Kamis, 16 Februari 2012

PERANAN MORALITAS SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN POLITIK KETATANEGARAAN MENURUT AGAMA BUDDHA (Suatu Kajian Kepustakaan)


ABSTRAK

Setiawan, 2008. Peranan Moralitas Sebagai Dasar Pelaksanaaan Politik Ketatanegaraan menurut Agama Buddha. Skripsi, Jurusan Dhammacariya, STAB Kertarajasa Batu. Pembimbing: (I) Drs. Suyanto, (II) Bambang E.P. S.Ag.

Kata kunci: Moralitas, Politik, Ketatanegaraan


    Pada saat ini kemerosotan moral para pemimpin menyebabkan banyak penyimpangan politik yang banyak merugikan rakyat. Money politik, agama dijadikan kedok politik, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bentuk penyelewengan politik yang terjadi saat ini. Akibatnya banyak tindakan anarki dan kejahatan terjadi dalam lingkungan masyarakat.   
    Berdasarkan kajian yang dilakukan dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) tinjauan umum tentang moralitas sebagai dasar pelaksanaan politik ketatanegaraan, (2) tinjauan Buddhis tentang moralitas sebagai dasar pelaksanaan politik ketatanegaraan, (3) upaya meningkatkan moralitas sebagai dasar pelaksanaan politik ketatanegaraan. Penulisan skripsi “moralitas sebagai dasar pelaksanaan politik ketatanegaraan dalam agama Buddha” ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pendekatan library research, menggunakan sumber data utama dan data penunjang, menggunakan teknik documenter, dan melakukan analisis dengan menggunakan content analysis.
    Tujuan politik adalah untuk mensejahterakan rakyat seperti yang telah tertuang dalam UUD 1945. Tujuan politik itu harus diwujudkan demi kepentingan semua orang. Kemerosotan moral para pemimpin harus segera diatasi oleh masing-masing pemimpin demi menciptakan kesejahteraan rakyat. Dalam agama Buddha politik tidak dapat dipisahkan dari moralitas. Moralitas berperan untuk menghilangkan keserakahan para pemimpin yang bisa saja terjadi. Dalam agama Buddha pelaksanaan politik yang baik adalah dengan melaksanakan Dasa Raja Dhamma yang bila dilaksanakan akan mensejahterakan kehidupan rakyat.
    Moralitas merupakan perbuatan seseorang untuk bersikap baik dan bertanggung jawab dalam mentaati peraturan hukum yang berlaku. Dalam agama Buddha untuk meningkatkan moralitas seorang pemimpin harus melaksanakan Pancasila Buddhis, melaksanakan Samadhi, mengembangkan kebijaksanaan dan meningkatkan pemahaman tentang hukum kamma. Dengan melaksanakan empat hal tersebut seorang pemimpin dapat meningkatkan moralitas yang baik dan meninggalkan moralitas buruknya serta dapat mengembangkan sikap malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan buruk.
    Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan para politisi sehingga tidak mementingkan kebahagiaan diri sendiri dan kesejahteraan rakyat diutamakan. Dengan menjadikan moralitas sebagai landasan dalam berpolitik kesejahteraan rakyat dapat tercapai dan penyimpangan politik tidak akan terjadi.










DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL                                                                         
LEMBAR LOGO                                                                                    
HALAMAN JUDUL                                                                               
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING                                         
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI                                                   
HALAMAN MOTTO                                                                           
HALAMAN PERSEMBAHAN                                                            
KATA PENGANTAR                                                                              
ABSTRAK                                                                                          
DAFTAR ISI                                                                                           
BAB I       PENDAHULUAN
    1.1 Latar Belakang                                                                              
    1.2 Rumusan Masalah                                                                     
    1.3 Tujuan Kajian         
    1.4 Kegunaan Kajian       
    1.4.1 Kegunaan Teoritis       
    1.4.2 Kegunaan praktis      
    1.5 Metode Kajian       
    1.5.1 Pendekatan      
    1.5.2 Metode       
    1.5.3 Sumber Data       
    1.5.4 Teknik pengumpulan Data       
    1.5.5 Teknis Analisis Data       
    1.5.6 Prosedur      
    1.6 Definisi Istilah       
BAB II     TINJAUAN MORALITAS DAN POLITIK KETATANEGARAAN DALAM MASYARAKAT
2.1 Pengertian Moralitas       
2.2 Prinsip-prinsip Moral Dasar      
2.2.1 Prinsip Sikap baik       
2.2.2 Prinsip keadilan      
2.2.3 Prinsip hormat Terhadap Diri Sendiri      
2.3 Sikap-sikap Kepribadian Moral       
2.3.1 Kejujuran       
2.3.2 Tanggung Jawab      
2.3.3 Kemandirian      
2.3.4 Keberanian      
2.3.5 Rendah Hati       
2.4 Pengertian Politik Ketatanegaraan       
2.5 Unsur politik       
2.5.1 Negara       
2.5.2 Kekuasaan       
2.5.3 Pengambilan Keputusan       
2.5.4 Kebijakan Umum       
2.5.5 Pembagian Kekuasaan       
2.6 Jenis Politik di Indonesia       
2.7 Penyimpangan Politik       
2.7.1 Money Politik       
2.7.2 Agama digunakan sebagai kedok politik Korupsi       
2.7.3 Korupsi       
2.7.4 Kolusi       
2.7.5 Nepotisme       
2.8 Dasar-dasar Politik Ketatanegaraan       
2.9 Tujuan Politik Ketatanegaraan       
2.10 Fungsi Politik Ketatanegaraan       
BAB III    TINJAUAN MORALITAS DAN POLITIK KETATANEGARAAN DALAM AGAMA BUDDHA
3.1 Pengertian Moralitas       
3.2 Dasar-dasar moralitas       
3.3 Tujuan Moralitas       
3.4 Dasar-dasar Politik Buddhis       
3.5 Prinsip-prinsip Politik Buddhis       
3.6 Tujuan Politik Buddhis       
    3.7 Aspek-aspek politik Buddhis       
        3.7.1 Kualitas Perbuatan Moral       
        3.7.2 Kerjasama Sosial dan Partisipasi Aktif       
        3.7.3 Mematuhi Aturan Hukum       
        3.7.4 Mendorong Jiwa Konsultasi dan Proses Demokrasi       
    3.8 Perilaku Penguasa atau Pemimpin Buddhis      
3.8.1 Bersikap Tidak Memihak dan Berat Sebelah Terhadap
Rakyatnya      
3.8.2 Bebas dari Segala Bentuk Kebencian Terhadap Rakyatnya      
3.8.3 Tidak Memperlihatkan Ketakutan Dalam Penyelenggaraan
Hukum Jika Dapat Dibenarkan      
3.8.4 Memiliki Pengertian yang jernih terhadap hukum yang Diselenggarakan       
3.9 Karakteristik Politik Buddhis     
3.10 Pelaksanaan Politik Buddhis       
BAB IV UPAYA MENINGKATKAN MORALITAS SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN POLITIK KETATANEGARAAN DALAM AGAMA BUDDHA
4.1 Melaksanakan Pancasila Buddhis       
4.1.1 Bertekad Untuk Menghindari Pembunuhan Mahkluk Hidup       
4.1.2 Bertekad Untuk Menghindari Pencurian Atau Pengambilan Barang Yang Tidak Diberikan       
4.1.3  Bertekad Untuk Menghindari Perbuatan Asusila       
4.1.4  Menghindari Perkataan Yang Tidak Benar       
4.1.4  Menghindari Segala Obat-obatan dan Minuman Yang Dapat Melemahkan Kesadaran               
4.2 Melaksanakan Samadhi       
4.3 Mengembangkan kebijaksanaan      
4.4 Pemahaman Hukum Kamma       
BAB V PENUTUP
    5.1 Simpulan       
    5.2 saran       
DAFTAR PUSTAKA       
RIWAYAT HIDUP       
   










BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang Masalah

Politik meliputi keseluruhan masyarakat yang merupakan perwujudan dari dimensi sosial manusia. Maka tindakan-tindakan politik harus mencerminkan moralitas dan etika hidup bersama. Kehidupan politik yang berkembang didalam kesepakatan tertuang dalam undang-undang juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Mengingat norma moral yang melandasi norma hukum dan undang-undang jauh lebih kuat dan mengikat manusia. Pencerahan politis dapat diharapkan dari kaum beragama yang berpolitik berdasarkan moralitas yang dapat memberikan tuntutan politik yang sarat nilai dan moral kepada para politisi praktis.
Tetapi perilaku politik praktis yang timbul sekarang mencerminkan mentalitas sebagian kaum Indonesia yang dipengaruhi oleh ide kekuasaan yang sempit. Sehingga tindakan politik sering menghalalkan segala cara untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Ide kekuasaan menjadikan kekuasaan diatas segala-galanya. Akibat langsung dari ide kekuasaan ini  semua yang ada diluar lingkungan, grup, organisasi, partai, pemerintahan, negara adalah hal yang mengancam kelangsungan kekuasaannya.

Ide kekuasaan yang merupakan kekuatan pengontrol dan kekuatan tandingan dianggap sebagai kekuatan untuk menghapuskan kekuasaan, sehingga apa yang disebut dengan oposisi tidak belaku dan tidak dikenal oleh mereka yang telah dipengaruhi oleh ide kekuasaan (http://www.dataphone.se/~ahmad diakses pada tanggal 21 Januari 2008).   
Tujuan politik adalah untuk kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan orang banyak. Sistim politik sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara. Pengaruh-pengaruh politik cukup pesat karena dilandasi oleh paradigma bangsa dan negara. Pengaruh negatif yang saat ini terjadi seperti agama dijadikan kedok politik, money politics, korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam kehidupan bangsa dan negara politik untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila fenomena ini terus mengalami distorsi maka kehidupan bangsa dan negara tidak akan mencapai tujuan politik yang sebenarnya.
Dalam kiprah di partai politik nasionalis, telah mendirikan lembaga keagamaan dengan tujuan mendukung politik dari sisi keagamaan, dengan tujuan mendulang suara pada saat pemilu di daerah-daerah yang keagamaannya kuat. Politik yang merupakan seni memperoleh kekuasaan yang memungkinkan dianggap sebagai upaya memperoleh kekuasaan dengan cara apapun dijadikan sebagai pewujudan ambisi sempit untuk kepentingan pribadi.
Dewasa ini banyak politikus menarik nama Buddha dalam politik dengan memperkenalkan sebagai seorang komunis, kapitalis, atau imperialis. Para politikus mencoba menggunakan nama baik Sang Buddha demi keuntungan pribadi. Ketika agama dijadikan kaki tangan tindakan politik, agama harus menanggalkan gagasan luhurnya dan merendahkan nilainya dengan tuntutan politik (Dhammananda, 2005:333).
Kecenderungan parpol untuk mendekati kalangan agama dan masyarakatnya yang selama ini dilakukan akan menjadi bumerang mematikan. Hal ini terjadi jika pendekatan tersebut dilakukan sekadar untuk tujuan pragmatis, mendulang suara pemilih yang berbasis agama di saat pemilu berlangsung. Hal itu akan menjadi sesuatu yang naif jika pengusungan agama ke ranah politik sekadar bersifat simbol dan atribut formal. Apabila pembumiannya bernuansa primordialistik dan sektarianistik yang berpotensi menggerogoti solidaritas dan persatuan bangsa (http://www.kaskus.us/showthread.php diakses 21 Januari 2008).
Penyimpangan lain yang terjadi adalah money politik. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di Jakarta pada 8 Agustus 2007, terbukti menggunakan politik uang. politik uang yang tetap bertahan sebagai patologi menjijikkan mewarnai proses Pilkada langsung di Jakarta. Dikalangan tim sukses kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur tidak muncul upaya saksama purifikasi proses Pilkada dari pengaruh uang. Bahkan, tim sukses bekerja berdasarkan mekanisme money politics.
Penyingkapan tentang hal ini berlandaskan pendekatan fenomenologis memperlihatkan fakta dan kenyataan masih merajelalanya kekuasaan uang untuk mendulang suara masyarakat konstituen. Berbagai pernyataan verbal kalangan tim sukses mengelak dari pembicaraan tentang money politics. Tetapi pengakuan orang per orang anggota masyarakat, mendapatkan amplop saat hadir ke tengah kancah gathering politik dibawah pengorganisasian tim-tim sukses. Hal ini menunjukkan, Pilkada langsung di Jakarta gagal membangun legacy baru yang sepenuhnya menanggalkan politik uang. Kenyataan buruk inilah yang sama sekali tak memungkinkan Pilkada Jakarta menjadi faktor diterminan untuk menggeser moneycracy agar sepenuhnya digantikan oleh democracy (http://www.jalal center.com. diakses 21 Januari 2008).       
Nilai dan harga manusia tidak lagi dihargai dan dijunjung tinggi, melainkan disamakan dengan materi atau barang yang tidak punya nilai. Dari perspektif politik, pernyataan Megawati Soekarno Puteri menyampaikan rasa keprihatinannya melihat kenyataan money politics begitu mewarnai dunia politik kita (http://www.jawapos.co.id/index.php diakses pada tanggal 21 Januari 2008)
Masyarakat masih menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Saat ini suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Karena belum mengerti memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk tindakan korupsi. Suap merupakan  hal yang melahirkan budaya koruptif dalam skala luas, maka meluasnya budaya koruptif menyebabkan negara kehilangan kepercayaaan.
 Contoh paling sederhana dari suap adalah memberikan hadiah kepada seseorang atau keluarganya yang berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya, sebagai bentuk terima kasih atas jasa yang diberikan. Tradisi pemberian hadiah yang semula bermaksud baik akhirnya disalahgunakan untuk keuntungan antara pemberi dan penerima. Suap terjadi mulai dari pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) hingga pembuatan Undang-undang (UU) di lembaga legislatif.
Pada hal lain, dapat diketahui krisis multidimensional telah melanda bangsa Indonesia diantaranya adalah merosotnya nilai-nilai moral bangsa ini. Hal ini dapat lihat dalam kehidupan masyarakat dewasa ini berupa praktik-praktik KKN yang belum bisa terhapuskan, akibatnya rakyat menjadi frustasi, susah mencari kebutuhan hidup, dan membawa mereka kepada tindak kejahatan penodongan, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Semuanya adalah karena para pejabat tetap menjadikan KKN terus marak dan bermanja-manja dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (http://www.Dataphone.se/~ahmad diakses 21 Januari 2008).
    Melihat fenomena sekarang masyarakat jengkel dan ada perasaan tidak puas terhadap para politisi di DPR maupun DPRD, karena tidak mewakili kepentingan dan memperjuangkan nasib rakyat. Padahal mereka sebelum didudukkan sebagai wakil rakyat berjanji menjalankan kewajiban membela kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi dan kelompok partai-partainya, sehingga mereka terkesan melalaikan kewajiban-kewajiban utamanya selaku wakil rakyat. Sehingga rakyat tetap dalam kemelaratan yang akhirnya melakukan tindakan-tindakan anarki demi menyambung kehidupannya.
Dengan memperbaiki moral yang baik, dapat dijadikan pedoman bersama baik dalam kehidupan politik yang menyangkut kenegaraan maupun kemasyarakatan. Untuk menemukan suatu bentuk kehidupan bersama yang lebih baik. Maka peraturan yang adil dan Undang-undang yang lebih sempurna sangat diperlukan. Moral dan politik tidak dapat diabaikan begitu saja. Moral politik ditentukan oleh pola kehidupan para aktor politik itu sendiri, yang hidup disuatu tempat, dalam kurun waktu tertentu, kepentingan negara nasional harus diutamakan. Moral politik dipakai untuk memperjuangan kelas buruh, sehingga tercapai suatu masyarakat yang makmur, sama rata, sama rasa, dan tanpa kelas.
Politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengelola (mengendalikan, mengatur dan mendistribusikan) kebutuhan orang banyak agar semua bisa mendapat bagian dan merasa terpuaskan. Karena berkenaan dengan kepentingan orang banyak, maka kode etik yang berlaku di dunia politik adalah paradigma (yaitu cara berfikir, bersikap dan bertindak) yang berorientasi kepada kepentingan orang banyak, yaitu dengan jalan mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi.
Karena merosotnya moral para pemimpin, maka banyak penyimpangan-penyimpangan politik. Politik yang seharusnya dijadikan untuk kepentingan semua masyarakat hanya dijadikan sebagai kepentingan diri sendiri saja atau kelompok. Akibatnya rakyat akan semakin tertekan dan hanya dijadikan sebagai alat bagi para politisi. Aspirasi-aspirasi rakyat yang seharusnya diwujudkan dilempar jauh, dan penguasa hanya mementingkan kepentingan politisi-politisinya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan politik yang jauh dari tujuan dan dasar politik yang sebenarnya. Selanjutnya penulis tuangkan permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul  “PERANAN MORALITAS SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN POLITIK KETATANEGARAAN MENURUT AGAMA BUDDHA” agar bermanfaat bagi masyarakat luas dan para pemimpin yang ada dipemerintahan pada umumnya dan khususnya para pemimpin Buddhis sehingga mampu mempraktikkannya dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang pemimpin yang baik. Apabila setiap pemimpin mempraktikkan moralitas sebagai dasar pelaksanaan politik akan memberikan manfaat yang besar bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.

1.2     Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang diatas, maka permasalahan yang penulis teliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah konsep moralitas dan politik ketatanegaraan secara umum?
2.    Bagaimanakah konsep moralitas dan politik ketatanegaraan menurut agama Buddha?
3.    Bagaimanakah upaya meningkatkan moralitas sebagai dasar pelaksanaan politik ketatanegaraan menurut agama Buddha?

1.3     Tujuan Kajian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan kajian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Mendeskripsikan konsep moralitas dan politik ketatanegaraan secara umum.
2    Mendeskripsikan konsep moralitas dan politik ketatanegaraan menurut agama Buddha.
3    Mendeskripsikan upaya meningkatkan moralitas sebagai dasar pelaksanaan politik ketatanegaraan menurut agama Buddha.

1.4  Kegunaan Kajian

Hal yang menjadi pertimbangan penulis untuk mengangkat kajian ini, karena memiliki dua kegunaan yaitu secara teoretis dan secara praktis. Kegunaan teoretis adalah berkenaan dengan kegunaan secara akademik, dan kegunaan praktis berkenaan dengan pengkajian terhadap aplikasinya dalam masyarakat.

1.4.1    Kegunaan Teoretis

Kajian ini bertujuan sebagai pedoman untuk melaksanakan politik ketatanegaraan bagi umat Buddha maupun masyarakat luas dan memberikan wawasan bagi setiap pembaca sehinga dapat memperkaya pengetahuan tentang politik ketatanegaraan, khususnya menurut agama Buddha. Selain itu dapat memberikan wawasan bagi semua pemimpin politik yang ada dipemerintahan, sehingga tujuan politik dapat tercapai dengan baik. Apabila tujuan politik dapat tercapai dengan baik kesejahteraan rakyat dapat tercapai dan tindakan anarki maupun kejahatan yang meresahkan tidak terjadi dimasyarakat.

    1.4.2 Kegunaan Praktis
   
Kajian ini diharapkan berguna sebagai pedoman para pemimpin yang ada di pemerintahan untuk melaksanakan politik ketatanegaraan yang dilandasi oleh moral yang baik. Dengan dimilikinya moralitas yang baik sebagai dasar untuk melaksanakan politik ketatanegaraan, maka dapat dicapai suatu tujuan politik seperti yang telah tercantum dalam UUD 1945.

1.5    Metode Kajian

Metode kajian yang digunakan dalam penyusunan proposal ini, penulis melakukan penelitian berdasarkan riset kepustakaan yang merupakan langkah awal dalam mengumpulkan beberapa literatur sebagai bahan acuan yang terdiri dari: pendekatan, metode, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan prosedur.

1.5.1    Pendekatan

Dalam melaksanakan kajian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kajian pustaka (Library Research), yaitu serangkaian kegiatan berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2004:1). Hasil studi pustaka disajikan secara deskriptif-kualitatif untuk menggambarkan atau menjelaskan secara sistematis berdasarkan kenyataan dimasyarakat sekarang ini. Riset kepustakaan ini memanfaatkan sumber kepustakaan untuk memperoleh data penelitian.
Dalam penelitian ini penulis mengkaji bahan-bahan yang diperoleh dari kepustakaan yang relevan, untuk memperoleh hasil yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Melalui pendekatan ini dapat ditarik suatu kesimpulan dari permasalahan bahwa penyimpangan-penyimpangan politik yang terjadi sangat merugikan masyarakat dan Negara. Penyimpangan politik ini terjadi karena terabaikannya nilai-nilai moral yang seharusnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan politik.

1.5.2    Metode

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 1998:151). Sesuai dengan pendekatan “Library Research” maka, penyusunan skripsi ini menggunakan metode deduktif. Metode deduktif yaitu cara memberi alasan dengan berpikir dan bertolak dari pernyataan yang bersifat umum dan menarik kesimpulan yang bersifat khusus atau spesifik (Nazir, 1988:78). Jadi permasalahan yang ada dalam masyarakat yang bersifat umum, kemudian dikaji menuju kesimpulan yang bersifat khusus, yaitu kesimpulan secara Buddhis.

1.5.3    Sumber Data

Dalam penelitian kepustakaan sumber data adalah komponen utama, karena peneliti dapat menemukan pemecahan masalah melalui sumber data yang telah dianalisis dan diolah dahulu sehingga dapat memperoleh pemecahan yang tepat. Sumber data dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer merupakan data yang langsung dikumpulkan dari sumber data tanpa diolah dan dianalisis terlebih dahulu oleh orang lain, sedangkan data sekunder merupakan data primer yang telah dikumpulkan, diolah, dianalisis dan diinterpretasikan oleh orang lain (Azahari, 2001:8). Dalam kajian ini penulis memakai bahan utama yang dipakai diantaranya: cakkavatti sihananda sutta, aganna sutta, maha parinibbana sutta, jataka, sedangkan bahan penunjang lain adalah dari literatur-literatur, buku-buku dhamma dan buku-buku penunjang lain. Untuk sumber informasi adalah dari bahan pustaka yang sesuai dengan rumusan masalah sebagai bahan penunjang dalam penulisan ini.

1.5.4    Teknik Pengumpulan data

Sesuai dengan metode yang dipakai, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter. Teknik dokumenter adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2002:206).

1.5.5    Teknik Analisis Data

Riset merupakan aktivitas ilmiah yang sistematis, berarah dan bertujuan. Maka data atau informasi yang dikumpulkan harus relevan dengan persoalan yang dihadapi, artinya data itu bertalian, berkaitan, mengena, dan tepat (Azahari, 2001:55). Teknik analisis ini dilakukan dengan mengungkap isi sebuah buku yang menggambarkan sebuah informasi yang sesuai dengan rumusan masalah.
Teknik ini bertujuan untuk membandingkan isi antara satu buku dengan buku lainnya dalam bidang yang sama, sehingga penulis dapat mengkategorikan data dengan memilih data sejenis, dan menganalisisnya secara kritis untuk mendapatkan formula baru. Peneliti menggunakan teknik tersebut karena kesimpulan atau jawaban dari persoalan yang dikaji hanya dapat ditemukan dengan teknik tersebut.

1.5.6 Prosedur

Dalam kajian ini, penulis menempuh langkah-langkah mulai dari awal hingga akhir, secara singkat meliputi tiga tahap: (a) tahap persiapan, meliputi penentuan judul, penyusunan proposal, dan seminar proposal (b) tahap pelaksanaan, meliputi pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan kajian; serta (c) tahap akhir, meliputi ujian skripsi, revisi skripsi dan pengumpulan skripsi.

1.6    Definisi Istilah

Dalam pembahasan tentang Peranan Moralitas Sebagai Dasar Pelaksanaan Politik Ketatanegaran menurut agama Buddha ini, ada beberapa istilah yang harus dipertegas agar terdapat kesamaan interprestasi dan terhindar dari kekaburan. Adapun istilah yang perlu dipertegas adalah:
Kata moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etika atau adat sopan santun (KBBI,1989:66). Jadi moralitas mengandung arti batin atau susila di dalam tingkah laku, baik melalui pikiran, ucapan maupn perbuatan yang dilakukan seseorang dalam lingkungan masyarakat.
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses dalam menentukan tujuan-tujuan dari negara dan melaksanakan tujuan negara (Tata negara, 2003:42). Politik adalah mengenai ketatanegaraan, kenegaraan atau sistem pemerintahan, dasar pemerintahan (Kamus induk istilah, 2003:621). Jadi politik adalah suatu rangkain asas, prinsip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki.
Kata ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara. Tata negara adalah seperangkat prinsip dasar yang mencangkup peraturan susunan pemerintah atau bentuk negara yang menjadi dasar pengaturan negara (KBBI, 1991:1015). Jadi ketatanegaraan adalah suatu prinsip dasar yang digunakan dalam mengatur negara, sehingga kesejahteraan negara dapat dipertahankan.
Dari batasan istilah diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud  “Peranan Moralitas Sebagai Dasar Pelaksanan Politik Ketatanegaraan Menurut Agama Buddha” adalah perbuatan yang baik untuk mencapai tujuan negara atau cara yang bersih untuk mencapai kesejahteraan negara dalam agama Buddha.

1.7    Kerangka Berpikir

Dalam penulisan skripsi tentang “Peranan Moralitas Sebagai Dasar Pelaksanaan Politik Ketatanegaraan menurut Agama Buddha” ini, menggunakan kerangka berpikir yang terdiri dari dua variable, yaitu: variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah Pancasila Buddhis dengan lima indikator, yaitu: menahan diri dari pembunuhan, menahan diri pencurian, menahan diri dari perzinahan, menahan diri dari ucapan tidak benar, menahan diri dari minum-minuman keras dan obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran.  Dan Dasa Punnakiriyavatthu dengan sepuluh indikator, yaitu: berbuat kebaikan dengan jalan berdana, berbuat kebaikan dengan jalan melaksanakan sila, berbuat kebaikan dengan jalan meditasi, berbuat kebaikan dengan jalan merendahkan diri, berbuat baik dengan jalan membalas membantu, berbuat kebaikan dengan jalan membagikan sesuatu kepada orang lain, berbuat kebaikan dengan jalan merasa gembira melihat kebaikan orang lain, berbuat kebaikan dengan jalan mendengarkan dan belajar Dhamma, berbuat kebaikan dengan jalan mengajarkan Dhamma, berbuat kebaikan dengan jalan mempunyai pandangan benar. Sedangkan variabel terikat adalah pelaksanaan politik ketatanegaraan dalam agama Buddha, yaitu Dasa Raja Dhamma dengan sepuluh indikator, yaitu: liberal dan menghindari mementingkan diri sendiri, moralitas yang tinggi, siap mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat, bersikap jujur dan memelihara ketulusan hati, bersikap baik hati dan lemah lembut, hidup sederhana sebagai teladan rakyat, bebas dari segala bentuk kebencian, menerapkan prinsip tanpa kekerasan, mempraktikkan kesabaran, menghargai pendapat rakyat untuk memajukan perdamaian dan keselarasan.

1.8    Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara atau jawaban sementara atas permasalahan penelitian dimana memerlukan data utuk menguji kebenaran dugaan tersebut (Kountur, 2005:93). Dalam penulisan kajian tentang “Peranan Moralitas Sebagai Dasar Pelaksanaan Politik Ketatanegaraan menurut Agama Buddha” ini, memiliki hipotesis bahwa adanya pengaruh peranan moralitas dalam pelaksanaan politik ketatanegaraan.





BAB II
TINJAUAN MORALITAS DAN POLITIK KETATANEGARAAN DALAM MASYARAKAT

2.1 Pengertian Moralitas

    Moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti (KBBI, 2001:754). Kata moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai untuk mengukur kebaikan seseorang. Moral adalah suatu perilaku baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang dan menimbulkan akibat bagi orang lain. Inti dari sikap moral ialah seseorang melakukan kewajiban bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena menyadari sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai tanggung jawab.
    Moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan seseorang dengan norma atau hukum batiniah seseorang, yakni apa yang seseorang pandang sebagai kewajiban, (Tjahjadi, 1991:47). Maka dari itu manusia harus memahami dan mempraktikkan moral sebagai landasan hidup untuk menciptakan suasana aman dan tentram dalam lingkungan masyarakat. Dalam hal ini manusia harus bersikap tegas karena merupakan suatu tanggungjawab untuk mentaati peraturan dan bukan takut terhadap akibat, sehingga orang akan menyadari terhadap tanggungjawab hukum yang berlaku. Moralitas yang baik adalah apabila seseorang dapat mengambil sikap yang baik karena sadar akan kewajiban dan tanggungjawabnya bukan karena mencari keuntungan. Jadi Moralitas yang baik adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tanpa pamrih.

2.2. Prinsip-prinsip Moral Dasar

    Pengembangan diri adalah tanggungjawab diri sendiri yang harus dikembangkan. Tetapi juga harus melihat bahwa prinsip itu tidak cukup, karena pengembangan diri hanya berkisar pada diri sendiri. Manusia akan bisa berkembang dengan tidak memandang pusarnya sendiri, melainkan dengan menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Orang yang memikirkan pengembangan diri tanpa didasari prinsip yang baik dalam dirinya, maka pengembangan itu akan mengarah pada hal yang buruk.      Setiap orang hendaknya selalu memperhatikan tindakan yang dilakukannya dengan tujuan dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan diri dan orang lain. Untuk itu moralitas sehari-hari perlu diperhatikan untuk mengurangi krisis moralitas yang sedang terjadi. Sebagai manusia wajib untuk mempertanggungjawabkan akibat tindakannya terhadap semua yang dilakukan olehnya, (Suseno, 1987: 129). Karena orang yang berani bertanggungjawab merupakan orang yang selalu berhati-hati.
    Manusia adalah makhluk yang mempunyai banyak potensi, tetapi potensi itu baru menjadi nyata apabila dapat direalisasikan. Maka seseorang harus mempunyai pedoman atau prinsip dalam hidupnya yang dapat dijadikan tolok ukur dalam mencapai kebahagiaan, yaitu dengan melatih moralitas yang meliputi tiga hal: (1) prinsip sikap baik, (2) prinsip keadilan, (3) prinsip hormat terhadap diri sendiri. Tiga prinsip moral ini dapat dijadikan tolok ukur dalam melakukan tindakan-tindakan atau perbuatan.
2.2.1 Prinsip Sikap Baik

    Kata baik adalah tidak jahat, jujur, berbudi pekerti sepatutnya dan kebajikan, (KBBI, 2001:90). Bersikap baik adalah tidak merugikan orang lain, tetapi akan memberikan suatu kepercayaan bagi orang lain. Kepercayaan orang lain akan luntur bila perbuatan baik seseorang berubah menjadi buruk dan tidak jujur. Perbuatan baik sangat diperlukan oleh para pemimpin untuk memberikan kepercayaan bagi rakyat dan anggota-anggotanya. Dengan terciptanya saling percaya antara rakyat dan pemimpin akan menciptakan hubungan harmonis. Sikap dasar memperlakukan orang lain secara baik, akan menjadi prinsip seseorang cenderung untuk jujur dan berbuat moral, (Kirana, 1996:61-62).
Prinsip sikap baik adalah mendahului dan mendasari prinsip moral lainnya. Prinsip yang terdapat dalam diri seseorang berawal dari etika keutamaan khusus seperti keberanian, kontrol diri, kemurahan hati dan kejujuran (Suseno, 1987:130). Jadi prinsip sikap baik adalah suatu sikap dasar seseorang yang dilandasi dengan kejujuran yang akibatnya tidak merugikan orang lain dan diri sendiri.

2.2.2 Prinsip Keadilan

    Adil berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Tujuan keadilan adalah tetap dan berkesinambungan yang memberikan setiap orang yang menjadi miliknya. Dalam prinsip ini seseorang harus lebih berhati-hati dalam memahaminya karena setiap perbuatan baik yang seseorang lakukan belum tentu termasuk bagian dari sikap adil. Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati semua pihak yang bersangkutan (Suseno, 1987:132).
    Keadilan sebenarnya menuntut seseorang untuk tidak mencapai tujuan yang diinginkannya dengan melanggar hak orang lain. Setiap orang selalu mendambakan sikap adil, maka dari itu seseorang harus melatih dirinya untuk bersikap adil terhadap semua makhluk. Berbuat adil adalah suatu tindakan yang tidak didasarkan pada kesewenang-wenangan terhadap orang lain. Berbuat adil merupakan suatu tindakan yang didasarkan pada norma-norma yang ada dimasyarakat maupun dalam agama dan hukum.

2.2.3 Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

    Prinsip hormat terhadap diri sendiri pada dasarnya manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada diri sendiri. Seseorang yang mempunyai sikap baik dalam dirinya tentunya seseorang yang memiliki rasa hormat terhadap dirinya. Apabila seseorang terbiasa menghormati dan menghargai diri sendiri, secara otomatis rasa untuk menghormati orang lain akan muncul. Maka dari itu sikap menghormati diri sendiri harus tertanam dalam diri.
    Prinsip ini mempunyai dua arah, yaitu: pertama dituntut agar tidak membiarkan diri diperkosa atau diperbudak. Perlakuan semacam ini adalah tidak wajar, maka yang diperlakukan demikian jangan dibiarkan berlangsung begitu saja apabila dapat dilawan. Manusia mempunyai harga diri, apabila dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu yang merugikan, maka kebebasan eksistensial telah dianggap tidak ada. Hal ini juga berlaku bagi pemerasan dan perbudakan yang dilakukan atas nama cinta kasih oleh orang dekat kita. Kita berhak untuk menolak hubungan pemerasan atau paksaan yang tidak pantas dan merugikan diri.
 Kedua, yaitu  tidak membiarkan diri sendiri untuk terlantar. Maksudnya adalah seseorang mempunyai kewajiban bukan hanya pada orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Membiarkan diri terlantar berarti telah menyia-nyiakan bakat dan kemampuan yang ada pada diri sendiri.  Manusia mempunyai kewajiban bukan hanya pada orang lain saja, tetapi juga terhadap diri sendiri.  Kewajiban terhadap orang lain diimbangi dengan perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri. Peningkatan harga diri tidak dilakukan dengan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri. Tetapi kebaikan dan keadilan yang diberikan kepada orang lain perlu diimbangi dengan sikap baik pada diri sendiri. Prinsip ini sangat penting bagi seseorang untuk hidup dalam lingkungan masyarakat. Karena dengan menerapkan rasa hormat terhadap diri sendiri maka  akan bisa menghormati orang lain (Suseno, 1987:133).

2.3 Sikap-sikap  Kepribadian Moral

    Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya benar, (Suseno, 1987:141). Untuk mengembangkan moral yang baik, maka sikap-sikap yang positif harus dikembangkan. Dengan mengembangkan sikap-sikap yang positif, maka seseorang mempunyai dasar moral yang kuat. Sikap yang dapat dikembangkan, yaitu: (1) kejujuran, (2) tanggung jawab, (3) kemandirian, (4) keberanian, dan (5) rendah hati.
2.3.1. Kejujuran

    Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat adalah kejujuran. Bersikap baik kepada orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan dan sering beracun (Suseno, 1987:142). Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Orang yang tidak jujur senantiasa berada dalam pelarian, yaitu lari dari orang lain yang ditakuti sebagai ancaman dan lari dari diri sendiri karena tidak berani menghadapi kenyataan. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilainya. Hal yang sama juga berlaku terhadap sikap tenggang rasa dan mawas diri, bila tanpa kejujuran sikap tersebut tidak lebih dari sikap hati-hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.
    Bersikap jujur terhadap orang lain mempunyai dua arah, pertama terbuka, kedua fair. Dengan terbuka maka akan selalu muncul sebagai diri sendiri, dengan keyakinan dan tidak menyembunyikan wajah yang sebenarnya. Dalam segala sikap dan tindakan seseorang harus tanggap terhadap kebutuhan, kepentingan dan hak orang-orang yang berhadapan dengan kita. Bersikap fair adalah memperlakukan menurut standart yang diharapkan dan diperlakukan orang lain terhadap dirinya.
    Mengendalikan kebohongan pertama-tama harus berhenti untuk membohongi diri sendiri. Seseorang harus berhenti berbohong, bukan hanya terhadap orang lain tetapi juga terhadap diri sendiri. Jadi mengembangkan kejujuran harus berani untuk melepaskan kedok-kedok yang dipasang dan menunjukkan diri yang sebenarnya. Dengan melakukan hal ini kekuatan batin akan bertambah dan akan siap mental dalam menjalani kehidupan.
2.3.2 Tanggung Jawab

     Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan untuk bertanggungjawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat dan untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada pamrih kita (Suseno, 1987:145). Tugas bukan sekedar masalah untuk seseorang berusaha menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk. Tetapi tugas dirasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus dipelihara dan diselesaikan dengan baik. Jadi kesediaan untuk bertanggungjawab berarti bersedia untuk diminta dan bertanggungjawab  atas segala tindakan yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan.
    Orang yang tidak mau bertanggungjawab sebenarnya orang ini sadar akan tanggungjawabnya. Tetapi karena hawa nafsu maka orang ini tidak kuat untuk melakukannya. Secara terperinci penolakkan untuk bertanggungjawab mempunyai dua akibat, yaitu persepsi atau wawasan semakin sempit dan tidak bebas untuk menentukan diri sendiri.
    Dengan demikian wawasan orang yang bersedia bertanggungjawab secara prinsipial tidak terbatas. Kesediaan untuk bertanggung jawab merupakan kesediaan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan dan siap untuk menghadapi segala resiko yang bisa saja timbul dari tindakan yang dilakukan. Apabila lalai atau melakukan kesalahan maka harus bersedia untuk dipersalahkan. Orang yang bertanggungjawab tidak akan pernah melemparkan tanggungjawab atas kesalahan yang diperbuatnya. Karena orang yang seperti ini akan mengejar suatu hal yang bernilai luhur dan penting.
2.3.3. Kemandirian

    Kemandirian moral adalah kekuatan untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Sikap mandiri adalah sikap tidak ikut-ikutan dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian diri sendiri serta bertindak sesuai dengannya. Sedangkan mandiri secara moral berarti tidak dapat “dibeli” oleh mayoritas orang kaya. Jadi Kemandirian adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan bertindak sesuai dengannya (Suseno, 1987:147).
    Dengan sikap kemandirian ini maka seseorang tidak akan mudah tertipu karena telah mempunyai kekuatan sendiri. Sikap mandiri ini merupakan kekuatan batin untuk selalu membentuk penilainan sendiri terhadap suatu masalah moral. Maka kemandirian merupakan keutamaan intelektual atau kognitif sebagai ketekadan dalam bertindak.

2.3.4 Keberanian

    Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini  sebagai tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Orang yang memiliki keyakinan ini tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab, walaupun dapat mengancam keselamatan jiwa. Keberanian moral dapat terlihat dalam pegawai perusahaan yang tidak mau ikut berkorupsi walaupun dapat dikucilkan (Suseno, 1987:147). Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali berani mempertahankan sikap yang diyakini, seseorang akan merasa kuat dan berani dalam hatinya. Dalam arti bahwa seseorang akan semakin dapat mengatasi rasa takut dan malu yang selalu mencekam. Selain itu juga akan memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, dan yang menderita akibat kelaziman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa.

2.3.5 Rendah Hati

    Rendah hati tidak berarti merendahkan diri, tetapi melihat kemampuan yang ada pada diri sendiri. Rendah hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Dalam bidang moral kerendahan hati tidak berarti sadar akan keterbatasan yang dimiliki, melainkan kemampuan untuk memberikan penilaian moral terbatas. Orang yang rendah hati akan bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat sendiri (Suseno, 1987:148). Dengan deemikian maka kebebasan setiap orang untuk berpendapat akan selalu muncul demi suatu kebaikan bersama.
    Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk nenyembunyikan diri. Dengan mengembangkan kerendahan hati dapat menjamin kebebasan dari pamrih dalam keberanian. Jadi orang  yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting oleh karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila sudah meyakini sikapnya sebagai tanggungjawabnya.
2.4 Pengertian Politik Ketatanegaraan

Kata ”politik” secara etimologis berasal dari bahasa yunani Politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatusan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Pada umumnya politik adalah bermacam-macam kegiatan yang menyangkut proses menentukan tujuan dan pelaksanaan tujuan tersebut. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki, (Sumarsono et al, 2006:137).
Politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Begitu manusia meninjau status dan kedudukannya didalam masyarakat atau sekurang-kurangnya dalam lingkungan suatu kelompok, berusaha mencapai suatu tingkat keamanan bagi dirinya. Oleh karena itu, politik pada hakikatnya adalah bagian daripada umat manusia dan tidak dapat dipisahkan keterpaduannya dengan berbagai aspek kehidupan negara dan masyarakat. Baik secara sadar maupun tidak sadar, tiap manusia adalah melakukan hal-hal yang bersifat politik. Dalam hal ini bahkan, pada masa lampau ketika bentuk negara belum dikenal, lingkungan masyarakat adalah merupakan sistem politik. Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut tujuan negara dan melaksanakan tujuan negara (Tim penyusun, 2003:42).
Dalam kaitannya dengan negara politik digunakan untuk mengatur kehidupan negara. Negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh kelompok manusia yang mempunyai cita-cita bersatu, hidup dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang sama. Pengaturan kehidupan negara harus sesuai dengan prinsip-prinsip dari negara tersebut. Ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara. Tata negara adalah seperangkat prinsip dasar yang mencangkup peraturan susunan pemerintah atau bentuk negara yang menjadi dasar pengaturan negara (KBBI, 1991:1015). Jadi politik ketatanegaraan adalah suatu cara atau alat yang digunakan untuk mengatur negara sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dan untuk  mencapai tujuan negara, yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.5 Unsur politik

    Setiap negara pasti menerapkan sistem politik untuk mengatur dan mencapai tujuannya, demi terciptanya kesejahteraan bangsa dan negara. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber resources yang ada. Pelaksanaan kebijaksanaan diperlukan kekuasaan dan kewenangan yang akan dipakai, baik untuk membina kerja sama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin akan timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi dan jika perlu bersifat paksaan. Tanpa ada unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan saja.  Unsur ini diperlakukan sebagai konsep pokok yang dipakai untuk meneropong unsur-unsur lainnya.
    Dari uraian diatas jelas bahwa sistem politik meliputi beberapa unsur, yaitu: (1) negara, (2) kekuasaan, (3) pengambilan keputusan, (4) kebijakan Umum, dan (5) pembagian kekuasaan (Sumarsono et al, 2006:138). Unsur-unsur ini akan menentukan arah dan tujuan yang akan dicapai. Tujuan yang hendak dicapai harus diwujudkan demi kebaikan dan keuntungan bersama.
2.5.1 Negara

     Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilyah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Menurut J. Laski negara adalah suatu masyarakat yang di integrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Peraturan-peraturan yang dibuat negara adalah bersifat tegas dan harus dipatuhi.
    Negara yang terbentuk dari hasil gabungan kelompok masyarakat adalah mempunyai kekuasaan mutlak dan dianggap sepenuhnya berhak mewakili kepentingan masyarakat yaitu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurut Belleefroid negara adalah suatu persatuan hukum yang menempati suatu wilayah untuk selamanya dan dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.
Kenyataan yang ada saat ini yang perlu dilakukan adalah membina dan mempersiapkan bangsa dan negara untuk menghadapi masa mendatang dan mencapai tujuan nasional. Ideologi adalah dasar, patokan, dan pegangan bersama untuk mengarahkan pelaksanaan kegiatan dalam mencapai tujuan nasional. Ideologi merupakan wawasan dan pemikiran dan kesepakatan mengenai pola-pola dalam melaksanakan fungsi negara guna dapat mencapai cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara umumnya kesejahteraan rakyat adalah tujuan negara, sehingga negara harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi negara adalah penyelenggara langkah dan kegiatan untuk mencapai kesejahteran rakyat (Teuku, 2007:63). Jadi negara adalah suatu masyarakat yang berada dalam wilayah yang dilengkapi dengan hukum-hukum yang berfungsi untuk mengatur dan untuk mencapai cita-cita luhur  bangsa dan negara, yaitu kesejahteraan bersama.

2.5.2 Kekuasaan

    Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya (Sumarsono et al, 2006:138). Kekuasaaan yang dimaksud adalah kekuasaan yang tidak disalahgunakan demi kepentingan sendiri, melainkan dilakukan dengan benar dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Gejala kekuasaan adalah gejala wajar yang terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama. Setiap manusia merupakan subjek dari kekuasaan dan objek dari kekuasaan. Sumber kekuasaan terdapat dalam pelbagai segi, yaitu bersumber pada kekerasan fisik, kedudukan, kekayaan, dan kepercayaan.
Diantara banyak bentuk kekuasaan yang paling penting adalah kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat. Tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara dibidang administratif, legislatif, dan yudikatif. Dalam politik yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kekuasaan itu diperoleh, bagaimana mempertahankannya dan bagaimana melaksanakannya. Kekuasaan politik dan tujuan politik adalah mempengaruhi satu sama lain dan bergantung satu sama lain. Jadi politik yang identik dengan kekuasaan tidak dijadikan sebagi ambisi sempit yang dapat merugikan negara dan masyarakat luas. Tetapi dijadikan sebagai acuan untuk mencapai pemerataan dan keadilan bagi rakyat.

2.5.3 Pengambilan Keputusan

    Pengambilan keputusan merupakan konsep pokok dari politik menyangkut keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh masyarakat (Endang et al, 2002:147). Mengambil keputusan berarti memilih antara beberapa alternatif yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijaksanaan pemerintah. Pengambilan keputusan adalah sebagai konsep pokok dari politik yang menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut tujuan masyarakat dan menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam pengambilan keputusan perlu diperhatikan siapa pengambil keputusan itu dan untuk siapa keputusan itu dibuat (Sumarsono et al, 2006:138).
Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum dan bukan melalui kelompok. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mengenai tindakan umum atau nilai-nilai, yaitu mengenai hal yang akan dilakukan pemerintah sehingga akan mendapatkan kepuasan dalam pencapaiannya. Kegagalan pembangunan dapat dihindari bila para pemimpin pemerintah mau mendengarkan pendapat rakyat, dan bukan sebaliknya rakyat yang terus mendengarkan pendapat pemerintah.
2.5.4 Kebijakan Umum

    Kebijakan (policy) merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu (Sumarsono et al, 2006:138). Dasar pemikiran kebijakan adalah bahwa masyarakat memiliki beberapa tujuan bersama yaitu cita-cita yang ingin dicapai melalui usaha bersama. Sehingga perlu ditentukan rencana-rencana yang mengikat dan dituangkan dalam kebijakan-kebijakan oleh pihak yang berwenang maka pihak yang berwenang mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
Kebijakan negara dalam sistem politik pada umumnya bukanlah merupakan tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan. Kebijakan tersebut dibuat dalam bentuk positif yang berlandaskan hukum dan kewenangan. Dengan demikian warga masyarakat bisa menerima sebagai sesuatu yang absah. Jadi kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri (Solichin, 2002:6).

2.5.5 Pembagian Kekuasaan

     Pembagian yang dimaksud adalah pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Apabila nilai tidak merata maka akan menimbulkan konflik (Endang et al, 2002:147). Masalah tidak meratanya pembagian nilai-nilai perlu diteliti dalam hubungannya dengan kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah. Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang mempunyai harga dan karena itu dianggap baik dan benar, serta sesuatu yang ingin dimiliki oleh manusia. Nilai ini dapat bersifat abstrak seperti penilaian atau suatu azas kejujuran, kebebasan berpendapat, kebebasan mimbar dan juga bersifat konkrit seperti rumah dan tanah.
Politik membicarakan pembagian dan pengalokasian nilai-nilai secara mengikat. Jadi dalam politik pembagian kekuasaan sangat penting yaitu seperti pendapat Montesquieu  bahwa pembagian kekuasaan sangat diperlukan sebagai sarana untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Dengan demikian konflik-konflik yang timbul dapat diselesaikan dengan memeratakan pembagian kekuasaan sehingga dapat menjamin hak asasi manusia.

2.6 Jenis Politik di Indonesia

    Dalam kehidupan politik disuatu negara dapat ditemukan beberapa jenis politik, yaitu: (1) politik demokrasi (Winarno, 2006:95), (2) politik nasional, (Endang et al, 2002:148), (3) partai politik (Budiarjo, 2007:160), (4) politik dalam negeri, (5) politik luar negeri (Sumarsono et al, 2006:160-161).
    Politik demokrasi adalah sistem pemerintahan dalam suatu negara yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Sistem politik demokrasi merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat. Wakil-wakil tersebut dipilih dalam pemilihan yang berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Dalam sistem ini para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan berhak untuk memberikan suaranya.
    Politik Nasional dapat dirumuskan sebagai asas, haluan usaha serta kebijaksanaan tindakan dari negara tentang pembinaan. Pembinaan tersebut meliputi: perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, pengendalian, dan penggunaan potensi nasional untuk mencapai tujuan nasional. Politik Nasional pada hakikatnya sama dengan Kebijakan Nasional sebagai landasan serta arah bagi penyusunan konsep strategi nasional. Dalam penyusunan politik nasional hal-hal yang perlu diperhatikan secara garis besar adalah kebutuhan pokok nasional yang meliputi masalah kesejahteraan umum dan masalah keamanan serta pertahanan bangsa.
    Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Partai politik bertugas untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum yang diadakan secara berkala. Dalam hal ini partai politik mencangkup semua kegiatan sukarela seseorang untuk turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dalam pembentukan kebijaksanaan umum.
    Politik dalam negeri adalah politik yang memperkuat keberadaan dan kelangsungan negara kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada kebhinekatunggalikaan. Penyelesaian masalah-masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memerlukan upaya rekonsiliasi nasional yang berdasar Pancasila dan Undang-undang 1945 yang mampu menyerap dan  mendorong partisipasi masyarakat dalam satu sistem.
    Politik luar negeri adalah politik bebas aktif yang beorientasi pada kepentingan nasional, menitik beratkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

2.7 Penyimpangan Politik Ketatanegaraan

    Politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk mengelola kebutuhan orang banyak agar semua bisa mendapatkan bagian. Dalam Pancasila sila kelima disebutkan bahwa: “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Saat ini ketegangan konflik yang terjadi adalah adanya ketidakadilan yang terus terjadi dalam lapisan masyarakat. Pada awalnya pendiri negara bercita-cita untuk membangun masyarakat yang adil.
    Adil berarti bahwa seluruh bangsa, segenap insan Indonesia dapat hidup utuh sebagai warga negara. Hal ini dapat terjadi apabila kebutuhan dasar segenap insan Indonesia dapat terpenuhi. Maka yang perlu dilakukan adalah menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan segenap warga bangsa dapat menjamin kebutuhan dasarnya menjadi prioritas pembangunan yang diprakarsai oleh negara. Perwujudan keadilan sosial adalah tuntutan solidaritas bangsa, solidaritas adalah dasar persatuan bangsa yang majemuk. Bukti solidaritas sosial suatu bangsa adalah perlakuan yang baik terhadap warga masyarakat yang paling lemah, miskin, kelompok minoritas, para perempuan, dan semua warga yang tidak dapat membantu diri mereka sendiri. Warga masyarakat yang demikian harus diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan negara. Jadi keadilan bukan hanya milik seluruh pejabat penyelenggara negara, melainkan milik semua warga negara. Tetapi dalam kenyataannya banyak mengalami penyimpangan, seperti: (1) Money politics, (2) menggunakan agama sebagai kedok politik, (3) korupsi, (4) kolusi, dan (5) nepotisme yang sangat merugikan masyarakat.

2.7.1 Money Politics

    Money politics dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, yang bertujuan untuk mendapatkan suatu jabatan politis, atau sekelompok orang yang bekerja dibalik layar untuk mendapat jabatan politis, semata-mata dikarenakan adanya kompensasi atau imbalan sejumlah uang (http://www.jawapos co.id/index.php diakses pada tanggal 12 Januari 2008). Money politics sangat merusak mental bangsa karena sangat tidak mendidik. Hal ini hanya akan menghasilkan para politikus yang sangat jauh dari rasa tanggungjawab dalam berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan saat ini yang sangat diperlukan rakyat adalah wakil-wakil rakyat yang tahu persis tentang derita bangsa disaat krisis ini.
Money politics juga akan menjauhkan rasa cinta tanah air yang membuat bangsa kacau dan terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Selain menyebabkan pembangkangan sipil yang sangat berbahaya, masyarakat juga tidak patuh lagi pada pemerintah bahkan akan melawan pemerintah. Sikap dan tingkah laku seseorang menjadi suatu objek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada dibawah politiknya. Misalnya seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkahlaku politik yang mengandalkan uang untuk mencapai tujuannya, maka orang tersebut akan terbiasa menggunakan uangnya untuk mencapai tujuan politiknya. Kebiasaan yang seperti ini akan diwarisi oleh generasi muda untuk menggunakan cara ini dalam mencapai tujuan politiknya. Generasi yang seperti ini akan menghilangkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sehingga tidak dapat memperkokoh persatuan, tetapi akan membawa kehancuran bangsa dan negara.
Golongan elit seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku, karena peranan mereka bisa menentukan walau tindakan politik mereka tidak sejalan dengan iklim lingkungannya. Golongan elit ini secara sadar memakai cara yang tidak demokratis demi menuntun masyarakatnya untuk mencapai tujuan. Sejauh ini dapat diketahui adanya kesenjangan antara corak sikap dan tingkah laku yang tampak dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kenyataan seperti ini harus dapat dirubah dengan politik yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang.

2.7.2 Agama digunakan Sebagai Kedok Politik

    Agama adalah menjadi salah satu rujukan signifikan dalam setiap sikap dan perilaku mayarakat, terutama dalam dunia politik. Fenomena ini tidak disia-siakan oleh kaum politisi. Perjalanan sejarah politik di Indonesia, para politisi dari beragam ideologi selalu menjadikan agama sebagai pertimbangan untuk mengembangkan kebijakan politik mereka (http://www.jawapos.co.Id/index.php? diakses pada tanggal 12 Januari 2008). Dalam hal ini politisi yang berlatar belakang agama dengan ideologi kanan mendirikan partai agama dan berlatar belakang agama. Para politisi yang sering dianggap sekuler juga tidak mau ketinggalan. Dalam kiprah di partai politik, mereka juga mendirikan lembaga keagamaan dengan tujuan mendukung politik mereka dari sisi keagamaan. Harapannya akan mendapatkan suara terbanyak pada saat pemilu didaerah-daerah yang keagamaannya kuat. Jadi agama hanya dijadikan sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat demi tercapainya tujuan politiknya.
Strategi para politisi untuk menjadikan agama sebagai dasar pengembangan politik merupakan sesuatu yang sangat positif. Melalui cara ini nilai-nilai agama diharapkan bisa mencerminkan politik dengan moralitas yang  luhur. Tetapi hal ini menjadi sesuatu yang naif karena pengusungan agama dalam ranah politik dan ruang publik hanya bersifat simbol dan atribut formal.
Pola ini menjadikan masyarakat kecewa sehingga berdampak buruk bagi pelaksanaan pemilu maupun perkembangan politik di Indonesia. Pada saat yang sama masyarakat akan mengalami pembodohan terus-menerus. Masyarakat akan sulit berkembang menjadi masyarakat demokratis yang preferensi berdasarkan pada rasionalitas dan keunggulan partai.
Atas dasar fenomena ini para politisi harus merekonstruksi kebijakan yang selama ini dikembangkan. Mereka tidak bisa lagi menjadikan agama sekedar sebagai alat legitimasi. Apalagi memperbudak agama untuk tujuan-tujuan yang sangat partisan mengambil hak-hak asasi masyarakat lain. Tidak heran apabila saat ini kalangan masyarakat kecil berbicara tentang politik. Penyebabnya karena rasa kecewa dan tidak puas dengan para pemimpin yang tidak menyalurkan aspirasi seperti yang pernah dijanjikannya. Jadi dengan menggunakan agama sebagai simbol atau atribut formal menyebabkan kekecewaan dan kerugian pada masyarakat yang berakhir dengan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

2.7.3 Korupsi

    Istilah korupsi bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya (http:/www.transparansi.or.id. diakses pada tanggal 9 maret 2008).
Menurut KBBI Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Awal lahir budaya korupsi dalam skala luas yang terjadi saat ini adalah suap. Pada saat ini masyarakat menganggap bahwa suap adalah sebagai suatu hal yang wajar dan tidak menyalahi aturan. Banyak yang belum memahami bahwa suap baik memberi maupun menerima termasuk tindakan korupsi.
Dalam masyarakat yang kian materialistis, adagium istilah tak ada yang gratis dijadikan acuan untuk memperoleh uang. Akibatnya sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang, karena jabatannya menjadi diperjualbelikan demi keuntungan pribadi. Para elit politisi dan pemerintah semakin kehilangan moral, visi dan komitmen kenegarawan dalam mengelola jalannya pemerintahan. Mereka terjerembab dalam angan-angan untuk mengeruk keuntungan, sehingga menyebabkan kemiskinan pada masyarakat. Nilai dan harga manusia tidak dihargai dan dijunjung tinggi, tetapi disamakan dengan materi yang tidak punya nilai. Tindakan korupsi bukan peristiwa yang bediri sendiri, tetapi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor penyebab korupsi bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi dan dari situasi lingkungan yang kondusif  bagi seseorang untuk melakukan korupsi. (http://www.transparansi.or.id. diakses pada tanggal 28 februari 2008).
Suatu perbuatan korupsi merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai tujuan yang ditetapkannya waktu menentukan kriteria bagi berbagai jenis keputusan (Bayley, 1995:97). Ada beberapa faktor yang menyebabkan tindakan korupsi, yaitu: pertama, tindakan korupsi ini bukan karena miskin atau penghasilan yang tidak cukup, tetapi masih punya hasrat besar atau merasa kurang puas untuk memperkaya diri. Korupsi pada tindakan ini datang dari dalam diri, yaitu sifat tamak dan rakus. Kedua karena moral yang tidak kuat dan cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi, godaan ini bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak lain yang memberikan kesempatan untuk melakukan korupsi.
Ketiga karena penghasilan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan. Bila hal ini terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya yang dilakukan ternyata sulit didapatkan, maka keadaan ini akan memberi peluang untuk melakukan tindakan korupsi. Keempat dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan ini membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas, yaitu melakukan korupsi. Kelima, kehidupan dikota besar yang mendorong gaya hidup konsumtif. Perilaku konsumtif jika tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang untuk melakukan tindakan korupsi. Keenam karena sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat atau malas bekerja. Sifat semacam ini secara otomatis melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya korupsi.
Para ahli politik dan pegawai negeri merupakan golongan elit yang berfungsi memberi kepada usaha nasional. Jika mereka berbuat demikian maka telah memberi contoh yang akan diikuti oleh orang lain. Orang-orang kecil juga berusaha untuk mengumpulkan apa saja yang dapat menguntungkan bagi dirinya maupun orang-orang dekatnya. Karena korupsi merupakan tindakan tidak adil yang telah dilembagakan terhadap orang kecil, dengan sendirinya timbul tuduhan yang bersifat fitnah.
Seorang pejabat yang jujur dapat diperas dengan ancaman, bahwa bila tidak ikut berbuat korupsi akan dituduh sebagi koruptor dihadapan umum. Hal ini merupakan awal lahirnya lingkungan yang penuh korupsi dan keadaan yang seperti ini mustahil seseorang tidak melakukan korupsi. Meningkatnya tindak pidana korupsi baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia (Suradi, 2006:1). Faktor-faktor inilah yang menjadikan lingkungan penuh dengan tindakan korupsi dan menjadikan negara tidak dapat mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini moralitas sangat diperlukan untuk menghindarkan diri dari tindakan korupsi.
2.7.4 Kolusi

    Kolusi adalah kerjasama rahasia untuk maksud tidak terpuji, persengkongkolan, hambatan usaha pemerataan berupa antara pejabat dan perusahaan, (KBBI, 2001:514). Dalam pasal 1 butir 4 Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan negara. Kolusi merupakan bentuk kecurangan yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau antara suatu organisasi dengan organisasi lain. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri maupun kelompok atau untuk keduanya. Kecurangan merupakan kejahatan yang jarang kelihatan meskipun dapat diindikasikan kemungkinan adanya kecurangan. Dengan adanya kolusi, maka pemerataan yang seharusnya didapatkan oleh rakyat tidak pernah terwujud, sehingga kehidupan rakyat akan semakin terpojok oleh kemiskinan. Dalam hal ini rakyat merupakan sebuah alat permainan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Rakyat yang kurang cermat tidak dapat mengetahui hal ini, karena kolusi ini sangat halus dan licik. Rakyat hanya akan mendapatkan janji yang menggiurkan tetapi tidak pernah ada buktinya. Kebohongan yang dilakukan para politisi ini akan terus berlanjut karena dengan cara ini tujuan yang ingin dicapai mudah untuk diwujudkan dan rakyat tidak mengetahui hal tersebut. Bagi rakyat yang mengetahui hal ini akan melakukan protes menuntut agar janji yang pernah diucapkan dapat diwujudkan. Tindakan kolusi ini bisa menyebabkan pemberontakan dan pembangkangan. Pemberontakan ini dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga kesejahteraan rakyat sangat sulit dirasakan.
2.7.5 Nepotisme

    Menurut KBBI (2001:687) ada dua pengertian nepotisme. Pertama, nepotisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Kedua tindakan memilih kerabat atau sanak saudara untuk memegang pemerintahan. Aturan yang mengutamakan kerabat dekat untuk diajak kerjasama berkarya akan menutup peluang bagi orang lain yang tidak mempunyai kerabat dekat dengan pejabat.
Dalam lingkup nepotisme orang akan menjadi manja, tidak dewasa dan sangat bergantung kepada kerabat dekat yang menjadi pejabat. Akibatnya suasana kerja tidak kondusif dan perasaan iri pegawai lain akan berkembang. Nepotisme telah menjadi penyakit berbahaya dalam lingkungan pemerintahan. Karena kepercayaan dan objektifitas tidak terjaga, sehingga kemerosotan kerja akan terjadi. Dalam kehidupan saat ini tindakan nepotisme sangat merugikan kepentingan rakyat. Karena nepotisme adalah tindakan yang merugikan, maka tindakan ini harus dihilangkan. Apabila tidak dihilangkan maka garis kemiskinan akan tetap ada dilingkungan masyarakat.
Kemiskinan yang terjadi akan terus berlanjut apabila para pemimpin tetap mengutamakan sanak saudara maupun orang-orang dekat. Akibatnya dilembaga legislatif akan beradu kuat dengan demokrasi sehingga nepotisme akan menang dan demokrasi akan kalah. Asas demokrasi yang seperti ini, kedaulatan rakyat akan diganti dengan kedaulatan keluarga. Nepotisme yang terus berkembang akan memunculkan politisi yang tidak profesional karena bergantung kepada orang yang telah memberikan jabatan. Rasa mengabdi kepada rakyat akan ditinggalkan karena rakyat tidak lebih penting daripada orang yang telah memberikan jabatan. Dalam jangka panjang tumbuhnya nepotisme dalam penyusunan daftar calon legislatif telah memboroskan sumber pembangunan karena pangkal tolak pemikiran calon legislatif bukan berdasarkan kecakapan dan norma-norma politik umum, melainkan bercampur dengan soal-soal pribadi. Kepentingan pribadi merupakan penghambat terciptanya tujuan politik yang bersih. Dalam hal ini sudah seharusnya para politisi memperbaiki moralnya sehingga pengabdian kepada rakyat dapat diwujudkan karena kepentingan rakyat jauh lebih baik daripada kepentingan pribadi maupun golongan.

2.8 Dasar-dasar Politik Ketatanegaraan

    Dalam sistem pemerintahan erat kaitannya dan merupakan bagian dari sistem politik. Indonesia menerapkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila sebagai satu kesatuan didalam sistem politiknya (Teuku, 2007:50). Salah satu aspek penting politik adalah budaya politik yang merupakan keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya.
Sistim politik menghasilkan “output” yaitu keputusan kebijaksanaan yang mengikat. Dengan kata lain melalui sistim politik tujuan-tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya dilaksanakan oleh keputusan-keputusan kebijaksanaan (Budiardjo, 2007:48). Penyusunan politik perlu memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang berlandaskan Ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional (Sumarsono et al, 2006:140). Landasan pemikiran dalam sistem manajemen nasional sangat penting sebagai kerangka acuan dalam penyusunan politik, karena didalamnya terkandung dasar negara, cita-cita nasional dan konsep srategis bangsa Indonesia.
  Kedudukan pokok Pancasila bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai dasar Negara. Penyelenggaraan bernegara mengacu dan memiliki tolok ukur, yaitu tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan (Winarno, 2007: 12-13). Pancasila adalah dasar negara dari negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut teori jenjang norma (stufentheorie) yang dikemukankan oleh Hans Kelsen seorang ahli filsafat hukum, dasar negara berkedudukan sebagai norma dasar (grundnorm) dari suatu negara atau disebut norma fundamental negara (staafsfundamentalnorm). Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam negara. Dibawah grundnorm terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm tersebut. Norma-norma hukum yang bertingkat-tingkat membentuk susunan hierarkis yang disebut sebagai tertib hukum.
UUD 1945 merupakan sumber pokok sistem pemerintahan Republik Indonesia yang terdiri atas hukum dasar tertulis, UUD 1945 (pembukaan, batang tubuh dan penjelasan) dan hukum dasar tidak tertulis, yaitu pejanjian dasar yang dihormati, dijunjung tinggi serta ditaati oleh segenap warga negara dan lembaga negara. Politik yang telah berkembang disusun berdasarkan sistem kenegaraan menurut UUD 1945. Tujuannya adalah agar politik tidak akan melanggar hukum atau norma-norma yang telah ada.
Wawasan Nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah Nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya (Endang et al, 2002:33). Wawasan nusantara merupakan cara pandang yang mengajarkan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Wawasan nusantara dalam kehidupan nasional yang mencangkup kehidupan politik harus tercermin dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindakan yang senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Dengan demikian kepentingan bangsa dan negara harus lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi.
Ketahanan Nasional adalah konsepsi politik kenegaraan Republik Indonesia yang merupakan konsepsional bagi pembangunan nasional di Indonesia. Ketahanan nasional meliputi ketahanan politik yaitu kondisi politik bangsa Indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945 yang mengandung kemampuan memelihara sistem politik yang sehat dan dinamis. Politik yang sehat sangat dibutuhkan demi menumbuhkembangkan nilai-nilai nasional yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata.

2.9 Tujuan Politik Ketatanegaraan

    Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan kesejahteraan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Sumarsono et al, 2006:145). Dalam hal ini bangsa Indonesia memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Pembukaan UUD 1945 dijelmakan dalam empat pokok pikirannya yang meliputi suasana kebatinan dan memberikan acuan dalam mewujudkan cita-cita hukum tertulis maupun tidak tertulis. Undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindung (Budiardjo, 2007:96).
    Politik dalam aturan ketatanegaraan dituangkan dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Pelaksanaannya dituangkan dalam pokok-pokok kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan nasional yang ditentukan oleh presiden sebagai mandataris MPR dengan mendengarkan dan memperhatikan pendapat dari lembaga tinggi negara lainnya.

2.10 Fungsi Politik Ketatanegaraan

    Pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat. Maka kekuasaan yang diperlukan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Sesuai dengan tujuan politik yang tercantum dalam UUD 1945, maka politik ketatanegaraan berfungsi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata.
    Undang-undang dasar yang kita kenal adalah sebagai jaminan yang efektif bahwa kekuasaan tidak akan disalahgunakan dan hak-hak warga negara tidak dilanggar. Maka dari itu timbulah istilah konstitusionalisme untuk menandakan suatu sistim asas-asas pokok yang menetapkan dan membatasi kekuasaan, yaitu hak bagi yang memerintah maupun yang diperintah. Bila fungsi politik dapat dijalankan sesuai dengan yang direncanakan maka kesejahteraan bangsa dan negara dapat dicapai. Dengan terciptanya kesejahteraan,  maka perwujudan kesejahteraan rakyat akan tercapai dengan ditandainya peningkatan kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat (Sumarsono et al, 2002:154). Selain itu juga memberikan perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar, yaitu papan, sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.



BAB III
TINJAUAN MORALITAS DAN POLITIK KETATANEGARAAN DALAM AGAMA BUDDHA

3.1 Pengertian Moralitas

    Dalam agama Buddha kata moral disebut sila dan merupakan dasar utama dalam pelaksanaan agama, yang mencangkup perbuatan lahiriah yang dilakukan melalui ucapan dan perbuatan jasmani. Buddhaghosa dalam kitab Visuddhimagga sila sebagai sikap batin atau kehendak (cetana), sila sebagai penghindaran (virati), sila sebagai pengendalian (samvara), dan sila sebagai tidak melanggar (avitikamma). Moralitas yang ditemukan dalam semua prinsip dapat dirangkum dalam tiga syair sederhana yang tercantum dalam kitab suci Dhammapada bab Buddha Vagga 183, yaitu: “Hindarkan kejahatan, lakukan kebaikan, sucikan pikiran. Inilah nasihat yang diberikan oleh semua Buddha”. Menjalankan moralitas merupakan satu upaya membiasakan diri untuk mengendalikan diri agar tidak menambah penderitaan makhluk hidup.
Teori moralitas umat Buddha terungkap secara praktis dalam berbagai prinsip. Prinsip ini merupakan panduan umum untuk menunjukkan arah untuk berbelok menuju keselamatan. Moralitas umat Buddha tidak hanya terdiri dari penahanan diri dari kejahatan, tetapi harus diimbangi dengan perbuatan baik. Berdasarkan Buddha Dhamma aturan moral (sila) diterima secara sukarela oleh orang itu sendiri, khususnya jika menyadari pentingnya moralitas.

3.2 Dasar-dasar Moralitas

    Dasar moralitas Buddhis dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kelompok pasif (Pancasila Buddhis) dan kelompok aktif (Dasa Punnakiriyavatthu). Kelompok pasif terdiri dari: (1) menahan diri dari pembunuhan, (2) menahan diri dari pencurian, (3) menahan diri dari perzinahan, (4) menahan diri dari ucapan tidak benar, (5) menahan diri dari minum-minuman keras dan obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran. Dalam lima moralitas kelompok pasif ini seseorang dituntut untuk selalu menahan diri dari perbuatan yang menyebabkan kerugian diri maupun kerugian makhluk lain. Dengan melakukan penahanan diri seseorang telah melatih dirinya untuk selalu hati-hati dalam melakukan perbuatan, sehingga akan menghargai kehidupan makhluk lain. Para politisi yang melaksanakan moralitas ini akan menghargai kehidupan orang lain dan tidak mementingkan dirinya.
Dasar moralitas kelompok aktif terdiri dari: (1) berbuat kebaikan dengan jalan berdana (Danamaya), (2) berbuat kebaikan dengan jalan melaksanakan sila (Silamaya), (3) berbuat kebaikan dengan jalan meditasi (Bhavanamaya), (4) berbuat kebaikan dengan jalan merendahkan diri (Apacanamaya), (5) berbuat baik dengan jalan membalas membantu (Veyyavacana), (6) berbuat kebaikan dengan jalan membagikan sesuatu kepada orang lain (Pattidanamaya), (7) berbuat kebaikan dengan jalan merasa gembira melihat kebaikan orang lain (Pattanumodanamaya), (8) berbuat kebaikan dengan jalan mendengarkan dan belajar Dhamma (Dhammassavanamaya), (9) berbuat kebaikan dengan jalan mengajarkan Dhamma (Dhammadesanamaya), (10) berbuat kebaikan dengan jalan mempunyai pandangan benar (Ditthujukamma).
Sepuluh moralitas kelompok aktif ini menuntut seseorang untuk mengerjakannya dan tidak menghindarinya. Dengan mengerjakannya maka moralitas seseorang akan menjadi baik, tetapi apabila menghindarinya maka moralitas yang dimiliki seseorang tidak akan menjadi baik. Bagi para politisi yang melaksanakan sepuluh moralitas ini dapat menjadikan dirinya sebagai politisi yang arif dan bijaksana dalam menentukan masa depan bangsa dan negara.

3.3 Tujuan Moralitas

Manusia memiliki karakter yang berbeda-beda sesuai dengan moral dasar yang dimilikinya. Suatu karakter manusia akan tercermin dalam tingkah laku atau tindakan sehari-harinya. Apabila manusia sadar akan tingkah laku yang dilakukan itu buruk maka harus segera bertindak sesuai dengan moralitas yang diajarkan agamanya. Moralitas dalam agama Buddha mengenali objektivitas nilai-nilai moral yaitu konsekwensi akan ditanggung tanpa memandang sikap individu atau sikap sosial terhadap tindakan itu.
Dengan kata lain moralitas umat Buddha tidak berlandaskan pada adat sosial yang bisa berubah, tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Moralitas dalam ajaran Sang Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju tujuan akhir, yaitu kebahagiaan tertinggi (nibbana). Dalam jalan umat Buddha menuju pembebasan, setiap individu bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kemalangannya. Keselamatan umat Buddha adalah hasil pengembangan moral setiap individu dan tidak dapat diberikan pada individu lain melalui suatu perantara (Dhammananda, 2004:211).
Dalam ajaran Buddha tugas pertama seseorang adalah membersihkan diri dari kekotoran batin. Tindakan ini dilakukan bukan karena takut atau keinginan untuk menyenangkan makhluk lain. Jika berpikir demikian berarti seseorang belum bijaksana dalam berpikir. Tindakan semacam ini akan memberikan manfaat karena dengan menyadari hal ini akan mengembangkan kekuatan moral yang memberikan dasar bagi pertumbuhan spiritual dan tindakan yang tidak merugikan serta menuju pembebasan.

3.4 Dasar-dasar Politik Buddhis

    Dasar politik yang sebenarnya bertujuan untuk kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan orang banyak, maka moralitas tidak dapat dilepaskan dari politik. Dasar politik Buddhis untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan adalah terletak pada moral seseorang yang baik. Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat.
Tindakan politis yang sesuai dengan prinsip etika atau berdasar moralitas itu pada akhirnya akan sesuai dengan nilai-nilai agama yang menganjurkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, karena berpolitik adalah demi kepentingan masyarakat seluruhnya (Priastana J, 2004:10). Bagi umat Buddha berpolitik adalah mewujudkan diri sesuai dengan nilai-nilai Dhamma dengan menggunakan daya kemampuan dan kecerdasan untuk mewujudkan tujuan luhur. Pencerahan politik yang sebenarnya dapat diharapkan dari orang-orang beragama yang mempunyai moralitas baik. Dengan dimilikinya moralitas yang baik, maka tindakan kotor menghalalkan segala cara tidak terjadi.
Penekanan Sang Buddha pada tugas moral seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga sebelum masehi untuk berbuat demikian. Raja Asoka yang sebelumnya berkuasa dengan politik kotor dan perbuatan busuk banyak mendatangkan bencana pada masyarakat. Akhirnya setelah masuk Buddhis dipuji-puji dan dikenang karena kualitas kepimpinannya dan moralitas politiknya yang manusiawi. Raja Asoka membuang jauh-jauh politik penaklukan bergelimang darah (digvijaya) dan menggantinya dengan politik yang menyanjung hukum dan menyantuni keadilan penuh kasih serta pengertian (Dhammavijaya) (Priastana J,  2004:49).
Politik dan agama sebenarnya sangat berkaitan erat dan saling membutuhkan satu sama lainnya, bahkan dijaman Sang Budhha tidak jarang gerakan moral maupun politis yang dilakukan Sang Buddha dan pengikutnya berimplikasi sangat besar terhadap kehidupan “berkerajaan” suatu kerajaan saat itu (Setiawan E, 2004:9). Moralitas Buddhis berperan memberi orientasi, bimbingan dan makna bagi tindakan-tindakan politis. Tindakan politis harus dilakukan dengan cara etis untuk kepentingan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk orang banyak. Tindakan politis yang etis akan selalu berpatokan kepada cita-cita masyarakat secara menyeluruh dan bukan untuk cita-cita pribadi maupun kelompok. Jika tindakan-tindakan ini menyeleweng dari cita-cita masyarakat, maka tindakan-tindakan anarki dari masyarakat tidak dapat dihindarkan. Awal terjadinya kejahatan dalam masyarakat adalah dari pemerintah yang bertindak tidak menyangkut kepentingan bersama, tetapi hanya menyangkut kepentingan pribadi.

3.5 Prinsip-prinsip Politik Buddhis

    Sang Buddha mendiskusikan pentingnya dan prasyarat pemerintahan yang baik (Dhammananda, 2005:336). Untuk mencapai pemerintahan yang baik, maka suatu prinsip yang memberikan manfaat sangat dibutuhkan. Dalam Maha Parinibbana Sutta dapat ditemukan tentang prinsip politik buddhis. Pada sutta ini Sang Buddha menyinggung mengenai sekumpulan raja-raja Licchavi. Sang Buddha menerangkan mengenai karakter dari corak politik yang di ikuti oleh raja-raja ini dengan menyebutkan tujuh peraturan penting. Jika ketujuh peraturan dilanggar, maka mesin politik akan mengalami kehancuran dan menyebabkan kemacetan. Sang Buddha meletakkan satu kelompok peraturan yang berdasarkan tujuh prinsip yang di ikuti para raja Licchavi.
Tujuh prinsip tersebut, yaitu: (1) pertemuan tetap yang dilaksanakan pada waktu tertentu, (2) persatuan, (3) demokratis, (4) menekankan ikatan atau hubungan diantara generasi lebih muda dengan generasi lebih tua, (5) melindungi kelompok yang lebih lemah, (6) fungsi spiritual, (7) pendidikan pada demokrasi. Bila tujuh prinsip ini dapat dihayati dan diamalkan dengan baik, maka perkembangan dan kemajuan yang diharapkan akan tercapai. Sang Buddha mengganggap tujuh peraturan ini penting, karena suatu negara yang mengikuti prinsip ini akan menghasilkan kemajuan dan negara atau pemerintahan yang dipercayai rakyat tidak akan hancur. Tetapi bila negara tidak melaksanakan hal ini dengan benar, maka rakyat akan mengeluh bahwa mereka ditindas oleh penguasa yang buruk dengan perlakuan tidak adil, hukuman, pajak, atau segala bentuk yang merugikan rakyat mereka akan bereaksi menentang dengan berbagai cara.
Prinsip pertama yaitu pertemuan tetap yang dilaksanakan pada waktu tertentu. Pertemuan-pertemuan ini sangat penting untuk membuat keputusan-keputusan, terutama keputusan politik. Pertemuan tetap yang diadakan oleh para pembuat keputusan merupakan bentuk perwakilan. Perwakilan atau wakil rakyat dipilih oleh rakyat dengan alternatif yang dapat mewakili kepentingan rakyat. Prinsip kedua adalah persatuan artinya pada saat berkumpul, bermusyawarah, sampai pada keputusan dan pada penerapan keputusan persatuan harus dijaga secara konsisten. Dalam pengambilan keputusan sudah pasti akan terjadi perbedaan pendapat, perbedaan tersebut bukan berarti persatuan harus dihancurkan, tetapi harus tetap dijaga. Bila terdapat pendapat yang kurang penting, pendapat tersebut tidak boleh dikesampingkan dalam pembahasan rapat. Sebuah pendapat walaupun dikemukakan oleh kaum minoritas harus didiskusikan sepenuhnya, bukan karena toleransi tetapi penghargaan terhadap pandangan orang lain. Jadi berbagai alternatif pendapat didorong untuk dibuat bahan diskusi dan bukan dikesampingkan begitu saja. Prinsip ketiga demokratis bahwa siapapun tidak boleh mengajukan hukum yang tidak dapat dipraktekkan. Pengambil keputusan harus waspada terhadap suasana dan perasaan rakyat. Mereka jangan sampai mengumumkan hukum yang tidak berkenan dihati rakyat. Prinsip keempat menekankan ikatan atau hubungan diantara generasi lebih muda dengan generasi lebih tua. Prinsip ini menekankan generasi yunior harus menghormati generasi senior terutama yang terpelajar memberikan pengetahuan kepada yang pengetahuannya kurang. Generasi senior harus memberikan perhatian terhadap kemajuan yunior, membimbing dan mendidik mereka serta memberikan kekuasaan pengambilan keputusan dibawah pengarahan mereka. Penekanan mengenai kerjasama dua generasi pada pengambilan keputusan politik dapat dikembangkan lebih jauh. Dampak dari generasi tua terhadap yang muda terutama pada proses pengambilan keputusan politik menjadi lebih terbuka apabila generasi tua tidak melewati batas yang dicela. Dengan kata lain teori politik Buddhis mengisyaratkan bahwa para pengambil keputusan politik jangan berpikiran yang bertentangan dengan norma dan nilai masyarakat yang telah ada.
Prinsip kelima melindungi kelompok yang lebih lemah maksudnya untuk melindungi kelompok yang lebih lemah, yaitu rakyat. Secara bebas prinsip ini diartikan sebagai pelindung kebebasan bagi setiap orang terutama kaum lemah atau minoritas. Lebih jauh prinsip ini menyatakan bahwa golongan lemah manapun yang ada pada masyarakat demokratis tidak boleh diekploitasi oleh kekuatan lainnya. Apabila golongan yang lebih lemah diekploitasi oleh golongan yang lebih kuat maka tidak dapat dikatakan sebagai demokratis. Prinsip keenam yaitu fungsi spiritual maksudnya mendorong kemajuan pada diri dan bukan hanya pada kemajuan luar. Dalam hal ini peran agama sangat dibutuhkan untuk memberikan suntikan yang mencegah terjadinya kejahatan. Apabila para politisi bisa mendapatkan suntikan spiritual dan memfungsikannya, maka tindakan-tindakan dan penyelewengan-penyelewengan politik tidak akan terjadi. Prinsip ketujuh yaitu pendidikan pada demokrasi maksudnya meningkatkan pengetahuan tentang demokrasi, sehingga demokrasi yang dilaksanakan berkualitas dan tidak asal-asalan. Tradisi Buddhis menganggap pendidikan sebagai aspek penting kebijaksanaan negara. Pendidikan demokrasi merupakan dasar untuk menciptakan kesejahteraan suatu bangsa dan negara. Para pemimpin yang berkualitas dapat menahan penipuan-penipuan yang akan dlakukan oleh negara-negara lain.

3.6 Tujuan Politik Buddhis

    Tujuan politik Buddhis adalah mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun kearah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi (http://samaggi-phala.or.id/naskahdamma diakses pada tanggal 29 Januari 2008). Tindakan politik dilakukan tidak hanya untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi sebagai tanggungjawab kemanusiaan.
    Tujuan politik sangat terpuji apabila memikirkan dan memperjuangkan kebahagiaan orang banyak. Pada dasarnya ajaran Buddha berupaya mendekati masalah-masalah dalam masyarakat dengan mengubah individu dalam masyarakat dan dengan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk menuntun masyarakat menuju perikemanusiaan yang lebih baik, peningkatan kesejahteraan anggota masyarakat dan pemerataan sumber daya yang adil (Dhammananda, 2005:333). Keadilan bagi seluruh umat manusia harus ditegakkan dan dipelihara oleh pemimpin atau negara. Apabila pemimpin menjadi tidak adil, wajar bila para bawahannya berusaha menirunya dan akan berlanjut sampai strata yang paling bawah dalam masyarakat. Pemimpin yang baik harus berhati-hati yaitu tidak boleh menciptakan musuh dan perbuatan yang hanya didasarkan pada kesenangan diri sendiri. Teori politik Buddhis adalah pengutamaan terhadap kekuatan kebijaksanaan diatas semua aspek yang lain. Etika atau moralitas yang baik merupakan awal atau dasar terciptanya politik yang etis. Dengan kualitas kebijaksanan yang dimiliki seorang pemimpin maka tujuan-tujuan politik dapat mensejahterakan rakyat. Apabila rakyat sejahtera maka negara juga akan sejahtera.

3.7 Aspek-aspek Politik Buddhis
   
    Untuk mencapai suatu tujuan politik yang dapat menjamin kesejahteraan dan kemakmuran, maka politik harus dijalankan dengan baik. Kemoralan dan tanggungjawab setiap pemimpin dalam politik sangat dibutuhkan. Kemerosotan moral pemimpin bisa menyebabkan kemiskinan dan tindakan-tindakan anarki dalam lingkungan masyarakat. Dalam Digha Nikaya Pathika Vagga Cakkavattisihanada-sutta kemiskinan yang sangat adalah sebab utama dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral. Kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai apabila penghidupan yang bersih berdasarkan prinsip-prinsip moral para pemimpin politik tidak dijalankan dengan baik. Dalam agama Buddha terdapat aspek-aspek yang dapat digunakan dalam perencanaan politik, yaitu: (1) kualitas perbuatan moral, (2) kerjasama sosial dan partisipasi aktif masyarakat, (3) mematuhi aturan hukum, (4) mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi. Dengan dijalankannya aspek-aspek ini, maka politik yang sehat dapat tercapai dengan baik. Jadi negara yang ingin mewujudkan suatu politik yang sehat, maka empat aspek ini harus dijalankan dengan baik.

3.7.1 Kualitas Perbuatan Moral

     Moralitas merupakan dasar utama dalam pelaksanaan kehidupan yang mencangkup semua perilaku yang merupakan langkah pertama untuk mencapai peningkatan batin yang luhur. Dalam Aganna Sutta, satu-satunya klasifikasi manusia, menurut Sang Buddha, adalah berdasarkan pada pada kualitas perbuatan moral mereka.
Dengan meningkatkan kualitas moral maka, tindakan-tindakan yang dilakukan dapat mencerminkan moralitas dan etika hidup bersama. Tindakan tersebut dilakukan dengan cara etis dan ditujukan demi kepentingan dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat. Sila atau moralitas dalam agama Buddha adalah segi mendasar yang mencangkup batin yang dibangun dengan menghindari perbuatan buruk dan pikiran yang berhubungan dengan pelaksanaan peraturan-peraturan yang berperanan untuk kebersihan moral.
Batin yang dibangun dengan menghindari perbuatan buruk merupakan perbuatan yang menghindari kecurangan-kecurangan. Dalam politik apabila seorang pemimpin bisa menghindari usaha menghalalkan segala cara maka kerugian negara dan rakyat tidak terjadi. Sedangkan pelaksanaan peraturan yang berperan untuk kebersihan moral merupakan sikap bijaksana yang mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan buruk yang dapat merugikan rakyat dan negara. Kualitas perbuatan moral para pemimpin sangat berperan penting dalam menciptakan kesejahteraan bangsa dan negara.
Sesuai dengan sabda Sang Buddha dalam kitab suci Dhammapada bab Pandita Vagga Syair 88 bahwa “Seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain, demikian pula ia idak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang sesungguhnya luhur, bijaksana dan berbudi” (Dh VI:84). Jadi dengan kualitas moral yang dimiliki oleh para pemimpin maka cara-cara yang tidak pantas tidak dilakukan. Tetapi cara-cara yang baik akan selalu dilakukan demi mewujudkan kebahagiaan bersama.

3.7.2 Kerjasama Sosial dan Partisipasi Aktif

    Sang Buddha mendorong jiwa kerjasama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat. Semangat ini dimajukan secara aktif dalam proses politik masyarakat modern (Dhammananda, 2005:335). Untuk menjaga hubungan yang baik setiap orang harus menjaga kerukunan dan saling tolong menolong. Dengan terciptanya kerjasama dan saling tolong menolong maka terciptalah kehidupan yang harmonis. Kemauan untuk kerjasama dan partisipasi aktif merupakan perwujudan politik yang bermutu dalam mencapai hasil yang diharapkan. Dalam Samyutta Nikaya bab I Syair 75 disebutkan bahwa: “Jika seseorang menghargai hidupnya sendiri, ia harus menjaga baik-baik dan hidup secara lurus. Oleh karena tidak ada yang lebih berharga bagi manusia daripada hidupnya sendiri, maka ia pun harus menghargai dan menghormati hidup orang lain seperti hidupnya sendiri”. Pada dasarnya manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam hal politik sikap kerjasama dan partisipasi dari setiap orang sangat membantu dalam perumusan-perumusan kebijaksanaan yang akan ditempuh.
Menghargai pendapat orang lain adalah kunci dari kerjasama yang tidak mematikan pendapat-pendapat berikutnya. Banyaknya pendapat atau masukan-masukan dari banyak orang merupakan suatu hal yang bisa membuka wawasan tentang kebutuhan maupun kebijakan-kebijakan yang harus ditempuh. Jadi untuk mencapai tujuan politik sangat diperlukan suatu bentuk kerjasama dan partisipasi atau ide-ide yang dapat membantu demi tercapainya suatu tujuan yang baik.

3.7.3 Mematuhi Aturan Hukum

    Hukum dalam agama Buddha mempunyai makna untuk mendisiplinkan seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang tercela. Didalam Maha Parinnibana Sutta Sang Buddha menekankan agar sepeninggal dirinya para siswanya tidak bergantung pada-Nya, melainkan kepada Dhamma dan Vinaya, yakni sistim hukum kesunyataan sebagai pedoman dalam kehidupan siswa-siswanya.
    Hukum kesunyataan merupakan hukum abadi yang akan terus berlanjut dan tidak akan mengalami perubahan. Setiap orang harus tunduk pada hukum yang berlaku karena fungsi hukum adalah untuk mendisiplinkan seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang tercela. Kepatuhan terhadap hukum yang berlaku adalah menyadari bahwa diri sendiri bertanggungjawab atas kebahagiaan dan kesengsaraan diri sendiri. Dengan memahami hukum yang berlaku maka berbagai aktivitas untuk kebaikan sangat diperlukan demi kebahagiaan diri maupun orang lain. Hukum harus ditegakkan karena bila hukum dapat diperjualbelikan maka fungsi hukum tidak dapat dijalankan dengan sempurna.
Sang Buddha menganjurkan agar setiap penguasa dapat menjalankan hukum dengan baik tanpa memandang status sosial. Sang Buddha adalah seorang pemimpin yang bijaksana dalam menentukan hukuman tanpa memandang orang yang melanggarnya. Hal ini dapat dilihat pada kasus Rahula, Chana maupun Ananda dan murid-muridnya yang lain. Rahula adalah anak kandung dari Sang Buddha sendiri, beliau tetap menjatuhkan hukuman kepadanya karena telah melanggar hukum yang berlaku. Demikian juga dengan murid-muridnya yang lain beliau akan tetap menjatuhkan hukuman apabila telah terbukti melakukan kesalahan. Jadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara umat Buddha hendaknya mendasarkan kehidupannya pada Dhamma dan sistim hukum yang berlaku. Dengan mendasarkan pada hukum yang berlaku maka kesejahteraan suatu bangsa dan negara dapat dicapai.

3.7.4 Mendorong Jiwa Konsultasi dan Proses Demokrasi

    Peraturan-peraturan disiplin dalam vinaya yang ditetapkan juga diawali secara demokratis dengan memperhatikan suara-suara yang berkembang. Ketika menyampaikan ajarannya Sang Buddha memperlakukan muridnya secara sama setara, tidak membeda-bedakan, dan tidak memandang status sosial seseorang berasal. Hal ini ditunjukkan dalam komunitas pasamuan dimana semua anggota mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum (Dhammananda, 2005:335). Apabila timbul permasalahn serius yang memerlukan perhatian maka pertanyaan tersebut didiskusikan dan dipecahkan secara bersama-sama.
Jiwa konsultasi dan proses demokrasi akan memberikan solusi yang terbaik dalam menyelesaikan masalah. Masalah-masalah yang timbul diselesaikan dengan cara terbuka dan menghormati setiap pendapat orang lain. Dalam proses ini setiap orang dituntut untuk menghilangkan sikap serakah maupun mementingkan diri sendiri.
Keserakahan menyebabkan orang menjadi bodoh, ia hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli kepada orang lain. Ia melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bukan hanya merugikan diri sendri, tetapi orang-orang disekitarnya (Wuryanto, 2006:34). Manusia sejak lahir telah mempunyai hak-hak yang tidak boleh dirampas dan hak tersebut harus dipenuhi oleh negara maupun institusi sosial lainnya.
Dalam agama Buddha manusia merupakan makhluk yang luhur dan bermartabat tinggi. Karenanya kebebasan berpikir dan berpendapat merupakan hakikat yang ada pada dirinya dan setiap pendapat tersebut harus diberikan perhatian. Selain itu manusia memiliki martabat dan posisi memimpin dalam dunia ini karena mampu mengembangkan pikirannya (Priastana J, 2004:62). Pengembangan ini akan mengarah pada hal yang positif apabila diungkapkan didepan umum. Dengan diungkapkan didepan umum maka saran-saran dari orang lain akan didapatkan. Saran-saran inilah yang menuntun pada terciptanya pengembangan pikiran yang positif.

3.8 Perilaku Penguasa atau pemimpin Buddhis

    Umat Buddha diajarkan untuk selalu melihat kedalam diri sehingga  kecerobohan atau kegagalan tragedi yang sudah terjadi dapat dijadikan pelajaran berharga agar dimasa-masa mendatang tidak terjadi kesalahan yang serupa. Perilaku seoarang pemimpin sangat menentukan kehidupan rakyat. Apabila perilaku pemimpin buruk maka kehidupan rakyat akan buruk. Tetapi bila perilaku pemimpin baik maka rakyat juga akan mengalami kondisi yang baik. Baik buruknya kehidupan rakyat ditentukan oleh sikap dan moral yang dimiliki oleh seorang pemimpin.
Kejujuran dan keadilan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan menjauhkan diri dari sikap kikir dan tidak mementingkan diri sendiri. Dalam kehidupan saat ini seseorang cenderung untuk mementingkan kehidupannya sendiri. Sikap inilah yang menghambat terciptanya keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dalam agama Buddha sikap mementingkan diri sendiri akan membawa pada kehidupan yang penuh masalah. Selain menanggung celaan dari masyarakat orang tersebut akan dilahirkan di alam yang menyedihkan. 
Dalam Cakkavati Sihananda Sutta Sang Buddha memberikan nasehat kepada para penguasa atau pemimpin yang baik, yaitu: (1) bersikap tidak memihak dan berat sebelah terhadap rakyatnya, (2) bebas dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya, (3) tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika dapat dibenarkan, (4) memiliki pengertian yang jernih pada hukum yang diselenggarakan.

3.8.1 Bersikap Tidak Memihak dan Berat Sebelah Terhadap Rakyatnya

Keadilan suatu hukum sangat diperlukan demi terciptanya suatu keadilan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Sang Buddha telah membuktikan keadilan hukumnya, seperti Rahula. Meskipun Rahula adalah anaknya, Sang Buddha tetap menghukumnya karena telah melakukan kesalahan. Keadilan seperti inilah yang telah lama diidamkan oleh masyarakat. Banyak penjahat kecil, seperti pencuri ayam yang dihukum melebihi hukuman yang dijatuhkan pada orang yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat. Karena semata-mata orang tersebut adalah orang dekat dengan penguasa hukum dan mempunyai uang yang banyak.
Rakyat dari suatu negara akan mendapatkan kebahagiaan apabila menteri dan pejabat pemerintahan bersikap jujur dan tegas dalam hukum. Didalam undang-undang kebebasan, persamaan hak dan persaudaraan (freedom, equality, fraternity) harus dijamin (Sivaraksa S, 2001:145). Peraturan-peraturan hukum saat ini tidak adil karena hanya menguntungkan orang-orang kaya. Karena keserakahan dan ketamakan seorang pemimpin menjadikan hukum tidak mempunyai nilai bagi orang-orang kaya. Bagi orang miskin hukum sangat bernilai karena dengan hukum persamaan hak dapat diwujudkan. Setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum untuk menjamin agar haknya tidak dilanggar orang lain. Dalam hal ini tugas pemerintah mempunyai tanggungjawab yang besar, yaitu memberikan perlakuan yang sama dan tidak memihak dengan berbagai alasan apapun. Hal ini dapat diwujudkan pemerintah dengan cara memberikan hukuman kepada siapa saja yang telah melanggarnya tanpa memandang siapapun yang melakukan pelanggaran.

3.8.2    Bebas Dari Segala Bentuk Kebencian Terhadap Rakyatnya

Pikiran merupakan majikan yang selalu memerintah untuk melakukan perbuatan. Bila majikan berkeinginan jahat maka ucapan dan perbuatan jasmani sebagai pembantunya juga akan bertindak jahat sesuai yang diperintahkan oleh majikannya. Tetapi sebaliknya apabila majikan memerintahkan untuk berbuat baik maka ucapan dan perbuatan jasmani akan melakukan kebaikan sesuai yang diperintahkan oleh majikannya. Mengendalikan pikiran sama halnya dengan memperhatikan pikiran agar tidak dilekati oleh “noda-noda pikiran” yang melekat, serta berusaha mengikis ‘noda-noda” yang telah terlanjur melekat agar pikiran menjadi bersih (Wuryanto, 2006:33).
Pemimpin atau Penguasa yang mempunyai rasa benci terhadap rakyatnya, maka pemimpin tersebut tidak layak disebut pemimpin. Seorang pemimpin harus melayani dan mendengarkan aspirasi rakyat. Janji-janji pemimpin yang pernah dikatakan harus diwujudkan. Dalam kitab suci Dhammapada bab Bala Vagga syair 5 disebutkan bahwa: “ Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci”. Jadi sebagai seorang pemimpin harus bebas dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya. Karena seorang pemimpin yang menaruh dendam atau kebencian terhadap rakyatnya, maka pemimpin tersebut tidak dapat bersikap adil. Dalam hatinya terus diliputi rasa benci, yang akhirnya berusaha untuk melenyapkan orang tersebut dengan cara apapun sehingga apa yang menjadi keinginannya tercapai walaupun ditempuh dengan cara yang kotor.

3.8.3 Tidak Memperlihatkan Ketakutan Dalam Penyelenggaraan Hukum         Jika Dapat Dibenarkan

    Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika memang dapat dibenarkan. Memang ada kalanya seorang penguasa merasa takut dalam menegakkan hukum, tetapi rasa takut tersebut harus dibuang jauh jika memang keputusan tersebut benar. Untuk menegakkan keadilan resiko apapun harus berani diambil demi terciptanya suatu keadilan yang dapat menjamin kesejahteraan rakyat. Hukum tidak akan dilecehkan apabila hukum bersifat tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Dalam kenyataannya hukum telah banyak diperjualbelikan oleh orang-orang kalangan atas. Bagi golongan bawah hukum merupakan suatu hal yang sangat menakutkan. Tetapi bagi golongan atas hukum merupakan suatu hal yang tidak bernilai.
Dalam cerita jataka disebutkan bahwa penguasa yang menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang yang melakukan kejahatan, tidak sesuai untuk memerintah suatu negara. Apabila seorang pemimpin merasa takut untuk memberikan hukuman kepada orang yang bersalah, maka hukum hanya berlaku bagi orang-orang tertentu saja. Dalam hal ini hukum tidak mempunyai makna yang jelas. Menurut kansepnya hukum adalah untuk menghukum orang yang melanggarnyatanpa memandang orang yang melanggarnya, tetapi dalam pelaksanaannya hukum tidak berlaku bagi kalangan atas.  Tujuan hukum adalah untuk memberikan sanksi atas perbuatan yang merugikan orang lain. Jika ada orang-orang yang kebal hukum berarti percuma hukum dibuat karena tidak sesuai dengan tujuannya.
Dengan melihat manfaat dan akibat dari pelaksanaan hukum, maka seorang pemimpin harus menegakkan hukum. Ketakutan yang dirasakan harus dihilangkan demi tercapainya keadilan hukum. Pemimpin yang takut dalam penegakkan hukum tidak dihargai oleh masyarakat yang dapat memancing tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri menyebabkan keresahan dalam lingkungan masyarakat.

3.8.4 Memiliki Pengertian Yang Jernih Terhadap Hukum Yang Diselenggarakan

    Hukum harus diselenggarakan hanya karena mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Tetapi hukum dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran yang sehat. Dalam Kitab suci Dhammapada bab Dhammattha Vagga syair 256 bahwa: “Ia yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, tidak dapat dikatakan sebagai orang adil. Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang benar dan mana yang salah”.
Seorang pemimpin harus selalu memperbaiki dirinya dan menguji tingkah lakunya dengan hati-hati dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Tingkah laku tersebut untuk mengetahui dan mendengarkan pendapat rakyat pendapat rakyat tentang kesalahan atau  kekurangan dalam mengatur negara. Jika salah dalam mengatur negara maka rakyat akan mengeluh dan menentangnya dengan berbagai cara. Ketidakpuasan rakyat menandakan bahwa pemerintah masih salah dalam mengatur negara yang menyebabkan rakyat menentangnya. Maka para pemimpin harus banyak belajar dan memahami lebih dalam peraturan yang diterapkannya.

3.9 Karakteristik Politik Buddhis   

Karakteristik politik Buddhis adalah seperti isi dari Samyutta Nikaya, Sagata Vagga, Saka Samyutta 293, yaitu: “Sesuai dengan benih yang di tabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Taburlah biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya”. Seseorang pemimpin yang melaksanakan politik dengan baik akan memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun rakyat yang diperintahnya. Jika prinsip ini diabaikan maka seorang pemimpin harus menghadapi konsekuensinya.
Seorang pemimpin harus mampu melihat hal yang baik bagi rakyat dan bukan hal-hal yang hanya bersifat  menghibur. Pemimpin mempunyai kekuasaan besar yang berpusat pada dirinya. Bila kekuasaan digunakan dengan salah maka kesalahan yang besar itu tidak akan mampu membalikkan akibat yang telah digerakkanya. Dalam agama Buddha politik yang dijalankan dengan baik, maka hasilnya akan baik. Dan bila politik dijalankan dengan buruk, maka hasilnya juga akan buruk. Negara yang ingin mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya, maka politik harus dijalankan dengan baik. Dalam agama Buddha tampak jelas bahwa politik harus dijalankan dengan baik oleh seorang pemimpin.
   
3.10 Pelaksanaan Politik Buddhis

Menjadi seorang pemimpin negara yang baik harus tahu bahwa, tugas yang dijalankan adalah menyangkut kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat banyak. Seorang pemimpin tidak boleh berlaku sembarangan dalam menjalankan roda pemerintahan, tetapi harus memiliki pengetahuan yang luas, etika, serta berpengalaman. Seorang pemimpin harus bisa menjalankan prinsip utama politik yang merupakan fondasi untuk mencapai keberhasilan. Dalam Jataka, Volume V, Darimukha Jataka, Dasa Raja Dhamma Sang Buddha memberikan sepuluh peraturan bagi pemerintahan yang baik. Peraturan-peraturan ini dapat diterapkan oleh pemerintah untuk mengatur negara dengan damai dan tentram. Sepuluh peraturan tersebut, yaitu: (1) Liberal dan menghindari mementingkan diri sendiri, (2) Moralitas yang tinggi, (3) siap mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat, (4) bersikap jujur dan memelihara ketulusan hati, (5) bersikap baik hati dan lemah lembut, (6) hidup sederhana sebagai teladan rakyat, (7) bebas dari segala bentuk kebencian, (8) menerapkan prinsip tanpa kekerasan, (9) mempraktikkan kesabaran, (10) menghargai pendapat rakyat untuk memajukan perdamaian dan keselarasan.
Peraturan yang pertama liberal dan menghindari mementingkan diri sendiri berarti seorang pemimpin tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu diperlukan harus bersedia untuk mengorbankannya demi kepentingan rakyat. Selain itu seorang pemimpin juga tidak boleh memperkaya dirinya melalui kedudukannya. Apabila seorang pemimpin memperkaya diri melalui kedudukannya maka anggota-anggotanya juga akan mengikuti tindakan tersebut. Dengan kata lain seorang pemimpin harus memiliki kedermawanan, apabila dalam pemerintahannya ada orang yang tidak mampu harus diberikan bantuan. Bagi orang yang berdagang diberikan bantuan modal dan bagi orang yang tidak memiliki pekerjaan disiapkan lapangan pekerjaan. Dengan demikian maka mereka tidak membuat ulah yang meresahkan, karena mereka semua sibuk dengan pekerjaannya dan otomatis keamanan dapat terkendali dengan baik.
Peraturan kedua yaitu mempunyai moralitas yang tinggi karena moralitas yang tinggi akan menghasilkan tindakan-tindakan yang memanfaatkan. Untuk meningkatkan moral maka seorang pemimpin harus membiasakan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tercela. Selain itu seorang pemimpin harus menjalankan kemoralan, minimal yang tercantum dalam lima latihan kemoralan. Apabila seorang pemimpin melaksanakan kemoralan dengan baik maka kehidupan di negara yang dipimpinnya tidak  terjadi penyelewengan politik yang merugikan bangsa dan negara.
Peraturan ketiga siap mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat, maka segala kesenangan pribadi, nama, keagungan dan bahkan nyawa jika dibutuhkan harus siap dikorbankan demi kepentingan rakyat. Apabila  seorang pemimpin mempunyai kerelaan untuk mengabdikan dirinya pada rakyat, maka kesejahteraan mudah untuk diwujudkan. Sebaliknya apabila pengabdian tidak didasarkan pada kerelaan maka selama itu pula kesejahteraan rakyat sulit untuk diwujudkan. Pengabdian harus dilakukan tanpa pamrih dengan tujuan dapat menciptakan kesejahteraan bersama.
Hal ini sesuai dengan kotbah Sang Buddha dalam kitab suci Dhammapada bab Pandita Vagga syair 88, bahwa: ”Dengan meninggalkan semua kesenangan indera dan kemelekatan, demikianlah hendaknya orang bijaksana membersihkan dirinya dari noda-noda pikiran”. Peraturan keempat bersikap jujur dan memelihara ketulusan hati maksudnya pemimpin harus jujur, bebas dari ketakutan dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugasnya. Ketulusan yang dimiliki seorang pemimpin  akan mendatangkan kesejahteraan karena pemimpin yang tulus mengabdi tidak didorong oleh adanya sifat serakah kekuasaan atau jabatan, tetapi didorong oleh tanggungjawab dan kewajiban asasi manusia. Seorang pemimpin yang seperti ini pada dasarnya tidak ingin disanjung hanya karena jabatannya, tetapi hanya ingin dihargai karena memimpin dengan arif dan bijaksana dalam membawa kemajuan masa depan bangsa dan negara.
Peraturan kelima bersikap baik hati dan lemah lembut berarti seorang pemimpin harus mengutamakan kejujuran, sehingga tidak jarang harus bersikap tegas dan teguh dalam menjalankan aturan untuk menghindari hal-hal yang membawa dampak negatif. Seorang pemimpin juga tidak sepatutnya bertindak yang berlebihan dengan menjadi kasar dan kejam, tetapi harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah kepada siapapun. Keramahtamahan seorang pemimpin sangat dirindukan oleh semua lapisan masyarakat. Seorang pemimpin yang ramah tidak pernah gentar mengajak dan mengingatkan rakyatnya untuk maju membangun negara menuju kesejahteraan bersama. Peraturan keenam hidup sederhana sebagai teladan rakyat yaitu membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan yang berlebihan. Dengan menghindari kegemaran dalam kenikmatan hawa nafsu, seorang pemimpin yang sempurna mampu menjaga kelima inderanya dalam kendalinya. Sikap sederhana akan memunculkan jiwa besar dalam menghadapi segala tantangan kehidupan.
Jadi seorang pemimpin harus mengembangkan kesederhanaan karena kesombongan dan kebencian tidak akan ada, tetapi cinta kasih untuk mencintai semua lapisan masyarakat akan diwujudkan bahkan kepada semua makhluk hidup. Tetapi saat ini tidak jarang seorang pemimpin dengan segala fasilitas yang dimilikinya meremehkan tingkah laku bermoralnya. Tindakan semacam ini akan menjadikan sebagai pemimpin yang tidak baik dan selalu mengutamakan kepentingan pribadinya demi kebahagiaan semua anggota keluarga maupun kelompoknya.
Peraturan ketujuh bebas dari segala bentuk kebencian maksudya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapapun sehingga akan mampu bertindak dengan kesabaran dan cinta kasih. Seorang pemimpin yang baik tidak seharusnya mudah marah dalam menemukan permasalahan-permasalahan yang ada. Hal ini sesuai dengan isi dari Dhammapada bab Piya vagga syair 216 bahwa: ”Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan benar, teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya”. Pada dasarnya seorang pemimpin adalah sebagai lambang negara. Apabila lambangnya sudah tidak baik maka rakyat akan mengikuti hal itu dan menjadi tidak baik seperti lambangnya. Peraturan kedelapan menerapkan prinsip tanpa kekerasan berarti memelihara perdamaian dan semua hal yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup. Hak asai manusia adalah untuk  mengatur semua manusia agar tidak bertindak semena-mena. Maka dari itu seorang pemimpin harus bijaksana dalam mengambil sikap dilingkungan pemerintahannya dan jangan sampai menerapkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dipemerintahannya.
 Peraturan kesembilan mempraktikkan kesabaran maksudnya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang timbul maupun ejekan-ejekan yang memancing emosi harus dihadapi dengan penuh ketenangan, kesabaran, penuh pengertiand dan memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya. Kesabaran sangat diperlukan dan bukan sesuatu yang yang dapat menimbulkan kelambanan tugas dalam menghadapi situasi genting. Karena dengan kesabaran akan mempertahankan kebijaksanaan dalam memimpin bangsa.
Peraturan kesepuluh menghargai pendapat rakyat untuk memajukan perdamaian dan keselarasan. Dalam peraturan ini seorang pemimpin tidak boleh menentang kemauan rakyat dan tidak boleh menghalang-halangi usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain seorang pemimpin harus hidup bersatu dengan rakyat dalam keharmonisan dan melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat. Apabila setiap negara mempunyai pemimpin yang melaksanakan hal ini maka tidak diragukan lagi bahwa rakyat akan hidup bahagia dan sejahtera.



BAB IV
UPAYA MENINGKATKAN MORALITAS SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN POLITIK KETATANEGARAAN DALAM AGAMA BUDDHA

    Dari pembahasan Bab II dan Bab III dapat disimpulkan bahwa tujuan politik adalah baik, tetapi tujuan politik dapat berakibat buruk bila dijalankan dengan kotor dan penuh kecurangan. Penyimpangan-penyimpangan politik yang terjadi banyak merugikan negara dan rakyat, sehingga negara tidak dapat mencapai kesejahteraan. Faktor penyebab penyimpangan politik adalah moralitas para pemimpin yang selalu serakah dan mementingkan diri sendiri maupun kelompoknya. Menurut pandangan agama Buddha politik dapat dijalankan dengan baik, apabila moralitas yang baik dijadikan dasar para pemimpin politik dalam pelaksanaannya. Dari pembahasan diatas jelas bahwa politik tidak akan mencapai hasil yang baik selama moral para pemimpin masih diliputi keserakahan dan mementingkan kepentingan pribadi maupun kelompok.

4.1 Melaksanakan Pancasila Buddhis

    Sebagai warga negara tentunyan kedamaian, ketenangan dan kenyamanan sangat diharapkan. Sistem pemerintahan yang berjalan sesuai dengan dasar-dasar kebenaran merupakan faktor yang dapat membuat negara sejahtera. Kesejahteraan negara merupakan target yang harus dicapai oleh seorang pemimpin demi memajukan masyarakat menuju kehidupan yang adil, makmur dan beradab. Maka seorang pemimpin atau politisi harus mendasarinya dengan moral yang baik. Tetapi dalam kenyataan saat ini tindakan-tindakan para politikus tidak mencerminkan nilai moral yang baik. Politik yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama digunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Jika para politikus selalu mendistorsikan politik maka kesejahteraan bangsa akan sangat sulit dicapai.
    Seorang pemimpin harus selalu ingat bahwa tugas yang dijalankannya adalah menyangkut kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat banyak. Oleh karena itu seorang pemimpin tidak boleh bertindak dengan asal-asalan dan kurang hati-hati karena akibat yang ditimbulkan sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakatnya. Seorang pemimpin yang baik harus memiliki pengetahuan yang luas, berpengalaman dan moral yang baik.
Dalam agama Buddha terdapat lima aturan moral atau pancasila Buddhis yang dapat dijadikan dasar oleh para pemimpin politik. Dengan menjalankan aturan ini, seseorang akan mengetahui segala perbuatan yang dilakukan baik atau buruk. Lima aturan moral tersebut, yaitu: (1) bertekad untuk menghindari pembunuhan mahkluk hidup, (2) bertekad untuk menghindari pencurian atau pengambilan barang yang tidak diberikan, (3) bertekad untuk menghindari perbuatan asusila, (4) bertekad untuk menghindari perkataan yang tidak benar, (5) bertekad untuk menghindari segala obat-obatan dan minuman yang dapat melemahkan kesadaran.
4.1.1 Bertekad Untuk Menghindari Pembunuhan Mahkluk Hidup

     Dalam kehidupan saat ini membunuh makhluk hidup merupakan hal yang biasa dan tidak bernilai tanpa memiliki pengertian bahwa makhluk hidup sama seperti diri sendiri. Diri sendiri tidak ingin disakiti oleh makhluk lain, oleh karena itu semua makhluk mempunyai keinginan yang sama. Sebagai seorang manusia harus berpikir bahwa pembunuhan akan menyebabkan makhluk lain menderita dan sebaliknya, manusia harus merenungkan bahwa kalau kehidupannya diganggu orang lain tentunya akan mengalami penderitaan.
Dalam kehidupan atau menjalankan politik tindakan menghalalkan segala cara harus dihindari, terutama pembunuhan. Pembunuhan mungkin bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi jelas merugikan mahkluk lain. Apabila para politikus menggunakan pembunuhan dalam mencapai tujuannya, maka tindakan itu akan mengakibatkan suatu hal yang fatal. Pihak yang membunuh akan merasa gembira tetapi tidak akan berlangsung lama. Keluarga atau orang-orang dekat yang merasa dirugikan akan menuntut tindakan pembunuhan itu dengan berbagai cara. Akibatnya urusan pemerintahan akan kacau karena harus mengurusi tuntutan yang ditujukan kepadanya. Urusan pemerintahan yang ditinggalkan juga menyebabkan tuntutan dari kalangan masyarakat karena kepentingan masyarakat diabaikan.     Tuntutan dari masyarakat apabila tidak segera diwujudkan akan memancing tindakan unjuk rasa bahkan tindakan melawan hukum. Tindakan melawan hukum juga akan diikuti oleh masyarakat lainnya karena merasa haknya juga telah diabaikan. Apabila seluruh masyarakat dari suatu negara melakukan tindakan ini maka kekacauan negara akan terjadi. Kekacauan suatu negara menandakan tujuan atau pengaturan pemerintahan tidak dijalankan dengan baik yang menyebabkan negara penuh dengan konflik. Konflik yang sedang melanda membuka kesempatan bagi negara lain untuk menjajah dan menguasai negara ini.
Dari hal diatas tampak jelas akibat dari pembunuhan yang dilakukan oleh para politisi dalam mencapai tujuannya. Jadi para politisi yang ingin mencapai kesejahteraan negara harus menghindari pembunuhan yang bersifat untuk kepentingan diri sendiri. Kepentingan diri sendiri yang diutamakan akan menyebabkan akibat yang begitu besar.

4.1.2 Bertekad Untuk Menghindari Pencurian atau Pengambilan Barang Yang Tidak Diberikan

Dengan menghindari pencurian berarti telah mengendalikan ketamakan atau keserakahan. Keserakahan dapat menimbulkan seseorang untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi yang terjadi menyebabkan lemahnya atau berkurangnya anggaran yang digunakan untuk rakyat. Kehidupan ekonomi rakyat yang berkurang menyebabkan tindakan pencurian yang dilakukan rakyat demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu lapangan pekerjaan juga sulit didapatkan oleh rakyat karena para pemimpin lebih mengutamakan sanak saudara atau orang-orang dekat saja. Akibatnya orang yang miskin akan tetap miskin dan semakin miskin sedangkan orang yang kaya akan semakin kaya karena keserakahannya. Dalam kehidupan masyarakat tidak salah apabila banyak tindakan pencurian, penjambretan dan perampokkan. Tindakan semacam ini berawal dari pemimpin yang menyelewengkan uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Keserakahan atau ketamakan para pemimpin akan banyak mengakibatkan keresahan dalam masyarakat. Orang-orang kaya juga merasa tidak tenang hidup dalam kondisi yang penuh kejahatan. Rakyat yang terbiasa mencuri akan menyebabkan kemalasan dalam melakukan pekerjaan yang banyak mengeluarkan keringat tetapi hasilnya jauh lebih sedikit dari pencurian.
Kehidupan suatu negara akan tercapai apabila perekonomian masyarakat tidak kekurangan dan dapat dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah yang banyak menyelewengkan uang negara akan menyebabkan banyak kejahatan dalam lingkungan masyrakat. Dalam kehidupan saat ini pemerintah seharunya menyadari bahwa tindakan pencurian, penjambretan dan perampokkan yang terjadi karena tingkat kebutuhannya semakin besar. Sedangkan tunjangan yang digunakan untuk rakyat banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Tindakan kejahatan ini tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan hanya akan menimbulkan kebencian rakyat terhadap pemerintah. Kejahatan yang timbul saat ini hanya dapat diatasi dengan memenuhi kebutuhan rakyat dalam hal ekonomi. Kebutuhan ekonomi rakyat yang terpenuhi akan menghasilkan kesejahteraan rakyat dan negara serta akan menghilangkan kejahatan yang sangat meresahkan.

4.1.3 Bertekad Untuk Menghindari Perbuatan Asusila

    Orang yang tidak puas terhadap pasangannya akan memenuhi nafsunya dengan orang lain yang bukan pasangannya. Selain itu akibat pemuasan nafsu yang salah menyebabkan kawin kontrak ataupun poligami bagi orang-orang kaya. Bagi orang miskin akan menyebabkan pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak dibawah umur. Para pemimpin yang tidak bisa mengendalikan hal ini akan melakukan tindakan korupsi untuk memenuhi kebutuhan nafsunya.
Bertekad menghindari perbuatan asusila berarti merasa puas dengan apa yang dimilikinya dan tidak melakukan penyimpangan seksual dengan orang lain. Orang yang sudah berumah tangga tidak selayaknya untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Karena dengan melakukan penyimpangan seksual, maka rumah tangga akan hancur dan nama  baik juga akan hancur. Bila rumah tangga sudah hancur, meski berlanjut situasinya akan menjadi berbeda. Perbuatan asusila hanya akan menimbulkan banyak masalah, maka perbuatan ini harus dihindari
Dalam hal ini pengekangan hawa nafsu jauh lebih baik dari pada akibat yang akan ditimbulkan. Pengekangan hawa nafsu dapat dilakukan dengan merasa puas dengan pasangannya sendiri. Sebelum melakukan pernikahan janji yang diucapkan oleh pasangan ini adalah untuk saling setia. Hendaknya janji ini selalu diingat dan dijalankan sebaik-baiknya demi menciptakan kondisi rumah tangga yang harmonis.

4.1.4 Menghindari Perkataan Yang Tidak Benar

Dalam kehidupan sehari-hari perkataan yang tidak benar sangat sulit untuk dihindari. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk menghindari hal ini dan menggantinya dengan kejujuran. Kejujuran seorang pemimpin dalam mengatur pemerintahan sangat dibutuhkan, karena kejujuran ini akan menanamkan kepercayaan dan menyerahkan sepenuhnya kehidupan rakyat ditangan pemimpin. Tetapi dalam kenyataan saat ini para pemimpin hanya memanfaatkan rakyat untuk mencapai tujuan politiknya sendiri. Aspirasi rakyat yang pernah diucapkan dibuang dan dianggap tidak mempunyai nilai sedikitpun.
Dalam hal ini rakyat hanya dijadikan sebagai pemasok suara untuk mendudukkannya sebagai seorang pemimpin, sementara kepentingan rakyat diabaikan setelah berhasil menjadi seorang pemimpin. Dalam lingkungan rakyat wajar apabila terjadi krisis kepercayaan karena para pemimpin yang telah berhasil didudukkan melupakan janji yang pernah diucapkannya. Krisis kepercayaan ini akan menjadi bumerang mematikan bagi pemerintah. Faktor penyebabnya rakyat tidak menaruh kepercayaan terhadap pemimpin yang menyebabkan rakyat bertindak semaunya yang dianggap benar.
Pemerintah tidak mempunyai wibawa untuk mengatur rakyat, tetapi pemerintah akan dilecehkan rakyat karena tidak menciptakan kesejahteraan. Tugas pemerintah adalah berusaha untuk menanamkan kepercayaan kepada rakyat dan ini bukanlah tugas yang kecil. Untuk dapat dipercaya oleh rakyat, maka harus banyak melakukan kejujuran dalam setiap bidang kehidupan. Seorang pemimpin harus menjadi suri tauladan bagi rakyat yang dipimpinnya, sehingga rakyat dapat menaruh kepercayaan.
Rakyat akan percaya, bila seorang pemimpin banyak melakukan kejujuran dan pantang untuk melakukan kebohongan. Bila seorang pemimpin banyak melakukan kebohongan, maka rakyat tidak akan menaruh kepercayaan lagi. Akibatnya hubungan antara rakyat dan pemimpin tidak harmonis yang memancing tindakan-tindakan anarki. Jadi seorang pemimpin harus menghindari hal ini, demi tercapainya kesejahteraan antara seorang pemimpin dengan rakyat dan negara.

4.1.5 Menghindari Segala Obat-obatan dan Minuman Yang Dapat Melemahkan Kesadaran

Dengan melaksanakan sila kelima kesadaran yang dimiliki akan terus terjaga dan selalu bijaksana dalam melakukan tindakan. Seorang penguasa bila melanggar sila kelima kesadaran yang dimilikinya akan berkurang, sehingga keputusan-keputusan yang dibuat akan membawa kerugian. Keputusan yang  merugikan banyak menimbulkan pertentangan-pertentangan masyarakat kepada pemerintah. Rakyat yang sudah berani menentang pemerintah berarti pemerintah harus segera menyadari bahwa kebijakan yang dibuat tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Kebijaksanaan seseorang dapat diciptakan, salah satunya yaitu dengan menghindari minuman keras atau obat-obatan yang dapat melemahkan kesadaran. Minuman keras bila tidak dihindari akan menyebabkan kemalasan dan keributan serta suasana lingkungan yang tidak nyaman. Tindakan ini harus dijalankan oleh semua orang dengan baik demi menciptakan kondisi yang baik.
Pancasila Buddhis merupakan dasar yang diperlukan bagi semua orang, khususnya sebagai seorang pemimpin pemerintahan. Setiap pemimpin yang menjalankan sila dengan baik, maka kehidupan di negara yang dipimpinnya dapat bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jadi seorang pemimpin yang bisa memahami tindakan-tindakan mulia, maka pemimpin tersebut akan menyadari bahwa kepatuhan pada lima sila tidak membawa kerugian, tetapi banyak memberikan manfaat.

4.2. Melaksanakan Samadhi

    Samadhi bertujuan untuk mengembangkan sifat-sifat mulia, yaitu kesuksesan hidup dan terbebasnya dari nafsu-nafsu kotor. Orang yang melakukan samadhi harus memiliki keteguhan hati dan tidak mempunyai sifat kasar. Selain itu harus memiliki sila yang sempurna karena merupakan dasar yang harus dijaga dengan baik. Sila yang baik dapat membantu untuk mencapai hasil yang baik dalam pelaksanaan samadhi. Dengan melakukan samadhi akan dapat mengembangkan sifat mulia dan terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
Bila telah bebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin berarti telah dapat mengendalikan segala perbuatan yang tidak bermanfaat dan merugikan orang lain. Dalam kehidupan saat ini samadhi sangat perlu dilakukan oleh semua orang termasuk seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang banyak melakukan samadhi dapat menjernihkan pikiran dan ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam lingkungannya. Ketegangan-ketegangan yang terjadi menyebabkan kebencian yang sangat berbahaya apabila tidak dikendalikan. Kebencian yang ada dalam diri seseorang bisa menyebabkan hubungan yang tidak harmonis diantara para pemimpin. Hubungan yang tidak harmonis inilah yang akhirnya menyebabkan ketegangan-ketegangan. Dengan melaksanakan samadhi ketegangan yang terjadi dapat diatasi dan bijaksana dalam menghadapi masalah.
    Pelaksanaan samadhi meliputi tiga hal, yaitu pertama berusaha benar, maksudnya mengembangkan niat positif dan antusias dalam melaksanakan samadhi. Setiap usaha yang berguna membutuhkan kesungguhan hati untuk mencapai tujuannya. Dalam pelaksanaannya berusaha benar harus dilaksanakan dengan sikap batin dan dengan kesungguhan hati yang bulat untuk mencapai tujuan. Orang yang melaksanakan meditasi harus melawan kemalasan dan rintangan-rintangan lain yang muncul dalam pelaksanaan samadhi. Orang yang tidak dapat melawan rintangan ini tidak dapat mencapai tujuan atau tidak memperoleh manfaat. Samadhi sangat baik apabila setiap hari dapat dilaksanakan dengan benar, karena batin yang terus dilatih akan mempercepat timbulnya kebijaksanaan dalam diri. Kedua mengembangkan perhatian benar, maksudnya mengarahkan perhatian benar terhadap tubuh, perasaan, pikiran, dan objek yang dipilih.
    Perhatian benar sangat berguna bagi proses bekerjanya pikiran karena akan membebaskan diri dari kesangsian. Ketiga konsentrasi benar, maksudnya praktik mengembangkan pemusatan pikiran pada satu objek. Konsentrasi benar akan memberikan kewaspadaan dalam diri dan terbebas dari kekeliruan pandangan. Selain itu akan memperlambat proses pemikiran serta mempercepat kesadaran untuk mengamati proses ini. Hasilnya dapat meningkatkan kemampuan untuk memeriksa proses berpikir. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk selalu waspada dan mengendalikan diri terhadap pikirannya. Dengan mengembangkan hal ini maka pikiran dapat terlatih dengan baik yang kemudian dapat digunakan untuk menembus lapisan khayalan yang sebelumnya menutupi realitas. Batin yang dikembangkan dengan cara yang benar akan mendorong terciptanya hidup rukun, saling menolong, rendah hati, tidak sombong, sehingga akan membawa banyak manfaat bagi masyarakat dan bukan menjadi sampah kehidupan. Apabila samadhi dapat dilakukan semua orang dalam kehidupan sehari-hari akan mengurangi sampah kehidupan bahkan melenyapkannya. Pada dasarnya sampah kehidupan yang menumpuk adalah penyebab tidak tentramnya kehidupan masyarakat.
Dalam lingkungan para pemimpin sampah kehidupan adalah yang menyebabkan kemiskinan dan kerugian rakyat. Kehidupan rakyat akan sejahtera apabila sampah-sampah ini dapat dihilangkan dan tidak dibiarkan untuk berkembang. Jadi sebagai seorang pemimpin tidak salah untuk mendasari dirinya dengan melaksanakan samadhi, yang dapat membuat segala tindakan serta keputusannya yang bijaksana. Keputusan dan tindakan yang bijaksana akan menghasilkan suatu keuntungan yang dapat dirasakan bersama tanpa ada pihak yang dirugikan.

4.3 Mengembangkan kebijaksanaan

    Kebijaksanaan adalah pemahaman mendalam tentang satu masalah utama kehidupan. Kebijaksanaan tidak muncul dengan cepat, tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh. Penyebab penderitaan adalah karena kebodohan, kebencian dan keserakahan. Orang yang masih diliputi tiga hal ini tidak dapat bijaksana, dalam segala tindakannya. Dalam dirinya hanya mempunyai cita-cita untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Hal ini telah banyak terjadi dalam lingkungan masyarakat terutama para pemimpin negara. Fakta yang ada adalah banyaknya aspirasi rakyat yang tidak diwujudkan dan sebaliknya rakyat hanya dijadikan objek untuk kepentingan diri sendiri.
kepentingan sendiri seorang pemimpin, harus dihilangkan yaitu dengan mengembangkan kebijaksanan dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan mengembangkan kebijaksanaan segala tindakan yang dilakukan dapat membahagiakan diri maupun orang lain.  Untuk mengembangkan kebijaksanaan, seseorang harus melakukan dua hal, yaitu: pertama mempunyai pandangan benar. Seseorang yang mempunyai pandangan benar adalah orang yang bebas dari ketidaktahuan dan telah menyingkirkan akar kejahatan dari pikirannya.
Pandangan benar sangat bermanfaat untuk dikembangkan, karena dengan mempunyai pandangan benar seseorang tidak akan mempunyai prasangka buruk kepada orang lain. Akibatnya dapat membuka diri untuk menerima pendapat atau masukan orang lain. Kedua yaitu mempunyai pikiran benar yang mengacu pada keadaan mental yang melenyapkan ide atau gagasan yang salah. Dengan mengembangkan pikiran benar akan memberikan tujuan ganda, yaitu melenyapkan pikiran jahat dan mengembangkan pikiran murni. Pikiran murni membuat tindakan selalu benar dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan pikiran jahat menyebabkan penderitaan dan ketidakpuasaan dalam masyarakat.
Ada tiga aspek pikiran benar, yaitu pertama memelihara sikap ketidak melekatan pada kesenangan duniawi dan melenyapkan sifat egois, sehingga tidak mementingkan diri sendiri dan selalu memikirkan kesejahteraan orang banyak. Kesejahteraan orang banyak merupakan kesejahteraan bagi suatu bangsa dan negara. Kedua, memelihara sifat cinta kasih, niat baik dan kebajikan dalam pikiran yang merupakan lawan dari sifat kebencian, niat buruk, dan kejahatan. Dengan melakukan hal ini kebaikan akan dilaksanakan dan kejahatan akan ditinggalkan, karena kejahatan dapat menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri maupun orang lain. Aspek yang ketiga, yaitu mengembangkan pikiran untuk tidak menyakiti yang merupakan lawan dari kekejaman dan kurang tenggang rasa terhadap orang lain.
Pandangan benar dan pikiran benar merupakan faktor kebijaksanaan yang dapat menuju pada sikap moral yang baik. Kesejahteraan negara adalah tanggung jawab bersama dan bukan tanggung jawab sebagian orang. Apabila hal ini dapat dikembangkan dalam lingkungan masyarakat ketentraman lingkungan masyarakat dapat diciptakan. Sedangkan Bila dikembangkan oleh semua pemimpin politik, maka tujuan politik yang telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan kesejahteraan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

4.4 Pemahaman Hukum Kamma

    Kamma adalah suatu hukum alam yang bekerja sesuai dengan tindakan tanpa ada campur tangan pihak lain. Pada dasarnya hukum kamma akan bekerja sesuai dengan segala tindakan. Kalau berbuat baik, maka akan mendapatkan akibat yang baik. Demikian juga kalau berbuat buruk, maka akibat buruk pula yang akan ditimbulkannya. Dalam kehidupan saat ini seseorang tidak memikirkan akibat dari tindakan yang dilakukannya. Mereka banyak melakukan kejahatan untuk kebahagiaan dirinya dengan menggunakan berbagai cara demi mendapatkan kebahagiaannya.
Orang yang semacam ini tidak memperdulikan kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Mereka juga tidak takut terhadap akibat yang diterimanya. Apabila mereka mau berpikir dengan cerdas maka kejahatan tidak akan diciptakan. Dalam lingkungan pemerintahan juga tidak sedikit yang melakukan tindak kejahatan. Mereka melakukan praktek korupsi, kolusi maupun nepotisme dalam kehidupannya yang sangat merugikan rakyat. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya telah menjadikan dirinya sebagai seorang pecundang. Pada umumnya mereka telah tersesat dalam kenikmatan duniawi sehingga selalu mencari cara-cara yang salah untuk menciptakan kebahagiaannya.
Dalam kenyataan yang seperti ini sudah seharusnya pemahaman tentang hukum kamma dikembangkan. Karena dengan meningkatkan pemahaman tentang hukum ini seseorang akan mempertimbangkan semua perbuatannya. Selain itu juga akan belajar untuk menghindari kejahatan dan melakukan kebaikan. Dengan demikian maka perbuatan baik akan selalu dilakukan dan perbuatan jahat akan ditinggalkan. Pemahaman yang dilakukan secara mendalam dapat meningkatkan malu untuk berbuat jahat (hiri).  dan perasaaan takut akan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan jahat (ottapa). Perasaan malu untuk berbuat jahat merupakan awal terciptanya ketentraman lingkungan. Sedangkan takut akan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan jahat merupakan awal menurunnya tingkat kejahatan yang ada baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan pemerintahan.
    Jadi dengan meningkatkan pemahaman tentang hukum kamma seseorang akan berpikir ulang dalam melakukan perbuatan. Karena setiap perbuatan yang dilakukan, baik ataupun buruk akan selalu menimbulkan akibat. Akibat ini akan tetap terjadi dan tidak dapat digantikan kepada orang lain. Bagi seorang pemimpin bila telah meningkatkan pengertian tentang hukum kamma, maka segala perbuatannya akan dipikir baik dan buruknya. Pertimbangan ini menjadi prinsip dan ukuran dalam menentukan kebijakan dalam politik. Hiri dan otappa merupakan landasan utama dalam setiap kebijakan berpolitik bagi setiap pemimpin dalam mengatur, mengelola dan tindakan yang diambil. Mengingat pentingnya hiri dan otappa sebagai landasan berpolitik maka akan tercipta politik yang selalu mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan bersama.




BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Moralitas mengandung arti batin atau susila di dalam tingkah laku, baik melalui pikiran, ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang dalam lingkungan masyarakat. Moralitas yang ada dimasyarakat merupakan patokan atau tolok ukur seseorang untuk tidak melanggar aturan yang bertentangan dengan kebenaran. Dalam hal ini seseorang melakukan kewajiban bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena menyadari sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai tanggungjawab.
Moralitas dalam agama Buddha merupakan berbagai prinsip sebagai panduan umum untuk menunjukkan arah menuju keselamatan. Menjalankan moralitas merupakan suatu upaya membiasakan diri untuk mengendalikan diri agar tidak menambah penderitaan makhluk hidup. Moralitas ini tidak terdiri dari penahanan diri saja, tetapi diimbangi dengan melakukan perbuatan baik. Pada dasarnya moralitas umat Buddha tidak berlandasakan pada adat sosial yang bisa berubah, tetapi pada hukum alam atau hukum kamma yang tidak berubah. Hukum ini tidak dapat ditawar dengan apapun, setiap pelaku akan menerima akibat dari setiap tindakannya. Karena merupakan suatu konsekuensi yang harus dipertanggungjwabkan. Politik merupakan bermacam-macam kegiatan atau suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki. Ketatanegaraan merupakan suatu prinsip dasar yang digunakan dalam mengatur negara, sehingga kesejahteraan negara dapat dipertahankan. Politik ketatanegaraan merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses dalam menentukan tujuan-tujuan negara dan melaksanakan tujuan negara.
Dalam kehidupan saat ini politik telah diselewengkan oleh para pemimpin yang menghendaki kebahagiaan diri mereka sendiri. Akibatnya kemiskinan dan penderitaan rakyat semakin parah. Penyelewengan politik yang terjadi saat ini adalah money politik, agama dijadikan kedok politik, korupsi, kolusi dan nepotisme. Akibat penyelewengan politik kemiskinan tidak dapat dihindarkan karena dana yang seharusnya untuk rakyat tidak digunakan untuk rakyat, tetapi digunakan untuk kepentingan diri sendiri.
Para politisi hanya menggunakan rakyat maupun agama sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Keserakahan dan ketamakan para politisi menyebabkan tindakan anarki maupun meningkatnya tindak kejahatan dalam lingkungan masyarakat. Tujuan awal dan dasar politik adalah untuk kesejahteraan rakyat, tetapi dalam kenyataannya tujuan politik tidak seperti yang diharapkan. Tuntutan- yang disampaikan rakyat tidak pernah diperhatikan padahal dengan adanya tuntutan itu menandakan rakyat tidak bahagia dengan politik yang dijalankan saat ini. Tuntutan rakyat yang seperti ini harus didengarkan demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Penyebab penyelewengan politik adalah moral para pemimpin yang masih diliputi oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan. Selama tiga hal ini masih ada dalam setiap diri para pemimpin tujuan politik tidak akan seperti yang diharapkan. Penanaman moral atau peningkatan pemahaman tentang moral sangat diperlukan karena dengan jalan inilah politik dapat mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan rakyat terletak pada para pemimpin yang bermoral dan tidak mementingkan diri sendiri.
Dalam agama Buddha politik merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan bersama yang didasari oleh moral yang baik. Moralitas yang didasarkan pada pelaksanaan politik ini bertujuan untuk kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan orang banyak. Kesejahteraan orang banyak dapat diwujudkan apabila nilai-nilai moralitas dapat dijalankan dengan baik.
Pencerahan politik dapat diharapkan dari orang-orang beragama yang mempunyai moralitas baik. Moralitas yang baik dari para politisi ini akan bebas dari tindakan kotor dan busuk yang menghalalkan segala cara. Dalam agama Buddha politik bertujuan untuk kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan orang banyak. Dasar politik Buddhis adalah pada moral  setiap pemimpin yang baik. Tindakan politis yang sesuai dengan prinsip moralitas pada akhirnya akan sesuai dengan nilai-nilai agama yang menganjurkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, karena berpolitik adalah untuk kepentingan masyarakat seluruhnya. Jadi moralitas tidak dapat dipisahkan dari politik karena moralitas dapat menentukan baik dan buruknya tujuan politik maupun hasil yang dicapai dari politik. Peranan moralitas melalui pelaksanaan Pancasila buddhis dan Dasa Punnnakiriyavatthu serta dengan menjalankan Samadhi dan mengembangkan kebijaksanaan akan membantu dalam pelaksanaan politik ketatanegaraan dengan baik sehingga dapat mengupayakan kesejahteraan negara dengan baik.

5.2 Saran

    Moralitas merupakan fondasi    bagi setiap orang, karena moralitas berguna untuk merubah tingkah laku dan menentukan tujuan hidup. Selain itu moralitas merupakan dasar utama dalam pelaksanaan politik, karena tanpa moralitas politik tidak dapat mensejahterakan kehidupan bangsa dan negara. Moral yang baik akan membantu pencapaian hasil yang menguntungkan bagi semua bangsa dan negara.
Kemerosotan moral para pemimpin yang terjadi saat ini sudah seharusya ditanggulangi. Apabila kemerosotan ini terus terjadi kehidupan rakyat akan semakin menderita dan tindak kejahatan juga akan semakin bertambah.
    Untuk mencegah hal itu hendaknya para pemimpin meningkatkan pemahamnnya tentang moralitas. Moralitas yang baik tidak merugikan diri sendiri mapun orang lain, tetapi akan memberikan manfaat bagi diri maupun orang lain. Dalam agama Buddha untuk meningkatkan moralitas harus melaksanakan Pancasila Buddhis, Samadhi, mengembangkan kebijaksanaan dan meningkatkan pemahaman hukum kamma. Dengan menjalankan keempat hal diatas akan memililiki moral yang baik dan memberikan manfaat yang sangat menguntungkan.
    Menjalankan politik tanpa didasari dengan moralitas tidak dapat membawa manfaat yang baik, tetapi menjalankan politik dengan dasar moralitas akan membawa manfaat bagi semua orang. Jadi bagi seseorang yang ingin berpolitik harus mendasari dirinya dengan moralitas yang baik. Moralitas yang baik akan mendukung tujuan politik yang sebenarnya dan terhindar dari politik yang menhalalkan segala cara serta ketamakan dan keserakahan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:  Rineka Cipta.

Azahari, Azril. 2001. Bentuk dan Gaya Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Universitas Trisakti.

Budianto. 2004. Kewarganegaraan. Kelas X SMU. Jakarta: Erlangga.

Budiarjo, Miriam. 1998. Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat. Bandung: Mizan.

______________. 2007. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dhammananda, K. Sri. 2005. keyakinan Umat Buddha. judul asli What Buddhis Belive, terjemahan oleh Ida Kurniati: Karaniya.

Dhammasiri. 2006. Arti Sebuah Pengabdian: Graha Metta Sejahtera.

_____________. 2005. Relevansi Agama Buddha Dalam Kehidupan Sosial. Graha Metta Sejahtera.

Dhammika. 1996. Jawaban Baik bagi Pertanyaan Baik. Batu: Sanggar Padma Karuna.

Diputhera, Oka. 2004. Meditasi II.Jakarta: Vajra Dharma Nusantara.

Endang et al.2002. pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta. Paradigma.

Gandhika, Sugianto. 2005. Kumpulan Artikel-artikel Dhamma.

Hazlitt, henry. 2003. Dasar-dasar Moralitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Hutauruk, M. 1982. Tentang Dan Sekitar Hak-hak Asasi Manusia Dan Warga Negara. Jakarta: Erlangga.

http://www.dataphone.se/~ahmad diakses pada tanggal 21 Januari 2008.   
http://www.kaskus.us/showthread.php diakses 21 Januari 2008.
http://www.jalal center.com. diakses 21 Januari 2008.

http://www.jawapos.co.id/index.php diakses pada tanggal 21 Januari 2008.

http://www.Dataphone.se/~ahmad diakses 21 Januari 2008.
http:/www.transparansi.or.id. diakses pada tanggal 9 maret 2008.

http://samaggi-phala.or.id/naskahdamma diakses pada tanggal 29 Januari 2008.

Kitab suci Dhammapada. 1998. Surabaya. Paramitta.

Komisi Pemilihan Umum.2006. Memahami Untuk Membasmi. . Jakarta. Penerbit KPK.

Kountur, Ronny 2005. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis. Jakarta. Penerbit PPM.

Lubis, Mochtar dan Scott, c, James. 1995. Bunga Rampai Korupsi. Jakarta. Pustaka LP3ES Indonesia.

Nazir, Moch. 1988. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattwa Buddhist Centre. Cetakan II.

Pannavaro, dan Dhammananda, K.S. (tanpa tahun). Tanggung Jawab Bersama. Yogyakarta: Penerbit Suwung.

Priastana, J. 2004. Buddha Dhamma Dan Politik. Jakarta: Yasodhara Puteri.

Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Rudi, May Teuku. 2007. Pengantar Ilmu politik. Wawasan pemikiran dan kegunaanya. Bandung: Refika Aditama.

Rashid, Teja S.M. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Bodhi.

Sivaraksa, Sulak. 2001. Benih Perdamaian. Jakarta. Yayasan Pencerahan dan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia.

Suhartono, Suparlan.2006. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: AR-RUZZ. Cetakan I.

Sumarsono et al.2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia pustaka Utama.

Soetrisno, Loekman.1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.

Sunoto. 1989. Filsafat Sosial dan Politik Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset.

Suradi. 2006. Korupsi. Dalam Sektor Pemerintahan dan Swasta. Yogyakarta. Gava Media.

Suseno, Fran Magnis.1987. Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:  Penerbit Kanisius.

Tjahjadi, Lili, S.P. 1991. Hukum Moral: Ajaran Imanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tim penterjemah. 1993. Kitab Suci Agama Buddha. Jakarta: Departemen Agama RI.

Tim Penyusun. 2003. Tata Negara. Kelas III SMU. Kerten, Laweyan: Cempaka Putih.

Tiro, Hasan Muhammad.1999. Demokrasi Untuk Indonesia. Jakarta: Teplok Press. Cetakan II.

Wahab, Solichin A. 2002. Analisis kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Widyadharma, Sumedha. 1980. Dhamma Sari. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.

Winarno. 2006. Paradigma Baru. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara.

_______. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Panduan Kuliah Perguruan  Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.

Wuryanto, joko. 2006. Pengetahuan Dhamma. Jakarta. CV. Yanwreko Wahana Karya.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

   





RIWAYAT HIDUP

    Setiawan dilahirkan pada tanggal 29 Desember 1984 di Bumiayu, Blitar putra kedua dari bapak Sukir dan ibu Paikem yang merupakan anak ke dua dari dua bersaudara. Pendidikan TK ditamatkan pada tahun 1994 di TK Dharma Wanita desa Bumiayu. Pedidikan berikutnya dijalani di SD Negeri I Bumiayu ditamatkan pada tahun 1998 dan melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri I Sutojayan ditamatkan pada tahun 2001. pendidikan berikutnya di SMK Islam I Blitar tamat pada tahun 2004.  Pada tahun 2004 melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Buddha dengan mengambil program S-1 jurusan Dhammacariya.
    Selama menjadi Patria Blitar ikut aktif dalam kegiatan PPD (Pekan Penghayatan Dhamma), SKD (Studi Kerja Dhamma), Dhamma Camp baik sebagai peserta maupun sebagai panitia. Selama kuliah di STAB Kertarajasa Batu pernah menjabat sebagi seksi pembantu umum dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa pada periode 2007/2008 dan pernah menjadi ketua dalam acara Temu Akrab mahasiswa dengan Umat Buddha desa Boro.

1 komentar:

  1. Halo, saya Ibu Diana, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup. Apakah Anda membutuhkan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau Anda membutuhkan pinjaman untuk meningkatkan bisnis Anda? Anda telah ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Kami meminjamkan dana kepada individu yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, untuk berinvestasi di bisnis di tingkat 1,5. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu Anda bahwa kami memberikan bantuan yang handal dan penerima dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini melalui email di: Dianarobertloanfirm@gmail.com

    BalasHapus