Kamis, 21 Juni 2012

31 ALAM KEHIDUPAN DALAM AGAMA BUDDHA


Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas:
1. Empat Alam Kemerosotan (apâyabhûmi),
2. Satu Alam Manusia (manussabhûmi),
3. Enam Alam Dewa (devabhûmi),
4. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi), dan
5. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi).
I. Empat Alam Kemerosotan (Apâyabhûmi)
Istilah ‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata, yakni ‘apa’ yang berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan’, dan ‘bhûmi’ yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga-tibhûmi’.
‘Duggati’ terbentuk dari dua kosakata, yakni ‘du’ yang berarti ‘jahat, buruk, sengsara’, dan ‘gati’ yang berarti ‘alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir’. Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se-bagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
a) Alam Neraka (Niraya),
b) Binatang (Tiracchâna),
c) Setan (Peta),
d) Iblis (Asurakâya).
Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.
Empat Alam Kemerosotan, alam manusia dan enam alam dewa termasuk sebagai Alam Nafsu Inderawi (kâmabhûmi).

Jumat, 02 Maret 2012

SANG BUDDHA MEMBERI MAKAN ORANG KELAPARAN


Pada suatu hari ketika Sang Buddha sedang duduk bermeditasi di Vihara Jetavana, dengan Mata Buddha -Nya, Sang Buddha melihat seorang laki- laki yang amat miskin tinggal di Alavi. Sang Buddha mengetahui bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian. Sang Buddha ingin membantu orang itu, lalu bersama dengan lima ratus orang muridnya, Sang Buddha mela kukan perjalanan menuju Alavi. Penduduk Alavi setelah mengetahui kedatangan Sang Buddha, segera mengundang Sang Guru Agung menjadi tamu mereka. Ketika orang miskin itu mendengar kedatangan Sang Buddha, ia ingin sekali bertemu dengan Sang Buddha dan mendengar Ajarannya. Tetapi, pada hari itu seekor lembunya tersesat. Ia bimbang, "Apakah saya mencari lembu yang hilang itu ataukah saya pergi menemui Sang Buddha untuk mendengarkan AjaranNya?".
Akhirnya ia memutuskan:
"Pertama -tama saya akan mencari lembu yang hilang itu terlebih dahulu, kemudian saya akan pergi menemui Sang Buddha". Keesokan harinya, pagi- pagi sekali ia pergi ke hutan untuk mencari lembunya yang tersesat. Penduduk desa Alavi mempersilahkan Sang Buddha beserta murid -muridnya untuk duduk di tempat yang telah mereka persiapkan, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya dengan penuh hormat. Sesudah makan, Sang Buddha biasanya mengucapkan terima kasih dengan membacakan Paritta Pemberkahan, tetapi kali ini Sang Buddha berkata:

CERITA RATU KHEMA YANG MEMUJA KECANTIKAN

Permaisuri Raja Bimbisara bernama Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Ratu Khema telah mengucapkan permohonannya di kaki Buddha Padumuttara, ia ingin sekali mempunyai rupa dan wajah yang cantik. Tetapi ia mendengar bahwa Sang Buddha Gotama mengatakan, kecantikan bukan merupakan hal yang utama. Pada kelahiran- kelahirannya yang terdahulu, Ratu Khema selalu menjadi wanita yang amat cantik. Raja Bimbisara yang mengetahui bahwa istrinya amat mengagumi kecantikan wajahnya lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan lagu yang memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.
Ratu Khema ketika mendengar lagu tersebut penasaran, karena Veluvana digambarkan sebagaisuatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri. "Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?", tanyanya kepada para penyanyi. "Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang hutan Veluvana", jawab mereka. Ratu Khema lalu ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana. Sang Buddha yang ketika itu sedang berkumpul dengan murid- muridnya dan memberikan Ajarannya, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri di samping Sang Buddha. Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir, "Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang utama.

KESUCIAN YANG DIBELI


Kisah ini menceritakan tentang Kala, anak seorang jutawan yang bernama Anathapindika. Meskipun ayahnya amat gemar berdana dan percaya  akan hasil dari perbuatan baik yang dilakukannya, Kala tidak pernah menunjukkan keinginannya untuk mengunjungi Sang Buddha atau menemui Sang Buddha apabila Beliau datang ke rumah ayahnya, atau mendengarkan Dhamma, ataupun melayani Anggota Sangha. Ayahnya selalu menasehatinya:
"Anakku, jangan berlaku begitu".
Tetapi Kala tidak pernah memperhatikan nasehat ayahnya. Suatu ketika ayahnya berpikir:
"Kalau anakku ini tetap bertingkah laku seperti itu, apabila meninggal ia akan masuk ke Neraka Avici. Bagaimana mungkin saya biarkan hal itu terjadi di depan mata saya?".
"Tetapi, di dunia ini segala sesuatu dapat dilemahkan oleh hadiah".
Ia berkata kepada anaknya:
 "Anakku, pergilah ke Vihara, dengarkanlah Dhamma yang di ajarkan oleh Sang Buddha, setelah selesai pulanglah. Kalau kamu mau pergi ke Vihara, saya akan memberikan seratus keping uang".
"Ayah, benarkah ayah akan memberikan saya seratus keping uang, kalau saya pergi keVihara?".
"Benar, anakku", jawab ayahnya.
Sesudah ayahnya berjanji tiga kali, Kala lalu pergi ke Vihara. Tetapi ia tidak mendengarkan Dhamma, melainkan ia tidur nyenyak di tempat yang nyaman di Vihara, keesokkan harinya ia baru pulang. Ayahnya berkata:
"Hari ini anakku sudah ke Vihara, cepat sediakan bubur dan makanan lainnya". Jutawan itu segera memberikan bubur dan makanan lain kepada anaknya dan menyuruhnya makan.
Tetapi Kala berkata:
"Saya tidak mau makan, kecuali diberi uang terlebih dahulu".
Ia tidak mau menyent uh makanannya. Ayahnya tidak memaksanya untuk makan, tetapi ia
memberi uang yang dijanjikannya. Setelah menerima uang, Kala makan makanan yang tersedia dihadapannya.
Keesokan harinya si ayah ingin anaknya pergi lagi ke Vihara, ia berkata:
"Anakku, saya akan berikan kamu seribu keping uang kalau kamu mau duduk di hadapan Sang Buddha dan mendengarkan AjaranNya. Pulanglah setelah selesai". Kala segera pergi ke Vihara. Ia duduk di hadapan Sang Buddha. Dan ketika Sang Buddha mengucapkan satu syair, ia tidak mengerti arti syair itu, tetapi ia tidak mau pulang. Ia berpikir:
"Saya pasti akan dapat mengerti arti syair".
Karena penasaran ia tetap duduk dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, ia berusaha untuk mengerti. Sang Buddha yang mengetahui sebab dari kedatangannya ke Vihara, sengaja membuatnya tidak dapat mengerti dengan jelas arti syair itu. "Saya harus mengerti arti syair itu", pikir Kala. Jadi ia tetap tinggal dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, akhirnya ia mengerti dan mencapai Tingkat Kesucian. Keesokan harinya, Kala bersama dengan para bhikkhu ikut menyertai Sang Buddha pergi ke
Savatthi. Ketika Anathapindika melihat anaknya, ia berkata:
"Hari ini, kelakuan anakku amat menyenangkan hatiku".
Dan pada saat itu pula Kala berpikir:
"Saya harap ayah tidak memberikan saya uang yang dijanjikannya di hadapan Sang Buddha.
Saya harap ia tidak bercerita karena sejumlah uanglah saya mau pergi ke Vihara". (Sang Buddha mengetahui bahwa karena sejumlah uang, Kala mau pergi ke Vihara). Jutawan Anathapindika mempersembahkan bubur dan makanan lainnya kepada Sang Buddha dan kepada bhikkhu Sangha, ia juga mempersembahkan makanan kepada anaknya. Kala duduk dengan diam, ia makan bubur dan makanan lainnya. Ketika Sang  Buddha selesai makan, Jutawan itu memberikan sebuah dompet yang berisi seribu keping uang kepada anaknya, dan berkata: "Anakku, tentu kamu masih ingat bahwa saya membujukmu untuk pergi ke Vihara, dengan janji akan memberimu seribu keping uang, ambillah uang ini". Ketika Kala melihat kepada Sang Buddha, ia merasa amat malu dan berkata:
"Saya tidak mau uang ini".
"Ambillah, anakku", kata ayahnya.
Tetapi Kala tetap menolaknya. Jutawan Anathapindika itu mengucapkan terima kasih kepada Sang Buddha, seraya berkata:
 "Yang Mulia, kelakuan anak saya pada hari ini amat menyenangkan saya".
"Mengapa, saudara?".
"Yang Mulia, kemarin dulu saya menyuruhnya pergi ke Vihara sambil berkata, 'Saya akan memberi kamu seratus keping uang'. Kemarin ia menolak untuk makan sebelum saya berikan uang itu kepadanya. Tetapi pada hari ini, ketika saya berikan uang, ia malahan menolaknya". Sang Buddha berkata:
"Itulah yang telah terjadi, saudara. Hari ini ia telah mencapai Tingkat Kesucian, telahmencapai Alam Surga dan Alam Brahma".
Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair:
"Ada yang lebih baik dari pada kekuasaan mutlak atas bumi, dari pada pergi ke Surga atau dari pada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang Suci yang telah memenangkan arus (Sotapattiphala)". (Dhammapada, Loka Vagga no. 12)

MAHADANA ANAK SEORANG JUTAWAN


Kisah ini tentang seorang anak jutawan, anak orang yang amat kaya di Benares. Ia bernama Mahadhana. Ia terlahir di sebuah keluarga yang kaya raya. Mereka memiliki kekayaan sebanyakdelapan ratus juta keping uang. Ayah dan ibu Mahadhana berpikir:
"Harta kami amat banyak, untuk apa anak kami bekerja lagi, lebih baik ia bersenang- senang". Kemudian mereka membiarkan anaknya bersenang-senang saja, dengan bernyanyi, menari dan bermain musik, setiap waktu.
Di kota yang sama terdapat pula orang kaya lainnya. Ia juga mempunyai kekayaan sebanyak delapan ratus juta keping uang. Mereka mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Mereka juga mempunyai pikiran yang sama, yaitu membiarkan anak gadisnya bersenang-senang saja. Ketika kedua anak ini dewasa, kedua orang tuanya mengawinkan anak mereka, seperti kebiasaan pada waktu itu. Beberapa waktu kemudian kedua orang tua itu meninggal dunia. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, Mahadhana dan istrinya memperoleh warisan dari kedua orang tuanya. Harta mereka menjadi dua kali delapan ratus juta keping uang. Mahadhana mempunyai kebiasaan mengunjungi Raja tiga kali dalam satu hari. Di kota terdapat sekelompok orang yang kebiasaannya bermabuk- mabukkan dengan minum minuman keras. melihat Mahadhana, mereka berpikir alangkah baiknya kalau mereka dapat membuat Mahadhana bermabuk- mabukkan dan menghamburkan uangnya, dengan demikian mereka dapat ikut bersenang- senang. "Kalau anak jutawan ini menjadi pemabuk dan menjadi teman kita, dapat kita peras kekayaannya. Jadi kita harus memperlihatkan kepadanya, bagaimana caranya bermabuk-mabukkan". Mereka lalu menyediakan minuman keras, daging panggang, garam, tembakau dan gula yang disimpan di dalam kantong baju mereka. Kemudian mereka duduk di jalan yang biasa dilalui Mahadhana. Ketika Mahadhana mendekat, mereka segera minum minuman keras, memasukkan garam dan gula ke mulut dan juga mengunyah tembakau. Orang- orang itu berkata: "Semoga tuanku, anak jutawan hidup seratus tahun! Dengan bantuanmu kami dapat makan dan minum sepuas hati! Cobalah minuman ini tuanku, enak sekali".Mendengar kata-kata mereka, Mahadhana bertanya kepada pelayan yang mengiringinya:
"Apa yang mereka minum?"
"Minuman istimewa tuanku"
"Enakkah rasanya?"
"Tuanku di dunia ini, tidak ada minuman yang lebih enak dari pada minuman ini".
"Jadi!", kata Mahadhana, "Saya harus mencoba".
Kemudian ia menyuruh pelayannya mengambil minuman itu sedikit, dicobanya, lalu ia mengambil sedikit lagi, sedikit lagi, akhirnya ia menjadi mabuk. Tidak perlu waktu lama untuk membuat Mahadhana menjadi pemabuk. Orang- orang berkerumun mengelilingi Mahadhana yang menghamburkan uangnya, seratus atau dua ratus keping uang. Akhirnya perbuatan buruk itu menjadi kebiasaannya, setiap mabuk ia menghamburkan uangnya. Dengan meraup uang di tangannya, ia berteriak- teriak:
"Ambillah uang ini dan bawakan saya bunga! Ambillah uang ini bawakan saya minyak wangi!
Orang ini pandai bermain dadu, orang ini pandai bermain musik! Berikanlah orang ini seribu
keping dan orang itu dua ribu keping!".
Dengan cara seperti itulah ia menghabiskan uang warisan orang tuanya. Ketika teman- temannya tahu uangnya habis, mereka berkata kepada Mahadhana:
"Tuanku, hartamu sudah habis. Apakah istrimu punya uang?".
 "Oh ya, ia juga punya uang, ambillah uang istriku".
Kemudian ia pun menghabiskan uang istrinya dengan cara yang sama. Setelah uangnya habis, Mahadhana menjual ladang, tanah dan kebun, juga kereta kudanya. Ia menjual semua peralatan makannya, selimut, mantel dan tempat tidurnya. Akhirnya semua hartanya habis terjual, ia jatuh miskin. Hidupnya tidak karuan lagi. Di usia tuanya ia menjual hartanya yang terakhir yaitu rumahnya, tidak ada lagi harta yang tersisa sedikitpun, ia harus pergi dari rumahnya sendiri. Dengan istrinya, ia menemukan sebuah gubuk, yang menempel di sisi dinding tembok sebuah rumah. Dengan mangkuk yang pecah, ia menjadi pengemis meminta belas kasihan orang lain. Ia hanya makan makanan sisa yang dibuang orang. Suatu hari ia berdiri di depan Vihara tempat Sang Buddha berdiam, untuk meminta makanan. Samanera memberikan makanan kepada Mahadhana, anak jutawan yang sekarang menjadi pengemis itu. Sang Buddha melihatnya lalu tersenyum. Yang Mulia Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Sang Buddha lalu bercerita:
"Ananda, lihatlah anak jutawan itu! Di kota ia menghambur -hamburkan harta kekayaannya sebanyak dua kali delapan ratus juta keping uang. Sekarang dengan istrinya, ia menjadi pengemis. Apabila dalam kehidupannya ini, ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya dengan baik, ia akan menjadi orang yang terkaya di kota ini. Dan apabila ia pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian Arahat, dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami). Apabila di usia setengah bayanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya, ia akan menjadi orang kaya nomor dua di kota ini. Bila ia pensiun dan menjadi seorang bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami). Dan apabila di usia tuanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalankan usahanya, ia akan menjadi orang  kaya nomor tiga di kota ini. Bila ia pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Tetapi sekarang ia jatuh bangkrut dan ia juga tidak mengenal Dhamma, ia  akan menjadi seekor bangau yang berdiam di danau kering". Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan syair:
"Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, ia akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada
ikannya". (Dhammapada, Jara Vagga no. 10)

ANAK-ANAK MENGUNJUNGI SANG BUDDHA


Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana, Savatthi, terdapat beberapa orang tua yang menjadi pengikut aliran yang sesat. Ketika mereka melihat anak- anak mereka bermain- main dengan anak-anak yang orang tuanya pengikut Sang Buddha, mereka marah dan tidak senang. Setelah anak- anak itu selesai bermain dan pulang ke rumah, mereka segera memarahi anak-anaknya :
"Mulai sekarang, kalau kamu bertemu dengan bhikkhu- bhikkhu pengikut Pangeran Sakya, kamu tidak usah memberi hormat, dan tidak boleh memasuki pertapaan mereka". Anak- anaknya disuruh bersumpah, harus mentaati apa yang mereka katakan.

Pada suatu hari, anak- anak pengikut aliran sesat itu sedang bermain- main di luar Vihara Jetavana, tempat Sang Buddha berdiam. Mereka bermain-main di depan pintu gerbang Vihara, setelah lelah bermain, mereka merasa amat haus dan ingin minum. mereka lalu menyuruh salah
seorang temannya masuk ke dalam Vihara : "Kamu masuk dulu ke dalam, mintalah air minum dan bawakan juga untuk kami". Salah seorang anak laki- laki itu masuk ke Vihara, dan bertemu dengan Sang Buddha. Setelah memberi hormat, ia bercerita bahwa mereka sedang bermain-main di depan Vihara dan sekarang merasa haus, ingin minta air minum. 

Sang Buddha berkata :
"Kamu boleh minum air di sini, kalau sudah minum, kembalilah ke teman-temanmu, ajaklah mereka minum di sini". Kemudian semua anak- anak itu masuk ke dalam Vihara untuk minum. Selesai minum, Sang Buddha mengumpulkan mereka, dan mengajarkan Hukum Alam Semesta dengan kata- kata yang mudah mereka pahami. Akhirnya mereka mengerti dan menjadi murid Sang Buddha. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, dan bercerita kepada orang tua mereka tentang Ajaran Sang Buddha. Beberapa orang tua yang menganut pandangan sesat itu bersedih hati dan menangis:
"Anak kami telah manganut pandangan sesat".
Tetapi ada beberapa orang tua yang pandai dan mengerti Ajaran Sang Buddha. Ketika menyadari kekeliruannya, mereka mendatangi orang tua yang keliru itu dan menjelaskan Ajaran Sang Buddha. Akhirnya mereka semua mengerti akan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan, mereka berkata:
"Kami akan menyuruh anak- anak kami melayani Sang Guru Agung kita" Bersama dengan keluarga masing-masing, mereka berbondong- bondong mengunjungi Sang Buddha. Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran mereka sudah berubah, segera menerangkan kembali AjaranNya kepada mereka. Sang Buddha mengucapkan syair:
"Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara".
(Dhammapada, Niraya Vagga no. 13)
"Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercelasebagai tidak tercela, maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk kealam bahagia"
(Dhammapada, Niraya Vagga no. 14)

Kamis, 01 Maret 2012

KISAH ORANG KAYA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK

Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris. Hal ini menjadikannya harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Kekayaannya berjumlah 8 juta keping emas, belum termasuk uang perak, dan membutuhkan waktu 7 hari untuk mengangkutnya ke gudang harta Raja. Kemudian Raja menceritakan perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir. Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai wujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.

Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya memberi ijin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok Beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkok makanannya. Mengetahui bahwa istrinya telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik." Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.

Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya ia mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.

Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha, ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya, ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan dan tanpa anak. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia, tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.

Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridNya. Sesungguhnya, ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Hananti bhogā dummedhaṃ no ce pāragavesino
bhogataṇhāya dummedho hanti aññe va attanaṃ."

Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh,
tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari `Pantai Seberang` (nibbana).
Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan,
orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri dan orang lain.

KISAH DERMAWAN YANG MEMBERI HASIL PERTAMANYA

Ketika Sang Buddha bersemayam di Vihara Jetavana, Beliau membabarkan syair 367 ini, berkenaan kisah seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan berdana lima macam hasil pertama yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai seorang petani. Hasil pertama pertanian yang diberikan sebagai dana diambil pada saat panen, saat menguliti beras, saat menyimpan beras, saat memasak beras, dan saat menaruh nasi pada tempat nasinya.

Suatu hari Sang Buddha melihat brahmana dan istrinya itu dengan kemampuan batin luar biasa Beliau dan Beliau mengetahui bahwa saatnya sudah masak bagi brahmana dan istrinya mencapai tingkat kesucian anagami. Oleh karena itu Sang Buddha berkunjung ke tempat tinggal mereka dan berdiam diri di dekat pintu rumah brahmana untuk berpindapatta.

Pada saat itu brahmana sedang makan sambil melihat ke bagian dalam rumahnya, sehingga ia tidak melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumahnya. Isteri brahmana yang sedang berdiri dekat brahmana itu melihat Sang Buddha tiba, tetapi ia khawatir apabila suaminya melihat Sang Buddha berdiri di dekat pintu rumah untuk berpindapatta, suaminya itu akan memberikan seluruh nasi yang ada pada tempat nasinya kepada Sang Buddha, sehingga ia harus menanak nasi lagi.

Dengan pikiran seperti itu wanita itu kemudian berdiri menghalangi penglihatan suaminya, sehingga suaminya tidak bisa melihat Sang Buddha. Kemudian wanita itu perlahan-lahan berjalan menghampiri Sang Buddha, ia menghormat dan berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, kita tidak bisa berdana makanan pada hari ini."

Tetapi Sang Buddha memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat Beliau berdiri. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal itu, isteri brahmana tidak dapat menahan diri, ia ketawa.

Oleh karena itu brahmana membalikkan dirinya dan melihat Sang Buddha. Mengetahui apa yang dilakukan oleh isterinya itu, brahmana menjerit, "O, isteriku yang buruk, engkau telah meruntuhkan aku."

Segera brahmana mengambil tempat nasinya. Ia menghampiri Sang Buddha dan memohon maaf sambil berkata, "Bhante, silakan menerima pemberian nasi ini meskipun saya sudah mengambilnya sebagian." Kepada brahmana itu, Sang Buddha membalas, "O brahmana, nasi apapun sesuai buat-Ku, apakah nasi itu belum diambil, atau sudah sebagian diambil, bahkan sisa satu sendok terakhir.”

Brahmana sangat gembira mendengar kata-kata Sang Buddha. Pada saat yang sama ia merasa berbahagia karena pemberian nasinya telah diterima oleh Sang Buddha.

Brahmana itu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, dengan ukuran apa seorang bhikkhu dapat dinilai dan bagaimana seseorang bisa dikenal, dan disebut sebagai bhikkhu. Sang Buddha mengetahui bahwa baik brahmana maupun isterinya telah siap mendengarkan ajaran Beliau perihal batin dan badan jasmani.

Oleh karena itu Beliau menjawab, "O brahmana, seseorang yang tidak lagi terikat kepada batin dan badan jasmani disebut bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

“Sabbaso nāmarūpasmiṃ yassa n’atthi mamāyitaṃ
asatā ca na socati sa ve "bhikkhū" ti vuccati.”

Apabila seseorang tidak lagi melekat pada konsepsi "aku" atau "milikku", baik yang berkenaan dengan batin maupun jasmani, dan tidak bersedih terhadap apa yang tidak dimilikinya, maka orang seperti itu layak disebut bhikkhu.

Brahmana dan isterinya mencapai tingkat kesucian anagami, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

KISAH NANGALA THERAS

Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja pada seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasehatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).

Kehidupan di vihara lebih baik maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumahtangga.

Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh. Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar ?" Setelah berpikir seperti itu, ketidakpuasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.

Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya."

Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti ke pohon lagi. Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada gurumu?" Kepada mereka ia menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya." Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu tidak mungkin benar; ia pasti membual, ia pasti berbohong."

Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Attanā coday’attānaṃ paṭimāse attam attanā,
so attagutto satimā sukhaṃ bhikkhu vihāhisi.

Attā hi attano nātho attā hi attano gati,
tasmā saññāmay’attānaṃ assaṃ bhadraṃ va vāṇijo."

Engkaulah yang harus mengingatkan
dan memeriksa dirimu sendiri.
O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga
dirimu sendiri dan selalu sadar,
maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.

Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri.
Bagaimana bisa orang lain menjadi pelindung bagi seseorang?
Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri.
Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri,
seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.

KISAH MARA

Pada satu kesempatan, Mara datang menemui Sang Buddha, menampakkan diri berujud manusia dan bertanya kepada Beliau, "Bhante! Anda sering mengucapkan kata `param`. Apakah arti dari kata tersebut ?"

Sang Buddha yang mengetahui bahwa Mara-lah yang bertanya tersebut, lalu menegurnya, "O, Mara yang jahat! Kata `param` dan `aparam` tidak berarti apapun bagimu. `Param` berarti `pantai seberang` yang hanya dapat dicapai oleh para arahat yang telah terbebas dari kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
"Yassa pāraṃ apāraṃ vā
pārāpāraṃ na vijjati
vītaddaraṃ visamyuttam
tamaham brumi brahmanam."
Seseorang yang tidak lagi memiliki
pantai sini (enam landasan indria dalam)
atau pantai sana (enam objek indria luar),
ataupun kedua-duanya (pantai sini dan pantai sana),
tidak lagi bersedih dan tanpa ikatan,
maka ia Kusebut seorang `brahmana`.

------------
Notes :

6 landasan (ayatana) internal : yaitu melalui :
Mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran.

6 landasan (ayatana) external : bentuk/forms, suara/bunyi, bau, rasa, sentuhan, dan ide-ide.

KISAH MAHAPAJAPATI GOTAMI THERI

Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maha Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari Raja Suddhodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan Pangeran Siddattha, calon Buddha. Demikianlah Mahapajapati Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran Siddhattha.

Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu setelah mencapai Ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga diijinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang Buddha menolak memberi ijin. Kemudian, Raja Suddhodana meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur rambut mereka dan telah menggunakan jubah yang sudah dicelup. Di sana, untuk kedua kalinya, Mahapajapati memohon kepada Sang Buddha untuk menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni. Y.A. Ananda juga mendukung permintaan para wanita tersebut.

Akhirnya Sang Buddha memenuhi kehendak itu dengan syarat bahwa Mahapajapati hendaknya mematuhi delapan syarat khusus (garudhamma). Mahapajapati bersedia mematuhi garudhamma tersebut seperti yang diharapkan Sang Buddha. Kemudian beliau menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni.

Mahapajapati adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Mahapajapati oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.

Setelah berlangsungnya waktu, terpikir oleh beberapa bhikkhuni bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak sah diterima sebagai seorang bhikkhuni karena tidak mempunyai seorang pembimbing. Oleh karena itu Mahapajapati bukanlah seorang bhikkhuni yang sesungguhnya. Berdasarkan pemikiran yang demikian, mereka berhenti melakukan upacara uposatha dan upacara vassa (pavarana) bersama Mahapajapati Gotami.

Mereka pergi menemui Sang Buddha, dan mengajukan permasalahan bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak dengan sah diterima dalam pasamuan bhikkhuni karena ia tidak mempunyai pembimbing.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Mengapa kalian berkata demikian? Saya sendiri memberikan delapan kewajiban khusus (garudhamma) kepada Mahapajapati, dan ia telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang Kuharapkan. Saya sendiri pembimbingnya dan adalah salah jika kalian mengatakan bahwa ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Kalian hendaknya tidak memelihara keraguan apapun mengenai seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Yassa kāyena vācāya manasā n’atthi dukkataṃ
saṃvutaṃ tīhi thānehi tam ahaṃ brūmi brāhmaṇaṃ."

Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat
melalui badan, ucapan, dan pikiran,
serta dapat mengendalikan diri dalam tiga saluran perbuatan ini,
maka ia Kusebut seorang `brahmana`.

---------------
Notes :

Dari kisah diatas, kita dapat melihat contoh pentingnya ‘garis silsilah’ atau lineage dalam kebhikkhuan. Karena ada keraguan apakah Mahapajapati Gotami ditahbiskan secara sah, maka sebagian bhikkhuni yang meragukan itu tidak mau melakukan upacara bersama Mahapajapati Gotami. Untungnya dalam hal tsb ternyata tidak perlu meragukan keabsahan penahbisan Mahapajapati Gotami yang ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha.

Pada awalnya Sang Buddhalah yang menahbiskan langsung para bhikkhu. Ketika permintaan untuk ditahbiskan bertambah banyak dan lokasi yang berjauhan, Sang Buddha kemudian mengijinkan bhikkhu-bhikkhu Arahat untuk menahbiskan. Sekarang ini, hanya bhikkhu-bhikkhu tertentu yang memiliki hak untuk menjadi upajjhaya, yaitu bhikkhu yang memiliki wewenang untuk menahbiskan bhikkhu baru. Tidak sembarang bhikkhu boleh menahbiskan. Jika tidak memiliki wewenang untuk menahbiskan biasanya bhikkhu ybs akan mengirim muridnya untuk ditahbiskan oleh upajjhaya yang berwenang. 

Untuk menjadi seorang bhikkhu, seseorang harus memiliki guru dan ditahbiskan oleh upajjhaya. Kalau diibaratkan, misalnya untuk menjadi dokter, guru adalah dosen di kampus yang sehari-hari lebih dekat dengan mahasiswa untuk mengajarinya. Dan upacara wisuda dan pemberian ijasah kira-kira bisa diibaratkan saat penahbisan. Hanya rektor dll pejabat universitas yang resmi yang berhak memberikan gelar. Dan setelah itu, si dokter baru masih harus praktek lapangan beberapa tahun dll sebelum dapat membuka praktek sendiri.
Demikian pula bhikkhu, harus memiliki guru, dan upajjhaya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi dokter, seorang bhikkhu juga tidak dapat mengangkat dirinya sendiri menjadi bhikkhu.

Tidak semua dokter pasti pintar dan hebat, tetapi adalah lebih sangat berbahaya kalau kita minta diobati oleh dokter palsu yang tidak kuliah dan tidak lulus/diwisuda.
Kalau dokternya palsu, andaipun tidak sampai mati atau keracunan, penyakit bisa tidak sembuh-sembuh karena ketidakbecusannya.

Demikian pula, kita harus berhati-hati memilih guru bhikkhu jika ingin mendapat ajaran yang benar. Banyak orang yang mengaku sebagai bhikkhu tetapi tidak memiliki silsilah yang jelas, bahkan beberapa orang mengarang sendiri silsilahnya.

KISAH SARIPUTTA THERA


Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian: "Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar."
Karena ini sering dikatakan mengenai Y.A. Sariputta, seorang brahmana yang mempunyai pandangan salah mengatakan bahwa itu karena tidak ada yang mengganggu Sariputta Thera, lalu ia mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.

Pada saat itu, Y.A. Sariputta yang sedang berpindapatta, lewat disana. Brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau keras-keras dengan tangannya. “Apa itu?”, kata Sang Thera, dan tanpa menoleh untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, ia meneruskan berjalan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang Thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut dan menyesal. “Oh, betapa luhurnya kualitas Sang Thera!”, kata brahmana itu. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, dan berkata, “Maafkan saya, Bhante.”
“Apa yang engkau maksudkan?” tanya Sang Thera.
“Karena ingin menguji kesabaranmu, aku telah memukulmu,” jawab brahmana itu.
“Baiklah, aku memaafkanmu” kata Sang Thera.
“Jika Bhante memaafkanku, sudilah datang dan menerima dana makanan di rumahku.” Kemudian brahmana itu mengambil patta (mangkuk) Sang Thera, yang diberikan oleh Sang Thera dengan senang hati, mengajak Sang Thera ke rumahnya, dan memberikan dana makanan untuk Sang Thera.

Orang-orang yang melihat pemukulan itu, sangat marah. “Orang itu,” kata mereka, “memukul Thera kita yang mulia, sungguh tak boleh dibiarkan! Kita akan membunuhnya disini sekarang juga.” Sambil membawa gumpalan tanah, tongkat dan batu-batu di tangan mereka, mereka menunggu di depan rumah brahmana itu.

Ketika Sariputta Thera bangkit dari tempat duduknya, beliau meletakkan pattanya di tangan brahmana itu*. Orang-orang yang melihat brahmana itu keluar bersama Sang Thera, berkata, “Bhante, suruhlah brahmana yang memegang pattamu untuk kembali.”
“Apa yang engkau maksudkan, oh perumah tangga?” tanya Sang Thera.
“Brahmana itu telah memukulmu, dan kami akan memberi ganjaran kepadanya”, jawab mereka.
“Apa yang engkau maksudkan? Apakah dia memukulmu, atau memukulku?”, tanya Sang Thera.
“Memukulmu, bhante” jawab mereka.
“Jika ia memukulku, ia telah meminta maaf kepadaku; kalian pulanglah.” Demikian jawab Sang Thera membubarkan kerumunan itu, dan setelah mempersilakan brahmana itu kembali ke rumahnya, Sang Thera kembali menuju ke vihara.

Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.

Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian ketiga, Anagami."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

Na brāhmaṇassa pahareyya
nāssa muñcetha brāhmaṇo,
dhī brāhmaṇassa hantāraṃ,
tato dhī y’assa muñcati.

Na brāhmaṇas’ etad akiñci seyyo
yadā nisedho manaso piyehi,
yato yato hiṃsamano nivattati
tato tato sammati-m-eva dukkhaṃ.

Janganlah seseorang memukul brahmana,
juga janganlah brahmana yang dipukul itu menjadi marah kepadanya.
Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana,
tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang
menjadi marah kepada orang yang telah memukulnya.

Tak ada yang lebih baik bagi seorang `brahmana`
selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan.
Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahat,
maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.


Rabu, 29 Februari 2012

KISAH LIMARATUS BHIKKHU


Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai berdiam di pohon bersama-sama mereka.
Para makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, "Ah, para bhikkhu itu hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir dari pohon." Tetapi, sampai dini hari para bhikkhu itu belum pergi juga.
"Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa. Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama." Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi. Mereka segera berunding dan memutuskan untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya.
Bhikkhu-bhikkhu sangat terganggu dengan tingkah laku mereka dan akhirnya meninggalkan tempat itu, kembali menghadap Sang Buddha, serta menceritakan segala yang terjadi.
Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan itu dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha mengajarkan ‘Metta Sutta?(Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka, diawali dengan syair berikut :


Karaniyamattha kusalena 
Yanta santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju caHal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan bermanfaat mencapai ketenangan sempurna (Nibbana). Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong, dst.


Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.
Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.
Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para makhluk halus membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh. Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan obyek tubuh jasmani, dan mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal keberadaannya.
Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan kehadiran Beliau.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah realisasikan, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah tempayan tanah."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 40 berikut :

Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan. Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya, dan hidup tanpa ikatan lagi.

Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

KISAH SAMGHARAKKHITA


Suatu hari, tinggallah di Savatthi, seorang bhikkhu senior yang bernama Samgharakkhita. Ketika kakak perempuannya melahirkan anak laki-laki, ia memberi nama anaknya Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita, pada waktu itu, juga memasuki pasamuan Sangha.
Ketika bhikkhu muda tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Samgharakkhita Thera. Akhir masa vassa, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu merasa sakit hati dan berpikir bahwa sejak saat itu pamannya tidak sudi untuk berbagi kebutuhan dengannya. Akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan hidup sebagai seorang perumah tangga.
Dari masalah itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya dan membeli seekor kambing betina. Kambing betina itu akan segera melahirkan anak. Anak-anak kambing dijual dan segera ia akan mempunyai uang cukup untuk menikah. Isterinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa isteri dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya di vihara. Dalam perjalanan, ia akan berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi isterinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan mengurusi anak. Ia bersikeras dan merebut anak dari isterinya. Sewaktu terjadi perebutan, anak itu terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul isterinya dengan cemeti.
Pada saat itu ia membelakangi pamannya dengan memegang kipas daun palem dan ia dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Samgharakkhita tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, "Kamu tidak sanggup menghajar isterimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua ?" Samgharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda lainnya dan penjaga vihara mengejarnya dan akhirnya membawanya ke hadapan Sang Buddha.
Ketika membicarakan seluruh kisah bhikkhu muda itu, Sang Buddha berkata bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk berpikir pada suatu obyek yang berkepanjangan, dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu nafsu keinginan, kebencian, dan kegelapan batin.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 37 berikut ini :
Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati. Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

KISAH SEORANG BHIKKHU YANG TIDAK PUAS


Ada seorang pemuda anak seorang bankir bertanya kepada seorang bhikkhu yang menghampiri rumahnya untuk berpindapatta, apakah yang harus dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan dalam kehidupan saat ini.
Bhikkhu itu menyarankan untuk memisahkan tanahnya dalam tiga bagian. Satu bagian untuk mata pencahariannya, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu bagian lagi untuk berdana.
Ia melakukan semua petunjuk itu, kemudian pemuda itu menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Disarankan lebih lanjut; pertama, berlindung kepada Tiratana dan melaksanakan lima sila; kedua, melaksanakan sepuluh sila; dan ketiga, meninggalkan kehidupan keduniawian dan memasuki Pasamuan Sangha. Pemuda itu menyanggupi semua saran dan ia menjadi seorang bhikkhu.
Sebagai seorang bhikkhu, ia mendapat pelajaran Abhidhamma dari seorang guru dan vinaya oleh guru lainnya. Selama mendapat pelajaran ia merasa bahwa Dhamma itu terlalu berat untuk dipelajari, dan peraturan vinaya terlalu keras dan terlalu banyak, sehingga tidak banyak kebebasan, bahkan untuk mengulurkan tangan sekalipun.
Bhikkhu itu berpikir bahwa mungkin lebih baik untuk kembali pada kehidupan berumah tangga. Karena alasan ragu-ragu dan tidak puas, ia menjadi tidak bahagia dan menyia-nyiakan kewajibannya. Dia juga menjadi kurus dan kering.
Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui masalahnya, Beliau berkata, "Jika kamu hanya mengawasi pikiranmu, kamu tidak akan mempunyai apa-apa lagi yang akan diawasi; jadi jagalah pikiranmu sendiri."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 36 berikut :
Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus; pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.
Bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

KISAH SEORANG BHIKKHU TERTENTU


Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara bermeditasi dari Sang Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di sana, Matikamata, ibu dari kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu; Matikamata juga mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal selama musim hujan.
Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi. Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh. Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa, sebelum para bhikkhu itu mencapainya.
Dengan munculnya berkah magga dan phala ia dapat melihat dengan mata batin (dibbacakkhu). Ia mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai magga. Ia juga tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, tetapi mereka memerlukan makanan yang cukup dan penuh gizi, karena tubuh yang lemah akan mempengaruhi pikiran untuk berkonsentrasi.
Maka, Matikamata menyediakan makanan pilihan untuk mereka. Dengan makan makanan yang sesuai dan pengendalian yang benar, para bhikkhu dapat mengembangkan konsentrasinya dengan benar dan akhirnya mencapai arahat.
Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana, tempat bersemayam Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka sudah tidak khawatir perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka dan menyediakan serta memberi mereka banyak makanan yang sesuai.
Seorang bhikkhu, yang mendengar pembicaraan mereka tentang Matikamata, memutuskan untuk melakukan hal yang sama pergi ke desa itu. Setelah memperoleh cara-cara meditasi dari Sang Buddha ia tiba di vihara desa. Di sana, ia menemukan bahwa segala yang diharapkannya sudah dikirim oleh Matikamata, umat yang dermawan.
Ketika bhikkhu itu mengharap Matikamata datang, ia datang ke vihara, dengan pilihan banyak makanan. Sesudah makan, bhikkhu itu bertanya kepada Matikamata apakah ia bisa membaca pikiran orang lain. Matikamata mengelak dengan pertanyaan balasan, "Orang yang dapat membaca pikiran orang lain berkelakuan semakin jauh dari ‘Sang Jalan?"
Dengan terkejut bhikkhu itu berpikir, "Mungkinkah saya, berkelakuan seperti perumah tangga yang terikat pikiran tidak suci, dan ia sungguh-sungguh mengetahuinya ?" Bhikkhu itu khawatir terhadap umat dermawan tersebut dan memutuskan kembali ke Vihara Jetavana.
Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-sucian pikirannya.
Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada obyek meditasinya.
Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu tetap memberikan dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu lain, dan bhikkhu itu melaksanakan meditasi dengan tanpa rasa khawatir lagi. Dalam jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.
Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair 35 berikut ini :
Sukar dikendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.
Para bhikkhu yang berkumpul pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

KISAH MEGHIYA THERA


Pada suatu waktu Meghiya Thera menghadap Sang Buddha dan tinggal beberapa waktu di sana. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang menyenangkan dan indah.
"Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi," demikian pikirnya. Setibanya di Vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan meminta ijin agar diperbolehkan segera pergi ke sana.
Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi.
Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi dan mengulangi lagi permohonannya. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia inginkan.
Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk di bawah pohon dan berlatih meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.
Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).
Atas pertanyaan itu Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34 berikut ini :
Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai. Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah.
Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah, pikiran itu selalu menggelepar. Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.
Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

KISAH NIGAMAVASITISSA


Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi seorang bhikkhu dia hidup dengan sederhana, dengan mempunyai hanya sedikit keinginan.
Untuk berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa tempat saudaranya tinggal dan mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam jumlah besar kepada para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.
Beberapa orang bhikkhu kemudian membicarakan hal tersebut. Bahwa beliau lebih dekat dengan saudara-saudaranya dan tidak mempedulikan orang lain seperti Anathapindika dan Raja Pasenadi, yang ingin berbuat jasa dengan memberikan dana makanan.
Ketika Sang Buddha menerima laporan ini, Beliau mengundang Nigamavasitissa dan menanyakan hal itu.
Bhikkhu Nigamavasitissa dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa memang benar ia sering mengunjungi desanya, tetapi hanya pada saat berpindapatta. Ketika dia telah mendapatkan makanan yang cukup, dia tidak akan berjalan lebih jauh lagi, dan dia tidak pernah mempersoalkan apakah makanan itu enak atau tidak.
Sang Buddha tidak menegur setelah mendengar penjelasan bhikkhu Nigamavatissa bahkan Beliau menghargai tindakannya dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain.
Beliau bahkan menganjurkan kepada murid-muridnya, untuk hidup puas dengan sedikit keinginan, sesuai dengan ajaran Buddha dan para Ariya, dan begitulah semua bhikkhu seharusnya, mencontoh tindakan bhikkhu Tissa dari kota dagang kecil.
Berkenaan dengan ini, Beliau menceritakan kisah Raja dari burung nuri.
Pada masa dahulu kala, tinggallah raja burung nuri di lobang sebuah pohon besar yang tumbuh di muara sungai Gangga, dengan sejumlah besar pengikutnya. Ketika buah-buahan telah habis dimakan, semua burung nuri pergi meninggalkan lobang tersebut, kecuali sang raja, yang puas pada apa yang masih tersisa di pohon tersebut.
Sakka, mengetahui hal ini dan ingin menguji ketulusan hati raja nuri tesebut. Sakka pergi ke pohon tersebut dengan kekuatan supranaturalnya. Kemudian, dengan menyamar sebagai angsa, Sakka dan permaisurinya, Sujata, mengunjungi tempat di mana raja nuri tersebut tinggal dan menanyakan kenapa dia tidak meninggalkan pohon tua tersebut seperti yang telah dilakukan nuri lain; mencari pohon lain yang berbuah lebat.
Raja nuri menjawab,"Karena perasaan terima kasih kepada pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya. Akan tidak berterima kasih sekali jika aku meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati."
Sakka sangat terkesan dengan jawaban tersebut, dia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dia mengambil air dari Sungai Gangga dan menyiramkannya di sekitar pohon tersebut. Segera pohon itu menjadi segar kembali; tumbuh kembali dengan cabang-cabang yang rimbun dan hijau, penuh dengan buah.
Sangat bijaksana meskipun seekor binatang tidak rakus, mereka puas dengan apa yang tersedia. Raja nuri yang ada dalam kisah itu adalah Sang Buddha sendiri; Sakka adalah Anuruddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 32 berikut:
Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dalam kelengahan tak akan terperosok lagi, ia sudah berada di ambang pintu nibbana.
Tissa Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Selasa, 28 Februari 2012

KISAH MAGHA


Suatu waktu, seorang Pangeran Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapanha Suttanta. Sang Buddha menceritakan tentang Sakka yang selalu bersemangat. Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka secara langsung. Untuk meyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang Buddha.
Sang Buddha menjawab, "Mahali, Aku mengenal Sakka; Aku juga mengetahui apa yang menyebabkan dia menjadi Sakka." Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali bahwa Sakka, raja para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama Magha, tinggal di desa Macala.
Pemuda Magha dan tiga puluh dua temannya pergi untuk membangun jalan dan tempat tinggal. Magha juga bertekad untuk melakukan tujuh kewajiban. Tujuh kewajiban tersebut adalah :

1.dia akan merawat kedua orang tuanya; 

2.dia akan menghormati orang yang lebih tua; 
3.dia akan berkata sopan; 
4.dia akan menghindari membicarakan orang lain; 
5.dia tidak akan menjadi orang kikir, dia akan menjadi orang yang murah hati; 
6.dia akan berkata jujur; dan 
7.dia akan menjaga dirinya untuk tidak mudah marah.

Karena kelakuannya yang baik dan tingkah lakunya yang benar pada kehidupannya yang lampau Magha dilahirkan kembali sebagai Sakka, raja para Dewa.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 30 berikut :
Dengan menyempurnakan kewaspadaan Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa. Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji dan kelengahan akan selalu dicela.