Tampilkan postingan dengan label VINAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label VINAYA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Februari 2012

CARA MENGGUNAKAN ALAT-ALAT KEBUTUHAN (PARIKKHARA


1. Jubah (Civara)

Alat-alat kebutuhan atau parikkhara dari seorang bhikkhu adalah barang-barang yang dibutuhkan atau diperlukan bagi seorang bhikkhu yang harus dimilikinya waktu mulai ditahbiskan. Salah satu di antaranya dinamakan civara atau jubah. Seorang yang ingin mendapatkan upasampada harus memiliki satu set civara.
Jumlah civara pertama mungkin hanya dua, kain untuk pinggang dan jubah bagian atas. Hal ini disebutkan dalam Sutta sebagai berikut: "di pagi hari Sang Buddha (setelah) memakai kain pinggang, mengambil mangkoknya dan jubah di tangan, kemudian pergi ke kota Savathi untuk mengumpulkan makanan".
Seseorang yang tidak mengenal tradisi ini akan berpikir: "apakah berjalan mengumpulkan sedekah ini tidak memakai jubah luarnya?" Dan demikian memang.
Jangankan berbicara tentang tradisi yang telah berjalan dua ribu empat ratus tahun yang lalu, di beberapa daerah di Indonesia pada 60 tahun yang lalu penduduk baik tingkat rendah maupun kalangan tinggi pergi ke mana-mana, bahkan pergi ke istana kerajaan, untuk beraudiensi pada Raja hanya mengenakan kain pinggang, kain bagian atas diikatkan ke sekeliling pinggang dan membiarkan bagian atas telanjang. Pada waktu itu tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran hal tersebut jelek, memalukan atau tidak sopan.
Pada masa-masa Sang Buddha, para bhikkhu akan pergi ke rumah-rumah untuk mengumpulkan dana makanan hanya dengan mengenakan kain pinggang yang dikenakan rapi, membawa mangkok dan jubah di tangan. Bagian atas dari badan mereka terbuka. Setelah mereka sudah mendekati rumah penduduk, mereka berhenti dan memakai civara dan sambil memegang, mangkok pergi mengunjungi rumah-rumah itu. Tradisi ini ditulis dalam Vinaya dan dalam Atthakatha, tanpa menyebutkan apa yang mereka perbuat ketika mereka kembali dari pindapata, selain mereka pergi untuk mendapatkan makanan ke mana saja dan kemudian kembali.
Barangkali saja mereka melepaskan civara dan dibawa seperti mereka mencari dana makanan itu. Apabila orang mulai menggunakan lebih banyak kain dalam Vinaya disebutkan bahwa Sang Buddha mengenakan baik j ubah bawah dan atas sesuai dengan sikap dari seorang samana.
Dalam, vinaya disebutkan bahwa waktu melakukan Vinayakamma, haruslah dilakukan dengan penuh hormat, para bhikkhu dibolehkan memakai civara dengan bahu atau pundak kiri tertutup, sedangkan tentang sanghati sama sekali tidak disebut-sebut. Selang beberapa waktu kemudian Sang Buddha memperkenalkan sanghati sebagai salah satu jubah tambahan pada musim dingin. Dikatakan Sang Buddha memakai sehelai civara sudah cukup pada permulaan malam hari. Beliau mengatakan bahwa tiga lapis civara sudah cukup untuk dipakai sepanjang malam.
Oleh sebab itu, Sang Buddha mengizinkan sebuah sanghati terdiri dari dua lapis kain sebagai jubah tambahan. Uttarasanga dari satu lapis dan sanghati dari dua lapis sehingga menjadikan tiga lapis bersama-sama. Jumlah jubah tetap tidak berubah dari dahulu hingga sekarang, dan dinamakan ticivaram, berarti secara harfiah tiga helai jubah.
Sanghati adalah jubah untuk dipakai di musim dingin atau untuk ditaruh di bagian luar; uttarasanga adalah jubah untuk dipakai di bagian atas; dan antaravasaka adalah jubah untuk dilibatkan (tubuh bagian bawah) seperti sarung. Walaupun sanghati itu dibolehkan tetapi tidak dijelaskan bagaimana pemakaiannya.
Di dalam sutta dijelaskan bahwa civara, itu dibentangkan agar Sang Buddha dapat duduk di atasnya dan tidur. Di dalam Vinaya hal itu dijelaskan bahwa sanghati untuk menutupi jubah lain apabila seseorang memasuki daerah pemukiman, tetapi tidak menyebutkan bagaimana cara menggunakannya pada waktu ada pertemuan Sangha di dalam vihara. Tidak disebutkan bahwa ia harus ditaruh meliputi pundak, hanya para bhikkhu di Thailand memakainya dengan gaya ini, sedangkan di Burma dan Srilanka memakainya untuk menutupi civara lain apabila mereka pergi ke daerah-daerah pemukiman, tetapi mereka tidak memakainya di dalam vihara.
Ukuran dari ketiga macam jubah haruslah diketahui sebagai berikut: ukuran dari uttarasanga dijelaskan sesuai dengan ukuran sugatacivara. Di dalam Patimmokha ukuran ini diterangkan sebagai sembilan depa (bentangan tangan) panjangnya dan enam depa lebarnya menurut ukuran sugata.
Dapat diambil kesimpulan dari melihat corak patung Sang Buddha di India bahwa jubah pendek dan sempit yang digunakan tidak digulung seperti yang dipakai sekarang. Cara atau metode lain akan diberikan di bawah ini.
Apabila Sang Buddha dianggap lebih besar daripada para savaka, para bhikkhu dapat menambah ukuran dari civara di atas batas yang terkecil itu sebab batas dari civara mereka didasarkan pada ukuran civara sugata. Apabila civara menjadi besar seperti ini, ia dikenakan atau digulung seperti gulungan sikat badan berbentuk tahu itu. Ukuran yang dipakai di Thailand tidak melebihi enam hasta (panjang dari siku sampai ujung jari) panjangnya dan empat hasta lebarnya. Ukuran ini jika terlalu besar dikurangi sesuai dengan ukuran pemakaiannya. Tidak ada batasan ukuran yang pasti.
Barangkali dapat disimpulkan bahwa civara yang pendek dan yang sempit itu mudah terlepas. Oleh sebab itu civara yang dipakai oleh seorang bhikkhu haruslah cukup ukurannya serta dapat digulung dan menempatkan ujung di tangan. Ukuran dari sanghati harus dibuat juga seukuran dengan uttarasanga.
Ukuran dari antaravasaka tidak dikemukakan secara jelas seperti uttarasanga, tetapi ia harus cukup lebar dan panjang sehingga dapat menutup pusar dan dengkul, sebaliknya tidak boleh terlalu panjang sehingga tidak rapi.
Patung Buddha zaman dahulu terlihat seperti mengenakan antaravasaka dengan pinggiran-pinggiran tidak digulung bersama seperti apa yang dilakukan pada zaman sekarang ini. Apabila hanya pinggirannya dipegangi untuk melipatnya ke arah badan, maka akan kelihatan tidak rapi.
Secara singkat dikatakan di dalam vibhanga; "seorang bhikkhu harus mengenakan kain pinggang melingkari secara merata dan sepenuhnya menutupi lingkaran pusar dan lingkaran lutut,". Ukuran antaravasaka biasanya enam hasta panjang dan dua setengah hasta lebarnya. Mereka yang tinggi harus menambah lebarnya, sedangkan yang gemuk menambah panjangnya agar tidak sempit.
Kain tebal (dari dimensi di atas) yang jenisnya mengandung bulu, harus dikurangi ukurannya sehingga menjadi lima hasta panjang dan dapat diperkecil lagi dengan delapan inci, sedangkan lebarnya hingga satu depa dan empat inci, cukuplah sudah. Orang yang besar harus menambah leher (membuat jubahnya lebih panjang) dan orang gemuk, harus menambah panjang (sehingga dapat membungkus seluruh badannya).
Ada enam jenis kain yang diperbolehkan untuk dibuat jubah atas dan bawah: kahoma kain yang terbuat dari serat tumbuh-tumbuhan; kappasika kain yang terbuat dari kapas; koseyya kain terbuat dari benang sutera; kambala kain terbuat dari bulu binatang, terkecuali terbuat dari rambut kepala manusia dan badan manusia; di sana kain terbuat dari serat hemp/semacam tumbuhan-tumbuhan jenis tertentu; bhanga kain terbuat dari beberapa jenis tersebut yang dicampur bersama.
Linen adalah contoh dari kahoma sementara contoh dari kapassika dapat dilihat, umpama jenis satin. Kain dari kambala adalah kain dari wol murni dan bahan seperti scarlet (nama kuno bagi sejenis kain wol merah). Kain yang disebut sana dapat dilihat pada zaman dahulu dalam bentuk kain kasar apabila dipegang tetapi sekarang sudah tidak lagi. Bhanga adalah kapas dicampur dengan sutera.
Kain di luar keenam jenis tersebut dilarang dan tidak digunakan. Benda-benda yang dapat dipakai oleh kaum pertapa Jain untuk menutupi tubuh mereka seperti yang disebutkan dalam Vinaya adalah sebagai berikut: rumput kusa yang dipintal, serat kulit pohon yang dipintal, serat dari buah-buahan yang dipintal (seperti buah kelapa), kain yang terbuat dari rambut manusia, kain dari binatang-binatang yang berambut/ekor dari binatang, sayap burung hantu, kulit macan dan kain dari serat jute/karung goni.
Seorang bhikkhu yang memakai salah satu dari kain itu adalah thullaccaya, tetapi di mana di tempat-tempat lain kain terbuat dari junte itu dilarang, larangan ini adalah landasan dukkata.
Hal ini membuat kita beranggapan bahwa seorang bhikkhu mengambil kain untuk digunakan terus, adalah thullaccaya, sedangkan apabila hanya sekedar memakainya, adalah dukkata. Hal ini adalah sama dengan badan telanjang yang dapat menjadi dasar dari thullaccaya maupun dukkata, seperti yang telah disebutkan ketika menjelaskan tentang cara mengatur badan.
Telah ditetapkan bahwa tiga jubah (ticivaram) harus dipotong. Apabila kain itu cukup, tiga set komplit dari tiga jubah harus dibuat dari potongan-potongan kain oleh para bhikkhu, tetapi apabila kain tidak cukup maka satu atau dua paling banyak dibolehkan untuk tidak dipotong, hal ini tergantung dari apa yang mungkin. Apabila kain tidak cukup untuk dibuat jubah dengan cara demikian, maka orang harus menjahit potongan-potongan kain menjadi satu.
Civara harus dipotong dari pola sawah dari magadha, yakni terdiri dari panel-panel yang dibagi oleh garis-garis. Panel yang besar dinamakan mandala dan yang kecil dinamakan atthamandala. Terdapatlah garis-garis pembagi seperti tepi-tepi melintas sawah, ini dinamakan atthakusi. Mandala, atthamandala dan atthakusi, bersama-sama dinamakan khanda atau sesi, di antara setiap sesi terdapat garis-garis pembagi seperti tepi panjang dari ladang yang dinamakan kusi.
Sebuah civara harus mempunyai tidak kurang dari lima khanda, tetapi apabila lebih dari ini dapat dipakai terkecuali bahwa anggota dari mereka adalah bilangan ganjil, tujuh, sembilan, sebelas. Banyak khanda yang dapat dipakai apabila seorang bhikkhu tidak dapat menemukan sepotong kain yang lebar. Kain di sekeliling pinggir civara dinamakan anuvata, atau givivata, dan dua khanda bagi kedua sisi adalah anivivata.
Sekali lagi apabila civara itu mempunyai lima khanda, yang bagian tengah dinamakan giveyakka, sebab apabila seorang bhikkhu mengenakan civara, attha mandala, dari khanda tersebut adalah mencapai leher. Khanda pada kedua bagian sebelah dari ini dinamakan jangheyyaka sebab atthamandata dari kedua khanda tersebut adalah garis apabila seorang bhikkhu mengenakan jubah itu, dan kedua khanda terakhir pada bagian luar dinamakan bahanta sebab atthamandala mereka pada tangan apabila jubah itu dipakai.
Akan tetapi, atthakata-acariya mengatakan bahwa giveyyaka adalah sepotong kain yang dijahitkan pada tempat yang menutupi leher. Maka dari itu jangheyya adalah kain yang dijahitkan pada tempat yang menutupi garis-garisnya. Giveruyyaka dan jangheyyaka, menurut Atthakatha, barangkali dapat dipahami sebagai masing-masing anuvata di atas dan di bawah, jadi mereka itu menjadi potongan-potongan kain lain yang telah dijahitkan terpisah.
Pada mulanya, barangkali diinstruksikan membuat civara dari kain yang telah dipotong-potong, sehingga civara tidak merupakan sehelai kain yang utuh, karena terdapat larangan memakai civara yang garis batasnya tidak dipotong, yang panjang, memiliki hiasan gambar bunga, atau kain itu tebal seperti pelat. Kemudian Sang Buddha memerintahkan kepada para bhikkhu memotong kain untuk civara dengan mengambil pola sawah-sawah di Magadha.
Haruslah diingat bahwa giveyyaka dan bahannya hanya pada uttarasanga dan antaravasaka yang dibuat dengan cara yang sama. Sanghati mungkin adalah potongan-potongan kain yang dijahit menjadi satu seperti yang dipakai dewasa ini. Selain dari uttarasanga dan antaravasaka, tidak disebutkan untuk kain-kain seperti kain mandi, pacaran (mantel/jas), dan koala (permadani yang biasanya dengan bulu-bulu panjang). Mojave yang tidak berbulu halus, harus dipotong dengan cara seperti civara.
Civara boleh dicelup dengan salah satu dari zat-zat: akar-akaran, tumbuh-tumbuhan, kulit pohon, dedaunan, bunga-bunga dan buah-buahan. Bahan-bahan ini harus dimasukkan ke dalam air dan dididihkan dalam waktu panjang. Vinaya tidak menyebutkan nama-nama dari keenam obat celup, tidak pula menyebutkan warna dari civara ketika dicelupkan. Ia hanya mengatakan bahwa kasaya atau cassava artinya "berwarna coklat kebiru-biruan air pewarna".
Warna-warna seperti indigo, kuning, merah, magenta, ungu, merah muda dan hitam dilarang sebagai pewarna civara. Oleh karena itu, civara harus berwarna selain dari warna-warna tersebut. Warna yang biasa digunakan (dikenal) adalah kuning dicampur dengan warna merah yang banyak, atau cohere kuning yang didapat dari inti kayu nangka yang disebut: "berwarna merah keabu-abuan" itu.
Sang Buddha melarang civara berwarna cemerlang atau menyala dan dihiasi dengan gambar-gambar seperti binatang dan atau bunga-bunga. Bunga yang sangat kecil yang polanya tidak terlalu mencolok seperti gambar bunga lada atau pola garis-garis dalam sejenis kain sutera, diperbolehkan.
Uttarasanga dan sanghati mempunyai lobang-lobang serta tali-temali untuk pengikatan tetapi tidak dikatakan di mana beradanya. Lobang dan tali-temali itu diperbolehkan untuk mencegah angin dapat menghembuskan civara itu sehingga terbuka.
Kita tahu bahwa lobang serta tali-temali itu seharusnya berada di sebelah bawah dan ini sangat perlu waktu untuk mengenakan kain yang pendek dan sempit. Pada zaman sekarang ada pada pinggiran bawah dan pinggiran sebelah atas dari anuvata di tengah-tengah khanda sebuah lobang untuk tali-temali pada bagian kanan dan tali-temalinya bagian kiri. Tali-temali itu tidak diperkenankan apabila dibuat dari bahan halus atau baik.
Dalam vinaya disebutkan salah satu dari bahan-bahan berikut ini dapat dipakai untuk membuat cantelan tali semacam kancing dari tulang, gading, tanduk, bambu kecil, kayu pernis, inti kayu, tempurung kelapa, kulit kerang, atau benang yang dipintal agar civara tidak terlepas ditiup angin kencang.
Dua macam ikat pinggang diperbolehkan untuk antaravasaka: ikat pinggang yang bentuknya rata (terbuat dari kain) dan yang lain berbentuk buntut babi (bulat). Ikat pinggang yang bentuknya teramat cantik adalah dilarang. Di Indonesia ikat pinggang dari sutera seperti ekor babi dilarang untuk menggunakan ujung-ujung yang indah untuk mengikat tali dari ikat pinggang itu. Mereka dapat dibuat dari bahan-bahan seperti kancing untuk civara.
Cara memakai civara tidak dijelaskan secara jelas dalam Vinaya. Dalam Sekhiya disebutkan bahwa seorang bhikkhu harus belajar untuk mengenakan anttaravasakka dan uttarasakka dengan rapi. Di dalam Vibhanga, secara gamblang mengemukakan bahwa seseorang harus mengenakan antaravasakka dengan rapi, yang dapat menutup baik pusar ataupun lutut. Orang harus membuat ujung-ujung dari jubah sama rata dan mengenakan utarasanga dengan rapinya.
Pada waktu memberi hormat atau vinayakamma, pundak kanannya harus terbuka tanpa ditutupi oleh civara. Pada waktu memasuki pemukiman dikatakan bahwa orang harus mengenakan sanghati sehingga digunakan lebih dari satu lapis (kain) dan kemudian merapikannya dan memegangnya dengan hati-hati untuk menutup tubuh sebaik-baiknya. Para bhikkhu dilarang membuka atau memperlihatkan badan dengan mengangkat jubah tinggi-tinggi dari bawahnya.
Cara ini memperlihatkan bahwa bhikkhu diharuskan menutup kedua belah bahunya bila di daerah pemukiman. Dengan melihat contoh serta bukti kita dapat mengerti bahwa pada saat memakai civara kecil, seorang bhikkhu mengenakan antaravasaka dan memegangi batas pinggiran kain, mengumpulkannya dan kemudian melipatnya masuk ke dalam ke arah pusar dan kemudian mengikatnya dengan ikat pinggang.
Ikat pinggang adalah sebuah alat yang benar-benar mempunyai kegunaan dan oleh karena itu dilarang untuk bepergian tanpa ikat pinggang itu ke daerah pemukiman. Pada zaman sekarang para bhikkhu telah menggunakan jubah yang panjang dan itu mereka diharuskan untuk menggulung civara atau anuaravasaka mulai dari pinggirnya.
Seorang bhikkhu mengenakan jubahnya untuk menutupi kedua bahunya dengan menaruh ujung civara pada bahu kiri, membiarkan menggantung melalui dada. Sedangkan cara yang lain, ke luar dari lingkaran leher dan menutup bahu kanan, dilemparkan melalui bahu kiri dan ujung kemudian ditangkap dan dipegang oleh tangan kiri. Tangan kanan kemudian ke luar dari jubah di bawah ujung sebelah bawah dan kedua ujungnya dirapikan (dengan tali dan kancing) pada bagian kiri.
Gaya mengenakan civara ini adalah contoh untuk menerima dana makanan, hal mana dikemukakan dalam Pindacarikavata, apabila ada donor menawarkan makanan, bhikkhu harus mengangkat sanghati dengan tangan kiri, sambil menyodorkan mangkok dengan tangan kanan, memegangi mangkok itu dengan hati-hati dengan kedua tangan untuk menerima tangan itu.
Dengan merapikan atau memantapkan jubah bagian bawah itu mempunyai keuntungan nyata. Para bhikkhu kemudian berharap untuk lebih enak dalam menjulurkan tangan kanannya dari bawah jubah dan membuat tangannya itu dapat ke luar dan masuk seperti sebelumnya.
Pada zaman dahulu cara mengenakan jubah kiranya tidak terlalu digariskan. Sudah cukup bagi seorang bhikkhu hanya sekedar menutup badannya dengan baik ketika ia pergi ke daerah pemukiman dan sudah cukup bila bahu kirinya tertutup dan yang kanan terbuka. Tidak ada cara memakainya yang pasti.
Kemudian cara pemakaiannya digariskan sedikit demi sedikit sehingga cara pemakaian jubah menjadi ciri dari nikaya. Sekarang di Indonesia, pada umumnya cara pemakaian jubah menurut cara orang Mon (Myanmar Selatan) yang dibawa oleh bhikkhu-bhikkhu dari Thailand.
Sanghati adalah jubah yang dipakai apabila pergi ke daerah pemukiman. Apabila ditaruh meliputi uttarasanga, dalam Vinaya disebut "sangahatis" (jamak), menggunakan hanya satu kata saja tetapi dalam bentuk jamak. Ada larangan bila hanya mengenakan uttarasanga dan anttaravasaka ketika pergi ke tempat pemukiman, kecuali pada waktu-waktu berikut: sakit, mengetahui bahwa hari akan hujan, pergi ke tepi sungai, vihara, atau kuti yang dikunci dan aman dan pada waktu sedang memotong kain kathina. Pada salah satu waktu-waktu ini seorang bhikkhu boleh pergi tanpa memakai sanghati.
Pada mulanya, Sang Buddha menginginkan para bhikkhu memiliki hanya satu set jubah yang terdiri dari tiga jubah. Oleh sebab itu beliau menggariskan peraturan yang melarang para bhikkhu untuk menggunakan jubah-jubah ekstra. Kemudian beliau perkenan para bhikkhu untuk menyimpan jubah ekstra untuk waktu 10 hari.
Kain untuk mandi dan kain untuk mandi uap/air mendidih dibolehkan untuk sementara dan keduanya mempunyai pembatasan-pembatasan mengenai ukurannya. Kain untuk mandi panjangnya enam depa lebarnya dua setengah depa dari ukuran sugata.
Para bhikkhu boleh memiliki satu kain mandi selama vassa dan setelah itu harus diberikan. Hanya satu kain mandi uap dapat digunakan untuk sakit menular seperti cacar, cacar ayam, borok, bisul. Kain itu harus dibuang apabila sakitnya sudah sembuh.
Kain yang tidak digunakan untuk ticivara dapat dijadikan alat kelengkapan milik pribadi, misalnya untuk alas duduk yang dinamakan nisi dana. Seorang bhikkhu diperkenankan mempunyai satu nisidana.
Kain seprei disebut pacatarana, tidak mempunyai batas jumlahnya, tetapi biasanya satu kain saja. Kain flanel untuk muka dan untuk mengusap mulut dinamakan mukhapucana, dan kain yang digunakan untuk alat kebutuhan seperti bungkus dan tas (untuk bhikkhu) tidak ada batas jumlahnya.
Kain-kain ini yang tidak digunakan untuk civara tidak ada pembatasan mengenai warna walaupun biasanya nisidana itu berwarna kuning dan dapat dikelompokkan dengan ticivara. Kain untuk dipakaikan bagian bawah atau bagian atas badan, atau kain untuk serbaguna diperkenankan menjadi milik pribadi dan harus ditetapkan (adhithanna) untuk tujuan-tujuan itu.
Jika seorang bhikkhu berkeinginan untuk menukarkan yang telah ditentukan yang jumlahnya telah dibatasi, maka ia terlebih dahulu harus melepaskan kain yang sudah lama. Pencabutan adhitthana ini disebut paccuthavarana. Misalnya jika ticivara itu tidak akan dipakai lagi, mungkin karena telah lusuh, sebelum ditukar dengan yang lain adhitthana yang lama harus dicabut lebih dahulu sebelum menetapkan (adhitthana) jubah yang baru untuk digunakan selanjutnya.
Kain selain dari yang disebutkan di atas yang terbatas ukurannya, maka kain yang panjangnya lebih dari delapan inci dan lebarnya lebih dari empat inci harus dimasukkan ke dalam kasus atirekacivara Sang Buddha memperbolehkan jubah-jubah yang telah dilakukan vikkapa menjadi milik berdua dengan bhikkhu lain dan dipakai bersama-sama bhikkhu tersebut. Seorang bhikkhu dapat memakainya dengan menyadari bahwa jubah itu milik bersama.
Oleh karena Sang Buddha mengizinkan menjadi milik pribadi kain-kain yang tidak digunakan untuk membuat jubah atas atau bawah, tidak terkena pembatasan warna dan karena atirekacivara mempunyai batas ukuran lebih dari delapan kali empat inci harus ditetapkan pemakaiannya (adhitthana) dan dijadikan milik bersama dengan bhikkhu lainnya, maka atirekacivara dapat diartikan sebagai kain yang dapat dibuat ticivara. Dengan kata lain, semua kain yang dapat disambung-sambungkan dengan menjahitnya menjadi ticivara adalah atirekacivara.
Nisidana bukan merupakan alat kebutuhan yang penting, tetapi mempunyai ukuran yaitu: panjang dua bentangan tangan dan lebar satu setengah, dengan cara garis batas satu bentangan tangan.
Oleh karena nisidana bukan merupakan alat kebutuhan yang penting, maka berbagai pandangan dan mengenai mode dari nisidana tidak perlu kita permasalahkan.
Contoh pertama, bordir itu panjangnya satu setengah hasta dan lebar satu hasta yang dipotong menjadi tiga bagian yang sama besarnya, masing-masing enam inci (panjang) pada bagian yang lebih pendek. Apabila bordir itu telah dilekatkan menjadi satu, maka nisidana itu panjangnya menjadi tiga hasta dan satu setengah hasta lebarnya.
Contoh kedua, mempunyai bordir yang dua hasta panjangnya dan lebar satu hasta yang dipotong menjadi tiga potongan bordir, yang lebih besar lebarnya enam inci dan kedua border lebih kecil itu masing-masing lebarnya tiga inci panjangnya sama ukurannya. Apabila border itu telah digabungkan maka nisidana itu mempunyai panjang dua hasta dan enam inci dan lebar dua hasta.
Cara lain untuk melihat bordir dari satu hasta menjadi suatu persegi empat. Mode ini menguntungkan karena dapat memberikan cukup ruang untuk dapat diduduki.
Nisidana merupakan alat kebutuhan tambahan dan memiliki kekhususan, bila dilihat ada larangan bagi seorang bhikkhu yang hidup tanpa nisidana untuk jangka waktu empat bulan. Barangkali dalam kasus ini harus dipahami dalam cara lain, yaitu suatu kebutuhan yang perlu dan harus dipunyai orang untuk dirinya sendiri.
Seorang bhikkhu boleh hidup tanpa memilikinya untuk sementara waktu, tetapi tidak untuk jangka waktu empat bulan. Pandangan ini dilihat dari sudut Uphanidhana Shikkhapada, yakni Surapanavagga ke-10 dalam bagian Pacittiya yang mengangkat nisidana di antara dasar-dasar bagi paccittiya yang sama dengan kebutuhan-kebutuhan lain seperti mangkok, civara, dan lain-lain.

2. Mangkok (Patta)

Mangkok adalah salah satu dari alat kebutuhan atau persyaratan yang pertama seorang bhikkhu yang bersamaan dengan ticivara. Seseorang yang berkeinginan untuk menjalani upasampada haruslah memiliki mangkok sebelumnya. Ada dua jenis mangkok diperbolehkan yaitu mangkok yang terbuat dari tanah liat (dibakar hingga menjadi kehitam-hitaman), dan mangkok terbuat dari besi.
Panci tanah liat, kulit buah labu dan tengkorak manusia adalah benda-benda yang dilarang untuk digunakan sebagai mangkok. Jenis-jenis mangkok lain yang juga dilarang, yakni mangkok yang terbuat dari: perak, batu permata (batu-batuan berharga), batu pualam, batu kuarsa, kuningan, timah, seng dan kayu.
Di dalam kisah kehidupan Sang Buddha, dikatakan bahwa mangkok Sang Guru tersebut dibuat dari batu. Batu tadi disebutkan di antara mangkok-mangkok yang dilarang atau jenis ini dilarang. Mangkok terbuat dari emas dan perak adalah tidak cocok. Mengenai mangkok dari batu-batuan berharga barangkali mangkok-mangkok tersebut dihiasi dengan butir-butir permata.
Potongan-potongan batu kuarsa yang berwarna susu itu tidak cukup besar untuk dibuat mangkok. Imitasi gelas batu permata yang dibuat menjadi mangkok itu akan mudah pecah menjadi serpihan yang akan ditelan oleh seorang bhikkhu. Sedangkan mangkok-mangkok yang terbuat dari tembaga, kuningan, timah dan seng akan asin, akan menimbulkan racun yang akan mengganggu kesehatan orang yang memakan makanan tersebut.
Pada zaman sekarang terdapat bahan-bahan yang membahayakan untuk dibuat mangkok, yakni perunggu. Guru-guru zaman dahulu barangkali sudah mengerti tentang hal itu dan menasehati para bhikkhu untuk tidak memakai tutup mangkok yang terbuat dari tembaga dan perunggu tetapi hanya menasehati tutup mangkok dari laquar. Mangkok dari kayu tidak bersih karena bahan-bahan makanan dapat masuk menembus ke dalam celah-celah kayu tersebut.
Ukuran dari mangkok barangkali adalah seukuran dengan botol buah labu, tengkorak orang atau panci tanah liat. Sang Buddha mengambil benda-benda tersebut hanya sebagai contoh dan melarang digunakan sebagai pengganti mangkok. 
Ada tiga jenis mangkok yang disebutkan di dalam Vibhanga: yang besar, medium dan kecil. Zaman yang lalu patokan ukuran dari mangkok ini dilihat dari banyaknya nasi yang dapat dimasukkan ke dalamnya. Pada zaman sekarang ukuran dari mangkok medium adalah mangkok dengan garis lingkaran 27,5 inci. Ukuran ini sama dengan ukuran medium zaman dulu, tetapi isinya lebih banyak nasi daripada yang dibutuhkan. Mangkok yang besar adalah terlalu besar dan berisi terlalu banyak nasi.
Mangkok terbuat dari berbagai jenis bahan dan ukuran sebagai disebutkan di atas, tetapi seorang bhikkhu hanya diperbolehkan memiliki satu saja dan digunakannya untuk pindapatta. Di luar dari itu, mangkok-mangkok tersebut merupakan atirekapatta dan seorang bhikkhu hanya mempunyai hak untuk menyimpannya selama 10 hari dan ia harus dibagi kepemilikannya dengan bhikkhu lain (vikappa) dalam batas waktu tersebut. Apabila seorang bhikkhu ingin mengganti mangkoknya yang lama, terlebih dahulu ia harus membuat adhitthana melepas mangkoknya yang lama dan kemudian memutuskan (adhitthana) untuk memakai yang baru.
Sebuah mangkok tidak dapat dipakai apabila retak atau berlubang pada satu atau beberapa tempat semuanya sepanjang 10 inci, atau sudah pecah sehingga tidak dapat menampung makanan lagi. Ia harus ditukar (apabila terjadi salah satu dari kondisi tersebut) dengan mangkok baru.
Zaman Sang Buddha mangkok yang biasanya digunakan terbuat dari tanah liat yang dibakar dan jarang sekali mangkok dari besi. Oleh sebab itu, terdapat peraturan yang mengharuskan para bhikkhu bersikap hati-hati terhadap mangkok dan menyimpannya pada tempat-tempat yang tidak membahayakan mangkok itu. Dalam Vinaya terdapat larangan seorang bhikkhu menaruh mangkok di tempat tidur, di atas kursi, bangku, hale, tempat gelap di bawah bayangan sinar matahari, pada sandaran kursi, di atas balustrada dan di atas pangkuan (apabila bhikkhu berdiri tanpa sadar, mangkok itu akan jatuh dan pecah).
Mangkok tidak boleh digantung (pada tali), tetapi dibolehkan menaruh mangkok di dalam kantong yang menggelantung dengan tali di bahu. Dilarang seorang bhikkhu meletakkan mangkok di atas tanah yang keras dan kasar yang dapat membahayakan mangkok tersebut, kecuali bila diletakkan terbalik (mulutnya di atas tanah) atau di atas tanah yang ada papan yang rata. Para bhikkhu dibolehkan meletakkan mangkok di atas tatakan mangkok yang terbuat dari rumput, kain, atau tikar. Bhikkhu yang sedang memegang mangkok dilarang mendorong pintu terbuka atau tertutup.
Bhikkhu harus mengetahui cara-cara bagaimana menggunakan dan menyimpan mangkok. Mereka dilarang untuk menggunakan mangkok sebagai tempat berludah, membuang tulang-tulang ikan, tulang-tulang, daging atau bahan-bahan lain yang, merupakan sisa ke dalam mangkok. Mereka juga dilarang mencuci tangan dalam mangkok, atau membuang air cuci mulut ke dalam mangkok itu.
Adalah tidak pantas menyentuh mangkok dengan tangan-tangan kotor. Seorang bhikkhu harus membersihkan mangkok setelah selesai makan, tetapi dilarang menyimpannya jika mangkok tersebut masih basah. Mangkok harus dijemur terlebih dahulu di sinar matahari dan tidak boleh ketika masih basah. Mangkok harus dilap lebih dahulu hingga kering baru kemudian dijemur dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Diperbolehkan menggunakan alat penyangga mangkok agar dapat berdiri dan tidak terguling sewaktu dijemur yang terbuat dari seng, kayu atau bambu, tetapi dilarang untuk menggunakan benda-benda yang didekorasi dengan warna-warni atau gambar-gambar atau benda-benda lain yang tidak sesuai. Kemudian dibolehkan memakai tutup mangkok untuk mencegah dasar mangkok rusak karena gesekan dan mencegah masuknya kotoran-kotoran ke dalam mangkok.
Masih ada benda lain yang diperbolehkan oleh Sang Buddha bagi para bhikkhu dan hal ini adalah kantong untuk menyimpan mangkok, yakni kantong dengan tali untuk menggantungkannya di atas pundak apabila sedang bepergian.
3 Alat-alat yang digunakan
Pada mulanya, kelihatannya Sang Buddha membiarkan para bhikkhu memiliki alat-alat kebutuhan, tetapi hanya sedikit saja yang dapat dibawa-bawa dengan mudahnya. Alat-alat kebutuhan ini disebutkan dalam Pacittiya, Surapanavagga, Apanidhana Sikkhapada ke 10 yaitu: sebuah mangkok, tiga jubah, satu nisidana, satu kotak jarum, dan sebuah ikat pinggang. Alat keperluan bhikkhu bertambah dengan cepatnya sesuai dengan keadaan dan kondisi dalam waktu tertentu. Sang Buddha memperkenankan lebih banyak alat-alat apabila dirasakan perlu bagi bhikkhu. Kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat disebutkan semuanya di sini.
Parikkhara (alat-alat keperluan) para bhikkhu yang merupakan tradisi bhikkhu adalah:
Kotak jarum.
Kotak ini dilarang bila terbuat dari tulang, gading, atau tanduk. Aka para bhikkhu membuat sendiri adalah Pacittiya dan bila menerima dari seorang lain dan menggunakannya adalah dukkata. Adalah dilarang untuk membuat kotak-kotak jarum yang menjadi mode pada waktu itu, tetapi tidak dilarang untuk membuat barang-barang lain seperti simpul dan ujung-ujung dari ikat pinggang. Kotak jarum yang dibuat dari barang-barang lain seperti kayu atau metal dibolehkan untuk digunakan oleh bhikkhu. Kotak kayu jarum yang asli dibuat dari kayu.
Saringan air
Boleh dibuat dari sepotong kain, atau dibuat dari sesuatu benda bulat yang berlubang (seperti sepotong bambu atau tube metal) dengan kain yang dilekatkan pada dasarnya, atau dibuat dari jenis lain dan disebut dhammakarata. Segala sesuatu yang dapat menyaring air dapat digunakan. Sudah menjadi tradisi dari para bhikkhu dilarang melakukan perjalanan sejauh setengah Yojana (satu yojana = kurang lebih 10 mil atau 16 km), bila mereka tidak mempunyai alat penyaring air. Apabila para bhikkhu tidak dapat menemukan benda-benda lain untuk menyaring air, maka tepi dari sanghati dapat juga dipakai sebagai saringan air. Para bhikkhu yang melakukan perjalanan jauh harus membawa-saringan air dan jika tidak punya, ia dapat meminjam dari bhikkhu lain dan bhikkhu lain harus meminjaminya.
Dikarenakan ada sikkhapada yang melarang para bhikkhu untuk minum air yang di dalamnya terdapat makhluk hidup, maka haruslah dipahami bahwa tradisi para bhikkhu untuk menyaring air agar mencegah atau terbuangnya makhluk-makhluk hidup dalam air yang digunakannya, dan juga untuk tujuan mendapatkan air bersih seperti yang dapat dilihat dari air hasil saringan air yang diperkenankan.
Apabila di dalam air terdapat makhluk-makhluk hidup, mereka akan tertangkap oleh kain saringan dan tetap tinggal di sana sewaktu air mengalir. Ini adalah bukan alat untuk menghancurkan atau membunuh makhluk-makhluk hidup, jenis saringan air ini untuk menjernihkan air. Saringan air besar untuk menyaring air bagi banyak orang, misalnya untuk seluruh pekerja dibuat dengan cara sama sedemikian sehingga air itu mengalir melalui kain tersebut tanpa membunuh makhluk hidup dalam air.
Pisau cukur serta sarungnya.

Batu serta gerinda untuk mengasah pisau itu, adalah barang-barang yang diperbolehkan untuk mencukur rambut dan muka. Pisau cukur itu bukan senjata, tetapi ada larangan bagi seorang bhikkhu bekas tukang cukur untuk memiliki sebuah pisau cukur bagi dirinya sendiri.
Pisau cukur itu haruslah dipahami sebagai alat usahanya untuk mencari nafkah sebelum ia menjadi bhikkhu. Tanpa memiliki barang itu, ia tidak akan teringat dan lebih mudah untuk melupakan masa lampaunya. Ia hanya berlatih sesuai dengan samadadhamma.
Payung
Benda tidak disebut-sebut dalam Vinaya, tetapi di dalam Atthakatha terdapat larangan terhadap pemakaian benda-benda yang cemerlang, umpama, payung-payung yang dibordir dengan kain sutera warna-warni serta dengan kain-kain hias. Orang harus memakai benda-benda yang umum saja. Sang Buddha membolehkan para bhikkhu untuk memakai payung di dalam vihara atau di sekitarnya.
Terdapat suatu larangan terhadap seorang bhikkhu untuk memakai payung di daerah pemukiman dan larangan membawa payung terbuka sepanjang jalan yang dekat dengan daerah pemukiman.
Seorang bhikkhu boleh membawa payung terbuka di daerah pemukiman apabila ia sakit, atau bila sakitnya itu pusing kepala yang akan dapat bertambah gawat jika ia terkena sinar matahari atau, hujan. Di dalam Atthakatha, peraturan itu demikian diperlonggar untuk mencegah civara menjadi basah kuyup oleh hujan, untuk menghindari bahaya, dan untuk melindungi badan (seperti teriknya sinar matahari). Dalam kasus-kasus yang demikian ini, maka seorang bhikkhu dapat memakai sebuah payung.
Sandal
Sandal terdiri dari dua macam, yakni paduka dan upahana. Paduka itu barangkali adalah sandal yang mempunyai sol, seperti bakiak kayu di Indonesia, tetapi di dalam Vinaya berarti jenis-jenis sepatu lain juga. Tidak diketahui dengan pasti bahwa sandal-sandal ini mempunyai sol yang tinggi.
Paduka yang disebut-sebut dalam Vinaya terdiri dari berbagai macam jenis: sandal kayu, sandal emas, sandal perak yang diberi dekorasi dengan batu-batu permata, batu kuarsa dan lain-lain; sandal-sandal yang terbuat dari bronse, tembaga, besi, timah atau seng; sandal yang dilapisi dari daun-daun palem, dari keratan bambu, dari berbagai jenis rumput, dari ilalang; dan terbuat dari kain wool yang dipintal. Kesemua jenis paduka ini tidak boleh dipakai. Paduka yang terbuat dari kayu hanya dilarang dipakai di jalan umum, tetapi dibolehkan dipakai yang telah diletakkan di tempat buang air besar dan kecil, serta di tempat mencuci pakaian.
Upahana mungkin sandal yang tidak mempunyai hak tinggi. Jenis sandal yang diperbolehkan itu dibuat dari kulit yang biasa. Semua sandal yang mempunyai satu lapisan (lapisan dari kulit untuk haknya) dapat dipakai dan sandal yang mempunyai lapisan lebih dari empat lapis dapat juga dipakai, hanya apabila ia sudah tua.
Sandal dengan banyak lapisan (dari kulit) apabila masih baru dapat dipakai di negeri di luar India. Upahana (yang dibolehkan) memiliki tali kulit yang diikatkan di antara tumit. Sandal tersebut tidak menutup kaki sebelah atas atau menutup tumit. Orang tidak boleh memakai upahana yang berlapiskan kulit dua atau tiga lapis, atau apabila mempunyai banyak lapisan atau masih baru, maka tidak dapat dipakai di India (Negara Tengah), dan tidak diketahui alasannya.
Walaupun sandal adalah salah satu di antara jenis-jenis yang dibolehkan mempunyai berbagai macam warna, tetapi warna seperti biru tua, kuning, merah, merah muda, oranye, merah jambu atau hitam, dilarang untuk dipakai pada sandal, telah dapat dipakai apabila warna-warna tersebut sudah dibuat kabur atau dibuang.
Di samping itu para bhikkhu dilarang juga mempunyai berbagai macam warna pada tali-temali sandalnya, tetapi apabila ia telah diganti (dengan warna suram), maka boleh dipakai. Demikian juga dilarang untuk menggunakan upahana yang diberi dekorasi dengan kulit singa, kulit macan, kulit panther, kulit musang, kulit berang-berang, kulit kucing, kulit anjing laut, atau kulit burung hantu, tetapi apabila yang dilarang itu telah dibuang dari sandal, maka sandal itu baru boleh dipakai.
Para bhikkhu dilarang untuk memakai upahana yang menutupi tumit dan menutupi bagian atas dari kaki dan menutupi betis yang mempunyai sol diisi dengan kapuk, yang diberi dekorasi dengan bulu ayam hutan, sandal yang lancip bentuknya seperti tanduk kambing, lancip seperti ekor kalajengking, tetapi apabila ia sudah dirobah sehingga membuat upahana enak dipakai, maka mereka dapat memakainya.
Sandal-sandal yang sudah diperkenankan itu tidak dapat dipakai di semua tempat, kecuali apabila kaki bhikkhu itu sakit; tetapi dilarang memakainya di dalam daerah berpenghuni. Seorang bhikkhu tamu yang mengunjungi vihara harus melepaskan sandalnya. Seorang bhikkhu boleh memakai sandal di dalam hutan dan dalam vihara, kecuali di daerah yang dilarang memakai sandal dalam vihara, misalnya di Cetiya dan lain-lain.
Apabila seorang bhikkhu mempunyai kaki yang tipis dan tidak dapat berjalan di tanah keras yang akan menyebabkan kakinya akan menjadi sakit, atau dalam musim panas ketika tanah itu begitu panasnya sehingga apabila ia melangkah di atas tanah panas itu kakinya akan lecet, maka seorang bhikkhu dapat memakai sandalnya di daerah pemukiman atau masuk ke dalam vihara. Seorangb bhikkhu yang sakit pada sela-sela jari kakinya boleh memakai sandal dalam musim hujan di tempat-tempat lembab untuk mencegah kakinya menjadi dingin.
Atthakatha Acariya menunjukkan pada alat-alat keperluan lain yang mengatakan "hal ini cocok, hal ini tidak cocok" seperti yang disebutkan di dalam Parikkharakatha dari Pubbasikkhavanna, tetapi semuanya tidak jelas serta sukar untuk dipahami. Mereka yang mempelajari Vinaya harus mengerti atau memahami hal sebagai berikut: seorang bhikkhu harus berkeinginan untuk memakai benda-benda yang umum, sederhana dan tidak menggunakan benda-benda yang bagus dan populer pada waktu itu dan dapat dikatakan sebagai barang mewah.
Latihan para bhikkhu yang ingin menggunakan benda-benda sederhana mendatangkan kepercayaan kepada satu kelompok orang yang disebut luk hapa mana, artinya prihatin dengan benda-benda yang sederhana atau benda-benda yang menimbulkan rasa hormat.
Berpikir tentang bagaimana membuat benda-benda menjadi indah dan keterampilan dalam membuat benda-benda untuk manusia berubah menurut zaman. Apa yang indah pada zaman dahulu menjadi jelek pada zaman sekarang, apa yang terampil dalam zaman dahulu menjadi lamban menurut zaman sekarang.
Demikian pula, barang-barang yang boleh Atthakatha Acariya diuraikan sebagai barang-barang baik pada zaman itu, menjadi umum atau jelek pada saat kini. Adalah agak sukar untuk memperoleh barang-barang yang disebutkan oleh Atthakatha Acariya yang menjadi cocok untuk seorang samana. Oleh sebab itu haruslah dipahami bahwa mereka itu menyebut benda-benda itu sesuai atau menurut zamannya.
Seorang bhikkhu yang ketat tetapi tidak memikirkan tentang waktu dan tempat dan sekedar hanya ingin meniru (Acariya-acariya zaman dahulu) akan mendapatkan banyak kesukaran, sebab mereka akan sukar untuk mendapatkan benda-benda itu pada zaman sekarang.
Tetapi, apabila ia melaksanakan terus seperti guru-guru dahulu dan mendapatkan barang-barang yang baru yang tidak sama dengan barang-barang model lama, maka ia tidak akan senang karena tidak bisa menerima dan menggunakannya. Apabila ia menggunakan benda itu yang dirasakannya bahwa sebenarnya ia tidak seharusnya memakainya, maka ia melakukan apatti termasuk dukkata.
Alat-alat kebutuhan yang sederhana dan baik haruslah dipakai sesuai dengan zaman, tetapi barang-barang yang sengaja dibuat untuk diri bhikkhu itu haruslah tidak mengandung keindahan, harus berorientasi pada kegunaannya saja atau yang kuat sehingga dapat dipakai dalam waktu yang lama.
Apabila seorang bhikkhu mengerti tentang hal ini, maka ia harus memilih jalan tengah yang cocok dengan waktu serta tempat pada zaman itu.
4. Perabotan dalam tempat tinggal (kuti)
Kuti tempat tinggal bhikkhu pada zaman Sang Buddha, hanya sebuah gubuk dengan lantai di plester atau dari tanah liat. Oleh karena itu, maka para bhikkhu diperbolehkan memiliki ranjang untuk tidur dan bangku untuk duduk guna mencegah kelembaban.
Ranjang (manca) dan bangku (pitha) harus mempunyai kaki-kaki yang tingginya tidak lebih dari delapan inci dari ukuran sugata, tidak terhitung rangka pada kaki itu dilekatkan. Seorang bhikkhu yang memakainya dan membiarkan bangku itu mempunyai kaki-kaki lebih dari delapan inci tingginya, adalah paccittiya. Kaki-kaki itu harus dipotong.
Apabila bhikkhu menggunakan bangku yang dibuat oleh orang lain, adalah dukkata. Kemudian diperbolehkan untuk menunjang ranjang dengan balok-balok yang tingginya hingga delapan inci. Ranjang, walaupun kaki-kakinya sudah sesuai dengan pembatasannya, namun dilarang memakai ranjang yang memiliki ukir-ukiran binatang buas seperti hidung singa buas yang dinamakan pallamka (dipan).
Asandi adalah sebuah benda untuk duduk seperti bangku. Beberapa bangku ada yang persegi panjang di mana dua orang, dapat duduk. Asandi adalah berbentuk persegi dan hanya dapat diduduki oleh satu orang saja. Pada mulanya dilarang mempunyai kaki-kaki lebih dari delapan inci tingginya, tapi kemudian diperbolehkan.
Tempat duduk yang mempunyai sandaran punggung dan tangan-tangan, seperti kursi sofa, dinamakan sattanga, diterjemahkan sebagai "Tempat duduk dengan tujuh anggota" empat buah kaki dan tiga sisi. Diperbolehkan dipakai walaupun tinggi.
Tempat duduk yang hanya mempunyai sandaran punggung saja, dinamakan pancanga (lima anggota) dan tampaknya seperti kursi tanpa sandaran tangan. Tempat duduk ini tidak dijelaskan tetapi dimasukkan ke dalam sattanga dan boleh juga dipakai bila tinggi.
Kasur untuk ranjang dan bantal kecil untuk bangku dibolehkan, tetapi dilarang untuk mengisinya dengan kapuk (kapas, wool, dimasukkan ke dalam kasur ini). Kasur yang dapat dipakai terdiri dari lima jenis; kasur diisi dengan bulu domba, dengan potongan-potongan kain, diisi dengan serat tumbuh-tumbuhan, diisi dengan rumput, dan diisi dengan dedaunan.
Alas kasur dapat dibuat dari enam jenis kain yang diperkenankan untuk membuat civara. Bulu burung serta binatang berkaki empat lain, terkecuali rambut kepala dan badan manusia, dimasukkan ke dalam bulu domba.
Kasur-kasur yang diisi dengan bulu-bulu tersebut dapat dipakai dan semua jenis daun dapat pula dipakai, terkecuali daun yang tidak dicampur dari kamper borneo, yang dilarang di dalam Atthakatha. Barangkali rambut kepala orang dan rambut badan orang itu dilarang untuk mencegah menyebarnya infeksi dari orang yang sakit. Daun dari kamper borneo itu dilarang barangkali karena ia mempunyai bau yang tajam sekali.
Ranjang atau tempat duduk yang diisi dengan serat-serat apabila berasa nyaman dapat dipakai. Ranjang atau alat tidur yang besar dilarang menggunakannya tetapi pembatasannya tidak disebut-sebut. Apabila seorang bhikkhu yang merupakan brahmacari menggunakan barang-barang, ranjang, yang dipakai untuk sepasang orang tidak sesuai dan oleh karena itu dilarang.
Bantal kepala dibolehkan diisi dengan kapuk tetapi ukurannya harus cocok dengan satu kepala, bukan untuk dua kepala. Adalah dilarang untuk menggunakan bantal panjang. Pada waktu itu, kain merah dapat dipakai untuk penutup bantal dan dalam Atthakatha dijelaskan bahwa bantal-bantal untuk kepala dan kaki yang tidak berwarna merah dapat juga digunakan. Mengapa bantal untuk sisi atau pinggir tubuh (bantal guling) dilarang bagi seorang bhikkhu yang brahmacari dan akan dapat dimengerti apabila seseorang mau memikir sedikit tentang hal tersebut.
Kain penutup lantai dilarang dipakai apabila sangat indah. Yang berikut ini sudah tidak dilarang lagi dimulai waktu diperbolehkan memakai kasa nyamuk seperti yang disebutkan di dalam Vinaya: kain dengan bulu yang panjangnya melebihi empat inci yang disebut goneka; alas lantai terbuat dari bulu domba yang disebut berbagai nama yang dijahit atau dipintal dengan pola yang dinamakan cittaka, atau dengan gambar rangkaian bunga yang dinamakan patalika, atau gambar-gambar binatang buas seperti singa, macan dan lain-lain yang dinamakan vikatika, atau yang putih murni yang dinamakan patika; mempunyai rambut yang disusun disebut uddhalomi, sedang yang mempunyai sikat disebut ekantalomi, satu lembar yang cukup besar untuk enam belas orang menari di atasnya (seperti ruangan berpemadani) disebut kutaka; kain ornamen yang dipintal dengan banyak benang emas dicampur sedikit benang perak serta yang berwarna biru; permadani lantai dari sutra murni, dari kulit yang disebut ajina: yang mempunyai rambut empuk dan halus (seperti "kucing air" yang dalam bahasa Inggris disebut "seal"), pelapis lantai terbuat dari kulit musang, tempat tidur dengan langit-langit di atas yang dipahami sebagai tidur di bawah tirai nyamuk, atau ranjang mempunyai atap, (kain) penutup gajah, (kain) penutup kuda, atau kain penutup kendaraan yang tidak dikatakan dari jenis apa.
Selain dari pada ini, beberapa dari benda-benda ini sekarang sudah menjadi umum atau sebagai pelapis lantai yang terbuat dari bulu domba atau sutra. Atthakatha Acariya) menjelaskan bahwa permadani terbuat dari bulu domba adalah benda-benda mahal pada zaman itu. Kain sutra yang telah dijelaskan sebagai dekorasi dengan bordiran. Pada zaman sekarang, kain pelapis atau penutup yang terbuat dari bulu domba telah menjadi sangat umum dan normal, dan hal itu seharusnya jangan dianggap sebagai terlalu berlebihan.
Perabot-perabot dalam tempat tinggal yang tidak sesuai untuk bhikkhu dan orang awam, seorang bhikkhu dibolehkan duduk, tetapi tidak diperbolehkan tidur di atasnya. Pada mulanya terdapat tiga jenis benda-benda yang dilarang dipakai oleh bhikkhu: asandi, pallamka, dan benda-benda yang diisi dengar kapuk. Kemudian, asandi diperbolehkan dan duduk di atas ranjang atau bangku yang memakai kain yang diisi dengan kapuk, seperti kursi sofa yang diisi dengan kapuk milik orang awam. Seorang bhikkhu dapat duduk di atas tempat duduk yang diisi dengan kapuk, tetapi dilarang duduk di atas pallamka.
Adalah tidak baik bagi dua orang bhikkhu tidur bersama dalam satu tempat tidur, atau di atas penutup lantai yang sama, atau dalam satu selimut, benda-benda ini dilarang. Dua orang Bhikkhu dapat duduk di atas satu ranjang atau di atas bangku tanpa sandaran punggung, bila mereka memiliki masa vassa yang sama.
Bhikkhu itu bukan senior maupun bukan yunior apabila mereka tidak mempunyai perbedaan lebih dari tiga atau bahkan kurang dari tiga vassa, dalam hal ini mereka disebut samanasanika. Mereka dilarang untuk duduk bersama-sama dengan bhikkhu yang mempunyai masa vassa lebih atau kurang dari itu, disebut asamanasanika. Menurut penjelasan dari Acariya, apabila seorang upajjhaya dan seorang saddhiviharika duduk di atas sebuah ranjang yang sama, maka hal itu adalah tidak patut dilakukan.
Dalam Vattakhandaka di bagian Cariyavatta (tugas-tugas berkenaan dengan tingkah laku). Adalah tidak baik bagi seorang bhikkhu tidur di atas kasur yang ditaburi bunga-bunga, ini dilarang. Seorang bhikkhu yang mempunyai bunga, ia dapat meletakkannya di salah satu sisi kutinya. Pada zaman sekarang, bunga itu ditaruh di tempat memuja Sang Buddha, tempat yang benar-benar layak

CARA MENGATUR JASMANI


Rambut kepala tidak boleh tumbuh lebih dari dua bulan, atau lebih dari dua inci panjangnya.

Rambut harus dicukur apabila telah tumbuh dalam batas waktu dua bulan telah dicapai sekalipun panjang rambut itu belum mencapai dua inci panjangnya. Sebaliknya apabila rambut kepala sudah sepanjang dua inci sebelum masa dua bulan tiba, ia harus dicukur.
Hendaknya dipahami bahwa tradisi ini telah berubah sedikit demi sedikit. Diduga perubahan ini timbul sejak para bhikkhu mulai menumbuhkan rambutnya lebih panjang dari peraturan yang ada, oleh karena itu timbullah larangan-larangan menyisir atau menyikat rambut:
Seorang bhikkhu tidak boleh menggunakan jari-jari tangan menelusuri rambut seperti orang menyisir rambut.
Seorang bhikkhu tidak boleh merawat rambutnya dengan menggunakan minyak yang dicampur dengan lilin lebah atau dengan minyak dicampur dengan air yang sekarang disebut minyak rambut atau yang semacam itu dalam dunia kosmetik.
Seorang bhikkhu tidak boleh memotong rambut dengan gunting terkecuali dalam keadaan sakit.
Seorang bhikkhu tidak boleh mencabut uban.
Kesemua larangan ini berlaku bagi seorang bhikkhu yang membiarkan rambutnya tumbuh lebih dari dua inci. Barangkali pada waktu itu tidak terdapat batasan atas panjang rambut kepala dan oleh karena itu sudah sewajarnya bahwa orang harus mencukur rambutnya sebelum menjadi terlalu panjang sehingga dapat dengan mudah dicukur dengan pisau cukur. Di antara kaum pertapa Niggantha rambut diperbolehkan tumbuh dari satu bulan hingga empat bulan. Sesudah empat bulan rambut itu cukup panjang untuk disisir dan dirawat. Hal ini, dilarang bagi para bhikkhu.

Seorang bhikkhu tidak boleh memelihara kumis atau jenggot

Berbeda dengan rambut, mengenai kumis atau jenggot tidak terdapat batasan yang jelas mengenai panjangnya. Barangkali kumis dan jenggot itu tidak cukup panjang untuk dapat dibentuk dalam berbagai macam mode dan tidak dapat dicukur dengan pisau. Barangkali pada mulanya kumis itu dibiarkan tumbuh begitu panjangnya sehingga perlu dilarang memelihara kumis dalam berbagai mode dan memotong kumis dengan gunting.

Seorang bhikkhu tidak boleh membiarkan kukunya panjang.

Kuku harus dipotong pendek sejejar dengan daging (ujung jari) dengan alat tajam yang kecil, dan tidak boleh dipoles menjadi halus. Apabila kuku-kuku tersebut terkenal atau terselip kotoran, benda yang mengotori itu boleh digosok dan dicukil keluar. Pembersihan ini harus dilakukan.
Seorang bhikkhu tidak boleh membiarkan bulu hidung tumbuh panjang. Rambut-rambut ini harus dicabut dengan memakai alat penjepit.
Dalam ilmu fisikologi dijelaskan bahwa rambut di dalam lubang hidung itu berguna untuk mencegah debu terbawa ke dalam paru-paru sewaktu menarik napas. Larangan ini berarti bahwa bulu hidung itu tidak boleh menonjol keluar dari lubang hidung.

Rambut yang tumbuh di tempat-tempat sempit tidak boleh dicabut.

Rambut di badan yang tertutup oleh civara dan rambut di ketiak tidak boleh dicabut, terkecuali apabila dalam keadaan sakit. Dalam hal ini rambut dapat dicabut agar di tempat yang sakit dapat diolesi dengan obat cair atau obat berbentuk serbuk.
Di dalam vinaya, yang dimaksud dengan “tempat-tempat sempit” adalah tempat di sekitar anus. Larangan ini dapat berarti bahwa rambut di sekitar anus tidak boleh dicabut.
Wajah tidak boleh dibedaki atau diolesi dengan cairan-cairan kosmetik atau dicat atau diwarnai dengan zat pewarna. Dahi tidak boleh diberi warna. Badan tidak boleh diwarnai. Kecuali dalam keadaan sakit.
“Membedaki” adalah memakai bedak kering untuk memperindah kulit. “Melapisi wajah”, mengoleskan bubuk kosmetik yang dilarutkan dalam air. Apabila sudah kering muka akan menjadi berwarna sesuai dengan warna bahan kosmetik yang dilarutkan dalam air. Para artis dan remaja, misalnya, melapisi wajahnya seperti ini dan disebut “membedaki wajah”.
Dalam vinaya kedua hal ini, ‘membedaki’ dan ‘mengolesi’ dikatakan sebagai dua hal yang dibendakan dengan jelas. Dan tepat bila dikatakan “melapisi” wajah. “Mengecat muka” adalah memakai kosmetik berwarna berupa bubukan. “mewarnai muka” adalah memakai kunyit (curcuma longa). “Memakai warna-warna di dahi “adalah memoles dahi dengan bubukan harum seperti yang dilakukan pada upacara pemberkahan oleh orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Dalam vinaya dijelaskan sebagai bubuk digunakan bubuk batu merah, suatu larutan atau pewarna yang dipakai untuk membuat lukisan. Ada juga umat Hindu memoles muka mereka dengan susu sapi.
Metode mengecat dan menghiasi muka dengan zat pewarna kiranya lebih tua dari zaman Sang Buddha sendiri, yang dimaksudkan untuk membuat penampilan lebih menarik atau malah lebih menakutkan daripada yang sebenarnya. Orang-orang Cina juga menggunakan teknik pengecatan ini dalam pementasan cerita-cerita kuno.
“Mewarnai badan” adalah mengecat badan dengan memakai cairan kunyit. Kesemua perbuatan ini dilarang karena bersifat memperindah wajah atau badan. Pengecualian diberikan dalam kasus mengindap penyakit kulit bila diperlukan memakai atau memolesi dengan ramuan obat tradisional. Dalam Kitab Vinaya perbuatan ini dijelaskan hanya berkenan dengan muka tetapi badan juga harus dimasukkan.
Seorang bhikkhu tidak boleh menghiasi tubuhnya dengan suatu ornamen seperti anting-anting, gelang, kalung, ikat pinggang, perhiasan-perhiasan tangan dan cincin.
Seorang bhikkhu tidak boleh melihat wajahnya dikaca atau benda yang mirip dengan kaca.
Di dalam kasus sedang sakit atau luka, seorang bhikkhu dapat melihat ke dalam kaca untuk mengamati lukanya agar dapat memoleskan obat atau untuk menutupinya dengan plester dan lain-lain.
Pada waktu yang lampau belum ada kaca yang dibuat dari gelas, kaca dibuat dari lembaran perunggu yang digosok sehingga refleksi muka dapat dilihat. Para bhikkhu dilarang untuk melihat wajahnya pada kaca atau pada permukaan air karena dipandang untuk mempercantik diri. Karena ada larangan memperindah badan, maka melihat gambar atau refleksi itu juga dilarang. Akan tetapi dalam kasus sedang sakit, maka dalam hal ini diperbolehkan.
Tidak ada pelanggaran terhadap penggunaan sebuah kaca demi dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu, umpamanya, mencukur muka atau kepala sendiri walau dapat dilakukan tanpa melihat di kaca.
Seorang bhikkhu tidak boleh bepergian tanpa mengenakan jubah (telanjang) di tempat-tempat yang sesuai dan pada waktu-waktu yang tidak sesuai pula.
Seorang bhikkhu adalah thullaccaya jika ia bepergian dengan telanjang seperti yang biasa dilakukan pada umumnya oleh pertapa Niggantha. Seorang bhikkhu adalah dukkata apabila ia telanjang pada waktu ia melakukan perbuatan-perbuatan berikut dengan bhikkhu lain: memberi hormat dengan anjali, menerima penghormatan, sedang melakukan pelayanan (parikamma), sedang memberikan barang-barang, menerima barang-barang, sedang makan dan minum, tetapi dibolehkan tanpa menggunakan jubah apabila sedang berada dalam rumah api atau rumah api.
Sebab itu, apabila seorang bhikkhu seorang bhikkhu sedang melakukan parikamma di dalam rumah api dan di rumah mandi uap, umpamanya memijat atau orang sakit dan parikamma membersihkan tubuh orang lain bukan suatu apatti. Apabila bhikkhu telah menutupi dirinya sendiri dengan secarik kain, maka ia tidak lagi dianggap telanjang.
Rumah api adalah tempat memanaskan badan sehingga keluar keringat, seperti apa dipakai pada zaman dahulu dengan membuat tenda kain yang berlubang agar kepala berada di luar tenda. Seorang bhikkhu tidak pacittiya bila memanaskan badannya di sana, atau dukkata karena melakukan parikamma telanjang di sana dengan bhikkhu lainnya sebab diperkenankan dalam rumah api.
Pada zaman dahulu tidak banyak tersedia jubah tambahan yang dapat dipakai, tradisi bhikkhu untuk mandi adalah bertelanjang. Apabila para bhikkhu mandi mereka memilih tempat yang terpencil, atau menunggu waktu yang sunyi. Jubah yang dlepas dan yang diletakan di tempat yang dianggap aman. Ia dengan hati-hati merendamkan diri sambil memperhatikan tempat ia meletakan jubahnya. Setelah selesai mandi naik kembali dengan seksama. Kemudian, tempat mandi dibuat di dalam vihara yang dibuat dari kayu atau batu dengan menyikat kayu, lantai bata, batu atau kayu untuk mencegah terpeleset.
Di dalam hubungan ini para bhikkhu dilarang mandi dengan menggosok-gosok badannya dengan benda-benda yang tidak cocok seperti tangan dari kayu, pengaruk berbentuk gigi, atau seutas tali kasar, pohon, tiang, tembok rumah dan papan-papan. Menggosokan punggung dengan punggung bhikkhu lainnya juga dilarang. Secarik kain dan telapak tangan boleh digunakan untuk itu.
Seorang bhikkhu tidak boleh memakai pakaian orang awam.
Peraturan ini melarang bhikkhu memakai pakaian orang awam seperti celana, baju dan topi atau penutup kepala, juga berbagai jenis kain terdiri dari berbagai macam warna dalam cara memakai yang tidak sama dengan bagi kaum bhikkhu.
Di dalam Vibhanga, sikkhapada ke 6 Civaravagga, dalam bab Nisaggiya Pacittiya dijelaskan bahwa apabila pencuri telah mencuri atau merampas jubah-jubahnya, maka seorang bhikkhu dapat menutupi dirinya sendiri dengan benda apapun juga, kain yang dapat dipakai untuk jubah atas dan bawah atau daun-daun, karena seorang bhikkhu tidak boleh bepergian dengan telanjang. Apabila bhikkhu yang pergi dengan telanjang, maka ia melakukan apatti dukkata.
Apabila seorang bhikkhu sudah selesai buang air besar dan di sana terdapat air, maka air itu harus dipakai untuk menyiram. Apabila di sana terdapat air atau ada air tetapi tidak ada gayung, maka mengusap harus dilakukan dengan memakai kayu atau dengan benda lain.
Seorang bhikkhu tidak boleh melakukan Satthakamma di tempat sempit atau dalam jarak dua inci dari tempat sempit. Orang-orang tidak memperbolehkan orang lain melakukan Vatthikamma. Seorang bhikkhu adalah thulaccaya karena memperbolehkan hal-hal ini dilakukan.
“Tempat sempit” berarti anus. Melarang satthakamma di dalam tempat sempit adalah melarang melakukan operasi pada anus atau batas jarak dua inci dari anus dengan memakai benda-benda tajam.
Atthakatha-Acariya telah menjelaskan bahwa memperbolehkan orang lain melakukan satthakamma di dalam tempat sempit berarti memperbolehkan mengoperasi ujung benjolan yang keluar dari anus. Melarang vatthikamma berarti melarang mengikat anus.
Atthakatha-Acariya telah menjelaskan bahwa memperbolehkan orang lain mengikar ujung dari piles itu sedemikian rupa hingga ia dapat mongering dan terlepas sendiri adalah berarti memperbolehkan orang lain untuk melakukan vatthikamma di dalam anus.
Kedua perbuatan ini dilarang, tetapi membersihkan cairan yang terdapat di ujung benjolan serta mengikat ujung itu dengan benang untuk mencegah ia mengerut masuk ke dalam dapat dilakukan. Apabila ujung piles itu terlepas, maka harus memakai obat oles bahkan memasukan obat ke dalam anus, atau memasukan pipa ke dalam anus untuk mengoleskan cairan atau minyak.
Menusuk testikel yang membengkak demi untuk mengeringkan cairan atau mengoperasi benjolan atau bisul dilarang. Kata “Vatthi” di tempat-tempat lain mengandung arti saluran kencing. Melarang vatthikamma adalah dilarang memasukan peralatan ke dalam saluran kencing. Metode ini dilakukan ini sudah dikenal para dokter sudah lama, tetapi pada waktu itu tidaklah terdapat peralatan yang baik.
Dikatakan bahwa orang memasukan daun yang berbentuk tabung seperti daun bawang masuk ke dalam saluran air kencing, sama juga dengan tabung bambu atau rumput yang berbentuk tabung dimasukkan ke dalam anus. Sekalipun pada masa Sang Buddha para dokter memiliki pengetahuan operasi tentang luka-luka, tetapi mereka itu tidak begitu ahli.
Melakukan operasi pada tempat-tempat itu bahkan malah akan membahayakan diri si penderita daripada mengobatinya. Oleh sebab itu hal tersebut dilarang. Merupakan apatti berat. Namun begitu, sekarang terdapat banyak dokter yang berspesialisasi dalam jenis operasi semacam ini dan karena itu maka larangan ini sekarang malah menjadi hambatan untuk keselamatan dari bahaya. Memperlakukan larangan ini pada zaman sekarang tidak tepat lagi.
Adalah suatu tradisi bagi para bhikkhu untuk menggunakan sekerat kayu untuk membersihkan gigi sebab pada zaman dahulu belum digunakan sikat gigi. Di Siam orang menggunakan sekerat kayu lembut seperti sanoh (sesbana spp), atau akar dari lamphu (sonneratia spp), dikunyah sampai menjadi serat-serat.
Kayu gigi harus dibuat seukuran daun sirih yang digulung (kira-kira empat inci panjangnya). Kayu itu harus dikunyah hingga ia menjadi serat kemudian diludahkan seperti jambe itu. Kayu jenis ini adalah sangat baik untuk membersihkan gigi.
Di dalam Vinaya keuntungan menggunakan kayu gigi dijelaskan sebagai berikut: gigi (menjadi) tidak kotor, mulut tidak berbau, syaraf-syaraf (pengecap) menerima rasa makanan dengan baik, ludah tidak membungkus makanan dan apabila memakan makanan rasanya akan menjadi enak. Kayu gigi tidak boleh dibuat terlalu pendek atau terlalu panjang, batas ukuran adalah empat hingga delapan inci panjangnya. Mengulang kunyah kayu gigi seperti mengunyah daun teh atau daun sirih pada waktu lain selain waktu makan dan di dalam tempat-tempat seperti latrines, adalah dilarang.
Air minum harus disaring lebih dahulu. Oleh sebab itu, dibolehkan memiliki saringan air untuk melindungi binatang-binatang kecil dan serangga serta memurnikan air untuk menjaga kesehatan.

TUGAS-TUGAS ATAU VATTA



I. Kiccavatta

Tugas-tugas yang harus dilaksanakan:
1. Seseorang saddhiviharika harus merawat upajjhayanya dalam segala cara yang mungkin selama ia hidup bersamanya. Di dalam Vinaya disebutkan berbagai pembagian tugas yang harus dilaksanakan oleh saddhiviharika, tetapi di sini akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
a. Ia harus merawat upajjhayanya, melakukan segala, suatu tugas yang diberikan kepadanya, misalnya: ia harus menawarkan air untuk kumur, air cuci muka dan kayu untuk tusuk gigi.
b. Ia harus dengan senang hati menerima instruksi-instruksi dari upajjhayanya.
c. Ia harus mencoba untuk mencegah atau mengakhiri suatu penyimpangan yang akan terjadi atau yang telah terjadi yang terdapat pada upajjhayanya. Dalam Vinaya ditunjukkan bagaimana harus mengakhiri nafsu atau kekejaman dan bagaimana ia harus mencoba untuk membebaskan dirinya dari pandangan salah. Tugas inilah yang membantu upajjhayanya keluar dari appatti berat dan mencoba untuk membujuk Sangha untuk mengakhiri masa hukuman atau meringankan hukuman upajjhayanya.
d. Ia harus mencoba agar upajjhaya tetap dalam keadaan ceria. Ia tidak boleh berhubungan dengan orang-orang yang akan menyebabkan upajjhayanya tidak menyukainya. Di dalam Vinaya dijelaskan bahwa sewaktu menerima dan memberikan benda-benda kepada orang-orang semacam itu, saddhaviharika harus memberitahukan kepada upajjhaya terlebih dahulu dan ia tidak boleh melakukannya sendiri tanpa sepengetahuan upajjhayanya.
e. Ia harus menghormati upajjhayanya. Di dalam Vinaya dijelaskan bahwa bila ia berjalan bersama dengan upajjhaya, ia harus berjalan di belakangnya, tidak terlalu dekat maupun terlalu jauh. Sewaktu upajjhayanya sedang berbicara, ia tidak boleh menginterupsi. Apabila upajjhayanya berbicara salah ia tidak boleh membetulkannya secara langsung, tetapi secara tidak langsung sehingga ia tahu dengan sendirinya.
f. Ia tidak boleh pergi ke tempat-tempat lain menurut kesukaannya sendiri, tetapi sebelum ia pergi harus pamit dahulu kepada upajjhayanya.
g. Apabila upajjhayanya sakit ia harus dengan penuh kesabaran merawatnya dan sebelum sembuh atau setelah upajjhanya meninggal ia tidak boleh meninggalkannya pergi ke mana saja.
2. Upajjhaya harus bermurah hari terhadap saddhiviharika selama mereka masih tergantung kepadanya. Secara singkat, dijelaskan sebagai berikut:
a. Ia melaksanakan tugasnya untuk mendidik saddhiviharikanya.
b. Ia memberikan bantuan mereka dengan mangkok, jubah dan lain-lain keperluan. Apabila ia tidak mempunyai semuanya itu, ia mencoba untuk mencari benda-benda kebutuhan itu.
c. Ia mencoba melindungi mereka terhadap penyimpangan yang mungkin telah terjadi atau yang akan terjadi. Hal ini telah dijelaskan dalam tugas-tugas dari saddhiviharika.
Tegas-tugas yang harus dilakukan oleh acariya serta antevasika masing-masing dapat diketahui dari dua bagian di atas.
3. Seorang bhikkhu yang merupakan pengunjung dari vihara lain harus berperilaku yang patut sebagai seorang tamu sebagai berikut:
a. Sebagai seorang bhikkhu (pengunjung) harus hormat terhadap bhikkhu lain yang tinggal di sana. Hal ini dijelaskan dalam Vinaya bahwa apabila pengunjung memasuki tapal batas sebuah Vihara, ia harus melepaskan sandal, menutup payung, melepaskan kain yang menutupi kepala (dan zaman sekarang ini membuka jubah luar sehingga terbuka bahu kanannya).
b. Ia harus menunjukkan rasa prihatin terhadap para bhikkhu yang tinggal di sana. Dalam Vinaya hal ini dijelaskan sebagai berikut: seorang pengunjung melihat penghuninya sedang mengerjakan beberapa pekerjaan, misalnya sedang menyapu di sekeliling cetiya atau sedang membuat obat untuk para bhikkhu yang sakit, dan bilamana penghuni melihatnya datang, akan berhenti bekerja untuk menyambutnya, tetapi pengunjung harus berkata, "Silakan selesaikan pekerjaan Anda dahulu".
Dengan kata lain, apabila pengunjung sewaktu memasuki Vihara dan melihat penghuni sedang bekerja, maka ia harus menunggu hingga penghuni telah menyelesaikan pekerjaannya sebelum mendekatinya. Apabila penghuni harus meninggalkan pekerjaannya untuk melayaninya, maka bhikkhu pengunjung tidak boleh tinggal lama-lama.
c. Ia harus menunjukkan sikap sopan santun. Apabila kaki-kakinya kotor, ia harus membersihkannya terlebih dahulu sebelum memasuki suatu tempat yang tidak pantas dilalui dengan kaki kotor. Setelah masuk, ia harus mengambil asana yang sesuai baginya dari segi senioritas, atau sederajat dengan penghuni dalam masa Vassa.
d. Ia harus menunjukkan dirinya sendiri dalam keadaan tenang dengan para penghuni. Hal ini dijelaskan di dalam Vinaya sebagai berikut:
Apabila ia ingin minum, ia mengambil air dan meminumnya atau bila ingin menggunakan air untuk keperluan lain, ia menggunakan air untuk keperluannya. Dengan cara demikian bila penghuni menyambutnya, maka ia akan menerima dengan keramah tamahan dan tidak akan menunjukkan sikap enggan.
e. Apabila pengunjung ingin tinggal di Vihara, ia harus berperilaku seperti para penghuni Vihara tersebut. Dikatakan di Vinaya bahwa ia harus meminta kuti, dan petunjuk di mana ia bisa menerima dana makanan, apakah tempat itu dekat atau jauh dan apakah harus pergi pagi sekali atau agak siang. Ia harus bertanya tentang rumah-rumah yang terbatas makanan (yang didanakan) atau jumlah bhikkhu (yang diundang).
Ia harus bertanya tentang rumah-rumah yang tidak baik untuk mengumpulkan makanan seperti umpama rumah-rumah dari orang-orang yang memiliki pandangan salah atau yang membahayakan. Ia harus bertanya tentang fasilitas toilet, tentang kolam air, dan akhirnya tentang peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh sangha itu.
f. Apabila si pengunjung telah menempati tempat tinggal, ia tidak boleh mengabaikan tugas-tugasnya, merasa berkewajiban untuk menyapunya, membersihkan serta menjaga agar tetap dalam susunan yang rapi.
4. Apabila tamu telah datang, para penghuninya harus menyambutnya secara layak dan dengan cara sebagai berikut:
a. Para penghuni berkewajiban untuk menyambut para bhikkhu tamu itu. Dalam Vinaya hal itu dijelaskan sebagai berikut:
Apabila mereka sedang membuat civara, atau sedang membangun atau memperbaiki tempat tinggal, atau sedang menyapu teras dari cetiya, atau membuat obat-obat untuk para bhikkhu yang sakit mereka harus meninggalkan pekerjaan tersebut dan menyambut tamu, kecuali mereka yang sedang mempersiapkan peralatan obat-obatan bagi seorang bhikkhu yang sedang sakit keras dan tergesa-gesa menyelesaikan obat itu.
b. Mereka harus menghormat bhikkhu yang berkunjung. Dalam vinaya, hal ini dijelaskan bahwa mereka harus menyambut dengan memberikan air untuk membasuh kaki serta dengan sesuatu untuk mengelapnya, menata dan membentangkan asana dan menanyakan apakah ia butuh air minum atau untuk keperluan lain.
c. Mereka harus menyambut tamu sesuai dengan kewenangan dari tamu tingkat vassa. Telah dijelaskan dalam Vinaya bahwa apabila pengunjung itu lebih senior, mereka harus bangkit berdiri untuk membawa mangkok dan jubah tamu, menghormat dengan selayaknya. Apabila penghuni menghendaki, ia boleh membersihkan sandal tamu, memijat kaki tamu dengan minyak serta mengipasinya. Apabila pengunjung itu lebih senior dari mereka, mereka mengatakan di mana asana baginya untuk duduk, di mana ada air untuk minum dan keperluan lainnya dan membiarkan ia minum dan memakai air oleh dirinya sendiri. Pada zaman sekarang dapat memerintah orang lain untuk melayani atau membantu bhikkhu pengunjung itu.
d. Apabila bhikkhu pengunjung datang untuk tinggal di vihara tersebut, para penghuni harus memberikan bantuan dan menunjukkan padanya tempat dari yang akan ditempatinya. Apabila bhikkhu penghuni kehendaki, mereka dapat menyapu kamar itu, dan menunjukkan jalan-jalan serta tempat-tempat yang bhikkhu-tamu harus ketahui, seperti apa yang disebutkan di dalam agantuka-vatta ( tugas-tugas untuk seorang bhikkhu pengunjung).
3. Seorang bhikkhu yang akan pergi untuk tinggal di tempat lain harus berperilaku sebagai berikut:
a. Ia harus membenahi tempat tidurnya. Apabila ia melihat bahwa atapnya bocor atau berantakan, ia harus terlebih dahulu menambalnya atau memperbaikinya. Apabila tempat tidurnya tidak rapi dan kotor, ia harus membersihkannya, membenahi benda-benda seperti ranjang, kursi, tikar, bantal dan lain-lain sehingga mereka itu menjadi teratur kembali. Ia tidak boleh meninggalkan kamar dalam keadaan tidak rapi ia harus mengusahakan agar mereka tidak dalam keadaan bahaya. Jendela-jendela dan pintu harus dikunci atau digembok.
b. Ia harus mengembalikan tempat tinggalnya kepada senasana-gahapaka (orang-orang yang bertugas membagi-bagikan tempat tinggal), atau apabila di sana tidak ada orang yang ditunjuk, ia harus mengatakan kepada bhikkhu teman yang tinggal bersamanya. Apabila ia hidup sendiri, ia harus memberitahukan kepada donator yang utama atau kepala desa itu.
c. Ia harus berpamitan dengan bhikkhu dengan siapa ia telah mengambil nissaya, yakni, upajjhayanya atau acariyanya. Sekarang ini orang harus berpamitan juga kepada Thera yang merupakan Kepala Vihara.
6. Seorang bhikkhu yang akan memasuki daerah berpenduduk untuk mengumpulkan makanan harus bertingkah laku sesuai dengan tradisi sebagai berikut:
a. Ia harus mengenakan jubah atas dan bawah dengan rapinya, antavaseka menutup pusar dan lutut, dan setelah memakai ikat pinggang, ia harus memakai sanghati di atas uttarasangga, jadi menjadikan dua jubah, dan mengenakan mereka menutup kedua belah bahu yang dimantapkan/disekur dengan tali-temali dan simpul-simpul.
b. Ia harus menaruh mangkok di bawah jubahnya, dikeluarkan hanya apabila sedang menerima dana makanan itu.
c. Ia harus memiliki sikap yang terkendali sesuai dengan tingkah laku yang layak bagi samana seperti yang diberikan di dalam Sekkhiyavatta.
d. Ia harus memperhatikan sikapnya sewaktu memasuki atau waktu keluar dari pemukiman dan cara-cara bagaimana perumah tangga itu memberikan makanan dan sebagainya.
e. Apabila ia tahu bahwa seseorang perumah tangga berkeinginan untuk memberikan makanan: ia harus menerima makanan itu dengan sikap yang terkendali dengan baik seperti apa yang disebutkan di dalam Bagian Makanan dari Sekhiyavatta.
f. Bhikkhu yang kembali ke vihara lebih dahulu dari bhikkhu-bhikkhu lainnya, ia harus menyiapkan tempat duduk, air minum, panci-panci untuk makanan dan sebagainya sampai kepada air untuk mencuci kaki dan alat-alat untuk mengelap atau mengeringkan kaki untuk kepentingan bhikkhu-bhikkhu lain yang datang kemudian. Para bhikkhu yang selesai makan paling akhir harus meringkasi alat-alat yang disebutkan di atas dan menyapu ruang makan.
Tradisi berjalan dalam vihara-vihara yang para bhikkhunya memakan makanan dalam tempat sama tapi tidak dalam waktu sama. Tradisi zaman sekarang, para bhikkhu yang tinggal di vihara dalam kota, memakan makanan pada tempat yang berbeda-beda, tetapi dalam waktu yang sama, sedangkan para bhikkhu yang tinggal di vihara di dalam hutan, memakan makanan di tempat yang sama dalam waktu yang sama.
7. Seorang bhikkhu yang akan menyantap makanannya harus bertingkah laku yang layak sesuai dengan tradisi, sebagai berikut
a. Jubah luar dan dalam harus dikenakan secara rapi sesuai dengan peraturan, baik sewaktu menerima makanan di dalam vihara maupun di rumah perumah tangga. Di dalam Atthakatha dikatakan bahwa apabila seorang bhikkhu pergi ke suatu tempat di mana seorang donor memberikan makanan, walaupun hal itu terjadi di vihara, ia harus menutup kedua belah bahunya, tetapi pada zaman sekarang di dalam vihara, semua bhikkhu membuka satu bahu.
b. Ia harus tahu asana mana yang pantas baginya untuk duduk. Apabila berada di tempat pemberian makanan, ia harus duduk dalam barisan tempat duduk, ia tidak boleh berdesakan dengan para Thera. Apabila di sana terdapat banyak tempat duduk, ia harus membebaskan (mengosongkan) satu atau dua tempat duduk antara dirinya sendiri dan para Thera. Ia tidak boleh duduk pada asana-asana yang digelar untuk para bhikkhu yang telah ditentukan, tetapi ia harus bertanya kepada para Thera untuk diperkenankan duduk. Dia tidak perlu mencegah para bhikkhu yang memiliki vassa yang lebih rendah untuk menggunakan tempat-tempat duduk pada akhir dari deretan itu, sebab yang tersebut belakangan itu tidak akan kebagian tempat duduk yang lain lagi.
c. Apabila seorang donor menawarkan makanan dan minum, seorang bhikkhu harus menerimanya dengan senang hati. Apabila orang itu tidak memberikan makanan untuk masing-masing bhikkhu secara individu tetapi memberikannya kepada bhikkhu dalam suatu panci yang besar agar mereka masing-masing mengambil sendiri, atau apabila donor itu membagi-bagikan makanan dengan harapan cukup bagi semua bhikkhu, jika sedikit dan kelihatannya tidak cukup, maka para bhikkhu harus mengambil bergiliran, ada yang menerima dan ada yang tidak kebagian.
d. Di dalam ruang makan yang kecil sehingga semua bhikkhu dalam ruangan itu dapat terlihat, bhikkhu senior tidak boleh mulai makan sebelum semua bhikkhu menerima makanan mereka. Apabila dalam ruang makan itu terdapat banyak bhikkhu dan sanghathera tidak dapat melihat kesemuanya, atau apabila tidak mungkin untuk menunggu lebih lama lagi karena waktu makan sudah harus dijalani, maka ia dapat memulai makan.
c. Para bhikkhu harus makan dengan cara-cara yang baik sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah digariskan dalam. Bagian tentang Makanan dari sekhiyavatta.
f. Para bhikkhu harus menyelesaikan makan pada waktu yang sama. Dikatakan di dalam vinaya bahwa sanghathera tidak boleh menerima air untuk cuci tangan apabila para bhikkhu lain belum. selesai makan. Zaman sekarang, pengganti dari menerima air pembasuh, ia tidak berkumur-kumur maupun atau mencuci tangan.
g. Orang harus berhati-hati jangan sampai air cuci mulut dan air pencuci tangan memerciki bhikkhu lain yang duduk di dekatnya, atau juga jangan sampai membasahi jubahnya sendiri.
h. Para bhikkhu harus membacakan anumodana gatha apabila mereka telah selesai santap makanan yang diberikan oleh donator. Di dalam tradisi kuno adalah menjadi tugas dari sanghathera untuk membacakan anumodana yang sama seperti zaman sekarang ini. Empat atau lima, bhikkhu duduk bersebelahan dengan sanghathera menemaninya, sementara sisanya (bhikkhu-bhikkhu lain ) kembali lebih dahulu. Thera dapat menunjukkan bhikkhu lain untuk membacakan anumodana. Pada zaman sekarang para bhikkhu membacakan anumodana bersama-sama. Kadangkala seorang bhikkhu dapat memberikan khotbah pendek yang isinya menekankan pada, anumodanna.
i. Apabila meninggalkan tempat makan itu, para bhikkhu tidak boleh berdesak-desakan. Apabila ruangan makan sempit, bhikkhu yang duduknya paling ujung dari barisan harus keluar lebih dahulu walaupun bertentangan dengan kebiasaan susunan vassa, maka ia berdiri menunggu di luar sampai sanghathera keluar. Apabila ruang makan luas, mereka harus meninggalkan ruangan dengan sanghathera, terlebih dahulu dan di ikuti oleh bhikkhu-bhikkhu lainnya sesuai dengan peringkatnya.
j. Adalah larangan untuk melemparkan air bekas mencuci tangan yang masih ada sisa nasi pada waktu mereka masih berada di dalam rumah. Sisa-sisa makanan juga tidak boleh dibuang.
8. Kaki sebuah pohon adalah senasana asli bagi para bhikkhu, tetapi waktu musim hujan para bhikkhu harus mencari tempat yang dapat melindungi mereka dari curahan hujan, baik tempat berlindung yang dibuat manusia atau alami. Tempat tinggal biasanya dibuat manusia dan rumah-rumah dengan berbagai jenis corak semuanya dapat digunakan kecuali bila seluruhnya terbuat dari tanah liat, baik dibakar maupun tidak dibakar. Ada larangan untuk bhikkhu tinggal di dalam sebuah bejana dan ini mungkin mempunyai arti sebuah kuti terbuat dari tanah liat yang dibakar. Dari benda-benda yang alami itu, hanya gua di kaki atau di lereng gunung dapat dipakai sebagai tempat tinggal. Sebuah lobang di dalam pohon tidak boleh dipakai untuk tujuan ini.
Dalam tempat tinggal Sangha, semua bhikkhu mempunyai hak untuk tinggal terkecuali mereka berbuat salah terhadap Dhamma dan vinaya, dan diusir dari vihara tersebut. Sangha menunjuk seorang pembagi tempat tinggal (kuti) yang disebut senasana-gahapaka.
Para bhikkhu tidak dibolehkan untuk memiliki atau memanfaatkan senasana bagi dirinya sendiri. Distribusi atau pembagian tempat tinggal atau kamar bagi para bhikkhu itu terjadi dua kali (dalam setahun), pada waktu vassavasa dan di luar vassavasa. Di dalam vassavasa seorang bhikkhu mengambil tempat tinggal dan mempunyai hak untuk tinggal di sana sepanjang vassavasa. Di luar vassavasa, pembagian tempat tinggal dapat memindahkan para bhikkhu dari satu tempat tinggal ke tempat tinggal yang lain bhikkhu-bhikkhu tersebut dapat memperoleh tempat tinggal yang saling cocok bagi mereka. Pada waktu semacam itu mereka dilarang memberikan alasan apa pun menolak untuk pindah.
Dijelaskan dalam vinaya bahwa seorang bhikkhu dilarang untuk menguasai bagi dirinya sendiri sebuah tempat tinggal atau kamar dari sangha, dengan menganggap tempat itu adalah miliknya sendiri sepanjang waktu. Demikian juga seorang bhikkhu yang sakit, tidak layak menuntut sebuah tempat tinggal untuk dirinya sendiri.
Bhikkhu senasana-gahapaka harus tahu bhikkhu yang harus pindah dan yang tidak boleh. Senasana-gahapaka tidak boleh:
memindahkan bhikkhu senior agar tempatnya dapat diberikan kepada bhikkhu yunior;
memindahkan bhikkhu yang sedang sakit, kecuali bhikkhu tersebut mengidap penyakit menular, seperti sakit lepra, atau suatu penyakit yang mengotori kamar seperti diaree. Senasana-gahapaka harus mengatur tempat tinggal lain untuk mereka yang terpisah; memindahkan seorang bhikkhu penjaga gudang karena tugasnya untuk merawat tempat penyimpanan barang-barang milik sangha.
memindahkan seorang bhikkhu yang sangat terpelajar atau pandai dan yang menjadi pembantu umum dari semua bhikkhu, memberi nasihat dalam attha dan Dhamma.
memindahkan seorang bhikkhu yang menempati kuti yang telah diperbaikinya. Kuti tersebut telah lama sekali rusak dan dia berhasil memperbaikinya dan dapat mengembalikan fungsi kuti tersebut dalam keadaan baik, haruslah tidak dipindahkan karena ia adalah seorang yang rajin dan karenanya harus diperkenankan untuk tetap tinggal di situ. Hal ini berarti ia tidak dipindahkan dari kuti yang baik ke kuti yang jelek. Seorang bhikkhu tidak boleh memiliki dua tempat tinggal.
Seorang Yang menghuni sebuah kuti Sangha harus merawat dan menjaganya sebagai berikut:
a. Dia tidak boleh mengotorinya.
Dalam vinaya dijelaskan bahwa bhikkhu dilarang untuk meludah di lantai yang telah disiapkan (seperti lantai yang terbuat dari plester, atau lantai kayu yang diperhalus dan digosok). Dilarang juga berjalan di atas lantai seperti itu sementara masih memakai sandal.
Bhikkhu dilarang berjalan di atas lantai tersebut apabila kakinya kotor atau bila sudah dicuci namun masih basah. Ia harus mengeringkannya lebih dahulu untuk mencegah adanya jejak kaki di lantai.
Bhikkhu dilarang bersandar pada tembok yang telah dipersiapkan (diplester, dicat, diwarnai dengan berbagai gambar atau diberikan finishing touch dengan berbagai cara). Demikian jaga, ia, tidak boleh bersandar pada tiang, panel pintu, panel jendela, atau sandaran punggung.
Bangku atau ranjang milik sangha tidak boleh diduduki atau ditiduri oleh seorang bhikkhu dengan badan telanjang, karena benda-benda itu akan menjadi asam baunya oleh keringat orang. Ia harus menggunakan selembar kain untuk mengalasi benda-benda sebelum duduk atau tidur di atasnya.
Sang Buddha memperkenankan untuk memiliki berbagai alat-alat kebutuha.1 pribadi seperti kain untuk alas ranjang dan alas duduk untuk menyerap kotoran badan. Demikian juga kasur atau bantal. Walaupun mereka dimaksudkan untuk dipakai tidur, seorang bhikkhu tidak boleh tidur di atasnya (tanpa alas kain). Kasur harus mempunyai kain alas sedangkan bantal harus mempunyai sarung bantal. Tidak pantas bagi seorang bhikkhu tidur di atasnya tanpa alas kain. Kain yang dipakai untuk duduk tidak boleh untuk tidur atau tidak boleh ditiduri, sedangkan kain seprei serta sarung bantal yang dimaksudkan untuk menampung kotoran badan, dapat diduduki.
Atthakatha Acariya sangat teliti dalam menjelaskan hal ini. Apabila seorang bhikkhu tidur di atas ranjang atau balai (yang tidak dilapisi dengan kain ), ia harus menerima apatti sesuai dengan jumlah rambut yang telah menyentuh ranjang. Beruntunglah karena Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu boleh mengaku lebih dari satu appatti secara kolektif dengan mengatakan "sambahula". Aka tidak, bayangkan apabila orang harus menghitung berbagai kesalahannya dan mengakui kesalahannya itu satu per satu.
Para bhikkhu melapisi kasur dan bantal sebelum tidur di atasnya agar benda-benda tersebut dapat dipakai untuk waktu lama. Orang-orang biasa, dalam cara yang sama, membentangkan seprei di atas ranjang dan bantal diberi sarung demi melindungi benda miliknya itu. Orang-orang kayapun melindungi benda miliknya walaupun sebenarnya ia bisa, menggantikan setiap bulan sekali. Apabila tidak melindungi benda-benda itu, hal itu adalah pemborosan dan tidak selayaknya berbuat demikian.
b. Ia harus membereskan tempat tinggalnya, tidak boleh dibiarkan begitu saja, sehingga penuh dengan sarang laba-laba, kotoran dan debu.
c. Seorang bhikkhu harus berhati-hati untuk tidak merusaknya, misalnya mengangkat ranjang atau bangku dan lain-lain masuk atau keluar kuti. Ia tidak boleh membenturkannya pada kusen pintu atau penyekat. Ia harus menempatkan barang sesuatu di bawah kaki ranjang atau bangku apabila menurunkannya di atas lantai yang tidak selesai dikerjakan agar jangan sampai merusak lantai tersebut.
d. Seorang bhikkhu harus menjaga kebersihan dan kerapian barang-barang lain di tempat tinggalnya, mulai dari ranjang atau balai sampai tempat ludah.
c. Ia harus mempersiapkan air minum dan air yang akan digunakan untuk keperluan lain.
f. Benda-benda yang ada di dalam kamar tidak boleh untuk lain kamar sehingga mereka tidak berserakan. Barang untuk satu tempat dan hanya boleh dipakai di tempat itu saja. Meskipun demikian, para bhikkhu dapat meminjam sementara dan kemudian mengembalikannya, atau apabila di sana tidak ada bhikkhu yang tinggal dan barang tersebut bisa hilang atau rusak karena digigit binatang atau serangga, maka dalam hal ini senasana-gahapaka untuk meminjamkan ke tempat lain.
9. Di tempat yang banyak penghuninya yang masing-masing penghuni akan membuang hajadnya. Hal ini akan merupakan beban berat bagi orang yang diberi tugas untuk menyediakan tempat-tempat pembuangan hajad.
Setiap orang tidak dibolehkan membuang hajadnya di sembarang tempat, sebab apabila hal itu terjadi tempat tinggal itu menjadi kotor sekali. Oleh sebab itu, di tempat pembuangan hajad itu haruslah diatur dengan seksama dan rapi.
Tempat-tempat untuk buang air besar dan kecil juga disebutkan dalam Vinaya. Tempat-tempat seperti ini yang digunakan untuk umum harus dijaga kebersihannya oleh para bhikkhu sendiri. Sang Buddha menggariskan tugas-tugas yang harus dilaksanakan berkenaan dengan vacakutti (tempat pribadi):
a. Buang air besar dan kecil, mandi dibolehkan menurut susunan dari kedatangan para bhikkhu di sana. Hal ini dilakukan sesuai dengan susunan peringkat vassa.
b. Seorang bhikkhu harus mengendalikan dirinya. Walaupun ia dalam keadaan tergesa-gesa, seorang bhikkhu dilarang mendorong pintu cepat-cepat. Ia harus batuk dan berdehem, dan apabila di dalam ada bhikkhu lain, maka bhikkhu yang berada di dalam harus berbuat sama sebagai jawaban. Apabila tidak ada jawaban, ia harus mendorong perlahan-lahan pintu itu hingga terbuka. Ia tidak boleh masuk ataupun keluar dengan cepat-cepat tapi harus melakukan dengan lambat-lambat. Ia tidak boleh membuka antavasaka apabila sedang membuang air besar maupun sedang membersihkan.
c. Ia harus tahu cara untuk melindungi alat-alat keperluannya itu. Ia harus melepaskan civara dan menaruh di luar dan tidak boleh memasuki kamar kecil dengan memakai civaranya.
d. Ia harus tahu cara melindungi tubuhnya dengan tidak mengedan keras-keras pada waktu buang air, yang dapat merusak dirinya sendiri, terkecuali apabila ia sedang mengalami sembelit yang luar biasa. Ia tidak boleh menggunakan sepotong kayu untuk membersihkan diri yang dapat merusak tubuhnya, seperti kayu yang ada pecahan, tombolan, duri-duri atau yang telah membusuk. Ia harus memakai kayu yang halus dan kemudian dicuci dengan air.
e. Ia tidak boleh melakukan hal-hal dalam waktu yang sama. Dalam vinaya hal ini dikatakan tidak boleh mengunyah kayu gigi.
f. Ia harus berhati-hati agar tidak menjadi kotor, atau membuat lubang wc kotor, atau kencing di luar saluran yang telah ditentukan. Ia tidak boleh membuang dahak atau ingus dalam saluran air untuk kencing, atau di atas tanah. Kayu pembersih tidak boleh dibuang ke dalam lubang wc, tetapi harus dibuang ke dalam keranjang untuk tujuan ini. Apabila ia sudah selesai membersihkan dirinya setelah buang hajad, sisa air tidak boleh ditinggalkan di tempat air itu. Ini hanya berlaku apabila menggunakan tempat air untuk umum. Bila menggunakan bejana milik sendiri, hal ini tidak dilarang.
g. Ia harus membantu menjaga wc agar tetap bersih Apabila ia mengetahui bahwa wc itu dibuat kotor oleh orang lain, ia membantu membersihkannya. Apabila wc penuh sampah, ia membantu membuang sampah itu dan apabila air pembanjur dalam kamar kecil habis, ia mengambil air untuk mengisi lagi bejana itu.
Tempat kencing dijelaskan dalam Vinaya sebagai berikut:
Ia harus diatur di dalam suatu tempat yang dikelilingi dengan tembok batu bata atau batu dan harus ada pula pembatas dari kayu. Harus ada kayu tatakan kaki apabila berjongkok, dan di bawahnya harus ada bejana untuk mengumpulkan air kencing. Metode tentang bagaimana tugas ini harus dilakukan tidak dijelaskan. Di dalam vihara susunan tempat kencing semacam ini tidak ditemukan, tetapi bila tidak ada akan tercium bau pesing atau busuk dari air kencing yang dikeluarkan di sana. Oleh sebab itu, tempat-tempat kencing itu harus jauh dari tempat-tempat pertemuan, seperti dekat dengan ruangan Upasatha, ruang Dhamma, atau ruang untuk para pendukung. Tidak dilarang untuk kencing di mana saja jika jauh dari tempat-tempat tersebut.
Menempatkan bejana di bawah untuk menampung air kencing kiranya adalah untuk sementara saja, bukan secara permanen dipakainya seperti vaccakuti, tetapi membuang air kencing dan membuat tempat itu bersih bukanlah suatu pekerjaan berat. Bhikkhu yang mendapat giliran untuk membersihkan tempat-tempat pertemuan itu dapat dikerjakannya. Tidak terdapat uraian yang jelas tentang tugas berkenaan dengan tempat kencing itu.
10. Apabila ada seorang bhikkhu jatuh sakit, para bhikkhu yang menjadi teman se-Dhamma harus memiliki rasa untuk merawatnya., mereka tidak boleh mengabaikan tugas ini. Sang Buddha, yang prihatin terhadap bhikkhu yang sakit mengatakan:
"Para bhikkhu, kamu tidak mempunyai ibu maupun ayah, oleh sebab itu, apabila kamu tidak saling merawat, siapa lagi yang akan merawatmu? Apabila ada seorang bhikkhu berkeinginan untuk melayani diri-KU, maka biarkanlah para bhikkhu itu merawat bhikkhu yang sakit. Apabila ada upajjhaya, acariya, saddhiviharika atau antevasika yang sakit, biarkanlah bhikkhu merawatnya sampai ia sembuh kembali atau meninggal. Apabila tidak ada seorang bhikkhu pun, bhikkhu-bhikkhu lain dengan upajjhaya atau acariya yang sama harus merawatnya. Apabila bhikkhu yang sakit datang sendiri, biarkan Sangha merawatnya".
Butir terakhir ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sanghathera mengambil tugas merawat bhikkhu yang sakit sebagai tugas dari sangha dan menunjuk pada saat itu beberapa bhikkhu untuk merawat atau mengatur agar ada orang-orang yang merawat orang yang sakit. Di antara para bhikkhu itu ada yang pandai dalam hal merawat dan ada juga yang tidak pandai.
Apabila penyakit itu gawat haruslah memilih bhikkhu yang pandai yang memiliki kualitas sebagai berikut. Ia harus tabu bagaimana untuk meracik obat, ia tahu apa yang bakal mempergawat penyakit dan mana yang tidak, ia hanya membawa obat-obat kepada bhikkhu sakit yang tidak mempergawat keadaan bhikkhu yang sakit, ia adalah orang yang tidak merasa jijik terhadap kekotoran-kekotoran yang dihasilkan oleh penyakit itu, ia tidak kikir dan mempunyai rasa kasih sayang.
Seorang bhikkhu yang sakit mengetahui bahwa dirinya itu merupakan beban bagi saudaranya dalam Dhamma, karena itu ia harus merasa dirinya mudah dirawat dan dengan berbuat demikian, ia membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Dia tidak makan makanan berkelebihan yang dapat mempergawat atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan lain yang dapat mencegah pulihnya kesehatannya. Dia tahu tindakan-tindakan yang moderat yang tidak akan mempergawat penyakitnya. Dia tidak makan terlalu banyak disediakan untuknya. Dia minum obat dengan mudah dan menceritakan kondisi badannya pada orang yang merawatnya serta sabar dalam mengemban rasa sakitnya. Para samanera harus juga dirawat dengan cara yang sama seperti para bhikkhu.
Saudara-saudara dalam Dhamma, bhikkhu atau samanera, yang sakit dan tinggal jauh di tempat lain. Sekalipun sangat berjauhan dan pada waktu vassa, haruslah dirawat sesuai dengan perkenan Sang Buddha tentang sattaha (tujuh) malam meninggalkan vihara. Bhikkhu seperti itu yang pergi untuk melakukan perawatan itu mendapat pengecualian dari nissaya serta dari tugas-tugas lain.
Pada zaman sekarang sesuai dengan kemajuan zaman tugas merawat bhikkhu yang sakit telah diambil oleh Rumah Sakit, sehingga tugas bhikkhu merawat yang sakit menjadi lebih ringan, bahkan bebas sama sekali.
II Cariyavatta
Tugas yang berkenaan dengan perilaku.
Para bhikkhu dilarang menginjak kain putih yang digelar di tempat-tempat mereka diundang.
Telah diceritakan bahwa (putra mahkota) Bodhirajahakurama adalah mandul, tidak mempunyai anak laki-laki maupun perempuan. Ia mengundang Sang Buddha beserta Bhikkhu sangha untuk mengambil makanan. Setelah membentangkan kain putih di atas jalan, ia berkata:
"Apabila saya akan mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, biarlah Sang Guru menginjak kain putih ini, tetapi jika saya tidak akan memperoleh anak laki-laki dan perempuan, Sang Guru janganlah menginjak kain putih ini".
Sang Buddha tidak menginjak kain putih tersebut dan Beliau juga melarang para bhikkhu untuk tidak menginjakkan kaki-kaki mereka pula. Apakah hal itu bisa terjadi bahwa Sang Buddha tidak menginjak kain putih tersebut sehingga tidak akan mengotorinya?
Zaman sekarang kain putih dibentangkan untuk duduk para bhikkhu. Bhikkhu yang ceroboh akan menginjak kain putih itu sehingga meninggalkan bekas kaki yang mengotori pemandangan. Mereka tidak tahu bagaimana, melaksanakan perilaku para bhikkhu dan hal itu tercela. Bahkan para bhikkhu dalam kelompok yang sama yang duduk bersama akan merasa tidak enak.
Hasil dari tidak melaksanakan perilaku pada zaman sekarang ini dapat membantu kita untuk melihat dengan jelas sebab dari larangan tersebut. Oleh sebab itu, para bhikkhu harus berhati-hati untuk tidak menginjak kain putih yang digelar untuk tempat duduk. Kain yang digelar atau dibentangkan dalam upacara-upacara besar untuk berdiri dan kain untuk mengelap kaki sesudah mencucinya boleh diinjak tanpa larangan.
Apabila seorang bhikkhu yang tidak mempertimbangkan baik-baik sebelumnya, maka ia tidak boleh duduk di atas asana.
Hal ini dijelaskan sebagai berikut: Apabila seorang bhikkhu akan duduk di atas asana, ia tidak boleh dengan mendadak duduk di atasnya, sebab jika di atas asana itu diletakan sesuatu benda, maka ia akan menduduki benda itu, atau malah dapat memecahkan benda yang didudukinya itu. Apabila benda itu merupakan bejana air, airnya akan tumpah dan dapat dianggap sebagai yang bertingkah laku tidak baik. Dia harus terlebih dahulu melihat atau meraba dengan tangan sehingga ia tahu tidak ada sesuatu pun di bawah asana dan barulah dia duduk perlahan-lahan.
Adalah larangan untuk duduk di atas asana panjang dengan seorang wanita atau seorang yang berkelamin tidak normal. Ia dapat duduk di atas asana panjang dengan seseorang yang tidak sama derajatnya.
Benda-benda panjang dan dibuat untuk duduk dan yang dapat dipindah-pindahkan, seperti bangku panjang yang ditempatkan di bawah pohon rindang, atau yang ditaruh pada suatu tempat misalnya bangku dengan tiang-tiang yang dipancang di atas tanah atau sebuah batu tempat duduk yang dapat diduduki oleh tiga orang atau lebih dinamakan asana panjang. Seorang bhikkhu tidak pantas duduk di atas asana tersebut dengan seorang wanita atau orang yang mempunyai kelamin yang tidak normal, misalnya banci. "seseorang yang bukan sederajat mengandung" arti para bhikkhu yang yunior atau senior lebih dari tiga vassa. Semua bhikkhu yang samanasanika dapat duduk bersama-sama. Samanasanika, berarti 'mereka yang mempunyai peringkat yang sama dalam asana'. Dalam vinaya dijelaskan bahwa samanasanika itu adalah para bhikkhu yang mempunyai masa musim penghujan hampir sama dan tidak menjadi yunior atau senior yang lebih dari tiga Vassa.
Apabila para bhikkhu yunior sedang makan, seorang bhikkhu senior tidak boleh menyuruh mereka pergi atau pindah.
Hal ini dijelaskan sebagai berikut: Para bhikkhu sedang makan di dalam. ruang makan, pada saat itu datang seorang bhikkhu senior. Dia datang terlambat. Apabila dia memasuki ruang makan, para bhikkhu yunior harus pindah untuk memberikan asanna kepadanya sesuai susunan vassa. Dalam hal ini, bhikkhu senior tidak membolehkan para bhikkhu yunior itu pindah tempat dan harus membolehkan mereka meneruskan makan mereka. Bhikkhu senior yang datang terlambat itu harus duduk di tempat mana saja yang kosong sehingga tidak mengganggu yang lain-lain. Apabila Bhikkhu senior berkeras untuk tetap duduk di tempat yang layak sesuai dengan vassanya, maka bhikkhu yunior tersebut harus pindah untuk memberikan asanna sesuai dengan vassanya. Mereka tidak boleh menghalangi seorang bhikkhu yang lebih senior dari mereka sendiri.
Apabila seorang bhikkhu sedang istirahat pada tengah hari, ia harus menutup pintu.
Dalam hal ini Atthakatha-Acariya menjelaskan lebih daripada yang diperlukan tentang jenis pintu yang harus dan jenis yang tidak perlu ditutup. Secara singkat maksud mereka adalah, bahwa jenis pintu yang harus ditutup adalah pintu kamar, sedangkan pintu yang tidak harus ditutup adalah pintu yang rusak engselnya sehingga tidak dapat ditutup, atau pintu yang digunakan oleh banyak orang.
Tujuan menutup pintu hendaknya dipahami sebagai untuk istirahat di dalam kamar. Bila datang orang asing, maka mereka tidak dapat melihatnya sedang tidur. Apabila ia mengerti tentang hal ini, maka ia harus melatih sesuai dengan tujuan menutup pintu sebagai berikut: Orang harus mencari tempat pribadi, walaupun tidak ada daun pintu, atau kuncinya rusak sehingga tidak dapat ditutup, namun sesuatu masih harus digunakan untuk menutup pintu itu. Dikatakan bahwa tidak perlu menutup pintu di tempat-tempat yang juga dipakai oleh orang-orang lain. Hal ini dapat dilihat, umpama, pada waktu sedang sakit yang pada waktu itu ada teman yang bertindak sebagai juru rawatnya.
Adalah larangan untuk melempar keluar kotoran, air kencing, sisa-sisa atau sampah keluar tembok (atau kuti) atau melalui pagar luar atau tembok.
Apabila seorang bhikkhu berada dalam kuti dan ia melemparkan sisa-sisa makanan, sampah keluar melalui jendela dan menimpu orang lain, maka hal itu merupakan perbuatan yang buruk sekali. Apabila kuti itu tidak terletak di suatu tempat dekat jalan tempat orang hilir mudik dan bhikkhu itu melempar sampah-sampah keluar lewat jendela, maka daerah di sekitar kuti akan menjadi kotor.
Para bhikkhu harus melaksanakan latihan tersebut dengan sungguh-sungguh. Di samping itu dilarang untuk melemparkan atau membuang barang-barang seperti yang disebutkan di atas ke kebun sayur, di sawah atau ladang gandum atau ladang lain maupun tanaman. Pada zaman sekarang adalah juga dilarang untuk melempar benda-benda itu ke jalan raya atau halaman rumah.
Dilarang pergi melihat dan mendengar tarian-tarian, menyanyi dan main musik.
Apabila seorang bhikkhu pergi ke tempat tarian-tarian atau nyanyian atau semacam itu untuk suatu pekerjaan tanpa niat untuk mendengar atau melihatnya, kebetulan melihatnya pada waktu ia berada di sana, dia tidak melakukan apatti.
Apabila seorang bhikkhu berada dalam vihara dan di hadapannya ada drama dansa, walaupun ia melihat serta mendengarnya, ia tidak melakukan apatti. Zaman sekarang sudah barang tentu ia dilarang juga untuk perbuatan yang sama, menyetel alat-alat elektronik yang dapat mendatangkan hiburan semacam itu, yakni menyetel radio dan televisi.
Adalah larangan bagi seorang bhikkhu untuk membicarakan Dhamma dengan intonasi yang ditarik- amat panjang (seperti bernyanyi).
Khotbah Dhamma, atau membaca Dhamma dalam, gaya membaca yang sengaja ditarik panjang-panjang sehingga mengakibatkan salah mengucapkan kata-katanya itu, hendaknya tidak dilakukan. Berkhotbah atau menyanyikan syair-syair dengan metode intonasi yang dikenal sebagai sarabhanna, dapat dilakukan. Berkhotbah atau membaca paritta dengan gaya membuat lelucon atau menjadikan bahan tertawaan adalah salah dari segi samana. Semuanya dimasukkan ke dalam kelompok ini dan oleh karena itu dilarang.
Adalah larangan bagi seorang bhikkhu untuk mengerjakan hal-hal yang merupakan anamasa, yakni, hal-hal atau benda-benda yang tidak patut disentuh.
Mereka adalah sebagai berikut:
a. Wanita, bahan-bahan perlengkapan busananya, dan bahan-bahan yang mewakili wanita. Binatang-binatang yang berjenis kelamin betina termasuk yang boleh disentuh. Bahan busana atas dan bawah dari kaum wanita yang telah dibuang dan yang dapat dipakai untuk asana tidak termasuk anamasa ini.
b. Emas, perak, dan benda-benda berharga. Di dalam Atthakatha, disebutkan ada delapan jenis mutiara, kristal, lapis-lazuli, coral, rubi, topas (masaragalla), kerang laut, dan (semi berharga) batu-batu.
Dengan memasukkan emas dan perak ke dalam daftar ini membuatnya menjadi 10 macam benda-benda berharga. Berlian tidak dimasukkan ke dalam daftar ini, tetapi berlian juga benda berharga. Karang laut harus dipahami sebagai yang didekoresi dengan emas atau batu permata untuk tempat minyak di dalam tradisi brahmana, atau kerang yang dipakai untuk ditiup. Ia adalah sekedar hanya kerang biasa. Sedangkan batu-batu yang disebut di atas, mereka haruslah batu alam (bukan batu buatan) tetapi yang sangat berharga, seperti jade dan onyx (batu akik). Kiranya batu-batu tersebut telah dipakai sebagai perhiasan sudah sejak zaman dahulu, seperti gelang batu jade (giok) dari orang-orang Cina, atau manik-manik terbuat dari batu merah yang dilapisi dengan emas yang penggunaannya barangkali sesudah batu giok itu. Maka dari itu, hal ini tidak menunjuk kepada batu-batu biasa.
c. Berbagai macam alat senjata yang berbahaya bagi kehidupan dan bagi badan jasmani. Peralatan untuk kerja, seperti umpama kapak dan lain-lain tidak termasuk dalam hal ini.
d. Peralatan untuk menjerat binatang-binatang, baik di darat maupun di dalam air.
e. Semua jenis alat musik.
f. Biji beras dan buah-buahan di tempat-tempat di mana mereka dihasilkan (mereka masih berada di pohonnya).
Larangan untuk menangani benda-benda tersebut yang merupakan nanamasa bukan langsung datang dari vinaya. Atthakatha-Acariya membandingkan di dalam vininatthu hal-hal yang ditetapkan sebagai apatti, atau di tempat-tempat lain mereka membentuk tradisi, tetapi bagaimanapun juga hal itu sudah selayaknya. Umpama saja, seorang bhikkhu yang berpantang melakukan pembunuhan tetapi menggunakan senjata-senjata atau alat-alat untuk membunuh atau alat-alat menjerat mereka, tampaknya sangat jelek atau seorang bhikkhu yang berpantang memainkan alat-alat musik, tetapi menggunakannya, juga tampak jelek. Oleh sebab itu, benda-benda ini dinamakan anamasa dan selamanya tidak pernah patut untuk bhikkhu sejak permulaannya.
III. Vidhivatta
Tugas-tugas yang harus dikerjakan secara metodik.
Cara mengenakan jubah yang dipakai pada zaman sekarang adalah seperti berikut: antaravasaka dikenakan dengan cara menggulung pinggirannya masuk ke dalam menuju ke sisi kiri (berlawanan dengan jarum jam) dan kemudian mendorong ujung bagian atas menuju ke pusar tanpa mengambil tepi tepinya dan mengikat mereka. Kain bagian bawah harus menutup lutut-lutut, menggelantung kurang lebih hingga batas separuh betis. Ia tidak boleh dikenakan terlalu panjang sehingga dapat mengganggu betis apabila berjalan. Seorang bhikkhu harus mengenakan ikat pinggang bila memasuki ruang rapat, keluar dari Vihara, atau keluar dari tempat tinggalnya.
Uttarasanga dipakai dengan menggulungnya masuk ke dalam menuju ke sebelah kiri sama seperti halnya (dengan anataravasaka). Di dalam vihara atau di dalam tempat tinggal ia harus dikenakan dengan menutupi pundak kiri, pundak sebelah kanan tetap terbuka. Di luar vihara tempat tinggal bhikkhu itu, dia harus menutup kedua bahu, membuka "gulungan loofah" dan menjulurkan tangan kanan keluar melalui ujung-ujung dari jubah yang terbagi dua itu dan kemudian mengikatkan tali temali serta simpul-simpulnya.
Dikatakan dalam vinaya mengenai sanghati bahwa ia harus dipakai di atas uttarasanga apabila pergi ke daerah yang berpenduduk, tetapi apabila berada di dalam vihara, sekalipun pada waktu sedang melakukan uposatha-sanghakamma, tidaklah disebutkan sama sekali. Di Thailand sanghati ditaruh (terlipat) di atas utarasanga pada bahu sebelah kiri.
Mangkok disimpan di bawah tempat tidur atau bangku. Metode untuk mengambil mangkok itu adalah mengambilnya dengan satu tangan dari bawah tempat tidur (atau bangku) dan kemudian dibawa pergi.
Berkenaan dengan cara berjalan, para bhikkhu dinasihatkan berjalan satu persatu sesuai dengan peringkat vassa dengan celah antara bhikkhu yang cukup lebar agar orang dapat lewat di antara sela-sela itu. Apabila terdapat banyak bhikkhu dan barisan sangat panjang dan para bhikkhu berharap agar dapat berjalan lebih berdekatan daripada semestinya, mereka harus membagi menjadi kelompok-kelompok masing-masing dengan sela-antara untuk orang dapat lewat di antaranya. Apabila hal ini tidak dilakukan, orang-orang lain dapat terganggu.
Apabila seorang bhikkhu akan melakukan Vinayakamma, ia harus memakai uttarasanga menutupi bahu kiri dan kemudian jongkok merangkapkan kedua belah tangan sikap menghormat, seperti halnya tugas mengaku apatti, pavarana dan lain sebagainya.
Tugas-tugas yang harus dilakukan secara metodis itu tidak memiliki pola tertentu dan berubah-ubah menurut waktu dan tempat. Mereka itu dimasukkan di sini demi untuk sekelompok bhikkhu mengetahui bahwa mereka itu diharuskan bertingkah laku yang sama dan perlu untuk melakukan perbuatan dalam gaya yang sama, seperti cara yang sama mengenakan jubah. Ini dilakukan di zaman dulu, dan apabila pola melakukan hal-hal ini sudah kuno dan tidak lagi dapat dipraktekkan, maka cara lain harus menggantinya. Tetapi apabila hal ini tidak dipraktekan, maka cara lain harus menggantinya. Metode-metode ini akan hilang satu demi satu sehingga tidak tersisa lagi.