Patimokha Sila
Sila Patimokkha adalah akar untuk semua kebahagiaan lokiya (duniawi) dan kebahagiaan lokuttara (yang mengatasi duniawi). Gantha patimokkha menunjukkan sila yang harus dilaksanakan untuk meraih kebahagiaan lokiya maupun kebahagiaan lokuttara. Dalam kitab-kitab yang berkenaan dengan Vinaya disebutkan bahwa Sila Patimokkha itu ada dua jenis, yaitu Ovada Patimokkha dan Ana Patimokkha.
Ovada Patimokkha
Pada saat purnamasidi di bulam Magha, bulan Pebruari, 1250 bhikkhu tanpa perjanjian, tanpa persetujuan terlebih dahulu datang serempak dari tempat yang berlainan untuk menemui Sang Buddha di Veluvana Arama di kota Rajagaha.
1250 bhikkhu tersebut adalah bhikkhu ditahbiskan sendiri oleh Sang Buddha dengan cara Ehi Bikkhu Upasampada, yang telah mencapai Tingkat Kesucian Sempurna (Arahat) dan memiliki Enam Kemampuan Bathin Luar Biasa (Calabhinna).
Pada saat yang istimewa itu, Sang Buddha menyabdakan Dhamma yang terdiri dari tiga bait. Dhamma itu merupakan sari dari ajaran agama Buddha yang kemudian dikenal sebagai Ovada Patimokha. Kejadian yang luar biasa ini terjadi pada tahun pertama setelah pencapaian Penerangan Sempurna yang kemudian diperingati sebagai Hari Raya Magha Puja, bahkan di Thailand dijadikan Hari Raya Nasional.
Ovada Patimokkha itu, adalah sebagai berikut:
Sabbapapassa akaranam,
kusalassa upasampadasacitta pariyodapanam
,etam Buddhana sasanam
Janganlah berbuat jahat,
sempurnakanlah kebajikan
sucikanlah hati dan pikiran,
itulah ajaran semua Buddha.
Khanti paramamtapo titikkha,nibbanam paramam vadanti Buddhana hi pabbajito parupaghatisamano hoti param vihethayanto
Kesabaran adalah praktek tapa yang tertinggi,
Buddha bersabda Nibbanalah yang tertinggi
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang samana
Anupavado, anupaghato, patimokkhe ca samvaro,mattannuta ca bhattasmim, pantan ca sayanasanam,adhicitte ca ayogo, etam Buddhana sasanam
Tidak menghina, tidak menyakiti, dapat mengendalikan diri sesuai dengan peraturan, memiliki sikap madya dalam hal makanan, berdiam dalam tempat yang sunyi serta giat dalam mengembangkan batin yang luhur; inilah ajaran para Buddha. (Dhammapada 183, 184 dan 185).
Ana Patimokkha
Ana Patimokkha terdiri dari 227 peraturan latihan yang harus dilaksanakan oleh seorang bhikkhu. Ana Patimokkha ini adalah 227 peraturan latihan yang terdapat dalam Bhikkhu Vibhanga. Ana Patimokkha mulai diberikan, disusun, setelah tahun kedua puluh pencapaian Penerangan Sempurna.
Ana Patimokkha adalah 227 peraturan yang terdapat dalam Kitab Vibhanga dan harus dibacakan pada hari uposatha itu terdiri atas:
4 Parajika, 13 Sanghadisesa, 2 Aniyata, 30 Nissaggiya Pacittiya, 92 Pacittiya, 4 Patidesaniya, 75 Sekhiya dan 7 Adhikarana Samatha.
Penyusunan Patimokkha Sila
Sewaktu Sang Buddha Gautama berdiam di Veranja, Arahat Sariputta datang bertanya kepada Beliau tentang ajaran dari Buddha yang mana yang dapat bertahan lama dan yang mana tidak bertahan lama. Kenapa ada yang bertahan lama dan ada yang tidak dapat bertahan lama.
SangBuddha menjawab, bahwa ajaran Vipassi Buddha, Sikkhi Buddha dan Vessabhu Buddha tidak dapat bertahan lama. Ajaran para Buddha tersebut tidak dapat bertahan lama karena Dhamma yang mereka berikan secara garis besar dan tidak terinci kepada umat manusia.
Oleh karena umat manusia pada waktu itu adalah orang-orang yang baik dan sedikit kekotoran batinnya, maka Dhamma dan Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha tidak banyak dan tidak perlu terinci. Dengan Dhamma dan Vinaya yang demikian mereka telah dapat mencapai Nibbana.
Akan tetapi, bila generasi Bhikkhu yang baik itu hilang, dan kemudian pada suatu ketika timbul generasi yang tidak baik dan banyak kekotoran batinnya, maka Dhamma dan Vinaya yang ada tidak dapat mengendalikan mereka agar terhindar dari perbuatan yang merugikan mereka sendiri dan agama Buddha. Perilaku para bhikkhu yang buruk menyebabkan orang tidak percaya lagi terhadap Dhamma dan tidak ada orang yang menghormati serta melaksanakannya lagi sehingga Dhamma itu terlupakan dan akhirnya lenyap.
Sang Buddha mengibaratkannya seperti sekelompok kembang yang tidak terangkai oleh benang pengikat yang akan tercerai berai oleh tiupan angin, demikian pula ajaran Sang Buddha akan lenyap bila Sang Buddha dan para bhikkhu yang baik telah tiada lagi, karena dirusak oleh para bhikkhu yang tidak dapat mengendalikan dirinya sesuai dengan patimokkha.
Ajaran Kakusanda Buddha, Konagamana Buddha dan Kassapa Buddha dapat bertahan lama sekali. Di zaman para Buddha tersebut umat manusia tidak begitu baik, karenanya Dhamma dan Vinaya yang diajarkan banyak dan terinci agar mereka memiliki pedoman yang dapat mengendalikan diri mereka.
Kepada para bhikkhu pada zaman itu Sang Buddha memberikan Ana Patimokkha. Setelah Sang Buddha mencapai parinibbana dan para bhikkhu yang baik telah tiada, bhikkhu-bhikkhu yang kemudian masih dapat mengatasi kekotoran batin mereka karena adanya Vinaya yang terinci. Ana Patimokkha adalah pegangan dan perlindungan untuk mengendalikan diri dan menjaga dari kekotoran batin.
Sewaktu Arahat Sariputta bertanya kepada Sang Buddha, pada saat itu para bhikkhu yang paling tidak telah mencapai tingkat kesucian sotapanna dan semuanya berlaku sebagaimana layaknya seorang yang telah mencapai tingkat kesucian. Selama tidak timbul perbuatan bhikkhu yang dapat dicela oleh para bijaksana, selama itu pula Sang Buddha tidak akan memberikan Ana Patimokkha. Selama itu hanya dikenal Ovada patimokkha.
Pada permulaan agama Buddha berkembang, jumlah bhikkhu tidak banyak dan tidak diperlukan aturan dan peraturan karena perilaku mereka sesuai dengan perilaku Sang Buddha dan mengetahui Dhamma yang diajarkannya dengan baik.
Akan tetapi, kemudian jumlah bhikkhu bertambah banyak yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan suku bangsa serta tersebar di mana-mana, maka diperlukan aturan dan peraturan untuk mengendalikan mereka yang belum terlatih dan terdidik dalam Dhamma.
Setelah ada perbuatan tercela yang tidak layak dilakukan oleh samana, maka barulah Sang Buddha memberikan peraturan-peraturan guna mencegah agar perbuatan yang tercela itu tidak terulang kembali. Peraturan-peraturan itu diberikan oleh Sang Buddha tidak sekaligus, tetapi kasus per kasus yang terjadi. Vinaya mulai diberikan oleh Sang Buddha pada tahun ke-20 setelah pencapaian Penerangan Sempurna.
Pada zaman Sang Buddha masih hidup, setiap kali terjadi seorang bhikkhu melakukan perbuatan buruk atau perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh seorang samana (petapa), maka Sang Buddha menetapkan suatu peraturan. Apabila dikemudian hari dilanggar, maka bhikkhu itu dinyatakan bersalah.
Kasus yang menyebabkan dikeluarkannya peraturan disebut 'nidana' dan 'pakarana'. Pakarana secara harfiah berarti: ceritera asal mula timbulnya peraturan. Setiap terjadi peristiwa yang tidak patut dilakukan oleh seorang bhikkhu dibuat suatu peraturan. Misalnya, Raja Bimbisara bersabda: "Rumput kayu dan air diberikan kepada brahmana dan samana". Mendengar ucapan ini, seorang bhikkhu bernama Dhaniya menebang pohon di istana raja. Kemudian Sang Buddha menetapkan 'adinnadana'
Peraturan yang diberikan oleh Sang Buddha merupakan peraturan-latihan (sikkhapada) yang mencakupi adibrahmacariya sikkha (latihan mendasar untuk hidup suci) dan abhisamacara sikkha (latihan tatakrama yang luhur). Adibrahmacariya sikkha termasuk Patimokkha dan peraturan-latihan yang lain di luar Patimokkha, kecuali Sekhiyavatta yang dimasukkan ke dalam Patimokkha.
Peraturan-latihan yang termasuk Patimokkha dalam jumlah yang tetap, sedangkan yang berada di luar Patimokkha sangat banyak. Banyak sekaii apatti-apatti yang dibuat oleh Acariya yang menyusun Kitab Atthakata.
Dalam Kitab Anguttara Nikaya (Dutiyapannasaka, iii), Patimokkha terdiri dari 150 peraturan-latihan, yaitu: 4 Parajika, 13 Sanghadisesa, 30 Nissaggiya Pacittiya, 92 Suddhika Pacittiya, 4 Patidesaniya dan 7 Adhikaranasamatha.
Dalam Kitab Vibhanga, Patimokkha yang dibacakan pada hari uposatha terdiri dari 227 peraturan-latihan. Kenaikan ini karena penambahan 2 Aniyata dan 75 Sekhiyavatta.
Aniyata kemudian dimasukan ke dalam Patimokkha, karena ada seorang bhikkhu yang dituduh berdua dengan wanita di tempat yang tersembunyi, yang antara lain, tidak kelihatan apakah mereka duduk atau berdiri. Ringkasnya tidak diketahui apa yang sedang mereka lnkukan. Aniyata tidak mempunyai sanksi yang spesifik. Sekhiyavatta terdapat pada Vattakkhanda dalam Cullavagga dan merupakan peraturan yang tidak penting yang termasuk dalam Abhisamacara.
Pannati (Peraturan) dan Apatti (Pelanggaran)
Peraturan yang dibuat oleh Sang Buddha disebut 'pannati'. Kadang-kadang pannati yang telah ada tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam hal ini, Sang Buddha tidak membuat peraturan pengganti, tetapi menyempurnakan dengan melakukan penambahan. Misalnya, seorang bhikkhu tidak boleh tidur sekamar dengan samanera. Akan tetapi, karena tidak ada tempat lain untuk tidur, maka untuk mengatasinya dilakukan perbaikan peraturan 'bhikkhu boleh tidur dengan samanera paling lama tiga malam'.
Peraturan semula disebut mula-pannati dan peraturan tambahan 'anu-pannati'. Mula-pannati dan anu-pannati, kedua-duanya disebut 'sikkhapada' (peraturan-latihan).
Pelanggaran terhadap peraturan-latihan sehingga seseorang mendapat hukuman disebut 'apatti'. Dalam vinaya apatti terjadi melalui ucapan dan perbuatan-jasmaniah. Bila masih dalam pikiran, masih merupakan niat belumlah teradi apatti. Akan tetapi, apatti kadang-kadang dilakukan dengan pikiran atau dengan sengaja.
Apatti bila dilakukan dengan pikiran, dengan sengaja, maka apatti ini disebut sacittaka; bila tidak dengan pikiran, tidak diketahui disebut acittaka. Misalnya, seorang bhikkhu minum obat yang mengandung alkohol, walaupun ia tidak mengetahui bahwa obat itu mengandung alkohol, ia telah melakukan apatti. Apatti ini adalah apatti jasmaniah.
Apatti yang dilakukan dengan jasmani dan pikiran, misalnya: mencuri, mengadakan hubungan kelamin. Melalui ucapan dan pikiran, misalnya: berbicara salah, menyuruh orang lain mencuri.
Enam akar yang langsung menimbulkan apatti, yaitu:
1) jasmaniah, misalnya: seorang bhikkhu yang meminum alkohol, meskipun ia tidak mengetahuinya.
2) ucapan, misalnya: seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma dengan membaca bersama-sama dengan umat awam. Disengaja atau tidak disengaja ia melakukan apatti.
3) jasmani dan pikiran, misalnya: seorang bhikkhu yang mencuri (parajika).
4) ucapan dengan pikiran, misalnya: seorang bhikkhu menyuruh orang lain untuk mencuri.
5) ucapan dan jasmani, tidak disebutkan contoh-contohnya.
6) ucapan, jasmani, dan pikiran: misalnya seorang bhikkilu yang mencuri dan juga menyuruh orang lain untuk mencuri.
Enam kondisi yang menimbulkan appati, yaitu:
1) alajhita: melakukan tanpa malu.
2) ananata: dilakukan tanpa diketahui.
3) kukkucca-pakataka: melakukan dengan ragu-ragu, tetapi dilakukan lagi dengan berulang kali.
4) dilakukan karena merasa boleh, padahal tidak boleh.
5) dilakukan dengan pikiran boleh, padahal terlarang.
6) dilakukan dalam keadaan bingung atau linglung, misalnya: madu boleh disimpan untuk selama tujuh hari, tetapi lupa kapan mulai disimpannya.
Dalam Vinaya, pelanggaran terhadap sikkhapada dalam Patimokkha, dikelompokkan atas tujuh kategori, yaitu:
1) parajika, 2) sanghadisessa, 3) thulaccaya, 4) pacittiya, 5) patidesania, 6) dukkhata, 7) dubbhasita.
Parajika, Sanghadisesa, Pacittiya (Nissaggiya Pacittiya dan Suddhika Pacittiya) dan Patidesaniya adalah suatu apatti yang terjadi secara langsung, tetapi Thullaccaya, Dukkata dan Dubbhasita terjadi secara tidak langsung.
Banyak sikkhapada-sikkhapada yang pelanggarannya lebih berat dari dukkata. Misalnya, seorang bhikkhu yang mencoba melakukan pelanggaran, tetapi ia tidak dikatakan telah melakukan pelanggaran seperti disebutkan dalam peraturan-latihan. Sebagai contoh, misalnya seorang bhikkhu mencoba membunuh seorang manusia dengan memukulnya dengan palu kayu, tetapi korbannya tidak meninggal. Dalam hal ini, ia tidak melakukan pelanggaran parajika. Walaupun demikian adalah tidak wajar bila ia tidak mendapat hukuman. Oleh sebab itu, hukuman yang lebih ringan harus dijatuhkan pada bhikkhu yang bersalah tersebut.
Apatti yang lebih ringan dari Parajika dan Sanghadisesa karena belum sempurna dikerjakan atau belum memberikan hasil yang sempurna disebut Thullaccaya dan Dhukkhata. Sedangkan apatti yang lebih ringan dari Pacittiya, kecuali 'ucapan kasar (omasavada)' dan kurang berat dari Patidesaniya disebut dukkhata. Apatti yang lebih ringan dari peraturan-latihan Omasavada disebut dubbhasita.
Dalam setiap Sekhiyavatta selalu disebutkkan 'sikkhakaraniya' (ini adalah yang harus dilaksanakan) yang menurut Vibhanga berarti bahwa jika ia lalai, maka ia telah melakukan dukkata. Oleh karena ketentuan ini bersumber dari Vibhanga, maka jenis apatti ini untuk membedakan dengan rujukan lainnya, maka disebut dengan Vibhanga thullaccaya dan Vibhanga dukkhata.
Dubbhasita tidak mendapat penambahan kata 'vibhanga' karena dubbhasita hanya menurut satu rujukan saja, yaitu: Vibhanga. Asal mula peraturan-latihan yang menjadi dasar (dari peraturan-peraturan lainnya) disebut matika.
Ditinjau dari berat-ringan dan akibat pelanggaran, maka apatti dalam vinaya terdapat dalam tiga tingkat, yaitu:
1. Kesalahan berat (garukapatti).
Seorang bhikkhu yang melakukan kesalahan ini menyebabkan gugur kebhikkhuannya walaupun tidak diketahui oleh orang lain. Parajika termasuk dalam kesalahan ini.
2. Kesalahan menengah (majjhimapati).
Seorang bhikkhu yang melakukan kesalahan ini, maka kesalahan ini hanya dapat diselesaikan oleh sangha dalam Sanghakamma yang terdiri dari paling kurang 20 orang bhikkhu. Sanghadisesa termasuk dalam kesalahan ini.
3. Kesalahan ringan (lahukapati).
Kesalahan yang dapat diselesaikan dengan pengakuan di hadapan bhikkhu lain dengan tekad akan lebih berhati-hati. Thulaccaya, pacittiya, patidesaniya, dukkhata dan dubbhasita termasuk dalam kesalahan ini.
Semua kesalahan itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Atekiccha, kesalahan yang tidak dapat diperbaiki, seperti parajika: membunuh manusia, mengadakan hubungan kelamin dalam segala bentuknya, mengambil yang tidak diberikan dan melakukan pengakuan palsu atas pencapaian batinnya. Garukapatti termasuk dalam kelompok ini.
2. Satekiccha, kesalahan yang masih dapat diperbaiki, seperti yang termasuk dalam majhimapatti dan lahukapatti.
Apatti-apatti lainnya:
1. Lokavaja (pelanggaran peraturan alamiah).
Perbuatan yang dipandang salah, baik yang dilakukan oleh gharavasa maupun pabbajjita yang timbul dari akusalacitta, misalnya mencuri, membunuh dan lain-lain.
2. Pannati-vaja (pelanggaran peraturan yang dirumuskan).
Perbuatan salah yang hanya berlaku bagi bhikkhu. Walaupun perbuatan serupa dilakukan oleh gharavasa, namun mereka tidak dipandang melakukan kesalahan. Misalnya: seorang bhikkhu tidur di atas kasur kapas. Bagi gharavasa hal tersebut bukan suatu apatti, tetapi bagi bhikkhu perbuatan itu merupakan suatu apatti.
Peraturan-latihan dalam Ana Patimokkha disusun atas kelompok-kelompok menurut jenis apatti. Misalnya kelompok parajika, sanghadisesa dan lain-lain. Setiap kelompok dalam kitab-kitab vinaya disebut uddesa (bagian yang dipanjatkan), parajikuddesa, sanghadisesuddesa dan lain-lain. Sedangkan dalam hal sekhiyavatta, dikenal sebagai sekhiyuddesa.
sungguh indah dan anumodana atas sharing dhammanya.
BalasHapusmasukannya : mohon tambahkan sumber pustaka atau sumber dari tiap dhamma yang di share sehingga memperkaya wawasan pembaca, terimakasih
Ya bagus sekali sharing dhammanya,mohon bisa beri reference sumber pustakanya kebetulan saya juga masih dalam tahap belajar menyelami dhamma.terima kasih.
BalasHapus