Selasa, 21 Februari 2012

ANAGARIYA VINAYA


1. Upasampada.

Anagariya adalah Vinaya untuk pabbajjita yang terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri. Berbeda dengan Agariya Vinaya yang membawa kebahagiaan duniawi; usia panjang (ayu), keindahan (vanno), kebahagiaan (sukha), dan kekuatan (bala), Anagariya Vinaya untuk meningkatkan dan memantapkan kehidupan spiritual guna melenyapkan ikatan-ikatan duniawi sehingga manusia terbebas dari samsara.

Mereka yang akan menjadi umat Buddha, baik sebagai gharavasa maupun sebagai pabbajjita, pada dasarnya harus dengan secara sadar menyatakan "Pergi perlindung kepada Triratna (Tisaranagamana)".

Pernyataan Tisaranagamana untuk menjadi gharavasa, upasaka maupun upasika, dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu:

a. Mengucapkan Tisarana sendiri tanpa minta disaksikan oleh orang lain sewaktu mengucapkan Tisaranagamana.
b. Mengucapkan Tisarana dengan minta seorang bhikkhu/Sangha sebagai saksi sewaktu mengucapkan Tisaranagamana. Dalam upacara wisuda upasaka/upasika, ia berkata: Agar bhante/Bhikkhu Sangha mengingatkan saya, bahwa mulai saat ini hingga akhir hayat saya telah berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha.

Untuk menjadi pabbajjita, bhikkhu atau bhikkhuni, orang tidak dapat dengan dua cara seperti gharavasa tersebut di atas. Seseorang tidak dapat menjadi bhikkhu, bhikhuni, samanera atau samaneri dengan hanya mengucapkan Tisarana atau minta Sangha mengingatkan dia, bahwa mulai saat ini dan seterusnya ia telah menjadi seorang bhikkhu, bhikkhuni, samanera atau samaneri.

Untuk menjadi seorang bhikkhu/bhikkhuni, orang menjalani upacara pentahbisan menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha yang terdapat dalam Vinaya Pitaka. Upacara pentahbisan ini untuk seorang bhikkhu atau bhikkhuni disebut Upasampada dan untuk seorang samanera atau samaneri disebut Pabbajja. 
Dalam sejarah pentahbisan untuk menjadi seorang bhikkhu telah terjadi beberapa cara upasampada, yaitu:


a. Ehi Bhikkhu Upasampada

Pentahbisan bhikkhu dengan cara ini hanya dilakukan oleh Sang Buddha sendiri dengan menyatakan:

"Ehi bhikkhu, svakato dhammo cara brahmacariyam samma dukkhassa antakiriyayati, artinya:

"Marilah bhikkhu, Dhamma telah diajarkan dengan sempurna, jalanilah cara hidup suci untuk mengakhiri semua dukkha" (Vinaya Pitaka I, 12).

Demikianlah cara pentahbisan yang dilakukan oleh Sang Buddha sejak Beliau menahbiskan lima orang siswa pertama-Nya.
b. Tisaranagamana Upasampada
Setelah Sangha berkembang, Sang Buddha memberikan wewenang kepada seorang bhikkhu sebagai Upajjhaya (Pentahbis) untuk melakukan Tisaranagamana Upasampada. Menurut metode Tisaranagamana Upasampada, seorang calon sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu harus mencukur rambutnya dan menyediakan jubah dan patta terlebih dahulu. Setelah itu dia menirukan kata-kata Upajjhaya "Kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha aku pergi berlindung" (Vinaya I, 21).

Tisaranagamana Upasampada diperkenankan pertama kali dilakukan oleh 60 Arahat pertama yang ditugaskan oleh Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma ke segala penjuru. Wewenang ini diberikan karena tidak mudah untuk membawa seorang calon bhikkhu dari tempat jauh untuk ditahbiskan sendiri oleh Sang Buddha.
c. Naticatutthakamma Upasampada
Perkembangan selanjutnya banyak terdapat bhikkhu yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda pula. Kemudian dengan tujuan untuk meletakkan suatu dasar yang kokoh bagi agama Buddha dan demi manfaat orang banyak, Sang Buddha kemudian mengizinkan Sangha mempunyai kekuasaan untuk mengontrol Sangha.
Yang dimaksud dengan "Sangha" di sini bukan berarti pribadi para bhikkhu sebagaimana dipahami oleh masyarakat umum, melainkan banyak bhikkhu yang berkumpul untuk melaksanakan tugas atau tindakan. Inilah yang disebut Sangha.
Jumlah para bhikkhu yang diperlukan untuk suatu Sangha ditentukan oleh fungsi-fungsi mereka. Sebagian besar fungsi memerlukan suatu Sangha yang terdiri dari empat orang bhikkhu (catuvagga), tetapi beberapa fungsi memerlukan Sangha yang terdiri atas lima (pancavagga), sepuluh (dasavagga) atau 20 bhikkhu (visativagga). Setelah sampai pada perkembangan ini, maka upasampada menjadi salah satu fungsi yang dilakukan oleh Sangha.

Pada masa itu Sang Buddha sendiri tidak lagi memberikan upasampada, dan juga memerintahkan para siswa-Nya untuk memberikan penahbisan dengan cara "Tisaranagamana Umpasampada". Sebagai gantinya, Beliau mengizinkan Sangha untuk memberikan pentahbisan dengan cara natticatutthakamma Upasampada, yang maksudnya "para bhikkhu berkumpul sesuai dengan jumlah anggota yang diperlukan dalam satu tempat yang telah ditentukan batas-batasnya yang disebut Sima".

Cara Natticatutthakamma upasampada harus memenuhi empat syarat untuk sahnya menjadi bhikkhu, yaitu:

1. Vatthu-sampatti (kesempumaan calon)
Seorang calon harus memenuhi syarat antara lain, manusia berumur paling kurang 20 tahun, tidak cacat tubuh yang dapat menghalangi ia menjalani kebhikkhuan, tidak cacat tubuh yang menjadi bahan tertawaan, tidak dikebiri, tidak banci, tidak mengindap penyakit menular; tidak dikenai sebagai kriminal berat, tidak punya utang, pelarian dari militer atau penjara.

2. Parisa-sampatti (kesempurnaan Sangha).
Sangha yang menerima seseorang untuk menjadi bhikkhu harus terdiri dari paling kurang lima bhikkhu. Salah seorang bertindak sebagai upajjhaya.

3. Sima-sampatti (kesempurnaan Sima)
Upasampada harus dilakukan dalam Sima. Sima adalah daerah yang mempunyai batas tertentu yang ditetapkan oleh Vinaya. Bhikkhu yang tidak terlibat dalam upasampada tidak boleh berada dalam Sima dalam jarak lebih dari satu hasta dari bhikkhu-bhikkhu lainnya. Bila ketentuan ini dilanggar maka Upasampada itu tidak sah dan batal.

4. Kammavaca-sampatti (kesempurnaan Pernyataan)
a. Natti-sampatti (kesempurnaan Pengusulan)
b. Anusavana-sampatti (kesempurnaan Pengumuman)

Seorang calon bhikkhu harus diusulkan oleh seorang bhikkhu yang disebut upajjhaya. Seorang upajjhaya haruslah seorang bhikkhu senior yang kompeten dan mampu untuk memenuhi kebutuhan bhikkhu (parikkhara) dan membimbing seorang bhikkhu baru dalam menjalani kebhikkhuan. Demikianlah yang disebut Natti-sampatti.

Setelah Sangha memeriksa calon bhikkhu dan ternyata memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam vinaya, maka diumumkan bahwa calon diterima menjadi bhikkhu tanpa ada yang keberatan. 

Demikianlah yang disebut Anusavana-sampatti. Bila tidak dilakukan Anusavana-sampatti, upaumpada itu belum syah.

Metode Natticatutthakamma Upasampada tetap dilakukan sampai sekarang (Vinaya I, 56). Metode Tisaranagamana Upasampada, yang sudah tidak dipakai lagi untuk pentahbisan bhikkhu, kemudian digunakan untuk menahbiskan bhikkhu, kemudian digunakan untuk menahbiskan pemuda berusia di bawah 20 tahun, tetapi berusia di atas tujuh tahun. Pemuda yang ditahbiskan dengan cara ini disebut samanera.

Pentahbisan seorang samanera dilakukan oleh seorang bhikkhu senior (Thera) yang memiliki pengertian yang cukup tentang Dhamma-Vinaya. Dengan munculnya samanera ada dua macam pentahbisan, yaitu: upasampada untuk menjadi bhikkhu dan pabbajja untuk menjadi samanera.

Namun, sebelum seseorang dapat menjalani upasampada, ia harus menjalani pabbajja terlebih dahulu. Cara ini, yang merupakan gabungan tetap dilaksanakan sampai sekarang.

Setelah beberapa lama, kemudian wanita diperkenankan ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Bhikkhuni yang pertama adalah Ratu Maha Pajapati, bibi dan juga ibu tiri Pangeran Siddharta.

Ratu Maha Pajapati bersama 500 wanita lainnya yang suami mereka telah menjadi bhikkhu mohon kepada Sang Buddha untuk dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Permohonan ini ditolak oleh Sang Buddha sampai tiga kali. Penolakan ini tidak menyebabkan mereka berputus asa.

Kemudian sewaktu Sang Buddha pergi ke Vaisali, yang berjarak 200-300 km dari Kapilawastu, ratu Maha Pajapati beserta 500 wanita itu yang telah mencukur rambut dan memakai jubah mengikuti perjalanan Sang Buddha dengan berjalan kaki ke Vaisali.

Akhirnya, melalui Ananda, Sang Buddha memperkenankan mereka menjadi bhikkhuni. apabila mereka bersedia menerima delapan persyaratan yang keras (Garudhamma), yaitu:
1. Seorang bhikkhuni, meskipun sudah ditahbiskan selama seratus tahun, harus menyambut dengan sopan, berdiri dari tempatnya, memberi hormat dengan kedua tangannya dirangkapkan di dada kepada seorang bhikkhu yang baru saja ditahbiskan. Aturan itu harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani vassa di tempat yang tidak terdapat bhikkhu. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

3. Setiap setengah bulan, seorang bhikkhuni harus memohon dua hal dari Sangha bhikkhu, yaitu hari untuk melakukan latihan dan hari untuk mendapatkan nasehat dan teguran. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidup. 

4. Setelah menjalani vassa, seorang bhikkhuni harus memohon kepada Sangha bhikkhu dan Sangha bhikkhuni untuk mendapat teguran dan peringatan tentang apa yang dilihat, didengar dan dicurigai (mengenai dirinya). Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar sclama hidupnya.

5. Seorang, bhikkhuni yang melakukan pelanggaran harus menjalani hukuman (manatta) selama setengah bulan lamanya di Sangha bhikkhu dan di Sangha bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

6. Selesai menjalankan masa percobaan selama dua tahun, seorang calon bhikkhuni harus mohon ditahbiskan menjadi bhikkhuni.

7. Seorang bhikkhu tidak boleh dimarahi atau dihina dengan cara apapun juga oleh seorang bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

8. Mulai hari ini, seorang bhikkhuni dilarang memberikan peringatan kepada seorang bhikkhu, sebaliknya scorang bhikkhu tidak dilarang untuk memberikan peringatan kepada seorang bhikkhuni. Aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar selama hidupnya.

Dengan gembira Ratu Maha Pajapati menerima garudhamma tersebut dan ditahbiskan menjadi bhikkhuni pertama. Demikian pula 500 wanita lainnya. Pentahbisan bhikkhuni ini terjadi pada tahun kelima setelah pencapaian Penerangan Sempurna.

Dalam perkembangan selanjutnya Sang Buddha menetapkan pula sikkhapada yang berlaku khusus untuk para bhikkhuni. Seorang bhikkuni harus mematuhi 311 sikhapada.

Pada mulanya pentahbisan itu dilakukan oleh Sang Buddha sendiri, kemudian penahbisan bhikkhuni dilakukan oleh Sangha. Calon bhikkhuni harus ditahbiskan dua kali, pertama oleh Bhikkhuni Sangha dengan Upajhaya seorang Theri yang terlatih dalam Dhamma dan Vinaya dan kedua dilakukan oleh Bhikkhu Sangha. Setelah dua upacara pentahbisan ini selesai barulah wanita tersebut sah menjadi bhikkhuni.

Dalam mazhab Theravada yang berkembang di Srilanka, bhikkhuni yang pertama disebut
Sanghamitta. Putri kaisar Asoka yang menjadi bhikkhuni dan pergi ke Srilangka untuk membentuk Bhikkhuni Sangha. Bhikkhuni Sangha di Srilangka berkembang sampai pemerintahan Raja Mahinda IV. Penyerbuan bangsa Tamil dari India Selatan ke Srilanka tahun 1017 berakibat lenyapnya Bhikkhuni Sangha.

Pada masa kini mazhab Theravada tidak lagi mengadakan pentahbisan bhikkhuni. Sesuai dengan peraturan pentahbisan bhikkhuni harus dilakukan oleh dua Sangha, yaitu Bhikkhuni, Sangha dan Bhikkhu Sangha. Oleh karena dalam mazhab Theravada sekarang tidak terdapat lagi Bhikkhuni Sangha lagi, maka pentahbisan bhikkuni tidak mungkin dapat dilakukan lagi.

Kecuali dalam mazhab Mahayana, tidak ada lagi Sangha Bhikkhuni. Walaupun bhikkhuni tidak ada lagi, wanita Buddhis dapat ditahbiskan sebagai viharawati dengan melaksanakan latihan bhikkhuni, samaneri atau hanya melaksanakan Atthasila yang berdiam dalam vihara.

Bhikkhu yang baru ditahbiskan sampai telah menjalani lima vassa disebut Navaka bhikkhu. Selama lima tahun pertama itu mereka harus tinggal bersama upajjhayanya atau seorang acariya yang diserahi untuk membimbingnya dalam kebhikkhuan. Bhikkhu yang tergantung pada upajjhayanya/acariya demikian itu disebut saddhivaharika (seseorang yang hidup dengan).

Seorang Upajjhaya/Acariya menganggap saddhiviharika sebagai putranya dan saddhivirika mempercayai upajjhayanya sebagai orang tuanya sendiri. Cara ketergantungan yang demikian disebut nissaya.

Bhikkhu yang telah menjalani vassa lebih dari lima kali, tetapi kurang dari sepuluh kali, disebut Majjhima bhikkhu. Ia dianggap telah mampu melindungi dirinya sendiri dan diperbolehkan lepas dari nissaya (nissayamuttaka). Akan tetapi, jika ia dipandang belum cukup memiliki pengetahuan tentang Dhamma dan Vinaya untuk melindungi dirinya sendiri, maka ia belum bisa lepas dari nissaya.

Seorang bhikkhu yang telah melaksanakan sepuluh kali vassa atau lebih disebut Thera, yang berarti seorang yang layak dihormati. Seorang thera dianggap telah dapat mengendalikan dirinya sendiri dan mempunyai kemampuan untuk mengendalikan orang lain. Seorang thera diperbolehkan menjadi upajjhaya dan memberikan nissaya serta mempunyai samanera yang ia tasbihkan untuk merawatnya.

Vassa adalah masa berdiam dalam satu tempat selama musim hujan yang biasanya mulai pada pertengahan Juli sampai pertengahan Oktober. Usia kebhikkhuan dihitung dari jumlah masa vassa yang dijalaninya tanpa cacat.

Di India, di zaman dahulu orang terbiasa tidak bepergian dan para petapa menetap di tempat yang aman dari gangguan binatang-binatang yang berbisa yang mencari perlindungan di tempat yang kering dan hangat seperti ular, kalajengking dan lain-lain.

Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa selama musim hujan itu para bhikkhu menetap pada satu tempat dan tidak boleh berkelana ke mana-mana selama tiga bulan. Selama vassa merupakan waktu yang baik untuk para bhikkhu belajar dan melatih diri di bawah para bhikkhu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam samadhi yang sama-sama bervassa. 

Hari pertama dari vassa, yaitu sesudah bulan purnama lewat satu hari dalam bulan Asadha. Hari pertama itu disebut vassupanayika. Bulan keempat dari vassa, hujan mulai mereda dan pada saat itu dipergunakan oleh para bhikkhu untuk waktu civara, untuk mencari civara, atau membuat civara untuk mengganti civara lama.

Bagi para bhikkhu yang telah melaksanakan vassa selama tiga bulan penuh dapat melaksanakan pavarana, yaitu upacara pengakhiran vassa. Pavarana sebagai pengganti uposatha pada bulan purnama di bulan Katthika. Pavarana itu dilakukan pada tanggal lima belas penanggalan bulan. Apabila pavarana tidak dilakukan pada waktu itu, dapat ditunda pada hari-hari lainnya dalam jangka waktu bulan.

Pavarana dapat dilaksanakan bila vassa itu dijalani oleh sekurang-kurangnya lima bhikkhu dalam satu tempat yang mempunyai batas tertentu. Pada saat pavarana itu dipergunakan oleh para bhikkhu untuk saling memaafkan serta saling mengingatkan satu sama lainnya.

Bhikkhu yang sedang menjalani vassa tidak boleh ke mana-mana, kecuali pada siang hari. Akan tetapi, pada malam harinya sebelum matahari terbit ia harus kembali ke tempat ia bervassa. Namun, dalam keadaan yang sangat mendesak, seorang bhikkhu diizinkan bepergian dan kembali dalam waktu tujuh hari. Apabila tujuh hari itu terlewati, maka pelaksanaan vassa bhikkhu itu batal.

Alasan-alasan yang diperkenankan oleh Sang Buddha untuk bhikkhu bepergian selama tujuh hari, sebagai berikut:

1. Jika seorang bhikkhu, samanera, ibu atau ayahnya sakit, maka ia dapat pergi menjenguk dan merawatnya.

2. Jika seorang bhikkhu atau samanera, yang tergoda dan ingin melepaskan jubahnya, maka ia diperkenankan pergi menemui untuk membujuknya agar tidak melepaskan jubahnya.

3. Jika mendapat tugas dari Sangha yang harus segera dilaksanakan, misalnya mencari bahan untuk perbaikan vihara yang harus segera diperbaiki.

4. Jika dayaka ingin berdana, dan mengundang bhikkhu, maka seorang bhikkhu dapat pergi demi memperkuat keyakinannya.

Suatu yang sangat mendasar yang harus diingat dalam hubungan dengan Vinaya adalah, bahwa kehidupan seorang bhikkhu sangat berlainan dengan kehidupan garavasa. Vinaya menuntun seorang bhikkhu dalam "berjalan menentang arus (nafsu) dan cara hidupnya seringkali bertentangan dengan cara hidup, seseorang "yang hanyut dalam arus menikmati kelima indrianya".

Perbedaan sikap ini karena tujuan seorang bhikkhu bukan menuju keuntungan dan kesenangan duniawi, tetapi menuju Nibbana. Dalam Dhammapada, syair 75, disebutkan:

"Satu jalan menuju keuntungan duniawi, dan jalan lain menuju Nibbana. Melihat jelas hal ini, seorang bhikkhu hendaknya tidak menggemari keuntungan dan kemasyuran, tetapi menyenangi kesunyian".


Hubungan Gharavasa dengan Pabbajjita

Tujuan meninggalkan kehidupan rumah tangga, meninggalkan hidup keduniawian dengan menjalankan Vinaya dengan teguh, adalah untuk mencapai Nibbana. Oleh sebab itu, suatu kejahatan besar jika merintangi mereka yang telah bertekad untuk menempuh jalan menuju Nibbana; sebaliknya suatu kebajikan besar membantu mereka untuk mencapai tujuan yang mulia.

Dalam masyarakat Buddhis terjadi saling membantu antara pabbajjita dengan gharavasa. Bhikkhu memberikan suri-taula dan yang baik, memberikan Dhamma yang bermanfaat bagi kehidupan gharavasa. Sebaliknya, pabbajjita menerima dana empat kebutuhan pokok, yaitu: makanan, jubah, obat, dan tempat tinggal serta penghormatan dari gharavasa (Sigalovada Sutta).

Oleh karena tujuan dan hasil yang dicapai berbeda, sebab itu terdapat perbedaan Vinaya untuk gharavasa dan pabbajjita. Vinaya untuk pabbajjita selain bersifat moral dan etik terdapat juga sikkapada yang menuntun untuk mencapai tujuan mereka bebas dari samsara.


Cattaro Silakkhandha

Sikkhapada untuk pabbajjita beraneka sesuai dengan kelompok (parisad) dari pabbajjita. Meskipun demikian latihan dasar untuk semua pabbajjita adalah sama. Latihan dasar yang berkenaan dengan kehidupan samana dapat kita jumpai dalam Samanaphala Sutta. Sikkhapada ini yang merupakan pendahuluan dari Samadhi terdiri dari empat tahap, yaitu:

1. Sila, latihan moral
2. Indriya-samvara, pengendalian indriawi-indriawi
3. Sati-sampajanna, sadar dan pengendalian diri
4. Santthuti, menerima dengan ikhlas sesuatu yang diperoleh.

Penjelasan rinci dari keempat hal tersebut banyak kita jumpai dalam Nikaya-nikaya, latihannya yang sistematis terdapat antara lain dalam Dantabhumi Sutta, Majjhima Nikaya.

Di dalam Kitab Atthakatha, misalnya Visudhimagga, sikkhapada ini dijelaskan secara umum atas empat kelompok sila (cattaro silakkhandha), yaitu:

1. Patimokkha-samvara sila,
2. Indriya-samvara sila,
3. Ajivaparisuddhi sila,
4. Paccayasannissita sila.


1. Patimokha-samvara sila

Kaidah dan peraturan-peraturan latihan sila yang diberikan dalam Sutta Pitaka sebagai dasar dari kehidupan beragama dijabarkan dalam Vinaya Pitaka. Kode larangan-larangan dan pelaksanaan kehidupan keviharaan yang terdapat dalam Vinaya Pitaka dimaksudkan terutama sebagai persiapan dasar untuk pengembangan batin. Peraturan ini disebut Patimokkha yang terdiri dari 227 peraturan latihan. Pengendalian-diri yang selaras dengan Patimokkha adalah Patimokkha-samvara sila.
Pelaksanaan 227 peraturan-latihan dalam Patimokkha akan menimbulkan kesucian sila yang dirangkum dalam tiga asas atau dasar ucapan-ucapan benar, perbuatan-perbuatan benar dan pikiran-pikiran benar.

Para bhikkhu yang mematuhi tiga asas tersebut, mengembangkannya hingga sempurna bersama-sama dengan keyakinan yang kuat serta penghormatan yang sangat terhadap sila-sila Patimokkha, menolak untuk melanggarnya walaupun akan membahayakan jiwanya sendiri, maka akan memiliki kekuatan kesucian sila yang andal untuk pengembangan batin selanjutnya.

Di dalam Visuddhimagga (I,36) disebutkan:

"Dalam mensucikan Patimokkha relakanlah kematian; janganlah meninggalkan sila yang diberikan oleh Sang Buddha, Guru Dunia".


2. Indriya-samvara sila.

Apabila seorang bhikkhu memiliki laku-lampah selaras dengan Patimokkha, maka ia perlu mengendalikan indriyanya, karena pengendalian indriya merupakan fenomena yang esensi untuk menjaga sila. Latihan pengendalian indriya ini disebut Indriya-samvara sila.

Apabila pikiran telah terlepas sama sekali dari kecenderungan yang rendah dan tidak mudah bergejolak, tidak akan banyak arti dalam usaha menghindari keadaan yang tidak diinginkan, kecuali bagi mereka yang telah terkendali indriyanya.

Kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan mengekang dan mengendalikan, baik alat-alat penginderaan maupun kegiatan-kegiatannya. Apabila seorang bhikkhu menjauhkan pikirannya dari objek-objek luar dan menjaganya dengan kesadaran-murni (sati) maka pengendalian yang sempurna indiya-indriya akan terjamin dan Patimokkha-samvara sila terjaga dengan baik.


3. Ajivaprisuddhi sila.

Seorang bhikkhu yang telah terlatih dalam Patimokkha, pengendalian aktivitas-aktivitas jasmaniah dan mental, harus memiliki hidup bersih yang ideal. Dalam hal ini, ia menghindari pelanggaran sila yang diberikan oleh Sang Buddha untuk kesucian penghidupan; ia menghindari penipuan, mengagungkan diri sendiri, prasangka buruk dan semua cara buruk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kesucian penghidupan adalah kebutuhan yang esensi bagi para bhikkhu yang ingin melakukan latihan samadhi. Kebutuhan yang mendasar itu diperoleh dengan meninggalkan penghidupan salah dan semata-mata tergantung pada kebutuhan-kebutuhan yang diperoleh dengan cara yang layak bagi pabbajjita.

Apabila seorang bhikkhu yang belum mengambil janji tertentu dalam pelaksanaan peraturan dan mendapatkan semua kebutuhan hidupnya dari pemberian Sangha atau dari gharavasa yang merasa puas atas pelaksanaan kehidupan kebhikkhuannya, maka mendapatkan kebutuhan hidup dengan cara yang demikian dapat dipandang sebagai penghidupan yang suci. Demikian juga bagi mereka yang mendapat kebutuhannya dari "meminta secara keagamaan", juga dipandang sebagai penghidupan bersih.

4. Paccayasannissita sila

Latihan disiplin yang diberikan oleh Sang Buddha disusun dengan dijiwai oleh semangat ilmiah dan dari pengalaman dalam pencapaian Nibbana. Samadhi sebagai kegiatan batin yang mendalam memerlukan latihan jasmani yang tertentu dalam tahap permulaan.

Kemajuan spiritual dan pencapaian batin membutuhkan perlengkapan untuk perkembangan sepenuhnya. Dalam hal ini, pertama-tama dibutuhkan adalah jasmani yang sehat, yang mampu mengadaptasi semua keadaan sehingga tidak timbul perasaan-perasaan yang terganggu oleh emosi-emosi dan dorongan-dorongan yang rendah. Oleh sebab itu kesehatan jasmaniah memegang peranan penting dalam kehidupan pabbajjita.

Dalam hubungan ini agama Buddha sangat menekankan pada kesucian, kesederhanaan dan kepatuhan terhadap peraturan yag berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari dari pabbajjita. Kebutuhan yang diperkenankan untuk para bhikkhu adalah: (a) Civara (jubah), (b) Pindapata (makanan yang diterima sebagai dana), (c) Senasana (tempat berdiam) dan (d) Bhesajja (obat-obatan).


(a) Civara (jubah)

Sang Buddha melarang para bhikkhu berpakaian secara demikian dan mentahbiskan para pengikutnya dengan memakai jubah yang dibuat dari potongan-potongan kain yang tidak ada nilai ekonominya lagi (pamsakula).

Kemudian Sang Buddha memberikan kelonggaran dengan mengijinkan para bhikkhu menerima dana jubah atau kain untuk jubah. Akan tetapi, nilai ekonominya dari kain itu harus dihilangkan dengan memotongnya menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian disambung kembali untuk dibuat sehelai jubah. Namun, harus senantiasa disadari bahwa jubah adalah untuk menutupi badan dari hawa dingin dan panas, untuk melindungi diri dari serangan-serangan dan angin serta untuk menutupi badan yang harus ditutupi.


(b) Pindapata (makanan yang diterima sebagai dana).

Para bhikkhu yang melaksanakan samadhi harus memiliki jasmani yang sehat. Oleb karena itu, ia harus memakan makanan secukupnya, tidak kurang maupun tidak berkelebihan. Makanan yang secukupnya akan menigkatkan kekuatan jasmaniah yang harmonis dengan ketenangan batiniah.

Disiplin mengenai makanan diberikan sangat terinci dalam sutta-sutta. Dalam Vinaya Pitaka banyak peaturan-peraturan mengenai makanan, yang tidak hanya tentang banyaknya dan jenis makanan, tetapi juga terhadap waktu dan cara makanan itu diambil. Pengendalian dan sikap terhadap makanan juga membawa kepada perilaku yang baik. Oleb karena itu sikap yang tidak baik yang berkenaan dengan makanan harus dihindarkan dalam kehidupan kebhikkhuan.

Seorang bhikku setiap akan mengambil makanan harus merenungkan bahwa makanan yang diambil hanya untuk kelangsungan hidup, untuk memberi kekuatan dan bukan untuk kesenangan serta memperindah badan.


(c) Senasana (tempat tinggal).

Tempat yang tenang dalam hutan, di bawah pohon atau tempat-tempat lain yang tentang akan banyak monolong untuk menaklukan diri sendiri dan pencapaian kesempurnaan. Sang Buddha sendiri sewaktu mencapai Jalan untuk mencapai Penerangan Sempurna, menjauhi duniawi dan melaksanakan samadhi di dalam hutan, di dalam gua-gua dan di bawah pohon-pohon. Oleh sebab itu, wajarlah anjuran dari Sang Buddha yang terdapat dalam Majjhima Nikaya (1,46) sebagai berikut:

"Para bhikkhu, disana ada pohon-pohon, disana ada ketenangan; pergilah dan samadhi".

Akan tetapi, walaupun demikian, demi kebaikan orang lain, Beliau juga mengijin para bhikkhu berdiam di dalam tempat tinggal yang terlindung (senasana) dan memberikan berbagai peraturan keviharaan sebagai pegangan Sangha.

Banyak bahaya yang mungkin akan menimpa para bhikkhu yang tinggal di tempat terbuka, seperti di bawah pohon atau di tempat terbuka lainnya yang tidak ada pintu yang dapat melindunginya dari berbagai gangguan dan objek-objek yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, Sang Buddha mengizinkan para bhikkhu untuk berdiam dalam vihara yang sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Vinaya.

Sewaktu mempergunakan tempat tinggal seorang bhikkhu harus menyadari tujuan yang sesungguhnya berdiam di sana agar tidak timbul rintangan-rintangan sewaktu melatih samadhi. Ia harus senantiasa merenungkan bahwa penggunaan tempat tinggal (senasana) adalah untuk melindungi badan dari hawa dingin dan panas, dari tiupan angin dan hujan, serangga dan binatang-binatang lainnya.


(d) Bhesajja (obat-obatan)

Jika seseorang bhikkhu sakit, ia harus memakan obat menurut petunjuk dokternya dan yang selaras dengan Vinaya. Ia hanya diperbolehkan memakai obat yang dibuat dari bahan-bahan yang tidak tercela dan menyadari kegunaan dan tujuan mempergunakan obat itu. Ia harus merenungkan bahwa pemakaian obat itu adalah untuk menghilangkan rasa sakit dan penyakit yang diderita dan bukan untuk memperindah badan.

Para bhikkhu harus memahami bahwa menggunakan empat kebutuhan hidup yang layak bagi pabbajjita adalah demi kesejahteraan yang tidak dikotori oleh keserakahan (lobha) dan untuk memperoleh kesucian sila dalam empat kebutuhan pokok dalam hidup sehari-hari (parisuddhi sila).



Dasa Sikkhapada

Samanera meskipun termasuk pabbajjita tidak tennasuk ke dalam Sangha. Penahbisannya dapat dilakukan oleh seorang Thera yang telah mampu mengendalikan dan mendidik samanera tersebut. Pentahbisan samanera disebut pabbajja.

Samanera tidak sepenuhnya melaksanakan cattaro silakkhandha. Samanera tidak melaksanakan Patimokha yang terdiri dari 227 sikkhapada, tetapi melaksanakan 10 sikkhapada dan 75 Sekhiyadhamma. Dasa (10) sikkhapada adalah peningkatan dari Atthanga-samanagata Uposatha.

Untuk memudahkan para samanera menghafal dan memanjatkan dasa sikkhapada, maka dasa sikkhapada itu disebut dengan Dasa Sila yang terdiri dari:
1. Panatipada veramani, menghindari pernbunuhan.
2. Adinnadana veramani, menghindari mengambil barang yang tidak diberikan (oleh pemiliknya)
3. Abrahmacariya veramani, menghindari hubungan kelamin.
4. Musavada veramani, menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Suramerayamajappamadatthana veramani, menghindari meminum minuman (dan bahan-bahan lain) yang dapat menghilangkan pengendalian diri.
6. Vikalabbojana veramani, menghindari memakan makanan di waktu yang salah.
7. Naccagitavaditavisukadassana veramani, menghindari menari, menyanyi, bermain musik serta melihat tontonan.
8. Malagandhavilepanadharanamandanavibhusanatthana veramani, menghindari memakai karangan bunga, wangi-wangian dan kosmetik untuk tujuan mempercantik diri.
9. Uccasayanamahasayana veramani, menghindari menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah.
10. Jataruparajatapatiggahana veramani, menghindari menerima emas dan perak.

Dalam pengertian yang sesungguhnya mereka tidak dapat disebut Sepuluh Sila (Dasa Sila). Nomor (1) aampai dengan nomor (5) panatipata sampai surameraya adalah sila; sedangkan nomor (6) sampai dengan nomor (10) merupakan sikkhapada.

Selain melaksanakan dasa sikkhapada tersebut, seorang samanera berkewajiban untuk melaksanakan 75 Sekhiya-dhamma. Sekhiya-dhamma ini adalah bagian dari Patimokkha Sila. Demikian juga dengan ketiga cattaro silakkhandha lainnya, yaitu: Indriya-samvara sila, Ajivaparisuddhi sila dan Paccaya sannisita sila harus dilaksanakan juga oleh samanera, tetapi tidak seluas yang diwajibkan untuk bhikkhu.

Cattarosilakkhandha adalah Silakkhandha, yaitu kelompok (khandha) pertama dari lima kelompok untuk pengembangan kehidupan beragama guna mencapai kebebasan dari samsara. Empat kelompok lainnya adalah: samadhi-khandha, panna-khandha, vimutti-khandha, dan vimutti-nanadassana-khandha.

Setiap pabbajjita untuk mencapai tujuannya; ia pertama, harus memiliki kesucian empat kelompok sila (catu parisuddhi sila) sebagai landasan pengembangan kehidupan beragama untuk mencapai Nibbana.

Sikkhapada terinci untuk mencapai catu parisuddhi sila yang diberikan oleh Sang Buddha dapat dijumpai dalam Kitab Vinaya Pitaka. Setiap bhikkhu yang menyimpang dari sikkhapada itu dinyatakan bersalah telah melakukan pelanggaran (apatti).

Untuk mencegah kebingungan dan kekuatiran telah berbuat kesalahan, karena banyaknya kelompok apatti yang ada, maka Vinaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaltu: 
1. Adhibrahmacarikasikkha, sikkhapada pokok untuk mencapai kesucian.
2. Abhisamacarikasikkha, sikkhapada untuk perilaku yang baik yang menunjang untuk mencapai kesucian.

Yang pertama merupakan peraturan dan ketentuan yang diberikan oleh Sang Buddha (Buddhapannati) dan merupakan pokok dasar yang dilaksanakan dan dibacakan pada setiap bulan purnamasidi yang secara kolektif disebut Patimokkha.

Yang kedua, merupakan perilaku dan tata krama yang baik, khususnya yang berhubungan dengan empat kebutuhan pokok hidup pabbajjita, tetapi tidak termasuk dalam Patimokkha dan disebut Abhisamacara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar