Kamis, 01 Maret 2012

KISAH MAHAPAJAPATI GOTAMI THERI

Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maha Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari Raja Suddhodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan Pangeran Siddattha, calon Buddha. Demikianlah Mahapajapati Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran Siddhattha.

Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu setelah mencapai Ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga diijinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang Buddha menolak memberi ijin. Kemudian, Raja Suddhodana meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur rambut mereka dan telah menggunakan jubah yang sudah dicelup. Di sana, untuk kedua kalinya, Mahapajapati memohon kepada Sang Buddha untuk menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni. Y.A. Ananda juga mendukung permintaan para wanita tersebut.

Akhirnya Sang Buddha memenuhi kehendak itu dengan syarat bahwa Mahapajapati hendaknya mematuhi delapan syarat khusus (garudhamma). Mahapajapati bersedia mematuhi garudhamma tersebut seperti yang diharapkan Sang Buddha. Kemudian beliau menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni.

Mahapajapati adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Mahapajapati oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.

Setelah berlangsungnya waktu, terpikir oleh beberapa bhikkhuni bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak sah diterima sebagai seorang bhikkhuni karena tidak mempunyai seorang pembimbing. Oleh karena itu Mahapajapati bukanlah seorang bhikkhuni yang sesungguhnya. Berdasarkan pemikiran yang demikian, mereka berhenti melakukan upacara uposatha dan upacara vassa (pavarana) bersama Mahapajapati Gotami.

Mereka pergi menemui Sang Buddha, dan mengajukan permasalahan bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak dengan sah diterima dalam pasamuan bhikkhuni karena ia tidak mempunyai pembimbing.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Mengapa kalian berkata demikian? Saya sendiri memberikan delapan kewajiban khusus (garudhamma) kepada Mahapajapati, dan ia telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang Kuharapkan. Saya sendiri pembimbingnya dan adalah salah jika kalian mengatakan bahwa ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Kalian hendaknya tidak memelihara keraguan apapun mengenai seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :

"Yassa kāyena vācāya manasā n’atthi dukkataṃ
saṃvutaṃ tīhi thānehi tam ahaṃ brūmi brāhmaṇaṃ."

Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat
melalui badan, ucapan, dan pikiran,
serta dapat mengendalikan diri dalam tiga saluran perbuatan ini,
maka ia Kusebut seorang `brahmana`.

---------------
Notes :

Dari kisah diatas, kita dapat melihat contoh pentingnya ‘garis silsilah’ atau lineage dalam kebhikkhuan. Karena ada keraguan apakah Mahapajapati Gotami ditahbiskan secara sah, maka sebagian bhikkhuni yang meragukan itu tidak mau melakukan upacara bersama Mahapajapati Gotami. Untungnya dalam hal tsb ternyata tidak perlu meragukan keabsahan penahbisan Mahapajapati Gotami yang ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha.

Pada awalnya Sang Buddhalah yang menahbiskan langsung para bhikkhu. Ketika permintaan untuk ditahbiskan bertambah banyak dan lokasi yang berjauhan, Sang Buddha kemudian mengijinkan bhikkhu-bhikkhu Arahat untuk menahbiskan. Sekarang ini, hanya bhikkhu-bhikkhu tertentu yang memiliki hak untuk menjadi upajjhaya, yaitu bhikkhu yang memiliki wewenang untuk menahbiskan bhikkhu baru. Tidak sembarang bhikkhu boleh menahbiskan. Jika tidak memiliki wewenang untuk menahbiskan biasanya bhikkhu ybs akan mengirim muridnya untuk ditahbiskan oleh upajjhaya yang berwenang. 

Untuk menjadi seorang bhikkhu, seseorang harus memiliki guru dan ditahbiskan oleh upajjhaya. Kalau diibaratkan, misalnya untuk menjadi dokter, guru adalah dosen di kampus yang sehari-hari lebih dekat dengan mahasiswa untuk mengajarinya. Dan upacara wisuda dan pemberian ijasah kira-kira bisa diibaratkan saat penahbisan. Hanya rektor dll pejabat universitas yang resmi yang berhak memberikan gelar. Dan setelah itu, si dokter baru masih harus praktek lapangan beberapa tahun dll sebelum dapat membuka praktek sendiri.
Demikian pula bhikkhu, harus memiliki guru, dan upajjhaya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi dokter, seorang bhikkhu juga tidak dapat mengangkat dirinya sendiri menjadi bhikkhu.

Tidak semua dokter pasti pintar dan hebat, tetapi adalah lebih sangat berbahaya kalau kita minta diobati oleh dokter palsu yang tidak kuliah dan tidak lulus/diwisuda.
Kalau dokternya palsu, andaipun tidak sampai mati atau keracunan, penyakit bisa tidak sembuh-sembuh karena ketidakbecusannya.

Demikian pula, kita harus berhati-hati memilih guru bhikkhu jika ingin mendapat ajaran yang benar. Banyak orang yang mengaku sebagai bhikkhu tetapi tidak memiliki silsilah yang jelas, bahkan beberapa orang mengarang sendiri silsilahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar