Tissa
adalah putera kakak perempuan dari ayah Pangeran Siddhattha. Ia menjadi bhikkhu
pada usia yang telah lanjut, dan suatu saat tinggal bersama-sama Sang Buddha.
Walau baru beberapa tahun menjalani kebhikkhuannya, ia bertingkah laku seperti
bhikkhu senior dan senang mendapat penghormatan serta pelayanan dari bhikkhu-bhikkhu
yunior, ia tidak melaksanakan semua kewajibannya, di samping itu ia juga sering
bertengkar dengan bhikkhu-bhikkhu muda lainnya.
Suatu ketika seorang
bhikkhu muda menegur kelakuannya. Hal itu membuat bhikkhu Tissa sangat kecewa
dan sedih, dan kemudian ia melaporkan hal itu kepada Sang Buddha. Bhikkhu-bhikkhu
lain yang mengetahui permasalahan tersebut, mengikutinya untuk memberikan keterangan
yang benar kepada Sang Buddha jika dibutuhkan.
Sang Buddha, yang
telah mengetahui kelakuan bhikkhu Tissa menasehatinya agar ia mau mengubah kelakuannya,
tidak memiliki pikiran membenci.
Sang Buddha juga
mengatakan bahwa bukan pada kehidupan kini saja bhikkhu Tissa mempunyai watak
keras kepala, juga pada kehidupan sebelumnya. Bhikkhu Tissa pernah terlahir
sebagai seorang pertapa yang keras kepala bernama Devala. Karena suatu kesalahpahaman,
ia mencerca seorang pertapa suci. Meskipun raja ikut campur tangan dengan memintakan
ampun kepada pertapa suci itu, Devala tetap berkeras kepala dan menolak untuk
melakukannya. Hanya dengan paksaan dan tekanan dari raja, Devala barulah mau
meminta ampun kepada pertapa suci itu.
Pada akhir wejangannya
Sang Buddha membabarkan syair 3 dan 4 berikut ini :
"Ia menghina
saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya." Selama
seseorang masih menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan
pernah berakhir.
"Ia menghina
saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya." Jika seseorang
sudah tidak lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian akan
berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar