Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam
Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas:
2. Satu Alam Manusia (manussabhûmi),
3. Enam Alam Dewa (devabhûmi),
4. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi), dan
5. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi).
I. Empat Alam Kemerosotan (Apâyabhûmi)
Istilah ‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata,
yakni ‘apa’ yang berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan’,
dan ‘bhûmi’ yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah
suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan.
Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu
makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang.
Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga-tibhûmi’.
‘Duggati’ terbentuk dari dua kosakata, yakni ‘du’
yang berarti ‘jahat, buruk, sengsara’, dan ‘gati’ yang berarti ‘alam tujuan
bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir’. Duggatibhûmi adalah suatu alam
kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se-bagai suatu
padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan
apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
a) Alam Neraka (Niraya),
b) Binatang (Tiracchâna),
c) Setan (Peta),
d) Iblis (Asurakâya).
Karena tidak semua binatang hidup dalam
kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan
langsung.
Empat Alam Kemerosotan, alam manusia dan enam alam
dewa termasuk sebagai Alam Nafsu Inderawi (kâmabhûmi).
a) Alam Neraka ‘Niraya’ terbentuk atas dua kosakata,
yaitu ‘ni’ yang berarti ‘bukan, tidak ada’ dan ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan,
kebahagiaan, perkembangan’. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang
penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan, tanpa
kebahagiaan, tanpa perkembangan. Neraka dalam pandangan Agama Buddha bukanlah
suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu
kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh ke dalam neraka akan dapat
terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung
perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang
kehidupan-kehidupan lampau. Konon dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah
melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam
waktu tujuh hari. (Mallikâ adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala).
Atas kematiannya, raja bertanya kepada Sang Buddha ke alam manakah gerangan
istrinya terlahirkan kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap
hari selama seminggu penuh karena khawatir kalau raja akan bersedih hati
mengetahui penderitaan yang harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ
keluar dari neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Surga Tusita, Beliau
memberikan jawaban.) Tidaklah ‘adil’ untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang
hidup (selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah
dilakukannya dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa memberi peluang
sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat
pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murkah karena
diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu Neraka
Besar (Mahâ-niraya)
dan Neraka Kecil (Ussadaniraya).
Neraka besar terdiri atas delapan alam:
1) Sañjîva
alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi
dibantai dengan berbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di
sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka
yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain
yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
2) Kâïasutta
alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan
cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan
sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau
pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan
terlahirkan di alam ini.
3) Saõghâta
alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga
luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya
melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal
dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4) Dhûmaroruva
alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap
api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan.
Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap
ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di
alam ini.
5) Jâlaroruva
alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan
api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka
yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau
pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan
terlahirkan di alam ini.
6) Tâpana
alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di
atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya
kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7) Patâpana
alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju
puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di
bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak
membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan
kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk,
ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan
tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan
di alam ini.
8) Avîci
alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan
besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang
pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta,
melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan
terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang
paling rendah.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
1) Angârakâsu
alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2) Loharasa
alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3) Kukkula:
alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4) Aggisamohaka
alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5) Lohakhumbhî
alam neraka yang merupakan panci tembaga
6) Gûtha
alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7) Simpalivana
alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri
8) Vettaranî
alam neraka yang merupakan air garam berisi duri
rotan
b) Alam Binatang ‘Tiracchâna’ terbentuk atas dua
kosakata, yaitu ‘tiro’ yang berarti ‘melintang, membujur’, dan ‘acchâna’ yang
berarti ‘pergi, berjalan’. Tiracchâna atau binatang adalah suatu makhluk yang
umumnya berjalan dengan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti
manusia.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi
jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak
mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam
manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi
serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan
sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang
tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan,
kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) kecuali
kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta) yang sedang memupuk
kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih
kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus
misalnya].
Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung
jumlahnya, namun secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi Empat Macam,
yakni:
1. yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan
lain-lain (apada),
2. yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan
lain-lain (dvipada),
3. yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau
dan lain-lain (catuppada),
4. yang berkaki banyak seperti kelabang, udang,
kepiting dan lain-lain
(bahuppada).
Dalam pandangan Kristen serta beberapa agama Theistik
lainnya,
semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak mempunyai roh.
Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu,
mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun
penderitaan yang dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka baik dalam
kehidupan sekarang maupun kehidupan kehidupan yang lampau; melainkan merupakan
wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk
kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi
binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar
binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.
c) Alam Setan ‘Peta’ terbentuk atas dua kosakata,
yaitu ‘pa’ yang berarti ‘ke depan, menyeluruh’, dan ‘ita’ yang berarti ‘telah
pergi, telah meninggal’. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka yang
menderita karena tersiksa, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan,
kehausan
dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan
ialah pencurian dsb. Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik
mereka sendiri. Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat
seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis
setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa,
manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar
seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain.
Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1. yang hidup bergantung pada makanan pemberian
orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika),
2. yang senantiasa kelaparan, kehausan dan
kekurangan (khuppîpâsika),
3. yang senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika),
4. yang tergolong sebagai iblis atau makhluk yang
suram (kâlakañcika).
Jenis yang pertama itu dapat menerima penyaluran
jasa karena mereka
bertinggal di sekitar atau di dekat manusia, sehingga dapat mengetahui
pemberian ini dan beranumodanâ [menyatakan kenuragaan atas kebajikan yang
diperbuat oleh makhluk lain]. Apabila tak tahu dan tak beranumodanâ, penyaluran
jasa ini tidak dapat diterima. Orang yang pada saat-saat menjelang kematian
mempunyai ke-31 melekatan yang amat kuat pada kekayaan, harta benda, sanak-keluarga,
dan sebagainya niscaya akan terlahirkan di alam setan ini.
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta, disebutkan
adanya 21 macam setan, yaitu:
1. yang hanya bertulang tanpa daging
(aööhisaõkha-sika),
2. yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika),
3. yang berdaging benjol (maõsapióòa),
4. yang tak berkulit (nicchavirisa),
5. yang berbulu seperti pisau (asiloma),
6. yang berbulu seperti tombak (sat-tiloma),
7. yang berbulu seperti anak panah (usuloma),
8. yang berbulu seperti jarum (sûciloma),
9. yang berbulu seperti jarum jenis kedua
(duti-yasûciloma),
10. yang berpelir besar (kumbhaóòa),
11. yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),
12. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
13. yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka),
14. yang berbau busuk (duggandha),
15. yang bertubuh bara api (ogilinî),
16. yang tak berkepala(asîsa),
17. yang berperawakan seperti bhikkhu,
18. yang berperawakan seperti bhikkhunî,
19. yang berperawakan seperti calon
bhikkhunî(sikkhamâna),
20. yang berperawakan seperti sâmanera,
21. yang berperawakan seperti sâmanerî.
Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta
Chagatidîpanî menyebutkan
adanya 12 macam setan, yaitu:
1. yang makan ludah, dahak dan mun-tahan(vantâsikâ),
2. yang makan mayat manusia atau binatang(kuópâsa),
3. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
4. yang berlidah api(ag-gijâlamukha),
5. yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),
6. yang terdorong keinginan tiada habis
(taóhaööita),
7. yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),
8. yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),
9. yang bertubuh sangat besar (pabbataõga),
10. yang bertubuh seperti ular piton (ajagaraõga),
11. yang menderita di siang hari tetapi menikmati
kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),
12. yang memiliki kesak-tian(mahiddhika).
d) Alam Iblis ‘Asurakâya’ terbentuk atas tiga
kosakata, yaitu ‘a’ yang merupakan unsur pembalik, ‘sura’ yang berarti
‘cemerlang, gemilang’, dan ‘kâya’ yang berarti ‘tubuh’. Namun, yang dimaksud
dengan ‘tak cemerlang’ di
sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan
suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat
batin tidak berceria. Istilah ‘asura’ mungkin juga berasal dari kisah
kejatuhan dari Surga Tâvatimsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya]
akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk
tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam
kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai ‘pubbadevâ’.
Asurakâya atau iblis terbagi menjadi tiga macam,
yaitu:
1. iblis berupa dewa(deva-asurâ)
2. iblis berupa setan (peti-asurâ),
3. iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).
Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu,
subali,pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas
kâlakañcika,vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu
jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti
kelelawar.
II. Satu Alam Manusia (manussabhûmi)
Manussa’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘mano’
yang berarti ‘pikiran, batin’ dan ‘ussa’ yang berarti ‘tinggi, luhur,
meningkat, berkembang’. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang
berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu
serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam manatijânâtîti=manusso], yang
tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattam manati
jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan
kejahatan [kusalâkusalam manati jânâtîti=manusso]. Manusia bertinggal di empat
tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pubbavidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa.
Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang
berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di
Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di
Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang
dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan
serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun.
Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun.
Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun.
Karena Buddha Go-tama telah mangkat sejak dua puluh lima abad
yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia
lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat
memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul
apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa
sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau
hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya
apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapannâsaka
memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang
berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh
makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang
suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak
penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka
cemburu atau irihati nis-caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah
hati niscaya
akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya
akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu
pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan
sedikit kebijaksanaan. Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu
pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi
ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk
yang pada saat pertama kali muncul / lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa
atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan
tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu
proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam
hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari
Alkitab.
III. Enam Alam Dewa (devabhûmi)
Ada tiga macam deva atau dewa dalam pandangan Agama
Buddha, yaitu
1. Upattideva
dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan
kelahirannya,
2. Sammutideva
dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian
misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya,
3. Visud-dhideva
dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang
tidak lain ialah Arahanta.
Dewa yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah
merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva, yakni makhluk surgawi yang
mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi dalam pandangan Buddhis tidaklah
bersifat kekal.
Mereka bisa mati karena salah satu dari empat sebab:
genapnya usia,
habisnya kebajikan, terlena dalam kenikmatan hingga lupa makan, murkah atau
irihati. Dalam kebanyakan agama Theistik, surga dipercayai sebagai suatu alam
kehidupan yang bersifat kekal. Kepercayaan atas ‘kekekalan’
alam surga ini sempat menjadi topik perdebatan yang panjang. Dipercayai bahwa
manusia jatuh dari Taman Eden dan mengalami pelbagai penderitaan di dunia ini
karena ketakpatuhan nenek-moyang mereka, Adam dan Hawa, terhadap perintah serta
larangan Tuhan. Hidup bersama Tuhan di alam surga adalah idam-idaman mereka;
menjadi tujuan akhir. Manusia pernah bertinggal di Taman Eden, dan kemudian
diusir dari sana. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang ialah: Kalau
seandainya kita telah masuk surga, apakah mungkin suatu waktu nanti kita akan
diusir lagi dari sana? Jika demikian, bagaimana mungkin surga dianggap sebagai
suatu alam yang kekal? Apa makna kekekalan itu sendiri? Dalam pandangan
Theistik tersebut, manusia adalah suatu makhluk yang penuh dengan kelemahan
serta kekurangan. Sangatlah mustahil bagi seseorang untuk dapat memiliki
‘kesempurnaan’ batiniah. Bahkan, Tuhan yang
dipercayai sebagai Pencipta yang Mahasempurna sendiri sering dikatakan
masih memiliki sifat ‘cemburu’, ‘irihati’, ‘murkah’ dan sebagainya. Yang
perlu direnungkan ialah, apabila dalam sanubari manusia masih terdapat
kekotoran batiniah semacam itu, seandainya nanti mereka bertinggal di
surga yang kekal, apakah tidak mungkin bahwa akan timbul permasalahan
yang berbuntut pada perbuatan-perbuatan berdosa, misalnya membunuh, mencuri,
berzinah, berdusta dan sebagainya? Jika kemungkinan ini benar-benar terjadi,
lalu bagaimana nasib manusia nantinya? Apa hukuman bagi pelaku dosa?
Dijebloskan ke dalam neraka? Diusir dari surga kekal?
Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana
para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal,
tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu:
1. Câtu-mahârâjikâ,
2. Tâvatimsa,
3. Yâmâ,
4. Tusita,
5. Nimmânaratî,
6. Para-nimmitavasavattî.
1) Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi
paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni: Dhataraööha,
Virudhaka,
Virûpakkha, dan Kuvera. Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung
alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan ‘Catulokapâla’. Dalam Kitab
Lokîyapakaraóa, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai Inda, Yama,
Varuóa dan Kuvera. Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat
Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:
1. yang berada di daratan (bhumattha),
2. yang berada di po-hon(rukkha).Dalam Kitab Ulasan
atas Dhammapada dan Buddhavamsa, para dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan
dalam kelompok bhummattha.
3. yang berada di angkasa (âkâsaööha).
Empat raja dewa serta beberapa dewa lainnya
mempunyai ‘istana’ (vimâna)
khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara
khusus, gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi
mereka. Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa atau
kira-kira sembilan juta tahun manusia (Perbandingan usia di alam-alam surga
tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di alam surga tertentu
berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang lebih lama lagi).
Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang
cenderung berhati jahat, yaitu:
1. Gandhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon
berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai
‘gondoruwo’. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya. Walaupun
pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan
tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih
hidup,
2. Kumbhanno/Kumbhannî: penjaga harta pusaka, hutan,
dan sebagainya,
3. Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang
mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan
sebagainya,
4. Yakkho/Yakkhinî: raksasa yang gemar menganiaya
para penghuni neraka.
2) Alam Tâvatimsa adalah alam surgawi tingkat kedua.
Alam ini sebelumnya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Nama ‘Tâvatimsa’
baru dipakai setelah 33 pemuda di bawah pimpinan Mâgha, yang terlahirkan
kembali di sini akibat kebajikan yang dilakukan bersama-sama, berhasil
menyingkirkan para asurakâya.
Para dewa-dewi di Tâvatimsa terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu
1) Bhummaha: Sakka beserta 32 dewa pembesar,
2) Âkâsaööha: yang bertinggal dalam istana di
angkasa.
Ibukota Tâvatimsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma
menjadi tempat
bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di
bawah asuhan Sakka (Beliau berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti setelah
mendengarkan Brahmajâla Sutta). Brahmâ Sanamkumâra kerap menjadi tamu pembabar
Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal
selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan
kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah
beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau
memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka
terlahirkan kembali di sini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu,
menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari
penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata
para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatimsa ialah 1,000 tahun dewa atau
kira-kira 36 juta tahun manusia.
3) Yâmâbhûmi adalah alam surgawi tingkat ketiga,
menjadi tempat bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang
terberkahi
dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma.
Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak
ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhum-mattha yang bertinggal di daratan.
Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus
daripada yang bertinggal di Tâvatimsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun
dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.
4) Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat.
Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang
dimiliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerahan Agung,
terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang
Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama
(Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya yang akan menjadi
Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini sedang
berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau
kira-kira 567 juta tahun manusia.
5) Nimmânaratîbhûmi adalah alam surgawi tingkat
kelima. Para dewa-dewi di alam ini menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang
diciptakan sendiri sesuka hati mereka. Rentang hidup para dewa-dewi di alam ini
ialah 8,000 tahun dewa atau kira-kira 2,304 juta tahun manusia.
6) Paranimmittavasavattî adalah alam surgawi tingkat
terakhir. Apabila para dewa-dewi di alam Nimmânaratî menikmati kepuasan
inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka, para dewa-dewi
di alam ini menikmatinya dari apa yang diciptakan atau disediakan oleh yang
lain, yang tahu kebutuhan serta keinginan mereka. Usia rata-rata di alam ini
ialah 16,000 tahun dewa atau kira-kira 9,216 juta tahun manusia.
IV. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi)
Rûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan
‘rûpâvacaravipâkacitta’ atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam
brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat
kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan
brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil
mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan
Samatha Kammaööhâna meditasi pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya
ketenangan.
Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni:
1. tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (panhama),
2. tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya),
3. tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya),
4. dua alam bagi peraih Jhâna keempat(catuttha),
5. dan lima alam Suddhâvâsa.
Pathamajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna
pertama ialah:
1. Pârisajjâ: alam ke-hidupan bagi brahma pengikut,
yang tidak memiliki
kekuasaan khusus,
2. Purohitâ: alam kehidupan bagi brahma penasihat,
yang berkedudukan tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan,
3. Mahâbrahmâ: alam kehidupan bagi brahma yang
memiliki kebajikan khusus
yang besar.
Dutiyajhânabhûmi, Tiga alam kehidupan bagi peraih
Jhâna kedua atau Jhâna ketiga ialah
1. Parittâbhâ: alam kehidupan bagi brahma yang
bercahaya lebih sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
2. Appamânâ: alam kehidupan bagi brahma yang
bercahaya cemerlang nirbatas,
3. Âbhassarâ: alam kehidupan bagi brahma yang
bercahaya menyebar luas
dari tubuhnya.
Tatiyajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna
keempat ialah
1. Parittasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang
bercahaya indah tapi lebih
sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
2. Appamânasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang
bercahaya indah nirbatas,
3. Subhakióhâ: alam kehi-dupan bagi brahma yang
bercahaya indah di sekujur
tubuhnya.
Catutthajhânabhûmi, Dua alam bagi peraih Jhâna
kelima ialah:
1. Vehapphalâ: alam kehidupan bagi brahma yang
berpahala sempurna,
yang terbebas dari se-gala bahaya,
2. Asaññasatta: alam kehidupan bagi brahma yang
bertumimbal lahir dalam
wujud materi berasal dari perbuatan saja(kammajarûpa). Dalam alam ini sama
sekali tidak ada unsur batiniah. Kelahiran di alam brahma ini terjadi karena
pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur batiniah yang menjijikkan
sehingga tak menghasratinya (saññâvirâgabhâvanâ). Karena tidak dilengkapi
dengan unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk
mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara jasmaniah
hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya. Delapan jenis suciwan
tidak akan terlahirkan dalam alam ini.
Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi
mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga) dan sebagainya, yaitu
para Anâgâmî yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk-makhluk lain
yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih
pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para
Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah
terlahirkan di alam ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini
tidak akan terlahirkan kembali di
alam-alam lain yang lebih rendah. Kadangkala, ketika tidak ada Buddha
yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa
penghuni.
Alam ini terbagi menjadi lima tingkat, yaitu:
1. Avihâ:
alam kehidupan bagi brahma yang tidak
meninggalkan tempat tinggalnya hingga habisnya usia,
2. Atappâ:
alam kehidupan bagi brahma yang
se-nantiasa berada dalam
ketenangan yang menyejukkan,
3. Sudassâ
alam kehidupan bagi brahma yang tubuhnya
bercahaya sangat
indah menawan hati,
4. Sudassî:
alam kehidupan yang lebih sempurna dalam
penglihatan daripada
alam Sudassâ,
5. Akanitthâ:
alam kehidupan bagi brahma yang
terlengkapi dengan harta
surgawi serta kebahagiaan yang tak ter-tandingi oleh alam mana pun. Ini
merupakan alam tertinggi bagi para suciwan.
Para Anâgâmî yang berkemampuan menonjol dalam bidang
keyakinan (saddhindrîya) niscaya terlahirkan kembali di alam Avihâ; semangat
(viriyindrîya) di alam Atappâ; penyadaran jeli (satindrîya) di alam Sudassâ;
pemusatan (samâdhindrîya) di alam Sudassî; kebijaksanaan (paññindrîya) di alam
Akanitthâ.
V. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi)
Arûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan
empat unsur batiniah yakni kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam
brahma nirbentuk (arûpâvacaravipâkacitta). Dengan perkataan lain, arûpabhûmi
adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma nirbentuk. Meskipun
disebut sebagai suatu ‘alam’ yang mengacu pada tempat atau bentuk, di sini
sesungguhnya sama sekali tidak ada unsure jasmaniah sehalus apa pun dan dalam
wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan
serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma
nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap
unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya
(rûpavirâgabhâvanâ).
Arûpabhûmi terbagi menjadi empat alam, yakni:
1. Âkâsânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma
nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat pathama-arûpajhâna yang
berobjek pada angkasa yang nirbatas,
2. Viññânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma
nir bentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat dutiya-arûpajhâna yang
berobjek pada kesadaran yang nirbatas,
3. Âkiñcaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma
nirbentuk yang
berhasil meraih meditasi tingkat tatiya-arûpajhâna yang berobjek pada
kehampaan,
4. Nevasaññânasaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi
brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat catuttha-arûpajhâna yang
berobjek pada bukan ingatan bukan pula tanpa-ingatan.
mantap sangat bermanfaat...
BalasHapusbermanfaat gan.. thanks.. :)
BalasHapusSadhu Sadhu Sadhu..
BalasHapusizin gan, anumodana
anumodana��
BalasHapus