Jumat, 19 September 2014

PEMIMPIN MENURUT PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA

Baru baru ini kita dihadapkan dengan pemilihan calon-calon pemimpin bangsa pada pemilu legislatif, yang duduk di kursi dewan tingkat provinsi, kabupaten serta pemilihan presiden. Dari masing2 calon memiliki karakter memimpin beraneka ragam. Ada yang berkarakter otoriter, ceplas ceplos, merakyat (atau yang sekarang kita kenal dengan istilah blusukan). Kita semua tahu bahwa dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin memegang peranan besar.

Di zaman modern seperti ini, peran seorang pemimpin menjadi lebih penting dan menjadi kunci suatu keberhasilan. Apabila seorang pemimpin keluarga tidak mampu memimpin dengan baik, keluarga akan tidak harmonis. Apabila seorang pemimpin negara tidak arif dalam memimpin, suatu pemerintahan akan menjadi kacau dan terjadi ketidaktenangan dalam kehidupan bernegara. Pun, apabila pemimpin spiritual atau suatu agama tidak bersikap bijak dalam menyebarkan ajarannya, maka yang terjadi adalah umat yang penuh dengan kefanatikan dan anarkis. 

Mengetahui betapa pentingnya seorang pemimpin, tentu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana ciri atau karakter pemimpin yang baik menurut Ajaran Buddha? Hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin dalam perspektif Buddhis?

Bapak ibu yang saya hormati, tentunya kita patut berbangga karena guru kita Sang Buddha Gautama adalah salah satu pemimpin terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Sejak kecil pangeran Sidharta sudah memilikik karakteristik untuk menjadi pemimpin, hal itu disampaikan oleh para peramal2 terbaik kala itu. Dikatakan andaikata pangeran Sidharta menjadi raja menggantikan ayahnya raja Sudhodana maka pangeran Sidharta akan menjadi raja dunia dan jika pangeran Sidharta menjadi seorang pertapa maka akan menjadi seorang Buddha.

Apa yang disampaikan peramal itu terbukti setelah pangeran Sidharta menjalani hidup sebagai pertapa, beliau bertapa menyiksa diri selama 6 tahun akhirnya beliau menjadi seorang Buddha  yang memiliki banyak pengikut tidak hanya para bhikkhu dan bhikkhuni juga para perumah tangga.

Kepemimpinan Sang Buddha juga terlihat takkala Beliau menyelesaikan konflik yang terjadi pada Suku Sakya dan Suku Koliya. Kedua suku tersebut hampir berperang karena berebut air. Kedua suku tersebut dipisahkan oleh sungai Rohini. Biasanya kedua suku tersebut menggunakan air dari sungai tersebut secara bersama-sama mengairi sawah masing-masing.

Pada suatu musim kemarau, air sungai tersebut berkurang dan membuat hasil panen berkurang. Kemudian, orang-orang dari Suku Koliya mulai mengatakan bahwa air sungai tidak cukup untuk dibagi berdua sehingga mereka yang akan memakai air sungai tersebut sedangkan suku Sakya tidak boleh menggunakannya. Timbullah pertengkaran, caci-maki dan saling menghujat. Lantas yang terjadi adalah sama-sama saling berebut air. Beberapa orang mulai melakukan kekerasan dan memukul suku lainnya sehingga pada akhirnya kedua suku menyiapkan pasukan hendak berperang.

Ketika Sang Buddha datang, Beliau bertanya kepada kedua pemimpin masing-masing suku tersebut. Kedua pemimpin malah tidak mengetahui kenapa sebabnya. Selidik-menyidik, Sang Buddha bertanya langsung kepada warga pekerja dan kemudian dikatakan penyebabnya adalah karena berebut air. Kemudian, dengan kebijaksanaan dan cinta Beliau kepada setiap orang, Beliau bertanya kepada raja masing-masing suku berapakah harga air. Dijawablah bahwa harga air hampir tiada artinya. Lalu, Sang Buddha bertanya, “Berapakah nilai kehidupan rakyat anda?”. Sang Raja menjawab, “tentu saja harga nyawa tiada ternilai harganya.” Kemudian, Sang Buddha Bersabda, “Baiklah kalau begitu. Apakah tepat bahwa untuk air yang hampir tiada artinya, anda akan menghancurkan banyak kehidupan yang harganya tidak ternilai?”


Pada jaman Sang Buddha,  juga seperti sekarang ini, banyak pemimpin yg memerintah negaranya secara tidak adil.
Rakyat ditekan dan ditindas, disakiti, dan diburu-buru, pajak dipertinggi, korupsi merajalela dan hukuman-hukuman tak berperikemanusiaan dijalankan. Dalam Dhammapada Atthakatha ditulis bahwa sang Buddha mencurahkan perhatian-Nya kepada persoalan pemerintahan yang baik. Beliau menunjukkan bagaimana rakyat sebuah negara bisa korupsi dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan dan pejabatnya melakukan kecurangan dan ketidakadilan.

Agar rakyat mejadi bahagia, haruslah memiliki pemimpin yang baik, adil, jujur dan bersih. Bagaimana membentuk pemimpin yang demikian ini diterangkan secara detail dalam ajaranNya tentang "Sepuluh Sifat Luhur Raja" atau "Sepuluh Kewajiban Seorang Raja" atau
"Dasa Raja Dhamma" ( Kitab Jataka ). Tentu istilah raja sekarang ini dapat diganti dengan istilah pimpinan secara umum.
Dasa raja dhamma
1.     Dana (suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah).
Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi kepentingan rakyat.
2.     Sila (moralitas yang tinggi)
Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri, korupsi, melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum minuman keras.
3.     Pariccaga (mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat)
Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan keagungan, sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat.
4.     Ajjava (jujur dan bersih)
Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan jangan sekali-sekali menipu rakyat.
5.     Maddava (ramah tamah dan sopan santun)
Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah terhadap siapapun.
6.     Tapa (sederhana dalam penghidupan)
Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan yang berlebih-lebihan.
7.     Akkodha (bebas dari kebencian, keinginan jahat dan sikap bermusuhan)
Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapa pun juga.
8.     Avihimsa (tanpa kekerasan)
Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia harus pula memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan dan semua hal yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup.
9.     Khanti (sabar, rendah hati, dapat memaafkan kesalahan orang lain)
Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan-ejekan dengan hati yang sabar, penuh pengertian dan dapat memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya.
10.   Avirodha (tidak menentang, tidak menghalang-halangi)
Ini berarti bahwa ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh menghalang-halangi usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain, ia harus hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.

Kesepuluh syarat di atas, sebagian besar berisikan pengendalian diri sendiri. Sang Buddha mengajarkan cara menguasai diri sendiri sebagai dasar agar dapat menjadi pemimpin yang baik, bukan cara menguasai atau memaksa orang lain yang dipimpin. Seni kepemimpinan Buddhis adalah seni memimpin diri sendiri baru kemudian orang lain. Karena keteladanan adalah cara yang paling ampuh dalam memimpin sekelompok orang atau organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar