampai akhirnya lenyap pada suatu saat nanti. Dengan lenyapnya kedua belas jenis Akusala-Citta ini, lenyap pulalah dukkha secara total dan tercapailah Nibbāna/Nirvana yang merupakan tujuan terakhir umat Buddha.
Akusala Citta yang berjumlah dua belas jenis ini telah dibasmi sampai ke akar-akarnya oleh arahat (orang suci tingkat tertinggi), sedangkan Sotapanna, Sakadagami, dan Anagami belum dapat membasmi seluruhnya. Sotapanna (orang suci tingkat pertama) telah membasmi lobha jenis pertama, kedua, kelima, dan keenam (Ditthigatasampayutta-Citta), serta moha jenis pertama (Vicikiccha). Sakadagami (orang suci tingkat kedua) telah membasmi lobha jenis pertama, kedua, kelima, dan keenam (Ditthigatasampayutta Citta), serta moha jenis pertama (Vicikiccha), dan melemahkan lobha jenis ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan (Ditthigatavippayutta-Citta), serta dosa jenis pertama dan kedua. Anagami (orang suci tingkat ketiga) telah membasmi lobhamula-citta yang berjumlah delapan jenis, dosamula-citta yang berjumlah dua jenis, dan moha jenis pertama (Vicikiccha).
2.Ahetuka Citta
Ahetuka Citta berarti kesadaran atau pikiran yang tidak bersekutu dengan sebab atau hetu karena kesadaran atau pikiran ini merupakan hasil atau akibat dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan pada masa yang lampau. Ahetuka Citta merupakan kesadaran atau pikiran yang tidak mempunyai enam sebab atau enam hetu. Enam sebab atau enam hetu ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:
1.      Akusalahetu atau sebab kejahatan, yang terdiri atas lobha hetu, dosa hetu, dan moha hetu.
2.      Kusalahetu atau sebab kebaikan, yang terdiri atas alobha hetu, adosa hetu, dan amoha hetu.

Pengelompokan Ahetuka Citta
Ahetuka Citta berjumlah delapan belas jenis. Ke delapan belas jenis Ahetuka Citta ini termasuk Asankhārika, yaitu timbulnya tanpa ajakan karena kesadaran atau pikiran ini merupakan vipaka atau hasil. Ahetuka Citta terbagi atas tiga kelompok, yaitu:
1.      Akusala Vipaka Citta , yang terdiri atas tujuh jenis.
2.      Ahetuka Kusala Vipaka Citta, yang terdiri atas delapan jenis.
3.      Ahetuka Kiriya Citta, yang terdiri atas tigaj jenis.

1.      Akusala Vipaka Citta
Akusala Vipaka Citta berarti kesadaran atau pikiran yang menjadi hasil atau akibat dari akusala kamma atau perbuatan yang tidak baik. Akusala kamma timbul dari akusala citta. Akusala citta setiap jenis disekutui oleh uddhacca atau kegelisahan. Dengan adanya uddhacca atau kegelisahan, kesadaran atau pikiran menjadi tidak kuat memegang objek. Akibatnya, akusala-cetana atau kehendak jahat yang bersekutu dengan hetu atau sebab itu menjadi lemah tenaganya dan tidak mampu memberikan hasil atau akibat. Akusala kamma itu mempunyai tenaga yang lemah dan memberikan hasil atau akibat hanya dalam bagian 'Ahetuka Citta'. Jadi di sini, tidak penting harus dipanggil 'Ahetuka Akusala Vipaka Citta', tetapi cukup dipanggil Akusala Vipaka Citta' saja.
Akusala Vipaka Citta terdiri atas tujuh jenis, yaitu:
1.      Upekkhāsahagata× cakkhuviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera mata melihat objek bentuk (yang tidak baik), disertai kemasabodohan.
2.      Upekkhāsahagata× sotaviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera telinga mendengar objek suara (yang tidak baik), disertai kemasabodohan.
3.      Upekkhāsahagata× ghaöaviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera hidung mencium objek bau (yang tidak baik), disertai kemasabodohan.
4.      Upekkhāsahagata× jivhāviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera lidah mencicip objek rasa (yang tidak baik), disertai kemasabodohan.
5.      Dukkhāsahagata× kāyaviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera badan jasmani merasakan objek sentuhan (yang tidak baik), disertai kesakitan.
6.      Upekkhāsahagata× sampaticchanacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang menerima lima objek (yang tidak baik) hasil cerapan panca indera, disertai kemasabodohan.
7.      Upekkhāsahagata× santiranacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang memeriksa lima objek (yang tidak baik) hasil cerapan panca indera, disertai kemasabodohan.
Dengan demikian, jika seseorang sering melihat objek-objek yang tidak baik, misalnya orang berkelahi, tabrakan, dan semacamnya, maka orang tersebut sesungguhnya telah melakukan akusala kamma pada kehidupan yang lampau. Demikian pula halnya, dengan orang yang sering mendengar fitnahan, cacian, atau celaan; ini menandakan bahwa orang tersebut telah melakukan akusala kamma pada kehidupan yang lampau. Begitu pula halnya dengan orang yang sering mencium bau-bau yang tidak sedap, mencicipi rasa-rasa yang tidak lezat, atau merasakan sentuhan-sentuhan yang tidak lembut.

2.      Ahetuka Kusala Vipaka Citta
Ahetuka Kusala Vipaka Citta berarti kesadaran atau pikiran yang menjadi hasil atau akibat dari kusala kamma atau perbuatan baik yang telah dilakukan pada masa yang lampau. Ahetuka Kusala Vipaka Citta merupakan hasil atau akibat dari kesadaran atau pikiran baik yang tidak bersekutu dengan sebab. Kesadaran atau pikiran ini mempunyai kusala-cetana atau kehendak baik yang bertenaga lemah (kebaikan yang dilakukan tidak dengan sepenuh hati).
Mengenai hasil atau akibat dari kusala kamma itu ada dua macam. Jika kusala kamma mempunyai tenaga yang lemah atau tenaga dalam pemberian hasil atau akibat sedikit disebabkan kusala mempunyai akusala sebagai pengiring, maka akan memberikan hasil atau akibat yang merupakan 'ahetuka-citta', yaitu tidak ada kusala bersekutu dengan hetu atau sebab. Sebaliknya, jika kusala kamma mempunyai tenaga yang kuat akan memberikan hasil atau akibat menjadi 'sahetuka-citta' atau kesadaran yang bersekutu dengan sebab, yang disebut ‘kusala hetu', yaitu alobha-hetu, adosa-hetu, dan amoha-hetu. Dengan sebab inilah, hasil atau akibat dari kusala ada dua bagian, yaitu ahetuka kusalavipaka citta dan sahetuka kusalavipaka citta. Oleh sebab itu, hasil atau akibat dari kusala yang mempunyai tenaga yang lemah dipanggil 'ahetuka kusala vipaka citta'.

Ahetuka Kusala Vipaka Citta terdiri atas delapan jenis, yaitu:
1.      Upekkhāsahagata× cakkhuviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera mata melihat objek bentuk (yang baik), disertai kemasabodohan.
2.      Upekkhāsahagata× sotaviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera telinga mendengar objek suara (yang baik), disertai kemasabodohan.
3.      Upekkhāsahagata× ghanaviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera hidung mencium objek bau (yang baik), disertai kemasabodohan.
4.      Upekkhāsahagata× jivhāviññāna×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul karena indera lidah mencicip objek rasa (yang baik), disertai kemasabodohan.
5.      Sukhasahagata× kāyaviññāna×, yang berarti kesadaran atau, pikiran yang timbul karena indera badan jasmani merasakan objek sentuhan (yang baik), disertai kesenangan.
6.      Upekkhāsahagata× sampaticchanacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang menerima lima objek (yang baik) hasil cerapan panca indera, disertai kemasabodohan.
7.      Upekkhāsahagata× santiranacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang memeriksa lima objek (yang baik) hasil cerapan panca indera, disertai kemasabodohan.
8.      Somanassasahagata× santiranacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang memeriksa lima objek (yang baik) hasil cerapan panca indera, disertai kesenangan.
Dengan demikian, jika seseorang sering melihat objek-objek yang baik, misalnya para bhikkhu yang taat menjalankan vinaya, upasaka dan upasika yang rajin menyebarkan Buddha Dhamma tanpa pamrih, maka orang tersebut sesungguhnya telah melakukan kusala kamma pada kehidupan yang lampau. Demikian pula halnya dengan orang yang sering mendengar pelajaran Dhamma, pujian atau sanjungan terhadap dirinya; ini menandakan bahwa orang tersebut telah melakukan kusalakamma pada kehidupan yang lampau. Begitu pula halnya dengan orang yang sering mencium bau-bau yang sedap, mencicipi rasa-rasa yang lezat, atau merasakan sentuhan-sentuhan yang lembut.

3.      Ahetuka Kiriya Citta
Ahetuka Kiriya Citta berarti kesadaran atau pikiran tidak berakibat yang tidak bersekutu dengan sebab. Kesadaran atau pikiran ini bukan hasil atau akibat dari yang jahat maupun yang baik, pun bukan merupakan kesadaran atau pikiran yang menjadi diri kusala atau akusala. Kesadaran atau pikiran ini berbuat menurut kewajiban pekerjaan dari diri sendiri. Kesadaran atau pikiran ini tidak mampu menimbulkan hasil atau akibat yang baik maupun yang jahat. Namun, jika kesadaran atau pikiran kepunyaan Arahat melakukan berbagai macam pekerjaan menjadi kiriya citta yang bersekutu dengan hetu atau sebab, maka kesadaran ini disebut Sahetuka Kiriya Citta atau Maha Kiriya Citta yang terdiri atas delapan jenis. Jadi, kiriya citta itu ada dua bagian, yaitu Ahetuka Kiriya Citta dan Sahetuka Kiriya Citta.

Ahetuka Kiriya Citta terdiri atas tiga jenis, yaitu:
1.      Upekkhāsahagata× pañcadvārāvajjanacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang menyelidiki objek dari lima pintu indera, disertai kemasabodohan (tidak terikat dengan keadaan ini). Kesadaran atau pikiran ini timbul untuk melaksanakan kewajiban bekerja dalam penerimaan objek waktu sekarang melalui lima pintu indera.
2.      Upekkhāsahagata× manodvārāvajanacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang menyelidiki objek dari hati sanubari, disertai kemasabodohan (tidak terikat dengan keadaan ini). Kesadaran          atau pikiran ini berkewajiban untuk memberikan keputusan terhadap lima objek dari hati sanubari.
3.      Somanassasahagata× hasituppādacitta×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang menimbulkan senyum dari seorang arahat, disertai kesenangan.
Arahat akan tersenyum dengan 'hasituppada-citta' jika objeknya adalah 'anolarika' atau objek yang halus yang mana orang biasa tidak mampu mengetahuinya.
Seorang arahat memang tidak membuat karma baru lagi yang dapat memberikan hasil atau akibat karena seorang arahat tidak akan mengalami tumimbal lahir lagi. Namun, seorang arahat tetap akan menerima akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik yang pernah dilakukannya dahulu ketika ia belum menjadi arahat. Dengan demikian, seorang arahat mungkin saja akan melihat objek-objek yang tidak baik atau mendengar fitnahan-fitnahan terhadap dirinya sebagai akibat dari akusala kamma yang pernah dilakukannya dahulu. Namun, seorang arahat tentu saja tidak akan tergoncang batinnya pada saat menghadapi keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan itu. Ia tidak terikat dengan keadaan ini. Seorang arahat juga masih dapat tersenyum, misalnya pada saat ia melihat makhluk halus. Namun, senyum seorang arahat tentu saja bukan senyum sinis atau senyum mengejek karena seorang arahat telah dapat membasmi kilesa atau kekotoran batin sampai ke akar-akarnya.

Syarat-syarat timbulnya kesadaran indera
Ahetuka Citta yang berjumlah delapan belas jenis ini akan timbul sendiri bila telah memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat itu pada umumnya terdiri atas empat macam.
Untuk timbulnya Cakkhuviññāöa-Citta atau kesadaran melihat diperlukan adanya empat syarat sebagai berikut:
a.       Cakkhu-pasāda, atau landasan mata yang baik.
b.      Rāpārammana, atau objek bentuk atau berbagai macam warna.
c.       Āloka, atau cahaya.
d.      Manasikāra, atau kehendak (untuk melihat).
Untuk timbulnya Sotaviññāöa-Citta atau kesadaran mendengar diperlukan adanya empat syarat sebagai berikut:
a.       Sota-pasāda, atau landasan telinga yang baik.
b.      Saddārammana, atau objek suara.
c.       Vivarākāsa, atau udara (unsur ruangan telinga).
d.      Manasikāra, atau kehendak (untuk mendengar).
Untuk timbulnya Ghanaviññāöa-Citta atau kesadaran mencium diperlukan adanya empat syarat sebagai berikut:
a.       Ghāna-pasāda, atau landasan hidung yang baik.
b.      Gandhārammana, atau objek bau.
c.       Vāyodhātu, atau unsur angin.
d.      Manasikāra, atau kehendak (untuk mencium).
Untuk timbulnya Jivhāviññāöa-Citta atau kesadaran mencicipi diperlukan adanya empat syarat sebagai berikut:
a.       Jivhā-pasāda, atau landasan lidah yang baik.
b.      Rasārammana, atau objek rasa.
c.       Āpodhātu, atau unsur air.
d.      Manasikāra, atau kehendak (untuk mencicipi).

Untuk timbulnya Kāyaviññāöa-Citta atau kesadaran sentuhan diperlukan adanya empat syarat sebagai berikut:
a.       Kāya-pasāda, atau landasan jasmani yang baik.
b.      Photthabbārammana, atau unsur dingin, panas, keras, lunak, kasar, dan halus.
c.       Thaddhapathavi, atau unsur padat.
d.      Manasikāra, atau kehendak (untuk merasakan sentuhan).


Patisandhi Citta dalam Ahetuka Citta
Dalam delapan belas jenis Ahetuka-citta ini ada dua citta yang menjalankan tugas tumimbal lahir yang dinamakan Patisandhi-citta, yaitu:
1.      Upekkhasāntirana-akusalavipāka-citta, yang menyebabkan bertumimbal lahir di alam-alam yang menyedihkan (Apāya-Bhūmi), yaitu alam neraka, atau alam setan, atau alam raksasa asura, atau alam binatang.
2.      Upekkhāsantirana-kusalavipāka-citta, yang menyebabkan bertumimbal lahir di alam manusia, sebagai manusia cacat sejak lahir dan alam dewa tingkat rendah atau Catummahārajika Bhūmi.

Proses Berpikir
Menurut Abhidhamma, dalam keadaan biasa pada satu saat berpikir terdapat tujuh belas getaran kesadaran, yang berlangsung dengan cepat. Ada pun proses berpikir pada keadaan biasa tersebut adalah:
1.   Atita Bhavanga atau kesadaran tidak aktif lampau.
2.   Bhavanga Calana atau kesadaran bergetar.
3.   Bhavanga Upaccheda atau kesadaran berhenti bergetar.
4.   Pañcadvārāvajjana atau lima gerbang tempat masuk objek.
5.   Pañca viññāöa atau lima kesadaran.
6.   Sampaticchana atau kesadaran penerima.
7.   Santirana atau kesadaran pemeriksa.
8.   Votthapana atau kesadaran memutuskan.
9 – 15. Javana atau kesadaran impulsi.
16 – 17. Tadālambana atau kesadaran merekam.

Tahap pertama
Bhavanga Citta adalah kesadaran yang pasif. Kesadaran pasif ini terdapat pada orang yang sedang tidur nyenyak tanpa mimpi atau ketika seseorang tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap rangsangan objek dari luar maupun dari dalam. Kesadaran ini dipandang sebagai tahap pertama untuk mempelajari proses berpikir walaupun proses berpikir itu belum mulai.

Tahap kedua
Bhavanga Calana adalah kesadaran yang bergetar karena ada objek luar atau rangsangan pada indera yang diterima oleh orang yang tidur. Pada tahap ini, Atita Bhavanga lenyap atau dengan perkataan 1ain Bhavanga Citta mulai aktif. Kesadaran ini merupakan tahap kedua. Calana berarti bergerak atau bergetar. Pada tahap ini, bhavanga mulai bergetar. Getaran ini hanya satu saat saja dan sesudah itu berhenti. Hal ini merupakan akibat dari rangsangan atau objek yang berusaha untuk menyentuh atau menarik perhatian kesadaran pikiran dengan cara mengganggu arus bhavanga.

Tahap ketiga
Bhavanga Upaccheda adalah tahap pada waktu getaran Bhavanga (Calana) terhenti. Upaccheda berarti dipotong atau diputuskan. Sebagai akibat, proses pikiran muncul dan mulai mengalir, tetapi stimulasi atau objek belum dapat dikenal oleh kesadaran.

Tahap keempat
Pancadvaravajjana atau kesadaran mengarah pada lima pintu indera. Pada tahap ini, kesadaran dari proses berpikir mulai mengarah untuk mengenal objek dan pada tahap ini pula kesadaran diarahkan untuk mengetahui pada indera mana dari lima pintu indera, stimulus akan masuk. Pancadvara adalah lima pintu", sedangkan avajana berarti "mengarah pada". Pada tahap ini, orang yang tidur baru tersadar dan perhatiannya diarahkan pada sesuatu, tetapi tidak mengetahui apa-apa tentang hal ini.
Bila perhatiannya bangkit bukan disebabkan oleh rangsangan dari luar melalui salah satu panca inderanya, tetapi oleh rangsangan dalam yaitu dari pikiran, maka tahap ini disebut manodvaravajjana atau "Kesadaran mengarah pada pintu indera pikiran". Dalam hal ini tahap proses berpikir agak berbeda dengan proses yang dibicarakan karena tahap kelima sampai kedelapan tidak terjadi.

Tahap kelima
Uraian pada tahap ini dibicarakan bila proses berpikir didasarkan pada kesadaran yang mendapat rangsangan luar melalui panca indera. Panca adalah lima, sedangkan vinnana adalah kesadaran. Bila rangsangan itu adalah bunyi, maka sota-vinnana atau kesadaran mendengar yang bekerja. Bila rangsangan itu adalah sentuhan, maka kaya-vinnana atau kesadaran tubuh yang bekerja. Bila itu adalah bayangan atau objek pandangan, maka cakkhu-vinnana yang bekerja, dan seterusnya. Dalam hal ini pada setiap indera ada kesadaran indera dan kesadaran indera ini yang bekerja. Namun, pada tahap ini kesadaran belum mengerti betul tentang rangsangan apa yang muncul melalui pintu indera; hal ini hanya dirasakan.

Tahap keenam
Sampaticchana adalah kesadaran penerima. Tahap ini muncul bila kesan indera disebabkan oleh rangsangan yang diterima dengan baik.

Tahap ketujuh
Setelah penerima berfungsi, maka muncul fungsi pemeriksa (santirana). Pada tahap ini, santirana melaksanakan fungsi memeriksa dengan cara menentukan rangsangan atau objek apa yang menyebabkan kesan indera. Jadi, apa yang diterima itu diperiksa.

Tahap kedelapan
Votthapana adalah kesadaran memutuskan atau menentukan. Pada tahap ini, keputusan diambil berdasarkan rangsangan yang disebabkan oleh kesan indera. Jadi, apa yang diperiksa itu diputuskan atau ditentukan baik atau buruk.

Tahap kesembilan sampai kelima belas
Javana adalah kesadaran impulsi. Pada saat ini, kesadaran bergetar selama tujuh kali (pada saat-saat
Menjelang meninggal dunia, Javana hanya bergetar lima kali). Javana merupakan saat intropeksi yang diikuti oleh perbuatan. Javana berasal dari kata kerja “Javati” yang berarti “lari mendorong atau mendesak”. Javana merupakan impulsi yang muncul sebagai klimaks dari proses kesadaran dalam proses berpikir karena pada tahap ini seseorang dapat menyadari dengan jelas tentang objek atau rangsangan dengan semua ciri-cirinya.
Pada tahap ini, kamma atau karma mulai berproses sebagai karma baik atau buruk karena kemauan bebas ada pada Javana. Tahap-tahap lain dari proses berpikir merupakan gerakan reflek dan harus muncul, sedangkan Javana merupakan tahap di mana kesadaran bebas untuk menentukan atau memutuskan. Dalam Javana ada hak untuk memilih dan mempunyai kekuatan untuk menentukan masa depan sesuai dengan kehendaknya (karmanya). Bila suatu hal salah dimengerti (ayonisomanasikara) dan perbuatan telah dilaksanakan, maka hasilnya tidak menyenangkan atau karma buruk. Javana adalah kata teknis yang sulit sekali diterjemahkan dengan tepat.

Tahap keenam belas dan ketujuh belas
Tadalambana atau kesadaran mencatat atau merekam kesan. Tadalambana adalah dua saat yang merupakan akibat yang muncul segera setelah javana. Fungsi Tadalambana adalah mencatat atau merekam kesan yang dibuat oleh Javana. Tadalambana bukan bagian yang paling penting dari proses berpikir karena fungsinya hanya merekam kesan saja. Jika kesan yang dibuat itu kurang jelas, maka Tadalambana tidak akan muncul. Tadalambana berasal dari kata 'Tadarammana" yang berarti "objek itu" karena kesadaran ini mempunyai objek yang sama dengan objek dari javana.
Suatu hal yang perlu sekali diperhatikan dalam uraian ini adalah bahwa tujuh belas tahap yang membentuk satu proses berpikir hanya berlangsung dalam waktu yang sangat pendek sekali. Perkembangan dari proses berpikir adalah berbeda-beda bagi setiap objek. Hal ini terjadi karena adanya intensitas rangsangan yang berbeda pula. Jika intensitas rangsangan besar sekali, maka suatu proses berpikir yang sempurna terjadi. Jika intensitas rangsangan besar, maka Tadalambana (tahap keenam belas dan ketujuh belas) tidak terjadi. Jika intensitas rangsangan kecil atau kecil sekali, maka proses berlangsung tanpa ada kesadaran yang sempurna.

Proses kematian
Setelah kita mempelajari proses berpikir, maka kita akan lebih mudah mempelajari cara kerja proses pikiran pada saat kematian. Dengan mempelajari dan mengerti tentang proses pikiran pada saat kematian, maka kita akan dapat memperhatikan apa yang berlangsung setelah kematian karena hanya dengan cara ini kita dapat mengerti tentang kelahiran kembali.

Pengaruh kematian pada jasmani
Manusia terdiri dari kombinasi antara jasmani atau rupa dan batin atau nama. Hubungan antara jasmani dan batin sangat erat bagaikan bunga dengan baunya. Jasmani sebagai bunga dan batin sebagai bau, sedangkan kematian hanya merupakan pemisahan antara dua faktor ini. Bila orang berada pada saat-saat menjelang kematian, maka jasmani dan batinnya menjadi lemah. Mungkin seseorang merasa selalu kuat, tetapi pada saat menjelang kematian ia menjadi lemah. Hal ini terjadi karena pada waktu getaran dari kesadaran yang bergetar sampai tujuh belas kali itu akan selesai, tidak ada fungsi baru dari jasmani yang terjadi. Hal ini dapat diibaratkan sebagai kipas angin listrik yang arus listriknya diputuskan sehingga tidak ada tenaga lagi. Jika kombinasi jasmani dan batin terpisah, jasmani dan batin tidak lenyap. Jasmani akan mulai berproses menjadi lapuk. Jasmani atau materi tidak dapat lenyap, tetapi akan terurai menjadi zat padat, cair, dan gas. Elemen ini tak akan lenyap, tetapi bentuk elemen-elemen itu saja yang berubah.

Proses kematian pada batin
Apakah yang terjadi pada batin setelah manusia itu meninggal dunia? Batin tidak berbeda dengan jasmani yang tetap berproses. Proses perubahan batin dari satu keadaan ke keadaan yang lain berlangsung terus dengan cepat, sehingga bagi orang yang tak mengerti akan menganggap bahwa batin itu tetap kekal. Namun, kematian itu sesungguhnya tidak menghentikan proses batin. Proses pikiran tidak berhenti pada saat kematian.
Pada saat terakhir sebelum saat kematian yang disebut Maranasanna Javana Citta, walaupun lemah dan tidak dapat membuat buah pikiran baru, tetapi memiliki suatu potensi besar untuk mengetahui atau melihat salah satu dari tiga objek pikiran yang masuk dalam pikiran dari orang yang segera akan meninggal. Objek pikiran yang muncul ini tidak dapat ditolak. Munculnya salah satu dari tiga objek pikiran inilah yang menyebabkan sebuah pikiran baru muncul. Pemunculan salah satu dari tiga objek sebagai tanda kematian ini bukan dihasilkan oleh kekuatan dari luar, tetapi hal ini terjadi berdasarkan pada perbuatan-perbuatan atau karma orang tersebut selama hidupnya. Kamma yang bekerja pada saat seperti ini disebut Janaka Kamma (karma yang berfungsi menghasilkan, menyebabkan suatu kelahiran). Kematian ini merupakan refleksi dari perbuatannya sendiri.

Proses batin atau pikiran pada saat kematian
Menurut pandangan Buddhis, kematian terjadi karena salah satu dari empat hal di bawah ini, yaitu:
1.      Kammakkhaya atau habisnya kekuatan Janaka Kamma (karma yang mengatur tentang kelahiran). Jika potensi dari Janaka Kamma telah habis, maka aktivitas organis jasmani yang memiliki daya hidup (Jivitindriya) mati walaupun batas usia kehidupan di alam tertentu itu belum habis. Hal ini biasanya terjadi pada makhluk-makhluk yang lahir di alam yang menyedihkan (Apāya Bhūmi), tetapi hal ini terjadi juga di alam-alam lain.
2.      Ayukkhaya atau habisnya masa kehidupan makhluk.
Hal ini terjadi sesuai dengan batas usia kehidupan makhluk di masing-masing alam.
3.      Ubhayakkhaya atau habisnya kekuatan Janaka Kamma dan Ayu atau batas usia kehidupan makhluk secara bersama-sama.
4.     Upacchedaka kamma atau munculnya kamma penghancur atau pemotong yang kuat sehingga walaupun Janaka Kamma dan Ayu belum selesai, orang tersebut meninggal dengan cepat.
Kematian seseorang terjadi karena ia telah melakukan perbuatan yang buruk sekali. Jadi, walaupun Janaka Kamma dan usia kehidupannya belum selesai, ia tiba-tiba meninggal dunia sebagai akibat perbuatan buruk tersebut. Suatu kekuatan tertentu dapat menghentikan kendaraan melaju, demikian pula karma yang kuat dapat melenyapkan potensi dari arus proses berpikir dan mengakibatkan seseorang meninggal.

Kammakkhaya, Ayukkhaya, dan Ubhayakkhaya disebut sebagai "meninggal pada waktunya" (kala-marana), sedangkan meninggal karena Upacchedaka kamma disebut "meninggal bukan pada waktunya" (akala-marana). Untuk memperjelas keempat hal ini dapat diambil perumpamaan sebagai berikut:
Makhluk itu sebagai lampu minyak. Lampu akan padam karena empat hal, yaitu jika minyak habis, sumbu habis, minyak dan sumbu bersama-sama habis, atau karena ada angin kencang yang bertiup.
Uraian di atas tentang kematian secara umum. Ada pula uraian tentang kematian secara khusus dilihat pada proses kematian yang berlangsung pada batin seseorang. Berikut ini akan diuraikan proses kematian yang berhubungan erat dengan proses berpikir.
Proses kematian hanya berbeda sedikit dengan proses berpikir dalam keadaan biasa atau normal. Proses batin dan dalam hal ini yang dibicarakan adalah proses pikiran pada kematian sebagai berikut:
1.      Atita Bhavanga.
2.      Bhavanga Calana.
3.      Bhavanga Upaccheda.
4.      Manodvārāvajana atau kesadaran mengarah pada pintu indera pikiran.
5.      Maraöasanna Javana Citta atau impuls javana mendekati kematian.
6.      Tadalambana.
7.      Cuti Citta atau kesadaran kematian.
8.      Patisandhi-viññāöa atau kesadaran kelahiran kembali yang terjadi pada kehidupan berikut.

Atita Bhavanga
Keadaan kesadaran ini tak berbeda dengan kesadaran pada proses berpikir biasa (lihat di atas).

Bhavanga Calana dan Bhavanga Upaccheda
Ketentuan kedua bhavanga ini sama seperti di atas. Namun, karena di sini dibicarakan proses kematian, jadi yang ditentukan adalah proses pikiran orang yang akan segera meninggal. Pada tahap ini, orang yang akan meninggal belum dapat mengenal rangsangan yang terjadi. Rangsangan yang dibicarakan sekarang adalah salah satu dari tiga objek pikiran atau tanda kematian (diuraikan nanti).

Manodvaravajjana
Manodvaravajjana adalah kesadaran mengarah ke pintu indera pikiran. Pada waktu membicarakan proses berpikir normal, dibicarakan tentang pancadvaravajjana yang terjadi jika rangsangan dapat dikenal atau diketahui oleh salah satu dari lima indera melalui salah satu pintu indera – pintu indera itu, yaitu melihat, mendengar, membau, merasa/mengecap, atau menyentuh. Namun, dalam kasus tentang proses berpikir pada kematian, rangsangan yang muncul bukan dari luar melainkan rangsangan dalam yang merupakan pikiran atau ingatan yang hanya dapat dikenal melalui pikiran.
Marana Javana Citta
Marana Javana Citta adalah impuls javana mendekati kematian yang merupakan tahap phsikologis yang penting. Dalam membicarakan tentang proses berpikir normal ada tujuh impuls javana, tetapi pada orang yang akan meninggal hanya ada lima impuls javana. Salah satu dari tiga objek pikiran atau tanda kematian muncul pada tahap javana ini. Pada saat salah satu objek ini muncul, getaran bhavanga terhenti. Kesadaran berproses melalui manodvaravajjana dan tiba pada javana. Pada saat ini, kesadaran atau pikiran dapat mengetahui dengan jelas rangsangan yang ada.

Tiga objek pikiran atau tanda kematian itu adalah:
a.       Kamma
Ingatan pada suatu perbuatan yang baik atau buruk, hebat atau penting yang pernah dilakukan seseorang sebelum meninggal itu akan muncul padanya walaupun kematian itu terjadi secara tiba-tiba. Bila ia telah melakukan salah satu dari kamma buruk berat (Akusala Garuka Kamma), yaitu membunuh ayah, ibu, arahat, melukai seorang samma-sambuddha, dan memecah belah sangha; atau telah melakukan karma baik berat (Kusala Garuka Kamma), misalnya mencapai jhana-jhana atau keariyapuggalaan, maka ia akan mengingat atau mengalami karma tersebut sebelum saat kematian. Karena karma berat ini amat kuat, maka karma-karma lain menjadi tertekan dan karma berat itu akan jelas dalam ingatannya. Bila ia tak pernah melakukan Garuka Kamma, maka yang menjadi objek ingatannya adalah perbuatan atau karma yang ia lakukan menjelang kematiannya (Asanna Kamma) yang disebut "karma menjelang saat kematian". Jika Asanna Kamma tidak dilakukan, maka suatu perbuatan yang sering atau biasa dilakukan (Acinna Kamma atau Bahula Kamma) akan muncul dalam ingatannya, seperti memberikan dana karena ia dermawan, memberikan khotbah karena ia Dharmaduta, atau mencuri karena ia maling, dan seterusnya. Jika Garuka Kamma, Asanna Kamma, dan Acinna Kamma tidak ada, maka perbuatannya tertentu yang tak berarti dan hanya sekali dilakukan, apakah itu perbuatan baik atau buruk, yang dikenal Katatta Kamma yang akan teringat olehnya. Jika ingatan itu tentang karma baik, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, bila ingatan itu tentang karma buruk, maka ia akan terlahir kembali dalam keadaan yang lebih buruk daripada keadaan sekarang atau terlahir kembali di alam yang menyedihkan sebagai makhluk setan, binatang, raksasa asura, atau makhluk neraka.

b.      Kamma Nimitta
Pada orang yang dalam proses akan meninggal, kadang-kadang suatu ingatan muncul dengan sendiri yang bukan merupakan ingatan tentang suatu perbuatan baik atau buruk, tetapi suatu simbol dari perbuatannya. Kamma adalah perbuatan, sedangkan nimitta adalah bayangan. Demikianlah bagi seorang tukang jagal, mungkin ia melihat pisau, pemabuk melihat botol, orang saleh melihat altar. Hal ini dilihat dengan mata batin dan bukan mata phisik.

c.       Gati Nimitta.
Objek pikiran dari orang yang akan meninggal dunia dapat pula berupa simbol dari atau harapan akan tempat di mana ia akan terlahir kembali. Jadi misalnya, muncul bayangan api, maka orang itu akan terlahir kembali di alam neraka; sedangkan orang yang melihat bunga yang indah akan terlahir di alam surga.

Tadalambana
Setelah tahap kesadaran impuls dari Maranasannajavana citta, muncul tahap kesadaran Tadalambana (lihat uraian di atas).

Cuti Citta
Cuti Citta atau kesadaran kematian ini merupakan kesadaran terakhir yang ada pada kehidupan sekarang. Cuti adalah lenyap atau mati. Pada tahap ini, proses kematian berakhir, keadaan cuti citta sama dengan bhavanga citta. Kesadaran ini merupakan kesadaran bhavanga yang terakhir dan kesadaran ini mengambil bhavanga citta pertama dari kelahiran berikut, yaitu Patisandhivinnana. Cuti citta secara phsikologis tidak terlalu penting, karena cuti-citta hanya merupakan kesadaran kematian. Akhir dari proses pikiran bukan cuti citta, tetapi maranasannajavana citta. Pada saat cuti citta muncul, kematian tiba.

Patisandhi Vinnana
Pada saat cuti citta muncul dan berakhir dengan kematian bukan berarti proses kesadaran terhenti karena kematian, tetapi proses kesadaran masih bergetar terus dengan munculnya Patisandhi-vinnana (Patisandhi-citta) pada kelahiran berikut dan pada kehidupan baru. Cuti citta dan Patisandhi citta merupakan nama khusus yang diberikan pada bhavanga citta. Pemberian nama teknis ini digunakan untuk mempermudah kita mempelajari dan mengerti proses kematian dan proses kelahiran kembali. Karena dua citta tersebut adalah sama, yaitu kesadaran bhavanga yang berproses dan sebab proses itu berlangsung dalam seri urutan sama serta berkesinambungan, maka objek dari kedua kesadaran (Cuti Citta dan Patisandhi Citta) adalah sama. Harus diingat di sini bahwa yang menghasilkan Patisandhi Citta adalah Maranasanna Javana Citta dan bukan cuti citta. Ingat, pada javana di atas telah diterangkan, karena terjadi, maka akibat karma yang dibuat pada javana muncul hasil atau buah karma. Demikian pula dalam hal ini, Patisandhi Vinnana dihasilkan oleh Maranasanna Javana Citta sebagai akibat.

Proses Kelahiran Kembali
Berdasarkan pada uraian tentang proses berpikir dan proses kematian, maka tidak sulit untuk mengikuti atau mempelajari tentang fungsi proses kelahiran kembali, karena proses kelahiran kembali hanya merupakan kelanjutan dari proses kematian. Proses kelahiran kembali hanya berlangsung lima tahap dalam batin seseorang sebagai berikut:
1.      Patisandhi Vinnana.
2.      Bhavanga Citta.
3.      Manodvaravajana.
4.      Javana.
5.      Bhavanga Citta.

1.      Patisandhi Viññāna
Patisandhi Vinnana adalah kesadaran kelahiran kembali. Dalam uraian tentang proses kematian, patisandhi vinnana disebutkan pada urutan proses bagian akhir. Penyebutan ini bukan berarti bahwa patisandhi vinnana terjadi pada pikiran dari orang yang akan meninggal dunia itu. Namun, penyebutan patisandhi vinnana dalam uraian proses kematian adalah untuk menunjukkan proses sebab akibat yang berkesinambungan dalam proses kematian dan yang kelak akan terlahir kembali.
Patisandhi vinnana hanya merupakan akibat dari marana-sanna javana citta. Patisandhi vinnana hanya muncul atau ada pada batin atau pikiran dari makhluk yang baru terlahir kembali. Jika makhluk itu terlahir kembali sebagai manusia, maka patisandhi vinnana muncul pada ovum yang baru dibuahi oleh sperma dalam kandungan atau tabung (untuk bayi tabung). Bersamaan dengan adanya patisandhi vinnana terjadi pula "kelompok sepuluh dari jasmani (kaya dasaka)", "kelompok sepuluh dari kelamin (bhava dasaka)", dan "kelompok sepuluh hari hati sanubari atau kedudukan kesadaran (vatthu dasaka)".
Kaya dasaka terdiri dari: 1. elemen padat, 2. elemen cair, 3. elemen panas, 4. elemen gas, 5. warna, 6. bau, 7. rasa, 8. sari makanan, 9. unsur kehidupan, dan 10. landasan jasmani (yaitu bagian luar tubuh yang peka). Bhava dasaka terdiri dari : 1 sampai 9 seperti pada Kaya dasaka dan 10. kelamin (laki-laki atau perempuan). Sedangkan, vatthu dasaka terdiri dari : 1 sampai 9 seperti pada Kaya dasaka dan 10.unsur hati sanubari (kedudukan kesadaran).
Menurut Pandangan Buddhis, kelamin ditentukan pada saat pembuahan dan dihasilkan oleh karma. Walaupun demikian, kelamin belum berkembang pada saat pembuahan, tetapi potensi kelamin adalah laten. Dengan adanya Patisandhi Vinnana, kombinasi jasmani dan batin mulai berkembang dalam kandungan atau tabung. Sperma dan ovum orang tua menyiapkan materi, sedangkan Patisandhi Vinnana menyiapkan batin. Patisandhi Vinnana berhubungan dengan kehidupan yang lalu dan kehidupan baru. Proses kesadaran tidak pernah berhenti. Kesadaran terakhir dari makhluk yang meninggal berproses terus dan menghasilkan kesadaran lain tetapi bukan dalam tubuh yang sama. Kesadaran lain itu adalah Patisandhi Vinnana yang hanya bergetar sesaat lalu lenyap dan langsung diikuti oleh Bhavanga Citta.
Dinyatakan pula bahwa ada empat macam cara kelahiran dari makhluk-makhluk, yaitu:
a.       Jalabuja-yoni, atau kelahiran melalui kandungan.
Contoh makhluk yang lahir melalui kandungan adalah manusia, anjing, kucing, kambing, kerbau, kuda, dan lain-lain.
b.      Andaja-yoni, atau kelahiran melalui telur.
Contoh makhluk yang lahir melalui telur adalah ayam, unggas, ular (kecuali King Snake di Amerika Selatan yang melahirkan anak), buaya, dan lain-lain.
c.       Sansedaja-yoni, atau kelahiran melalui tempat-tempat lembab.
Contoh makhluk yang lahir melalui tempat-tempat lembab adalah nyamuk dan binatang tingkat rendah lainnya.
d.      Opapatika-yoni, atau kelahiran secara spontan.
Biasanya makhluk yang lahir secara spontan adalah makhluk yang tak terlihat oleh mata manusia biasa.      Contohnya adalah para dewa, peta atau asura, raksasa asura dan makhluk di alam brahma.

2.      Bhavanga Citta
Setelah Patisandhi Vinnana lenyap, Bhavanga Citta muncul dan bergetar selama 16 saat. Pada tahap embryo, ia masih merupakan bagian tubuh ibu. Itu sebabnya Bhavanga Citta berproses dengan lancer tanpa ada gangguan.

3.      Manodvaravajjana
Telah disebutkan di atas bahwa Bhavanga Citta hanya berlangsung selalu 16 saat dan lenyap. Kemudian, muncul Manodvaravajana. Bhavanga Citta memberikan jalan untuk berlangsungnya proses berpikir berdasarkan keinginan yang muncul dalam batin dari embryo karena kehidupan barunya.

4.      Javana
Segera Manodvaravajjana lenyap, Javana atau impuls kesadaran muncul. Javana melangsungkan kesadaran yang terjadi pada Manodvaravajana, yaitu keinginan pada kehidupan baru. Javana mengembangkan keinginan makhluk baru (Bhava-nikanti Javana). Javana bergetar selama 7 saat, kemudian lenyap.
5.      Bhavanga Citta
Setelah Patisandhi Vinnana lenyap, Bhavanga Citta muncul dan bergetar selama 16 saat. Pada tahap embryo, ia masih merupakan bagian tubuh ibu. Itu sebabnya Bhavanga Citta berproses dengan lancar tanpa ada gangguan.

3.      Manodvaravajjana
Telah disebutkan di atas bahwa Bhavanga Citta hanya berlangsung selalu 16 saat dan lenyap. Kemudian, muncul Manodvaravajana. Bhavanga Citta memberikan jalan untuk berlangsungnya proses berpikir berdasarkan keinginan yang muncul dalam batin dari embryo karena kehidupan barunya.

4.      Javana
Segera Manodvaravajjana lenyap, Javana atau impuls kesadaran muncul. Javana melangsungkan kesadaran yang terjadi pada Manodvaravajana, yaitu keinginan pada kehidupan baru. Javana mengembangkan keinginan makhluk baru (Bhava-nikanti Javana). Javana bergetar selama 7 saat, kemudian lenyap.

5.      Bhavanga Citta
Ketika Javana lenyap, Bhavanga Citta muncul dan bergetar. Bhavanga Citta bergetar terus hingga ada sesuatu yang menghentikannya. Pada waktu bayi lahir, ia mulai berhubungan dengan dunia luar, maka proses berpikir normal mulai berfungsi.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelahiran kembali merupakan kelangsungan arus kehidupan dari kesadaran yang bergetar karena adanya dorongan dari kekuatan karma. Kelahiran kembali merupakan bagian dari kehidupan, dan kehidupan adalah suatu arus kesadaran (vinnana) yang berlangsung terus berdasarkan kekuatan karma. Jadi, kematian manusia yang kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari hanya merupakan perubahan ujud atau bentuk saja, karena sesungguhnya arus kehidupan dari orang yang dikatakan meninggal itu telah terlahir kembali di suatu alam tertentu atau di bumi kita ini sebagai dewa, manusia, setan, atau makhluk dalam neraka yang ditentukan oleh karmanya sendiri.
3.Kamavacara sobhana Citta
Kamavacara-sobhana Citta berarti kesadaran atau pikiran baik yang pada umumnya terdapat pada makhluk-makhluk yang berdiam di Kāma Bhūmi. Kesadaran atau pikiran baik ini berjumlah dua puluh empat jenis. Untuk makhluk-makhluk yang belum mencapai kesucian, kesadaran atau pikiran baik ini dinamakan Maha Kusala Citta. Sedangkan, kesadaran atau pikiran baik yang timbul pada arahat dinamakan Maha Kiriya Citta. Dalam Kamavacara-sobhana Citta ini juga terdapat Maha Vipaka Citta yang merupakan Patisandhi Citta.

Pengelompokan Kamavacara sobhana Citta
Kamavacara-sobhana Citta berjumlah dua puluh empat jenis yang terbagi atas tiga kelompok, yaitu:
1.      Mahakusala Citta, yang terdiri atas delapan jenis.
2.      Mahavipaka Citta, yang terdiri atas delapan jenis.
3.      Mahakiriya Citta, yang terdiri atas delapan jenis.

Mahakusala Citta
Mahakusala Citta berarti kesadaran atau pikiran yang maha baik. Kesadaran atau pikiran ini dapat timbul pada tiga puluh alam kehidupan (tidak termasuk alam Asannasatta karena makhluk yang berdiam di alam ini tidak mempunyai citta dan juga cetasika). Jadi, makhluk-makhluk yang berdiam di alam Apāya pun dapat mengembangkan mahakusala-citta jika mereka memang mau mengembangkannya. Misalnya, pada saat seekor anjing sedang menolong majikannya dari bahaya yang mengancam atau pada saat seekor induk macan sedang melindungi anak-anaknya dari bahaya dengan penuh kasih sayang.

Mahakusala-Citta terdiri atas delapan jenis, yaitu:
1.      Somanassasahagata× ñānasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan.
2.      Somanassasahagata× ñānasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan.
3.      Somanassasahagata× ñānavippayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
4.      Somanassasahagata× ñānavippayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
5.      Upekkhāsahagata× ñānasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pengetahuan.
6.      Upekkhāsahagata× ñānasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pengetahuan.
7.      Upekkhāsahagata× ñānavippayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
8.      Upekkhāsahagata× ñānavippayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
Dalam Mahakusala Citta yang berjumlah delapan jenis ini terdapat tiga pasang Dhamma yang patut dipahami, yaitu :
a.       Somanassasahagata× dan upekkhāsahagata×.
Somanassasahagata× berarti timbulnya disertai kesenangan, yaitu kesenangan yang luar biasa. Orang akan berbuat kebaikan dengan perasaan senang yang luar biasa bila ia mempunyai saddha atau keyakinan yang kuat akan kebenaran hukum karma. Orang yang berbuat kebaikan dengan somanassa-vedana tentu akan menerima akibat pahala yang besar.
Upekkhāsahagata× berarti timbulnya disertai kemasabodohan, yaitu mempunyai hanya sedikit kesenangan. Orang akan berbuat kebaikan dengan sedikit senang hati bila ia mempunyai sedikit keyakinan. Orang yang berbuat kebaikan dengan Upekkha-vedana akan menerima akibat pahala yang kecil.
b.      Ñānasampayutta× dan Ñānavippayutta×.
Ñānasampayutta× berarti bersekutu dengan pengetahuan (ñāna) atau kebijaksanaan (paññā), yaitu mempunyai pandangan benar menurut keadaan yang sebenarnya. Bila orang berbuat kebaikan dengan mengetahui kefaedahan dari kebaikan yang dilakukannya, maka perbuatan baiknya ini disebut tihetuka-kusala karena perbuatan baiknya ini bersekutu dengan tiga sebab kebaikan, yaitu alobha atau ketidakserakahan, adosa atau ketidakbencian, dan amoha atau ketidakbodohan. Orang yang melakukan tihetuka-kusala tentu akan menerima akibat pahala yang besar.
Ñānavippayutta× berarti tidak bersekutu dengan pengetahuan (ñāna) atau kebijaksanaan (panna). Bila orang berbuat kebaikan dengan tidak mengetahui kefaedahan dari kebaikan yang dilakukannya, maka perbuatan baiknya ini disebut dvihetuka-kusala karena perbuatan baiknya ini bersekutu dengan dua sebab kebaikan, yaitu alobha atau ketidakserakahan dan adosa atau ketidakbencian. Orang yang melakukan dvihetuka-kusala akan menerima akibat pahala yang kecil.
c.       Asankhārika dan sasankhārika.
Asankhārika berarti timbulnya tanpa ajakan. Jika seseorang berbuat kebaikan atas kesadarannya sendiri, maka ia akan menerima akibat pahala yang besar.
Sasankhārika berarti timbulnya dengan ajakan. Jika seseorang berbuat kebaikan atas dorongan orang lain, maka ia akan menerima akibat pahala yang kecil.
Dengan memahami tiga pasang Dhamma di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa Mahakusala Citta jenis pertama merupakan yang paling baik, sedangkan Mahakusala-Citta jenis kedelapan membawa akibat pahala yang paling kecil. Mahakusala Citta jenis pertama terjadi dalam hal misalnya seseorang dengan penuh pengertian secara spontan memberi salam Buddhis dengan bersikap anjali atau bernamaskara kepada seorang bhikkhu disertai kegembiraan. Mahakusala Citta jenis kedelapan terjadi dalam hal misalnya seorang anak, tanpa pengertian, dengan diajak teman memberikan sebagian uang jajannya kepada seorang pengemis disertai sedikit kesenangan.
Dengan menyadari manfaatnya, kita seharusnya berusaha untuk selalu memunculkan Mahakusala Citta jenis pertama karena kebaikan ini mempunyai nilai yang tinggi sekali. Dalam memberikan pertolongan, kita hendaknya tidak mengotori perbuatan baik itu dengan pikiran-pikiran yang tidak baik, seperti adanya unsur-unsur kemelekatan, kesombongan, pengharapan-pengharapan balas jasa, dan semacamnya. Mengerti bahwa perbuatan yang kita lakukan itu baik dan akan membawa akibat yang baik pula akan merangsang kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak-banyaknya.

Mahavipaka Citta
Mahavipaka Citta berarti kesadaran atau pikiran yang menjadi hasil atau akibat dari Mahakusala Citta (yang dilakukan tanpa pamrih). Mahavipaka Citta merupakan Patisandhi Citta karena kesadaran atau pikiran ini menjalankan tugas tumimbal lahir (di alam manusia dan enam alam dewa).
Mahavipaka Citta terdiri atas delapan jenis, yaitu:
1.      Somanassasahagata× ñānasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan.
2.      Somanassasahagata× ñānasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan.
3.      Somanassasahagata× ñānavippayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
4.      Somanassasahagata× ñānavippayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
5.      Upekkhāsahagata× ñānasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pengetahuan.
6.      Upekkhāsahagata× ñānasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pengetahuan.
7.      Upekkhāsahagata× ñānavippayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
8.      Upekkhāsahagata× ñānavippayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.

Dalam Mahavipaka Citta yang berjumlah delapan jenis ini dapat diketahui adanya berbagai macam tingkat manusia dan para dewa, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu Tihetuka Puggala dan Dvihetuka Puggala. Tihetuka Puggala adalah makhluk yang terlahir dengan tiga sebab kebaikan, yaitu alobha atau ketidakserakahan, adosa atau ketidakbencian, dan amoha atau ketidakbodohan. Makhluk Tihetuka ini bukan berarti telah mencapai kesucian karena amoha yang dimaksud di sini adalah lokiya panna. Dvihetuka Puggala adalah makhluk yang terlahir dengan dua sebab kebaikan, yaitu alobha dan adosa.
Jika manusia itu Tihetuka Puggala, maka ia akan menjadi orang yang terkenal, seperti presiden, raja, atau orang jenius. Jika ia melaksanakan Samatha Bhavana, maka ia akan mencapai jhana dalam kehidupan sekarang ini juga. Jika ia melaksanakan Vipassana Bhavana, maka ia akan dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian dalam waktu yang singkat.
Namun, manusia itu pada umumnya merupakan Dvihetuka Puggala karena panna atau kebijaksanaan yang baik itu belum berkembang dalam dirinya. Hal ini terbukti dari banyaknya manusia yang melanggar Pancasila Buddhis karena kebodohannya. Memang sesungguhnya, masih banyak manusia yang diliputi oleh kegelapan batin sehingga mereka lebih suka berbuat jahat dari pada berbuat baik. Mereka tidak menyadari akibat karma buruk yang pasti akan diterimanya nanti.
Sesungguhnya, hukum karma selalu adil. Jika di dunia ini ada orang yang dilahirkan dengan bakat dalam suatu ilmu tertentu dan ada pula yang dilahirkan sebagai orang yang bodoh, maka itu merupakan akibat karmanya masing-masing. Oleh sebab itu, umat Buddha yang baik seyogyanya berusaha menghindari kejahatan, menambah kebaikan, dan membersihkan pikirannya dari sifat-sifat buruk. Mereka seyogyanya berusaha memperkembangkan batinnya dengan banyak belajar Dhamma dan melaksanakan meditasi. Dengan demikian, diharapkan mereka yang kini terlahir sebagai Dvihetuka Puggala akan menjadi Tihetuka Puggala pada kehidupan yang akan datang, dan akhirnya akan mencapai Nibbana.

Mahakiriya Citta
Mahakiriya Citta berarti kesadaran atau pikiran yang bukan kusala, bukan akusala, dan bukan vipaka, hanya merupakan kesadaran atau pikiran yang bertugas menerima objek melalui enam pintu indera. Karena kesadaran atau, pikiran ini timbul khusus kepada arahat, maka kesadaran atau pikiran ini terbebas dari akibat pada masa yang akan datang.
Mahakiriya Citta terdiri atas delapan jenis, yaitu:
1.      Somanassasahagata× ñānasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan.
2.      Somanassasahagata× ñānasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, bersekutu dengan pengetahuan.
3.      Somanassasahagata× ñānavippayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
4.      Somanassasahagata× ñānavippayuta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kesenangan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
5.      Upekkhāsahagata× ñānasampayutta× asankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pengetahuan.
6.      Upekkhāsahagata× ñānasampayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, bersekutu dengan pengetahuan.
7.      Upekkhāsahagata× ñānavippayutta× asankharika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
8.      Upekkhāsahagata× ñānavippayutta× sasankhārika×, yang berarti kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, tidak bersekutu dengan pengetahuan.
Dalam Mahakiriya Citta yang berjumlah delapan macam ini terdapat tiga pasang Dhamma yang patut dipahami, yaitu:
a.       Somanassasahagata× dan upekkhāsahagata×.
Somanassasahagata× berarti timbulnya disertai kesenangan. Jika cakkhudvara atau pintu mata dari arahat itu melihat tempat yang baik, yang patut untuk dijadikan tempat latihan meditasi, maka pada waktu itulah timbul somanassa-vedana dalam diri arahat tersebut.
Upekkhāsahagata× berarti timbulnya disertai kemasabodohan, yaitu disebabkan oleh keseimbangan batin. Jika seorang arahat melihat penjahat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Dhamma dan Vinaya, maka pada waktu itulah timbul upekkha vedana dalam diri arahat tersebut.
b.      Ñānasampayutta× dan ñānavippayutta×.
Nanasampayuttam berarti bersekutu dengan nana atau panna. Jika seorang arahat membabarkan Buddha Dhamma kepada umat manusia, maka kesadaran atau pikiran arahat pada saat itu bersekutu dengan nana atau panna.
Ñānavippayutta× berarti tidak bersekutu dengan ñāna atau paññā, yaitu pada saat arahat melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pengetahuan Dhamma. Jadi jika seorang arahat sedang berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain, sedang makan, sedang mandi, atau sedang tidur, maka kesadaran atau pikiran arahat pada saat itu tidak bersekutu dengan nana atau panna.
c.       Asankhārika dan sasankhārika.
Asankhārika berarti timbulnya tanpa ajakan. Jika seorang arahat pergi menyebarkan Dhamma atas keinginannya sendiri, maka kesadaran atau pikirannya timbul tanpa ajakan.
Sasankhārika berarti timbulnya dengan ajakan. Jika seorang arahat pergi ke rumah umat untuk menerima dana makanan atas undangan umat, maka kesadaran atau pikirannya timbul dengan ajakan.
Contoh Maha Kiriya Citta jenis pertama adalah kesadaran atau pikiran yang timbul dalam diri Sang Buddha Gotama pada saat Beliau sedang membabarkan Dhamma kepada Angulimala di hutan dengan tujuan untuk menyadarkan Angulimala agar ia kembali ke jalan yang benar. Dalam hal ini, kesadaran atau pikiran Sang Buddha itu timbul tanpa ajakan, disertai kesenangan, dan bersekutu dengan pengetahuan.
Contoh Maha Kiriya Citta jenis kedelapan adalah kesadaran atau pikiran yang timbul dalam diri arahat pada saat ia sedang makan di rumah umat yang mengundangnya dengan pengertian bahwa ia makan dengan tujuan agar tubuhnya menjadi sehat. Dalam hal ini, kesadaran atau pikiran arahat itu timbul dengan ajakan, disertai kemasabodohan, yaitu disebabkan oleh keseimbangan batin, dan tidak bersekutu dengan nana, yaitu tidak sedang berhubungan dengan pengetahuan Dhamma.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar