Jumat, 19 September 2014

PEMIMPIN MENURUT PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA

Baru baru ini kita dihadapkan dengan pemilihan calon-calon pemimpin bangsa pada pemilu legislatif, yang duduk di kursi dewan tingkat provinsi, kabupaten serta pemilihan presiden. Dari masing2 calon memiliki karakter memimpin beraneka ragam. Ada yang berkarakter otoriter, ceplas ceplos, merakyat (atau yang sekarang kita kenal dengan istilah blusukan). Kita semua tahu bahwa dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin memegang peranan besar.

Di zaman modern seperti ini, peran seorang pemimpin menjadi lebih penting dan menjadi kunci suatu keberhasilan. Apabila seorang pemimpin keluarga tidak mampu memimpin dengan baik, keluarga akan tidak harmonis. Apabila seorang pemimpin negara tidak arif dalam memimpin, suatu pemerintahan akan menjadi kacau dan terjadi ketidaktenangan dalam kehidupan bernegara. Pun, apabila pemimpin spiritual atau suatu agama tidak bersikap bijak dalam menyebarkan ajarannya, maka yang terjadi adalah umat yang penuh dengan kefanatikan dan anarkis. 

Mengetahui betapa pentingnya seorang pemimpin, tentu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana ciri atau karakter pemimpin yang baik menurut Ajaran Buddha? Hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin dalam perspektif Buddhis?

Kamis, 21 Juni 2012

31 ALAM KEHIDUPAN DALAM AGAMA BUDDHA


Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas:
1. Empat Alam Kemerosotan (apâyabhûmi),
2. Satu Alam Manusia (manussabhûmi),
3. Enam Alam Dewa (devabhûmi),
4. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi), dan
5. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi).
I. Empat Alam Kemerosotan (Apâyabhûmi)
Istilah ‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata, yakni ‘apa’ yang berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan’, dan ‘bhûmi’ yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga-tibhûmi’.
‘Duggati’ terbentuk dari dua kosakata, yakni ‘du’ yang berarti ‘jahat, buruk, sengsara’, dan ‘gati’ yang berarti ‘alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir’. Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se-bagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
a) Alam Neraka (Niraya),
b) Binatang (Tiracchâna),
c) Setan (Peta),
d) Iblis (Asurakâya).
Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.
Empat Alam Kemerosotan, alam manusia dan enam alam dewa termasuk sebagai Alam Nafsu Inderawi (kâmabhûmi).

Jumat, 02 Maret 2012

SANG BUDDHA MEMBERI MAKAN ORANG KELAPARAN


Pada suatu hari ketika Sang Buddha sedang duduk bermeditasi di Vihara Jetavana, dengan Mata Buddha -Nya, Sang Buddha melihat seorang laki- laki yang amat miskin tinggal di Alavi. Sang Buddha mengetahui bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian. Sang Buddha ingin membantu orang itu, lalu bersama dengan lima ratus orang muridnya, Sang Buddha mela kukan perjalanan menuju Alavi. Penduduk Alavi setelah mengetahui kedatangan Sang Buddha, segera mengundang Sang Guru Agung menjadi tamu mereka. Ketika orang miskin itu mendengar kedatangan Sang Buddha, ia ingin sekali bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar Ajarannya. Tetapi, pada hari itu seekor lembunya tersesat. Ia bimbang, "Apakah saya mencari lembu yang hilang itu ataukah saya pergi menemui Sang Buddha untuk mendengarkan AjaranNya?".
Akhirnya ia memutuskan:
"Pertama -tama saya akan mencari lembu yang hilang itu terlebih dahulu, kemudian saya akan pergi menemui Sang Buddha". Keesokan harinya, pagi- pagi sekali ia pergi ke hutan untuk mencari lembunya yang tersesat. Penduduk desa Alavi mempersilahkan Sang Buddha beserta murid -muridnya untuk duduk di tempat yang telah mereka persiapkan, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya dengan penuh hormat. Sesudah makan, Sang Buddha biasanya mengucapkan terima kasih dengan membacakan Paritta Pemberkahan, tetapi kali ini Sang Buddha berkata:

CERITA RATU KHEMA YANG MEMUJA KECANTIKAN

Permaisuri Raja Bimbisara bernama Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Ratu Khema telah mengucapkan permohonannya di kaki Buddha Padumuttara, ia ingin sekali mempunyai rupa dan wajah yang cantik. Tetapi ia mendengar bahwa Sang Buddha Gotama mengatakan, kecantikan bukan merupakan hal yang utama. Pada kelahiran- kelahirannya yang terdahulu, Ratu Khema selalu menjadi wanita yang amat cantik. Raja Bimbisara yang mengetahui bahwa istrinya amat mengagumi kecantikan wajahnya lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan lagu yang memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.
Ratu Khema ketika mendengar lagu tersebut penasaran, karena Veluvana digambarkan sebagaisuatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri. "Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?", tanyanya kepada para penyanyi. "Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang hutan Veluvana", jawab mereka. Ratu Khema lalu ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana. Sang Buddha yang ketika itu sedang berkumpul dengan murid- muridnya dan memberikan Ajarannya, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri di samping Sang Buddha. Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir, "Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang utama.

KESUCIAN YANG DIBELI


Kisah ini menceritakan tentang Kala, anak seorang jutawan yang bernama Anathapindika. Meskipun ayahnya amat gemar berdana dan percaya  akan hasil dari perbuatan baik yang dilakukannya, Kala tidak pernah menunjukkan keinginannya untuk mengunjungi Sang Buddha atau menemui Sang Buddha apabila Beliau datang ke rumah ayahnya, atau mendengarkan Dhamma, ataupun melayani Anggota Sangha. Ayahnya selalu menasehatinya:
"Anakku, jangan berlaku begitu".
Tetapi Kala tidak pernah memperhatikan nasehat ayahnya. Suatu ketika ayahnya berpikir:
"Kalau anakku ini tetap bertingkah laku seperti itu, apabila meninggal ia akan masuk ke Neraka Avici. Bagaimana mungkin saya biarkan hal itu terjadi di depan mata saya?".
"Tetapi, di dunia ini segala sesuatu dapat dilemahkan oleh hadiah".
Ia berkata kepada anaknya:
 "Anakku, pergilah ke Vihara, dengarkanlah Dhamma yang di ajarkan oleh Sang Buddha, setelah selesai pulanglah. Kalau kamu mau pergi ke Vihara, saya akan memberikan seratus keping uang".
"Ayah, benarkah ayah akan memberikan saya seratus keping uang, kalau saya pergi keVihara?".
"Benar, anakku", jawab ayahnya.
Sesudah ayahnya berjanji tiga kali, Kala lalu pergi ke Vihara. Tetapi ia tidak mendengarkan Dhamma, melainkan ia tidur nyenyak di tempat yang nyaman di Vihara, keesokkan harinya ia baru pulang. Ayahnya berkata:
"Hari ini anakku sudah ke Vihara, cepat sediakan bubur dan makanan lainnya". Jutawan itu segera memberikan bubur dan makanan lain kepada anaknya dan menyuruhnya makan.
Tetapi Kala berkata:
"Saya tidak mau makan, kecuali diberi uang terlebih dahulu".
Ia tidak mau menyent uh makanannya. Ayahnya tidak memaksanya untuk makan, tetapi ia
memberi uang yang dijanjikannya. Setelah menerima uang, Kala makan makanan yang tersedia dihadapannya.
Keesokan harinya si ayah ingin anaknya pergi lagi ke Vihara, ia berkata:
"Anakku, saya akan berikan kamu seribu keping uang kalau kamu mau duduk di hadapan Sang Buddha dan mendengarkan AjaranNya. Pulanglah setelah selesai". Kala segera pergi ke Vihara. Ia duduk di hadapan Sang Buddha. Dan ketika Sang Buddha mengucapkan satu syair, ia tidak mengerti arti syair itu, tetapi ia tidak mau pulang. Ia berpikir:
"Saya pasti akan dapat mengerti arti syair".
Karena penasaran ia tetap duduk dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, ia berusaha untuk mengerti. Sang Buddha yang mengetahui sebab dari kedatangannya ke Vihara, sengaja membuatnya tidak dapat mengerti dengan jelas arti syair itu. "Saya harus mengerti arti syair itu", pikir Kala. Jadi ia tetap tinggal dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, akhirnya ia mengerti dan mencapai Tingkat Kesucian. Keesokan harinya, Kala bersama dengan para bhikkhu ikut menyertai Sang Buddha pergi ke
Savatthi. Ketika Anathapindika melihat anaknya, ia berkata:
"Hari ini, kelakuan anakku amat menyenangkan hatiku".
Dan pada saat itu pula Kala berpikir:
"Saya harap ayah tidak memberikan saya uang yang dijanjikannya di hadapan Sang Buddha.
Saya harap ia tidak bercerita karena sejumlah uanglah saya mau pergi ke Vihara". (Sang Buddha mengetahui bahwa karena sejumlah uang, Kala mau pergi ke Vihara). Jutawan Anathapindika mempersembahkan bubur dan makanan lainnya kepada Sang Buddha dan kepada bhikkhu Sangha, ia juga mempersembahkan makanan kepada anaknya. Kala duduk dengan diam, ia makan bubur dan makanan lainnya. Ketika Sang  Buddha selesai makan, Jutawan itu memberikan sebuah dompet yang berisi seribu keping uang kepada anaknya, dan berkata: "Anakku, tentu kamu masih ingat bahwa saya membujukmu untuk pergi ke Vihara, dengan janji akan memberimu seribu keping uang, ambillah uang ini". Ketika Kala melihat kepada Sang Buddha, ia merasa amat malu dan berkata:
"Saya tidak mau uang ini".
"Ambillah, anakku", kata ayahnya.
Tetapi Kala tetap menolaknya. Jutawan Anathapindika itu mengucapkan terima kasih kepada Sang Buddha, seraya berkata:
 "Yang Mulia, kelakuan anak saya pada hari ini amat menyenangkan saya".
"Mengapa, saudara?".
"Yang Mulia, kemarin dulu saya menyuruhnya pergi ke Vihara sambil berkata, 'Saya akan memberi kamu seratus keping uang'. Kemarin ia menolak untuk makan sebelum saya berikan uang itu kepadanya. Tetapi pada hari ini, ketika saya berikan uang, ia malahan menolaknya". Sang Buddha berkata:
"Itulah yang telah terjadi, saudara. Hari ini ia telah mencapai Tingkat Kesucian, telahmencapai Alam Surga dan Alam Brahma".
Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair:
"Ada yang lebih baik dari pada kekuasaan mutlak atas bumi, dari pada pergi ke Surga atau dari pada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang Suci yang telah memenangkan arus (Sotapattiphala)". (Dhammapada, Loka Vagga no. 12)

MAHADANA ANAK SEORANG JUTAWAN


Kisah ini tentang seorang anak jutawan, anak orang yang amat kaya di Benares. Ia bernama Mahadhana. Ia terlahir di sebuah keluarga yang kaya raya. Mereka memiliki kekayaan sebanyakdelapan ratus juta keping uang. Ayah dan ibu Mahadhana berpikir:
"Harta kami amat banyak, untuk apa anak kami bekerja lagi, lebih baik ia bersenang- senang". Kemudian mereka membiarkan anaknya bersenang-senang saja, dengan bernyanyi, menari dan bermain musik, setiap waktu.
Di kota yang sama terdapat pula orang kaya lainnya. Ia juga mempunyai kekayaan sebanyak delapan ratus juta keping uang. Mereka mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Mereka juga mempunyai pikiran yang sama, yaitu membiarkan anak gadisnya bersenang-senang saja. Ketika kedua anak ini dewasa, kedua orang tuanya mengawinkan anak mereka, seperti kebiasaan pada waktu itu. Beberapa waktu kemudian kedua orang tua itu meninggal dunia. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, Mahadhana dan istrinya memperoleh warisan dari kedua orang tuanya. Harta mereka menjadi dua kali delapan ratus juta keping uang. Mahadhana mempunyai kebiasaan mengunjungi Raja tiga kali dalam satu hari. Di kota terdapat sekelompok orang yang kebiasaannya bermabuk- mabukkan dengan minum minuman keras. melihat Mahadhana, mereka berpikir alangkah baiknya kalau mereka dapat membuat Mahadhana bermabuk- mabukkan dan menghamburkan uangnya, dengan demikian mereka dapat ikut bersenang- senang. "Kalau anak jutawan ini menjadi pemabuk dan menjadi teman kita, dapat kita peras kekayaannya. Jadi kita harus memperlihatkan kepadanya, bagaimana caranya bermabuk-mabukkan". Mereka lalu menyediakan minuman keras, daging panggang, garam, tembakau dan gula yang disimpan di dalam kantong baju mereka. Kemudian mereka duduk di jalan yang biasa dilalui Mahadhana. Ketika Mahadhana mendekat, mereka segera minum minuman keras, memasukkan garam dan gula ke mulut dan juga mengunyah tembakau. Orang- orang itu berkata: "Semoga tuanku, anak jutawan hidup seratus tahun! Dengan bantuanmu kami dapat makan dan minum sepuas hati! Cobalah minuman ini tuanku, enak sekali".Mendengar kata-kata mereka, Mahadhana bertanya kepada pelayan yang mengiringinya:
"Apa yang mereka minum?"
"Minuman istimewa tuanku"
"Enakkah rasanya?"
"Tuanku di dunia ini, tidak ada minuman yang lebih enak dari pada minuman ini".
"Jadi!", kata Mahadhana, "Saya harus mencoba".
Kemudian ia menyuruh pelayannya mengambil minuman itu sedikit, dicobanya, lalu ia mengambil sedikit lagi, sedikit lagi, akhirnya ia menjadi mabuk. Tidak perlu waktu lama untuk membuat Mahadhana menjadi pemabuk. Orang- orang berkerumun mengelilingi Mahadhana yang menghamburkan uangnya, seratus atau dua ratus keping uang. Akhirnya perbuatan buruk itu menjadi kebiasaannya, setiap mabuk ia menghamburkan uangnya. Dengan meraup uang di tangannya, ia berteriak- teriak:
"Ambillah uang ini dan bawakan saya bunga! Ambillah uang ini bawakan saya minyak wangi!
Orang ini pandai bermain dadu, orang ini pandai bermain musik! Berikanlah orang ini seribu
keping dan orang itu dua ribu keping!".
Dengan cara seperti itulah ia menghabiskan uang warisan orang tuanya. Ketika teman- temannya tahu uangnya habis, mereka berkata kepada Mahadhana:
"Tuanku, hartamu sudah habis. Apakah istrimu punya uang?".
 "Oh ya, ia juga punya uang, ambillah uang istriku".
Kemudian ia pun menghabiskan uang istrinya dengan cara yang sama. Setelah uangnya habis, Mahadhana menjual ladang, tanah dan kebun, juga kereta kudanya. Ia menjual semua peralatan makannya, selimut, mantel dan tempat tidurnya. Akhirnya semua hartanya habis terjual, ia jatuh miskin. Hidupnya tidak karuan lagi. Di usia tuanya ia menjual hartanya yang terakhir yaitu rumahnya, tidak ada lagi harta yang tersisa sedikitpun, ia harus pergi dari rumahnya sendiri. Dengan istrinya, ia menemukan sebuah gubuk, yang menempel di sisi dinding tembok sebuah rumah. Dengan mangkuk yang pecah, ia menjadi pengemis meminta belas kasihan orang lain. Ia hanya makan makanan sisa yang dibuang orang. Suatu hari ia berdiri di depan Vihara tempat Sang Buddha berdiam, untuk meminta makanan. Samanera memberikan makanan kepada Mahadhana, anak jutawan yang sekarang menjadi pengemis itu. Sang Buddha melihatnya lalu tersenyum. Yang Mulia Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Sang Buddha lalu bercerita:
"Ananda, lihatlah anak jutawan itu! Di kota ia menghambur -hamburkan harta kekayaannya sebanyak dua kali delapan ratus juta keping uang. Sekarang dengan istrinya, ia menjadi pengemis. Apabila dalam kehidupannya ini, ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya dengan baik, ia akan menjadi orang yang terkaya di kota ini. Dan apabila ia pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian Arahat, dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami). Apabila di usia setengah bayanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya, ia akan menjadi orang kaya nomor dua di kota ini. Bila ia pensiun dan menjadi seorang bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami). Dan apabila di usia tuanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalankan usahanya, ia akan menjadi orang  kaya nomor tiga di kota ini. Bila ia pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Tetapi sekarang ia jatuh bangkrut dan ia juga tidak mengenal Dhamma, ia  akan menjadi seekor bangau yang berdiam di danau kering". Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan syair:
"Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, ia akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada
ikannya". (Dhammapada, Jara Vagga no. 10)

ANAK-ANAK MENGUNJUNGI SANG BUDDHA


Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana, Savatthi, terdapat beberapa orang tua yang menjadi pengikut aliran yang sesat. Ketika mereka melihat anak- anak mereka bermain- main dengan anak-anak yang orang tuanya pengikut Sang Buddha, mereka marah dan tidak senang. Setelah anak- anak itu selesai bermain dan pulang ke rumah, mereka segera memarahi anak-anaknya :
"Mulai sekarang, kalau kamu bertemu dengan bhikkhu- bhikkhu pengikut Pangeran Sakya, kamu tidak usah memberi hormat, dan tidak boleh memasuki pertapaan mereka". Anak- anaknya disuruh bersumpah, harus mentaati apa yang mereka katakan.

Pada suatu hari, anak- anak pengikut aliran sesat itu sedang bermain- main di luar Vihara Jetavana, tempat Sang Buddha berdiam. Mereka bermain-main di depan pintu gerbang Vihara, setelah lelah bermain, mereka merasa amat haus dan ingin minum. mereka lalu menyuruh salah
seorang temannya masuk ke dalam Vihara : "Kamu masuk dulu ke dalam, mintalah air minum dan bawakan juga untuk kami". Salah seorang anak laki- laki itu masuk ke Vihara, dan bertemu dengan Sang Buddha. Setelah memberi hormat, ia bercerita bahwa mereka sedang bermain-main di depan Vihara dan sekarang merasa haus, ingin minta air minum. 

Sang Buddha berkata :
"Kamu boleh minum air di sini, kalau sudah minum, kembalilah ke teman-temanmu, ajaklah mereka minum di sini". Kemudian semua anak- anak itu masuk ke dalam Vihara untuk minum. Selesai minum, Sang Buddha mengumpulkan mereka, dan mengajarkan Hukum Alam Semesta dengan kata- kata yang mudah mereka pahami. Akhirnya mereka mengerti dan menjadi murid Sang Buddha. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, dan bercerita kepada orang tua mereka tentang Ajaran Sang Buddha. Beberapa orang tua yang menganut pandangan sesat itu bersedih hati dan menangis:
"Anak kami telah manganut pandangan sesat".
Tetapi ada beberapa orang tua yang pandai dan mengerti Ajaran Sang Buddha. Ketika menyadari kekeliruannya, mereka mendatangi orang tua yang keliru itu dan menjelaskan Ajaran Sang Buddha. Akhirnya mereka semua mengerti akan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan, mereka berkata:
"Kami akan menyuruh anak- anak kami melayani Sang Guru Agung kita" Bersama dengan keluarga masing-masing, mereka berbondong- bondong mengunjungi Sang Buddha. Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran mereka sudah berubah, segera menerangkan kembali AjaranNya kepada mereka. Sang Buddha mengucapkan syair:
"Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara".
(Dhammapada, Niraya Vagga no. 13)
"Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercelasebagai tidak tercela, maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk kealam bahagia"
(Dhammapada, Niraya Vagga no. 14)