Kamis, 16 Februari 2012

KONSUMERISME DITINJAU
 DARI PARABHAVA SUTTA
                                                  (SUATU KAJIAN KEPUSTAKAAN)


ABSTRAK

Sumijan. 2008. Konsumerisme ditinjau dari Parabhava Sutta. Skripsi, Jurusan Dhammacariya, Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa Batu. Pembimbing: (1) Junari S.Ag, (2) Drs. Tito Suharyono.
   

Kata kunci: Konsumerisme, Parabhava Sutta.


Modernisasi telah mengubah pola pikir, pandangan hidup, dan gaya hidup manusia. Hadirnya berbagai macam kemudahan, kenyamanan dan kenikmatan yang diberikan teknologi cenderung membangun peradaban manusia yang diliputi oleh nafsu keserakahan. Modernisasi membawa manusia pada gaya hidup yang berfoya-foya dan berhura-hura. Sehingga banyak manusia yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan kesenangan, misalnya dengan melakukan korupsi, perampokan, pencurian. Oleh karena itu hendaknya seseorang menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan keruntuhan atau berbuat hal-hal yang tidak baik, yang hanya menghambur-maburkan kekayaan atau hidup boros yang melanggar sila, seperti yang terdapat dalam Parabhava Sutta.
Dalam kajian ini ada beberapa permasalahan yang akan dikaji diantaranya konsumerisme secara umum, konsumerisme dalam pandangan agama Buddha, serta bagaimana upaya mengatasi prilaku konsumerisme.
Adapun metode kajian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah metode kajian pustaka (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara studi atau mengakaji bahan pustaka yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, yang kemudian disajikan secara diskriptif kualitatif untuk menggambarkan atau menjelaskan permasalahan atau pemecahan masalah yang ada. Metode kajian ini meliputi: (1) Pendekatan, (2) Metode, (3) Sumber Data, (4) Teknik Pengumpulan Data, (5) Teknik Analisa Data, (6) Prosedur.
Gaya hidup Konsumerisme menurut pandangan umum lebih dititik beratkan pada nafsu keinginan (Tanha) atau pemuasan keinginan, sedangkan menurut pandangan agama Buddha konsumerisme lebih mengarah kepada asas manfaat dari benda atau barang yang diperlukan dan juga didasarkan kepada Sila, kepuasan (santutthi), hidup seimbang (Samajivita) dan sikap kesederhanaan  serta perasaan puas terhadap apa yang dimiliki pada diri seseorang






DAFTAR ISI


                     Halaman

HALAMAN SAMPUL      
LEMBAR LOGO      
HALAMAN JUDUL      
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING      
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI LOKAL      
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI      
HALAMAN MOTTO       
HALAMAN PERSEMBAHAN       
KATA PENGANTAR       
ABSTRAK       
DAFTAR ISI       

BAB I       PENDAHULUAN
    1.1 Latar Belakang           
    1.2 Rumusan Masalah          
    1.3 Tujuan Kajian          
    1.4 Kegunaan Kajian          
1.4.1 Kegunaan Teoritis          
1.4.2 Kegunaan Praktis        
1.5 Metode Kajian          
1.5.1 Pendekatan          
1.5.2 Metode          
1.5.3 Sumber Data          
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data          
1.5.5 Teknis Analisa Data         
1.5.6  Prosedur        
    1.6 Definisi Istilah        
    1.7 Kerangka Berfikir      
    1.8 Hipotesis       
BAB II     TINJAUAN KONSUMERISME SECARA UMUM
2.1 Pengertian Konsumerisme        
2.2 Ciri-ciri Manusia Konsumerisme:         
2.2.1 Tidak Puas dengan Barang yang Telah Dimiliki        
2.2.2 Hidup Borjuis      
 2.3  Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsumerisme        
2.3.1 Pusat Perbelanjaan        
2.3.2  Media Massa        
2.3.3  Strata Sosial       
2.3.4  Budaya Barat        
2.4 Akibat Konsumerisme        
2.4.1 Pemicu Korupsi        
2.4.2 Mengakibatkan ”Agama” Baru        
2.4.3 Konsumerisme Sebagai Gaya Hidup Elit        
2.5 Pengaruh Konsumerisme Bagi Generasi Muda        
2.5.1 Bergaya Hidup Mewah        
2.5.2 Remaja Tidak Produktif        
2.6 Upaya Mengatasi Konsumerisme        
2.6.1 Hari Tanpa Belanja        
2.6.2 Managemen Keuangan        
2.6.3 Pendidikan Agama      

BAB III    TINJAUAN KONSUMERISME SECARA BUDDHIS
3.1 Pandangan Agama Buddha terhadap Konsumerisme        
3.1.1 Konsumsi yang Benar        
3.1.2 Konsumsi yang Salah        
3.2 Penyebab Konsumrisme         
3.2.1 Keserakahan (lobha)         
3.2.2 Kebodohan (Moha)        
3.2.3 Keinginan Nafsu (Tanha)        
3.2.4 Sahabat Palsu (Akalyanamitta)        
3.2.4.1 Orang yang Sangat Serakah         
3.2.4.2 Orang yang Banyak Bicara        
3.2.4.3 Seorang Penjilat         
3.2.4.4 Seorang Pemboros        
3.3  Saluran Konsumerisme       
3.3.1 Memuaskan Diri dengan Mabuk-mabukan        
3.3.2 Berjalan Keluyuran tanpa Menghiraukan Waktu        
3.3.3 Menonton dan Ketempat-tempat Keramaian       
3.3.4 Memuaskan Diri dengan Berjudi        
3.3.5 Berteman dengan Mereka yang Berkelakuan Buruk        
3.3.6 Kemalasan        
3.4 Konsumerisme ditinjau dari Parabhava Sutta        
3.4.1 Tidak Mengenal Dhamma        
3.4.2 Berkumpul Dengan Orang -orang Jahat        
3.4.3 Kemalasan       
3.4.4 Kurang Berdana        
3.4.5 Berbohong       
3.4.6 Kesombongan       
3.4.7 Ketidak Puasan        
3.5 Dampak Konsumerisme        
3.5.1 Menurunnya Nilai Kemoralan       
3.5.2 Hilangnya Kekayaan Secara Nyata        
BAB IV    TINJAUAN KRITIS TENTANG UPAYA MENGURANGI KONSUMERISME
4.1 Memahami Konsumerisme secara benar        
4.2 Melakukan Instropeksi Diri       
4.2.1 Menjalankan Kemoralan (Sila)        
4.2.2 Hidup Seimbang (Samajivita)
4.2.3 Mudah Merasa Puas (Santutthi)        
4.2.4 Kesederhanaan atau Sikap Tidak Berlebihan        
4.3 Memiliki Sahabat Sejati (Kalyanamitta)        

BAB V  PENUTUP
5.1 Kesimpulan        
5.2 Saran        
DAFTAR PUSTAKA        
DAFTAR RIWAYAT HIDUP      




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah

Arus perubahan modernisasi saat ini telah membawa manusia pada tingkat kemajuan material. Seiring dengan perkembangan fenomena ini, modernisasi telah mengubah pola pikir, pandangan hidup, dan gaya hidup manusia. Hadirnya berbagai macam kemudahan, kenyamanan dan kenikmatan hidup yang diberikan teknologi cenderung membangun peradaban manusia yang diliputi oleh nafsu keserakahan.
Gelombang modernisasi seringkali membawa manusia pada gaya hidup yang berfoya-foya dan berhura-hura. Banyak hal yang dapat menawarkan kenikmatan duniawi, itulah yang akan dikejar dan dijadikan pedoman. Maka dalam kehidupan ini banyak manusia modern yang terjerumus dalam rangkain kehidupan yang berkejaran dengan nafsu keinginan. Sebagai contoh, adalah gaya hidup para remaja sekarang ini yang cenderung mengikuti arus modernisasi. Remaja biasanya mempunyai gaya hidup tersendiri yang dapat dilihat dalam perwujudan sikap para remaja.
Di kalangan remaja, rasa ingin menunjukkan bahwa dirinya juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar sangatlah besar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Contoh para remaja telah memiliki Handphone monophonic yang belum dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang kurang canggih, maka mereka tergoda untuk membeli Handphone polyphonic yang sudah dilengkapi dengan kamera dan fasilitas-fasilitas yang canggih. Karena merasa Handphone monophonic-nya sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi sesuai dengan identitasnya sebagai remaja gaul. Sebagai contoh lain para pemuda begitu menyukai model rambut David Berckham, pemain sepak bola yang terkenal. Demikian pula halnya dengan remaja putri, potongan rambut dan gaya berpakaian yang tidak ada bedanya dengan remaja putri para bintang film Amerika. Gaya ala bintang Hollywood, yang sudah menghipnotis para remaja di belahan dunia manapun, yang menyimbolkan gaya hidup remaja yang menyiratkan kebebasan ala American style.
Gaya hidup anak muda yang tergambar dalam film remaja seperti Baverly Hill ternyata banyak mempengaruhi pandangan persepsi remaja tentang perosolan seks dan pernikahan yang pada akhirnya menyebarkan virus gaya hidup serba permisif dalam tingkah laku sehari-hari mereka. Gaya berpakaian ala penyanyi Britney Spears langsung diserap menjadi rujukan mode bagi gadis remaja di kota-kota. Para remaja rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk membeli pakaian atau perhiasan yang modelnya sama dengan yang telah dipakai oleh artis idolanya.
Pada awalnya, belanja hanya merupakan suatu konsep untuk menunjukkan suatu sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi keperluan sehari-harinya dengan jalan menukarkan sejumlah uang sebagai pengganti barang tersebut. Pada saat ini konsep belanja itu sendiri telah berkembang sebagai sebuah cerminan gaya hidup dan rekreasi di kalangan masyarakat. Belanja adalah suatu gaya hidup tersendiri, bahkan telah menjadi suatu kegemaran bagi sejumlah orang.
Belanja menjadi alat pemuas keinginan para remaja akan barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Karena pengaruh trend atau mode yang tengah berlaku, maka menjadi keharusan untuk memiliki dengan membeli barang-barang. Misalnya remaja cenderung membeli barang yang lebih baru dan lebih bagus dari barang yang sama yang telah dimiliki sebelumnya, seperti: pakaian, sepatu, hanpone maupun barang-barang lainnya secara berlebihan. Mereka ingin mendapat identitas atau penghargaan, dengan membeli barang yang lebih baru yang pernah ada sebelumnya, mempunyai harapan agar orang lain menilai atau memujinya. Contoh lain, orang mengkonsumsi barang bukan karena butuh secara fungsional, melainkan karena tuntutan prestige (gengsi), status, maupun sekedar gaya hidup (life style). Seseorang yang sudah membeli motor atau mobil mewah bukan karena memenuhi kebutuhan fungsional sebagai alat transportasi, melainkan karena alasan status. Perilaku konsumerisme ini jika dibiarkan  dapat terus mengakar di dalam gaya hidup para remaja. Dalam perkembangannya, mereka menjadi orang-orang dengan gaya hidup konsumtif (http://www. freewebs. com/kolektifbunga/ konsumerisme.htm diakses 5 Februari 2008 ).
Secara tidak langsung konsumerisme telah diajarkan oleh berbagai media baik itu media cetak, elektronik maupun media iklan. Iklan merupakan budaya bentukkan kapitalis, tujuan utamanya adalah untuk menjual produk. Iklan selalu berusaha meyakinkan seseorang, untuk mongkonsumsi barang-barang yang telah diproduksi. Sebagai contohnya pada majalah remaja kini banyak dipenuhi halaman-halaman bergambar yang menawarkan-menawarkan barang-barang: baju, kosmetik, sepatu, sandal, tas, perlengkapan sekolah, pernak-pernik barang lainnya. Tulisan yang menjelaskan mengenai gambar yang di tampilkan punya daya membujuk. Misalya “kalau mengaku T-shirt freak, kamu mesti punya koleksi T-shirt pilihan CG!” (Armando:2004.31)
Gaya hidup yang konsumerisme ini semakin besar tuntutannya, sehingga apa yang sudah ada akan tidak mencukupi. Pola hidup yang konsumtif juga menampakkan kesenjangan yang semakin besar pada masyarakat, sehingga kalangan yang sebenarnya tidak mampu atau tidak memerlukan perilaku konsumtif ini turut mempraktekannya, dan kemudian melakukan segala upaya dalam memenuhi keinginannya, sehingga bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang devian.
Gaya hidup konsumerisme ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumerisme bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial bahkan etika.
Gaya hidup konsumerisme telah berdampak pada lemahnya kualitas mental manusia. Kebanyakan manusia sekarang ini dibayangi oleh nafsu keinginan yang kuat untuk mencari kenikmatan dan kesenangan sebagai tujuan hidup. Maka dari itu banyak manusia yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan kesenangan.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis terdorong untuk mengkaji masalah konsumerisme atau gaya hidup yang penulis tuangkan dalam skripsi berjudul ” KONSUMERISME DITINJAU DARI PARABHAVA SUTTA.” Penulis terdorong mengambil judul ini karena penulis merasa prihatin terhadap, sikap atau gaya hidup masyarakat sekarang ini. Penulis berharap agar masyarakat Buddhis hidup sesuai dengan Buddha Dhamma, dan membangun sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Buddha Dhamma

1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana Gaya Hidup Konsumerisme menurut Pandangan Umum?
2.    Bagaimana Gaya Hidup Konsumerisme menurut Agama Buddha?
3.    Bagaimana Upaya yang Dilakukan untuk Mencegah Gaya Hidup   Konsumerisme?

1.3    Tujuan  Kajian

Setiap langkah manusia bertindak tentu saja mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Baik tujuan itu bermanfaat bagi orang lain. Adapun tujuan penulis dalam penulisan proposal skripsi ini adalah sebaagai berikut:
1.    Mendiskripsikan Gaya Hidup Konsumerisme menurut Pandangan Umum
2.    Mendiskripsikan Gaya Hidup Konsumerisme menurut Pandangan Agama Buddha
3.    Mendiskripsikan tentang Upaya Mencegah Gaya Hidup Konsumerisme

1.4    Kegunaan Kajian

Kegunaan kajian dapat penulis bedakan menjadi dua macam, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Kegunaan teoritis berkenaan dengan kegunaan secara akademik, dan kegunaan praktis berkenaan dengan pengkajian terhadap aplikasinya dalam masyarakat untuk lebih jelasnya maka penulis uraikan sebagi berikut:

1.4.1    Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis dimaksudkan sebagai pengembangan ilmu terutama ditujukan bagi pengembangan dunia pendidikan. Yaitu diharapkan mampu memberi sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan. Selain itu kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah untuk dijadikan acuan dalam pengembangan pokok bahasan dalam perkuliahan di Sekolah Tinggi Agama Buddha, (STAB) Kertarajasa Batu. Diharapkan juga karya tulis ini dapat dijadikan tambahan literatur serta dapat memberikan wacana dan sumbangsih bagi peneliti sejenis. Di samping itu karya tulis ini dapat menambah wawasan dalam usaha memahami tentang gaya hidup konsumerisme. Dengan demikian pemaknaan yang salah tentang konsumerisme dapat diluruskan. Hal ini ditekankan agar umat Buddha memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Sang Buddha khususnya yang berkaitan tentang cara penghidupan yang sederhana.


1.4.2    Kegunaan Praktis

Kegunaan kajian ini dilakukan agar penulis dapat memecahkan masalah kehidupan. Kegunaan ini ditujukan bagi penulis dan masyarakat. Penulis mengharapkan dapat menjadi wacana untuk memperluas cakrawala pemikiran tentang upaya mengurangi prilaku konsumerisme. Kajian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk memperkaya wawasan pengetahuan yang dapat dibaca dan digunakan untuk memecahkan masalah konsumerisme. Khususnya umat Buddha sehingga mampu mengendalikan diri dari nafsu-nafsu indera yang berupa keserakahan, kebencian, kebodohan batin yang dapat mengkondisikan pada kemantapan tehadap ajaran Sang Buddha.

1.5    Metode Kajian

Pelaksanaan kajian agar peneliti dapat berjalan dengan lancar maka digunakan metode yang relevan dengan teori yang ada. Maka penulis kemukakan hal-hal yang berkaitan dengan pendekatan, metode pengumpulan data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan prosedur yang dilakukan.

1.5.1    Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan kajian pustaka atau library reseach, yaitu “Serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta mengolah bahan penelitian” (zed, 2004:1). Jadi riset pustaka ini sekaligus memanfaatkan sumber pustaka untuk memperoleh data penelitian. Penulis melakukan penelitian ini dengan mengkaji secara mendalam beberapa bahan pustaka yang relevan, untuk memperoleh hasil yang yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Alasan penulis menggunakan pendekatan kajian pustaka ini adalah karena apabila dibandingkan dengan kajian lapangan (field research), pendekatan kajian pustaka ini lebih relevan digunakan dengan permasalahan yang penulis teliti, sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang akan dikaji.

1.5.2    Metode

Sesuai dengan pendekatan yang digunakan yaitu library reseach, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deduktif, yaitu menarik suatu kesimpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio (Sujana, 1988:5). Alasan penulis menggunakan metode ini karena berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka penulis mengkaji permasalahan yang ada dalam masyarakat yang bersifat umum, dan kemudian dikaji menuju kesimpulan yang bersifat khusus, yaitu kesimpulan secara Buddhis.

1.5.3    Sumber Data

Kajian sumber data merupakan komponen utama, karena tanpa sumber data kajian tidak akan berjalan. Informasi atau data berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) data primer dari tangan pertama, (2) sumber data skunder dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya (Marzuki, 2001:55).
Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan peneliti gunakan untuk menggali informasi tentang data-data yang mendukung penelitian. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah sumber pustaka dari kitab suci sutta pitaka, Parabhava sutta, Dhammapada, Dhigha Nikaya, Angutara Nikaya. Sedangkan sumber data skunder adalah sumber data pelengkap yang fungsinya untuk melengkapi data yang diperlukan oleh data primer, sehingga diperoleh hasil yang lebih valit. Adapun sumber data skunder yang dipergunakan di dalam penelitian adalah Kamus Induk Istilah, Masyarakat konsumsi, majalah, akses-akses internet, buku-buku yang menunjang penulisan dan sumber-sumber lain yang relevan dengan masalah yang dibahas.

1.5.4    Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data atau informasi merupakan bagian penting dalam setiap bentuk penelitian. Karena itu, berbagai hal yang merupakan bagian dari keseluruhan proses pengumpulan data harus benar-benar dipahami oleh setiap peneliti sehingga data-data yang didapat dari kepustakaan tersebut dapat disimpulkan untuk ditulis dalam proposal skripsi ini.
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian kepustakaan ini adalah metode dokumenter, yaitu “mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya”(Arikunto, 2002:206). Metode ini sangat relevan dengan jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian kepustakaan yang mengambil sumber dari bahan-bahan tertulis, seperti buku, majalah-majalah Buddhis, tabloid, Koran, internet, dan lain-lain, sehingga kegiatan observasi tidak berperan dalam metode ini.

1.5.5    Teknik Analisa Data

Sesuai dengan jenis dan sifat data yang diperoleh dari penelitian atau kajian pustaka ini, maka teknik analisis data yang digunakan adalah Content Analisis atau analisis isi, yaitu menangkap isi dari sebuah buku yang menggambarkan data atau informasi yang sesuai dengan masalah yang penulis bahas, sehingga dapat membandingkan isi antara satu buku dengan buku lainnya dalam bidang yang sama. Menurut Ricard Budd, (dalam Suprayogo, 2001: 71). Mengemukakan Analisis isi adalah teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih.
Teknik analisis yang penulis maksud di sini bukan sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga mengerti makna yang tersirat. Oleh karena itu dalam menghadapi beragam dokumen dan arsip sebagai sumber data, penulis harus bersikap kritis dan teliti. Penulis mengunakan teknik analisis ini karena sangat efektif, efesien, mendasar, dan multi guna, sehingga dapat mengetahui serta memahami isi pesan kitab suci, misalnya berkenaan dengan kemoralan, ritual, meditasi, dan lain-lain.


1.5.6    Prosedur

Bagian ini memberikan uraian tentang semua langkah yang dikerjakan penulis sejak awal hingga akhir. Tahap-tahap yang penulis lakukan antara lain (a) tahap persiapan meliputi pemilihan judul, penyusunan proposal, seminar proposal, (b) tahap pelaksanaan meliputi pengumpulan data, analisis data, penyusunan laporan kajian, (c) tahap akhir meliputi ujian skripsi, revisi skripsi dan pengumuman skripsi.

1.6    Definisi Istilah

Definisi atau batasan istilah, penulis maksudkan untuk memberi penjelasan dari judul agar tidak terjadi salah penafsiran. Adapun batasan istilah yang berkaitan dengan judul adalah mengenai kata “gaya” berati sikap (KBBI II, 1999: 297) dalam hal ini tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari baik meliputi yang baik maupun yang buruk itu merupakan gaya atau sikap. Kata “hidup” berarti mengalami kehidupan dalam keadaan atau cara tertentu (KBB II, 1999: 350).
Kata “Konsumerisme” berati paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagian, kesenangan, gaya hidup yang tidak hemat (KBBI II, 1999: 521). Selain itu dalam kamus Induk istilah, konsumerisme mempunyai arti “Bentuk pemakain barang yang tidak menurut kebutuhan, tetapi hanya berdasarkan tuntutan gengsi semata; Sikap, gaya hidup atau paham yang menganggap bahwa pemakain atau pemilikan barang-barang mewah merupakan ukuran kebahagiaan, kesenangan atau gaya hidup yang tidak hemat.” (KII,2003: 414)
Jadi pengertian “gaya hidup konsumerisme” berdasarkan etimologisnya adalah sikap atau prilaku dimana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakain barang-barang hasil produksi secara berlebihan (http//anak_yang_aneh.blogs.friendster.com)

1.7    Kerangka Berpikir

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan indikator, untuk memberikan batasan tentang pembahasan masalah yang akan diselesaikan. Oleh karena itu akan dibahas konsumerisme menurut pandangan umum terdiri dari sikap, prilaku seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi barang-barang hasil produksi secara berlebihan. Prilaku ini akan tampak pada ciri-ciri manusi yang tidak puas dengan barang yang dimiliki dan senatiasa hidup Borjuis. Sedangkan konsumerisme dalam Parabhava Sutta sebab-sebab kemerosotan seseorang yaitu: Tidak mengenal Dhamma, berkumpul dengan orang- orang jahat, kemalasan, kurang berdana, berbohong, kesombongan, ketidak puasan.

1.8    Hipotesis

    Untuk merumuskan masalah penelitian diperlukan adanya hipotesis yang dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Sugiyono (2006:71) mendefinisikan hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Hipotesis merupakan jawaban sementara karena jawaban yang disajikan berdasarkan teori yang relevan, belum berdasarkan fakta yang empiris yang diperoleh dari pengumpulan data. Hipotesis juga merupakan teoritis terhadap perumusan masalah penelitian, sebelum jawaban secara empirik didapat.
maka hipotesis yang penulis kemukakan adalah tentang konsumerisme secara umum, dan konsumerisme menurut Parabhava Sutta, yaitu:
-     Ada perbedaan antara pandangan konsumerisme secara umum dan konsumerisme menurut Parabhava sutta.
-    Adanya peranan Buddha Dhamma dalam upaya pencegahan konsumerisme.




BAB II
            TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMERISME   



2.1 Pengertian Konsumerisme

    Mengenai konsumerisme, banyak literatur yang membahas atau menjelaskan mengenai pengertian konsumerisme. Di antaranya yaitu: Paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan atau gaya hidup yang tidak hemat (KBBI II:1999: 522). Sedangkan dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah dijelaskan bahwa: ”Bentuk pemakain barang yang tidak menurut kebutuhan, tetapi hanya berdasarkan tuntutan gengsi semata”. Sikap, gaya hidup atau paham yang menganggap bahwa pemakaian atau pemilikan barang-barang mewah merupakan ukuran kebahagiaan, kesenangan atau gaya hidup yang tidak hemat. (KIII:2003: 414)
Paham, aliran dimana seseorang melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakain barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan secara terus menerus (http//anak_yang_aneh.blogs.friendser. com diakses 5 Februari 2008). Kamus bahasa Inggris- Indonesia kontemporer (Salim, 1996: 45) arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada orang-orang tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya.
Selain itu, arti dari kata konsumerisme adalah pemakaian barang dan jasa. Sedangkan arti kata konsumtif adalah (consumtive) adalah boros (http// www. kompas.com/kompas-cetak diakses 10 Februari 2008). Jadi dapat ditarik kesimpulan dari berbagai pengertian tentang konsumerisme adalah Sikap, gaya hidup atau paham yang menganggap bahwa pemakaian atau pemilikan barang-barang mewah merupakan ukuran kebahagiaan, kesenangan atau gaya hidup yang tidak hemat.

2.2 Ciri-ciri Manusia Konsumerisme

    Manusia yang dalam kehidupan sehari-hari mepunyai perilaku atau mempunyai gaya hidup konsumerisme dapat terlihat melalui perilaku sebagai berikut: (1) Tidak puas terhadap barang yang telah dimiliki, misalnya seseorang tidak puas terhadap motor yang telah dimiliki maka berkeinginan untuk membeli mobil. dan (2) Hidup Borjuis (http: //gaya hidup borjuis .com, diakses tangga l7 Februari 2008).

2.2.1 Tidak Puas Terhadap Barang yang Telah Dimiliki

Pada umumnya, saat sekarang ini manusia mempunyai keinginan untuk memuaskan nafsu atau keinginannya sangat besar. Semua itu terlihat dari gaya hidup masyarakat sekarang ini, baik dari kalangan menengah keatas, maupun kalangan menengah kebawah, bahkan para generasi muda atau para remaja. Semua manusia cenderung berpola hidup konsumerisme.
Nilai kegunaan sebuah produk sudah tidak menjadi nilai dominan lagi dalam kehidupan manusia. Pada saat sekarang ini, yang ada didalam pikiran manusia hanyalah pencarian identitas diri dengan pengakuan yang dibuatnya sendiri dengan senantiasa mengkonsumsi atau membeli produk terbaru yang sesuai dengan trend atau mode pada saat ini. Contoh: seseorang yang membeli barang yang lebih baru dan lebih bagus dari barang yang sama yang telah dimiliki sebelumnya, seperti: pakaian, sepatu, mobil, motor, barang elektronik atau properti hidup lainnya.
 Sifat konsumerisime semacam ini akan menimbun nilai fungsi atau kegunaan terhadap suatu barang yang telah ada dan dimiliki sebelumnya (http: //freewebs.com/ kolektifbunga/ konsumerisme.htm diakses 5 februari 2008). Sifat konsumerisme adalah contoh sifat manusia yang tidak akan puas terhadap barang yang telah mereka miliki. Manusia cenderung hidup sesuai keinginannya, selalu menuruti nafsu, selalu memenuhi apa yang menjadi keinginannya. Sifat konsumerisme inilah yang membuat seseorang melakukan pemuasan nafsunya dengan tidak terkontrol tanpa memperhatikan fungsi dari kegunaan suatu barang.

2.2.2 Hidup Borjuis

Pada kenyataannya, sekarang ini banyak orang-orang kaya yang menggunakan hartanya, menggunakan uangnya untuk bersenang-senang memuaskan nafsu keinginannya. Bagi orang kaya jalan-jalan keluar negeri, berbelanja ke mall, membeli mobil yang mahal adalah hal yang biasa atau wajar, karena dengan kekayaannya dapat membeli apa yang menjadi keinginannya. Gaya hidup bagi orang kaya ini adalah identik dengan gaya hidup Borjuis.
Potret gaya hidup orang kaya yang dapat dilihat adalah jalan-jalan ke tempat yang fantastis, makan malam di restoran mewah, rumah megah berkolam renang dan jacuzzi, mobil mahal koleksi terbaru, berpesta pora dan segala kegemerlapan. Film-film, sinetron, majalah, televisi kerap menayangkan gambaran gaya hidup kaum borjuis ini (http://gaya hidup borjuis .com, diakses tangga l7 Februari 2008). Gaya hidup yang  seperti itulah yang dilakukan oleh kebanyakan  masyarakat sekarang ini.
Karena kekayaan yang di miliki, orang-orang borjuis dapat membeli apapun yang diinginkan tanpa berpikir manfaat atau fungsi yang sebenarnya dari barang tersebut. Bagi kalangan borjuis uang adalah segala-galanya karena dengan uang kaum borjuis dapat membeli barang-barang sesuai dengan keinginannya. Bagi kalangan borjuis berprilaku konsumerisme adalah hal yang biasa, tetapi bagi kalangan orang yang memiliki kekayaan yang sedang atau tergolong orang yang miskin akan menjadi berbahaya apabila mengikuti gaya hidup yang seharusnya tidak diikuti atau dicontoh.
Gaya hidup yang dianut atau yang dilakukan oleh kaum borjuis inilah yang berdampak pada prilaku yang berlebihan atau prilaku yang berfoya-foya, tidak menggunakan barang dan jasa sesuai dengan keperluan. Sehingga budaya konsumerisme akan semakin meluas, kepada lapisan masyarakat.




2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumerisme

Kemudahan-kemudahan yang diperoleh seseorang tentang sesuatau yang ingin didapatkan merupakan faktor penunjang adanya sifat konsumtif dalam diri manusia, banyaknya informasi ataupun promosi tentang barang-barang kebutuhan sehari-hari, banyaknya pusat-pusat perbelanjaan, banyaknya media masa baik cetak maupun elektronik, iklan yang menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya konsumerisme.(Baudrillard, 2004: 37).

2.3.1 Pusat Perbelanjaan

Sekarang ini banyaknya pusat-pusat perbelanjaan yang berdiri megah yang ada di desa, maupun kota-kota besar di Indonesia sangat mempengaruhu prilaku konsumerisme. Dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan semacam plaza, mall, supermarket. lewat sarana inilah yang menyebabkan meningkatnya secara drastis pola dan budaya konsumerisme. Pusat-pusat perbelanjaan ini biasanya menempati lokasi dan kawasan-kawasan strategis serta pusat keramaian. Dalam pengembangan usahanya, tidak jarang, pusat-pusat perbelanjaan tersebut menggusur lokasi pasar tradisional, kantor pemerintahan maupun sekolah-sekolah.
Plaza, mall dan supermarket yang buka dari pagi sampai malam memungkinkan orang untuk berbelanja segala kebutuhan dan kesenangan dengan sepuas-puasnya. Barang-barang dipajang sedemikian rupa dalam counter-counter yang menggoda, sehingga pembeli langsung bisa mengambilnya sebanyak yang diinginkan. Orang dengan mudah bisa membeli pakaian, TV, alat dapur, barang elektronik, sama mudahnya dengan belanja kebutuhan dapur dan makanan kaleng yang kemudian dibayar tunai (cash) atau menggunakan kartu kredit. Belanja menjadi urusan yang gampang, asyik, sejuk seperti halnya udara ruangan mall yang ber-AC dan harum. Mall seringkali juga dilengkapi dengan tempat permainan (games) buat anak-anak, yang menjadikan mall berfungsi ganda; belanja dan rekreasi untuk segala usia. Kondisi inilah yang memicu suburnya budaya konsumesrisme dalam masyarakat.
Pusat perbelanjaan ini, sangat mempengaruhi prilaku konsumerisme bagi masyarakat. Bagi kebayakan orang yang mempunyai kebiasaan berbelanja maka akan mencari plaza, mall, supermarket untuk memuaskan keinginannya. Disamping itu, para produsen dan pemilik perindustrian besar telah menciptakan berbagai cara untuk menciptakan keperluan palsu di tengah para pembelinya.
Dengan adanya, obral atau cuci gudang, yang dilakukan oleh pusat-pusat perbelanjaan, seperti, mall, supermarket dan lain-lain. Maka seseorang yang terpengaruh dengan harga yang tampak lebih murah, akan tertarik untuk membeli. Padahal jika tidak adanya obral, seseorang bisa dipastikan tidak akan membeli barang tersebut. Dapat disaksikan di berbagai pasar swalayan, supermarket dan mall, para pembeli didorong untuk membeli hingga jumlah tertentu untuk dapat menerima voucher, yang akan diundi untuk menerima hadiah-hadiah tertentu. Ini juga salah satu cara memaksa secara halus para pembeli untuk membelanjakan uang lebih banyak. (http// lumajang net diakses 5 Januari 2008, pukul 00:30 WIB)
Ritzer, mencontohkan bagaimana strategi yang diterapkan oleh mall dalam mengontrol orang untuk berbelanja. Ruang dan waktu dikontrol dengan mendesain mall tanpa jendela, hanya ada sedikit tanda pintu keluar, dalam banyak kasus tidak ada jam di mall, pemeliharaan dan penyusunan ulang periodik membuat mall seperti tidak pernah tua dan ada ilusi kesempurnaan mall. Lebih jauh Ritzer mengungkapkan :
Mall mengontrol apa-apa yang kita beli bukan dengan cara menetapkan apa yang ada dan apa yang tidak ada, tetapi juga dengan menggunakan prinsip ”daya tarik yang berdekatan” (adjacent atraction) dimana objek-objek yang biasa saja dibuat tampak lebih menarik dengan menempatkannya di sekeliling objek yang berbeda dan lebih eksotis. Mall mengatur emosi konsumen dengan memberi cahaya, keceriaan dan lingkungan menarik http://elfitra.multiply.com/journal/item/26/, diakses tanggal 02 mei 2008, pukul 12:30)
Dengan rayuan mendapatkan diskon, voucher, sampai hadiah-hadiah tertentu yang diberikan oleh pusat perbelanjaan seperti mall, hipermarket, itulah yang banyak mendorong orang-orang untuk memuaskan nafsunya dengan berbelanja. Hal-hal seperti inilah yang membuat pusat perbelanjaan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konsumerisme dikalangan masyarakat.

2.3.2 Media Massa (Iklan)

Hidup konsumerisme sebenarnya secara pelan-pelan sedang diajarkan oleh media  salah satunya adalah iklan. Iklan yang setiap hari selalu menayangkan atau memuat tentang gaya hidup yang glamour, penuh dengan sifat yang konsumtif yang dipamerkan terang-terangan (http//nasimaedu.com).
Sebagai contoh atau sebagai gambaran bahwa iklan telah mendorong untuk melakukan konsumerisme, misalnya untuk mengenyangkan perut yang kelaparan  seseorang mungkin cukup mengkonsumsi satu atau dua mie instant dalam satu porsinya, mengkonsumsi lebih dari jumlah tersebut perut tidak dapat lagi menampung apabila dipaksakan, perut akan menjadi sakit. Tetapi dengan demand management, konsumen dibujuk untuk membeli lebih dari biasanya, dengan alasan untuk stok persediaan dirumah, kesempatan mengikuti undian dengan mengirimkan bungkus sebanyak-banyaknya, dan sebagainya.
Iklan merupakan informasi yang memberikan berita yang up to date kepada konsumen mengenai produk yang bertujuan menjaga tingkat produksi. Iklan pada dasarnya bersifat membujuk pemirsa dengan berbagai iming-iming yang ujung-ujungnya mendorong munculnya hasrat untuk membeli. Sedemikian pentingnya peran iklan, sehingga oleh Stuart Ewen disebut sebagai Captain Industry, yang mengamankan bagian pasar dengan cara mengorganisir dan mengontrol selera dan perilaku masyarakat. (William, 1993), iklan merupakan komponen vital dalam organisasi dan reproduksi kapital. Iklan adalah magis karena mampu mentransformasikan komoditas kedalam penanda yang glamour dan penanda tersebut menghadirkan suatu imaginer.
Karena bersifat magis, iklan mampu menyihir konsumen untuk mengkonsumsi suatu produk (Martadi, dalam Jurnal Deskomvis 2001). iklan merupakan perangkat ampuh untuk menciptakan need, want, buy. Melalui industri periklanan, dikembangkan cara-cara untuk menciptakan dan mendorong konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup dalam masyarakat. Iklan digunakan untuk menciptakan kekurangan-kekurangan baru dalam diri konsumen sehingga tergerak untuk berusaha menutupinya dengan mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Iklan merepresentasikan mimpi buruk sekaligus menyenangkan. Iklan menciptakan hasrat dalam diri konsumen dan menawarkan produk sebagai jawabannya.
Iklan kemudian menggeser sikap tradisional seperti hemat, ke dalam sikap hidup yang hedonis (mengedepankan kesenangan duniawi) yang mengutamakan belanja. Iklan memberikan rasionalisasi kepada konsumen untuk tidak tanggung mengeluarankan uang sebanyak-banyaknya. Untuk menjalankan tugas tersebut, iklan telah dipikirkan sedemikian rupa sehingga menggunakan pendekatan rasional psikologis dalam ilmu yang lebih modern. Iklan kemudian menggeser dari captain of industry menjadi captain of consciusness, melalui citra yang dibangunnya  (Noviani, 2002:14)
Disebut captain of conciusness karena iklan menumbuhkan kesadaran-kesadaran baru bahwa orang membutuhkan produk-produk baru dengan merek tertentu. Dalam diri konsumen terbentuk kesadaran baru bahwa konsumen memiliki sejumlah kekurangan yang perlu dipenuhi dengan mengkonsumsi atau menggunakan produk tertentu.
Lihat saja trend kecantikan perempuan yang dikonstruksi melalui iklan saat ini. Perempuan didorong untuk tumbuh kesadarannya bahwa perempuan tidak dikatakan cantik bila tidak memiliki tubuh yang langsing, atau wajah yang putih bersih. Oleh karena itu perempuan perlu menggunakan produk-produk kecantikan, kapsul pelangsing tubuh, menggunakan krim pembesar payudara maupun krim pemutih wajah. Bila tubuh sudah langsing, payudara sudah indah, dan kulit putih, produsen lain mendikte standar kecantikan perempuan dengan mengemukakan kekurangan-kekurangan baru yang ditanamkan dibenak perempuan seolah mengatakan: “kondisi fisik yang anda miliki sekarang tidak hanya cukup seperti itu !!! wajah tidak hanya putih, namun juga bersinar”. Bila sudah putih bersinar, produk lain akan berkata: “wajah putih bersinar tidak cukup, ia perlu putih bersinar, kenyal dan sehat”.
Pendiktean yang dilakukan oleh produsen melalui iklan terjadi secara terus menerus dengan mengemukakan “kekurangan-kekurangan baru” yang harus ditutupi atau diatasi oleh perempuan dengan cara membeli produk yang diiklankan. Selama ini iklan telah mendikte kesadaran manusia baik secara individu maupun kolektif. Iklan bahkan mendorong manusia untuk membeli produk yang mungkin sebenarnya tidak di perlukan, atau mempersuasi untuk mengkonsumsi produk secara berlebihan. Atau dengan kata lain, iklan memunculkan sikap konsumerisme pada diri manusia.
Selain iklan banyak lagi media yang dapat membujuk seseorang untuk melakukan konsumerisme, seperti halnya televisi, buku, majalah, koran dan radio. Majalah, koran, buku, televisi, dan radio, mengajarkan kepada seseorang bagaimana membangun gaya hidup yang dianggap sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi kebanyakan manusia tidak menyadarinya sehingga manusia terjerumus dalam kehidupan yang berfoya-foya atau konsumerisme.
Dalam menyambut hari-hari tertentu misalnya hari besar keagamaan, hari valentain Televisisi, melalui Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial tesebut. Semakin menarik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa media massa merupakan alat terpenting untuk mempropagandakan dan memasyarakatkan mode dan gaya hidup tertentu. Para pengamat dan kritikus masalah-masalah sosial memandang bahwa salah satu dampak negatif propaganda dan iklan-iklan ekonomi itu adalah pendangkalan daya pikir masyarakat (http.lumajang net diakses 5 Januari 2008, pukul 00:30 WIB).

2.3.3 Strata Sosial

Dalam kehidupan masyarakat, sifat iri atau rasa cemburu terhadap kepemilikan barang yang dimiliki oleh tetangga atau sahabat dapat juga menyebabkan meyebarnya sifat atau budaya konsumerisme. Misalnya dalam  lingkungan ada yang membeli mobil atau motor yang bagus, maka pasti ada seseorang yang iri yang ingin menyamai atau ingin memiliki motor atau mobil yang lebih bagus dari yang dimiliki tetangganya.
 Dalam diri manusia selalu tak pernah ada perasaan puas (never-ending-discontentment) ”mau ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang sangat cepat.
Orang digoda untuk melakukan konsumsi terhadap barang-barang yang sama, dan produk-produk yang sama, materi dan kebudayaan untuk memperbaiki kesenjangan sosial pada hirarki dan diskriminasi yang selalu lebih tinggi dari kekuasaan dan tanggung jawab (Baudrillard, 2004: 60).
Gaya hidup yang konsumeristis ini semakin besar tuntutannya, sehingga apa yang sudah ada akan tidak mencukupi. Pola hidup yang konsumtif juga menampakkan kesenjangan yang semakin besar pada masyarakat, sehingga kalangan yang sebenarnya tidak mampu atau tidak memerlukan perilaku konsumtif ini turut mempraktekannya, dan kemudian mereka bisa saja melakukan segala upaya dalam memenuhi keinginannya, sehingga bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial (Kusmin, dalam Waspada, Kamis, 31 Juli 1997/).

Di negara-negara maju, dan kurang lebih di negara-negara berkembang, membeli dan mengonsumsi lebih banyak akan menaikkan posisi sosial seseorang. Rakyat didua negara, Amerika Serikat dan Jepang memandang meningkatnya konsumsi perhari mereka dan keluarga mereka sebagai semacam kesuksesan. (ibid, diakses 5 Januari 2008 00:30 WIB). Hal-hal seperti inilah yang melatar belakangi manusia untuk melakukan konsumerisme.

2.3.4 Budaya Barat

Sejak akhir 1990-an, serbuan globalisasi industri media manca negara berikut kapital-kapitalnya mulai merambah tanah air, menawarkan sarana maupun nilai-nilai baru yang semuanya bermuara pada gaya hidup konsumtif. Sehingga budaya nasional yang mencirikan adat ketimuran sebagai kesederhanaan bangsa Indonesia semakin terlupakan.
Budaya konsumerisme barat saat ini telah menjadi cara hidup yang menguasai dunia. Sebagai contoh apabila berjalan di sepanjang kota Jakarta, maka akan melihat papan iklan berbagai jenis produk, makanan ringan, maupun barang-barang elektronik yang lain. Lalu lintas kota dipadati oleh mobil-mobil mewah dan mahal yang tentunya juga buatan dari luar negri, yang memberikan gengsi tersendiri bagi pemiliknya. Dapat dilihat pada anak muda yang mengidentifikasikan dirinya dengan parfum, jeans, model rambut, dan pernak-pernik perhiasan merk terkenal, hal ini merupakan pengaruh perkembangan budaya barat terhadap kehidupan masyarakat yang dapat ditiru secara cepat oleh kebanyakan orang dan para anak muda yang ada di negara indonesia.
Pengaruh kebudayaan barat, telah banyak mempengaruhi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Pada saat sekarang ini banyak masyarakat yang berprilaku sesuai dengan kebudayaan barat atau bersifat kebarat-baratan yang notabene penduduk barat adalah orang-orang kaya, baik dalam hal berpakaian, model rambut, pola makan, pesta dan berlibur. Bagi kalangan masyarakat yang kaya berlibur keluar negri adalah suatau hal yang biasa, tetapi masyarakat tidak menyadari bahwa pola hidup berfoya-foya adalah hal yang tidak benar.
Pengaruh budaya barat juga dapat dilihat melalui Media-media super power Barat. Dengan menggunakan berbagai fasilitasnya, berusaha menanamkan watak konsumerisme seluas mungkin di tengah masyarakat timur yang terkenal dengan sikap kesederhanaan, dan mempunyai prilaku, serta budi pekerti yang baik. Media-media super power Barat telah dimanfaatkan oleh para investor Barat, untuk menjual produk-produk yang telah ciptakannya. Oleh karena itu, untuk menyukseskan tujuannya tidak jarang yang bekerjasama dengan para pengelola media massa dan berusaha meyakinkan bahwa kemajuan dan kesejahteraan setiap orang adalah dengan mengikuti gaya hidup Barat, dan mengkonsumsi sebanyak mungkin produk-produk yang dihasilkan oleh investor barat. (http://indonesian.irib. diakses 5 Februari 2008).
 Konsumerisme termasuk fenomena lain yang menjadi dasar kebudayaan barat saat ini. Sementara di timur, penghematan, konsumsi dengan cara yang benar dan seimbang, dipandang sebagai nilai positif. Konsumerisme akan dapat merusak tradisi bangsa indonesia apabila dibiyarkan secara terus menerus.

2.4 Akibat-akibat Konsumerisme

Budaya untuk mengkonsumsi barang, membawa suatu sebab akibat bagi perkembangan kehidupan manusia. Akibat yang ditimbulkan itu, ada kalanya bersumber dari dalam diri ataupun dari luar diri seseorang. Hal inilah yang harus diantisipasi, sehingga nantinya konsumerisme tidak merugikan orang lain pada umumnya. Oleh sebab itu, seseorang harus mengatasi akibat-akibat dari budaya konsumerisme. Adapun akibat-akibat konsumerisme adalah: (1) sebagai pemicu korupsi, (2) sebagai ”agama” baru, dan (3) sebagai gaya hidup elit (http/www.pikiran-rakyat.com diakses 30 Januari 2008).

2.4.1 Konsumerisme sebagai Pemicu Korupsi

Konsumsi adalah sebuah keharusan, tetapi mengumbar nafsu berkonsumsi seperti yang banyak terjadi dalam kehidupan, hanya akan membuat manusia terjebak oleh nafsu keinginannyanya sendiri. Secara tidak langsung budaya konsumerisme mengajarkan sifat keserakahan dalam diri seseorang karena seseorang dituntun untuk selalu memuskan keinginannya. Oleh karena itu, untuk mendapat penghargaan orang rela membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan atau dibutuhkan.
 Ketika pola konsumsi seseorang sudah melampaui batas kebutuhan dan kemampuannya,  pada tingkatan moralitas yang masih baik, orang akan dipaksa oleh dirinya sendiri untuk melakukan kerja ekstra untuk memenuhi beban konsumsinya. Tetapi, apabila kapasitas waktu dan kekuatannya telah terlampaui, tidak ditutup kemungkinan orang akan terdorong untuk melakukan jalan pintas yang kadang lebih mendekati, bersinggungan, atau bahkan masuk pada tindakan seperti, tindak kriminal maupun korupsi. Maka dari itu tidak heran jika korupsi menggejala, dalam kehidupan sekarang ini.
Berdasarkan pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menjelaskan pengertian korupsi adalah:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2 ayat 1)
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara (pasal 3) (Suradi,2006:1).

Saat ini, korupsi struktural yang terjadi dalam jajaran birokrasi di negara Indonesia, mulai dari yang korupsi waktu sampai pada tingkatan yang sudah bersifat kolusi. Korupsi tidak terlepas dari pola konsumtif dalam berkonsumsi yang kini sedang melanda dalam sistem kehidupan pada saat ini. Dengan skala gaji yang ada, sesungguhnya tidak ada alasan bagi pegawai negeri untuk melakukan korupsi. sesungguhnya, bukan karena gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup keluarganya, tetapi lebih dikarenakan oleh daftar penerimaan gaji yang diterima terlalu banyak potongan dikarenakan kredit barang-barang yang sudah diambil.
Konsumerisme akan mengakibatkan orang terjebak dalam “lebih besar pasak dari pada tiang” (ibid, diakses 30 Januari 2008). Karenanya, mengendalikan diri di dalam pola berkonsumsi, sesungguhnya adalah suatau hal yang sangat baik. Budaya konsumerisme hanya menghargai seseorang dari banyaknya orang tersebut mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi atau membeli barang-barang. Semakin banyak barang yang dibeli seseorang, semakin orang tersebut akan dihargai. Hal inilah yang mendorong bagi seseorang untuk melakukan korupsi seperti yang banyak terjadi saat ini.

2.4.2 Konsumerisme sebagai ”Agama” Baru

Kaitannya dengan ”agama” baru, konsumerisme dapat terlihat dalam menyambut perayaan hari besar keagamaan yang dari tahun ketahun semakin identik dengan perayaan konsumerisme. Bagi para masyarakat lebih suka pergi atau memuaskan nafsu konsumerismenya dengan pergi berbelanja ke pasar swalayan, supermarket dan mal-mal  karena lebih menarik untuk dikunjungi oleh para konsumen dari pada tempat-tempat peribadatan untuk melakukan sembahyang atau ritual lainnya. Bahkan orang-orang yang mempunyai sifat konsumerisme telah menganggap bahwa, pusat-pusat perbelanjaan telah menjadi wahana peribadatan baru bagi para konsumer fanatik yang tergantung sekali pada merek-merek kondang atau terkenal.
Bagi para pemeluk ”agama” baru konsumerisme, melakukan belanja besar-besaran pada waktu musim obralan merupakan ekspresi kerelijiusan pada agamanya yang baru. Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan tak mencukupi yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan merupakan kepuasan pemeluk agama baru (http//www.pembelajar.com diakses 7 Februari 2008).
Bila dikatakan sebuah ”agama” baru lengkaplah struktur ”agama” konsumerisme yaitu:
Supermarket, mal, pasar swalayan sebagai wahana segala aktifitas. Belanja seharian penuh, rebutan barang yang populer, memborong hasil belanja, adalah sebagai format ritualnya. Konsumer fanatik adalah sejumlah penganutnya. Produsen, perusahaan ternama adalah para pemimpin. Usaha dakwah atau misinya adalah kemasan dalam kemasan yang amat canggih dan menawan disetiap bentuk media, seakan tidak mungkin lagi bagi manusia pemeluk agama konsumerisme untuk bisa melepaskan dari pengaruh agama konsumerisme ini (Utomo, http. Pembelajaran.com. diakses tanggal 07 februari 2008, pukul 12:30)

Gelombang binal ”agama” konsumerisme yang baru, telah banyak mengubah gaya hidup, kepribadian dalam kehidupan manusia di jaman ini. Tetapi perubahan yang terjadi, lebih mengarah kepada hal-hal yang negatif yang dapat menyengsarakan pemeluk agama baru konsumerisme itu sendiri. Maka tidak heran jika perkembangan konsumerisme sangat cepat menyebar dalam masyarakat, karena pemeluk ”agama” konsumerisme beranggapan bahwa agama yang dianutnya dapat memberikan pemuasan terhadap keinginan.

2.4.3 Konsumerisme sebagai Gaya Hidup Elit

Apabila diamati pada kehidupan masyarakat sekarang ini, budaya konsumerisme memang sudah mewabah, sudah menjalar keberbagai lapisan masyarakat. Semua sudah terpengaruh oleh budaya konsumerisme, baik itu masyarakat yang berkecukupan maupun yang berekonomi lemah, bahkan para remaja.
    Orang yang mempunyai kekayaan dengan leluasa memuaskan keinginannya terhadap suatu benda dengan berbelanja. Orang yang seperti ini, sangat menghambur-hamburkan kekayaannya dengan berbelanja barang-barang yang mewah, dengan kekayaan orang kaya dapat membeli barang yang diinginkan. Bagi orang kaya prilaku konsumerisme dianggap sebagai hal yang biasa, atau sebagai hal yang wajar.
    Tetapi sebaliknya orang yang mempunyai ekonomi lemah atau orang yang mempunyai ekonomi pas-pasan bahkan jauh dari cukup, rela mencari hutang untuk membeli atau berbelanja pakaian ataupun peralatan, atau hanya untuk memuaskan nafsu konsumerismenya. Hanya karena malu terhadap tetangga atau sahabatnya orang-orang rela melakukan hal-hal yang kurang baik.

2.5 Pengaruh Konsumerisme bagi Generasi Muda

    Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebaga usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang tenar.  Adapun Pengaruh konsumerisme bagi generasi muda adalah (1) Bergaya hidup mewah, dan (2) Remaja menjadi tidak produktif (http//Konsumerisme dan gaya hidup remaja.com diakses 5 Februari 2008)
2.5.1 Bergaya Hidup Mewah

Banyak anggapan bahwa kebahagiaan seseorang dalam kehidupannya diukur dengan banyaknya kekayaan yang dimiliki dan dinikmati. Pandangan seperti ini yang meracuni seseorang untuk selalu menggapai atau memperoleh berbagai kebutuhan yang secara realita tidak mampu untuk digapai. Para remaja khususnya yang selalu berkeinginan untuk memperoleh barang-barang mewah dengan tujuan agar status sosialnya semakin meningkat. Dalam hal-hal lain, pandangan seperti ini yang mengakibatkan pola hidup yang salah yaitu pola hidup mewah, akan tetapi realita yang ada justru sangat menyulitkan dirinya sendiri.
Pola hidup mewah yang dianggap suatu kebanggaan bagi seseorang akan mengakibatkan terjerumus dalam kesulitan dan berbagai masalah hidup. Berbeda halnya dengan orang yang mempunyai kemampuan ekonomi yang mapan akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhannya. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagi remaja yang kemampuan ekonominya di bawah garis kemiskinan tetapi gaya hidup atau pola hidupnya serba mewah. Hal ini yang menyebabkan timbulnya permasalahan hidup yang menyulitkan dirinya. Di kalangan remaja rasa ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar sangatlah besar, padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan yang dimilikinya, sehingga muncullah perilaku yang konsumtif tersebut (http//Konsumerisme dan gaya hidup remaja.com diakses 5 Februari 2008).
Pola pikir remaja yang masih labil dan cenderung masih mengikuti arus dalam masyarakat juga merupakan faktor penunjang remaja untuk mengikuti pola hidup yang mewah. Banyak hal yang menggiurkan para remaja untuk mengikuti, budaya barat salah satu contohnya. Budaya barat yang cenderung bersifat Elitis yang secara realita hanya orang dengan ekonomi mapan dapat mengikuti budaya tersebut. Pada kenyataanya hampir semua lapisan masyarakat terbius untuk mengikuti pola hidup yang kebarat-baratan. Hal yang paling menonjol dari budaya barat adalah kemewahan, setiap orang akan sangat tertarik dengan kemewahan sehingga pola hidup yang dahulu sangat sederhana terkikis oleh masuknya budaya tersebut.
Gaya hidup sederhana yang menjadi pola hidup bangsa Indonesia saat ini mulai terkikis dengan masuknya pola hidup baru yang serba mewah. Penyebab terkikisnya pandangan tentang pola hidup sederhana adalah keimanan, kemoralan serta perilaku yang semakin menjauh dari koridor agama. Agama yang seharusnya menjadi penyaring atau filter bagi masuknya budaya asing saat ini bukanlah hal yang diutamakan, sehingga dengan mudahnya budaya-budaya asing masuk tanpa adanya penyaring yang kokoh.

2.5.2 Remaja Tidak Produktif

Budaya konsumerisme dapat cepat tumbuh atau berkembang pada para remaja. Berkembangnya pola konsumerisme dalam diri para remaja menimbulkan sifat kemalasan dalam dirinya. Generasi muda yang merupakan harapan bagi orang tua, bangsa dan negara akan sangat disayangkan apabila berpola pikir konsumtif. Dapat kita ketahui bahwa akibat dari konsumerisme adalah ”mengakibatkan orang boros, tidak produktif dan memberikan kesadaran palsu kepada masyarakat” (http//pikiran-rakyat.com diakses 30 Januari 2008).
Suatu bangsa akan dapat mencapai tujuan negara apabila memiliki generasi penerus yang handal dan produktif. Realita yang terjadi saat ini para generasi muda lebih terpengaruh oleh pola hidup yang konsumtif, dorongan gengsi dalam diri serta media yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas membuat remaja termotivasi untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan bahkan diluar kemampuanya, sehingga para remaja yang seharusnya termotivasi untuk belajar dan bekerja demi memenuhi kebutuhannya karena keinginannya sangat besar terhadap segala sesuatu, justru para remaja saat ini hanya menggantungkan keinginannya pada orang lain sehingga keinginan untuk belajar dan bekerja tertutupi oleh pola pikir yang konsumtif. Para remaja yang hanya berfoya-foya tidak memikirkan akibat atau dampak bagi dirinya sendiri bahkan orang lain. Hal-hal inilah yang menyebabkan generasi muda tidak produktif atau dengan kata lain menjadikan remaja boros, yang hanya menggunakan uang untuk keperluan yang tidak penting. Tanpa berpikir bagaimana bekerja dengan baik untuk mendapatkan uang untuk memenuhi keperluannya.

2.6.    Upaya Mengatasi Konsumerisme

    Mengingat begitu besar pengaruh dari konsumerisme bagi masyarakat, bagi genersi muda sehingga dilakukan upaya untuk mengurai atau menanggulangi budaya konsumerisme dengan melalui (1) gerakan hari tanpa belanja, dan (2) melakukan menegement keuangan, dan (3) Menahan Nafsu dengan Puasa (http.Berfikir fungsional melawan kosumerisme.com).

2.6.1.     Gerakan Hari Tanpa Belanja

Perilaku konsumerisme telah merebak dengan cepatnya di tengah-tengah masyarakat pada saat sekarang ini, dimana setiap orang berusaha untuk selalu memenuhi keinginanya terhadap barang yang diinginkan. Prilaku konsumerisme ini tidak hanya muncul pada kalangan elit, orang-orang kaya, tetapi telah merambah kepada kaum menengah kebawah bahkan pada generasi muda. Sebagai upaya pencegahan konsumerisme adalah dengan jalan melaksanakan hari tanpa belanja. Hal ini bertujuan agar para manusia yang memiliki gaya hidup konsumerisme untuk mengurangi bahkan meninggalkan gaya hidup berfoya-foya atau konsumerisme.
Hari Tanpa Belanja adalah untuk mencoba menghentikan budaya konsumerisme yang sengaja diciptakan oleh kapitalis untuk mereduksi pemikiran seseorang bahwa masyarakat butuh segalanya. Dimana dalam sehari, masyarakat sedunia diajak untuk tidak membelanjakan uangnya. Sebuah penyadaran global agar masyarakat mulai mengkritisi semua proses di balik barang-barang yang mereka beli. Konsumerisme juga berarti masyarakat ditipu untuk mendapatkan image yang terbaik dalam lingkungan sosial bermasyarakat dengan cara berbelanja. Konsumerisme juga berarti masyarakat dibuat terhalusinasi bahwa tanpa belanja tidak dapat bertahan hidup lebih lama lagi (http//friendster.com). 
 Penyadaran seseorang akan bahaya perilaku konsumtif dengan gerakan hari tanpa belanja merupakan solusi yang baik sehingga prilaku konsumerisme yang ada pada diri setiap orang yang telah merusak kepribadian dapat berkurang atau bahkan dapat di hentikan dengan hari tanpa belanja.

2.6.2.     Managemen Keuangan

Sebagai upaya untuk mengatasi atau menekan timbulnya gaya hidup konsumerisme seseorang harus memulai dari diri sendiri dengan membiasakan diri tidak menggunakan uang atau membelanjakan uang untuk keperluan yang tidak berguna dan tidak bermanfaat. Hal ini juga merupakan awal yang sangat baik bagi seseorang dalam mengatasi perilaku konsumerisme. Seseorang atau masyarakat berusaha untuk meminit keuangannya, dan selalu mengontrol pemasukan dan pengeluaran, sehingga tidak terjebak dalam besar pasak dari pada tiang.
Management keuangan merupakan sistem kontrol bagi seseorang dalam mengolah dan menggunakan uang, konsumsi seseorang atau keluarga seyogyanya tidak melampaui batas maksimum dari pendapatannya, dengan pekerjaan yang dimilikinya, seseorang sebenarnya bisa mengukur kapasitas maksimum pendapatannya…dengan tidak melampaui batas maksimum pendapatannya, diharapkan seseorang atau keluarga masih mampu menyisihkan sebagian pendapatan untuk ditabung sebagai cadangan. Hal ini sangat perlu diperhatikan, mengingat sebagai fungsi cadangan atau sebagai saving capital, tidak saja bisa dipergunakan sebagai modal usaha, melainkan akan berpengaruh besar pula terhadap rasa aman yang secara psikis akan berpengaruh pula terhadap eksistensi seseorang (http//Berfikir fungsional melawan kosumerisme.com).
Keuangan yang mapan dan terkontrol dengan baik serta penyesuaian pemasukan dengan pengeluaran seseorang akan menekan perilaku konsumtif. Terdapat banyak contoh tentang seseorang yang mempunyai pekerjaan yang mapan tetapi tidak bisa menyisihkan uang untuk keperluan yang lain. Dalam arti uang yang didapat saat ini dihabiskan saat ini juga tanpa memikirkan kebutuhan yang mungkin sangat perlu di waktu lain. Contoh tersebut sangat jelas bahwa pola hidup konsumerisme sangat merugikan bagi siapapun.
Dalam hal ini, management keuangan, atau budaya menabung dan juga membiasakan hidup hemat dan puas terhadap apa yang telah dimiliki. Hal ini sangat menunjang untuk mencegah meluasnya pola hidup konsumerisme dalam diri manusia, keluarga bahkan masyarakat secara umum.

2.6.3.     Pendidikan Agama

    Sebagai upaya pencegahan gaya hidup konsumerisme. Pendidikan Agama mempunyai peranan yang sangat penting yang dapat berguna bagi setiap orang atau pemeluknya. Dalam hal pencegahan konsumerisme seseorang dapat dilakukan dengan menahan nafsu atau melaksanakan puasa. Puasa berarti mengindari makanan, minuman dan sebagainya dengan sengaja (terutama yang bertalian dengan keagamaan), (KBBI 2001:902). Tetapi dalam kehidupan sekarang ini makna dari puasa telah melenceng jauh dari makna sebenarnya, puasa yang tadinya untuk memantapkan ketaqwaan berubah menjadi pertunjukan ibadah dan bahkan telah menyuburkan sikap konsumtif masyarakat. Dimana pada saat menjelang hari-hari besar keagaman banyak pusat-pusat perbelanjaan, bahkan media-media massa yang membujuk seseorang untuk membeli pakaian, makanan bahkan barang keperluan yang lainnya.
    Puasa hanya menahan nafsu makan dan minum tetapi nafsu mengumbar konsumerisme malah makin subur dan membudaya. Sebagai contoh nyata adalah sikap para masyarakat dalam menjelang akhir bulan ramadhan masyarakat berbondong-bondong datang ke pusat-pusat perbelanjaan, seperti supermarket, plaza, mall dan lain-lain untuk membeli barang-barang seperti baju, sepatu, makanan dan barang-barang lain-lainnya.
Dengan melihat kenyataan pada saat sekarang ini, maka manusia harus menggali kembali makna yang sebenarnya dari puasa sesuai dengan tuntutan kitab suci yaitu mengendalikan hawa nafsu. Dengan demikian maka efek samping dari kegiatan ritual keagamaan yaitu puasa tidak menjadikan budaya konsumerisme baru yang sekarang ini terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian puasa yang benar adalah latian menahan nafsu indera agar terbebas dari sifat keserakahan, kemelekatan yang dapat menjadikan hidup menderita. Dengan melaksanakan puasa ini maka seseorang diharapkan agar hidup dengan sederhana, tidak berfoya-foya, sehingga tidak terjebak dalam prilaku konsumerisme. 


BAB III
TINJAUAN KONSUMERISME SECARA BUDDHIS

3.1 Pandangan Agama Buddha Terhadap Konsumerisme

Pandangan agama Buddha konsumsi adalah pemuasan terhadap keinginan. Sedangkan ekonomi modern mendefinisikan konsumsi dengan sederhana sebagai pemakain barang dan jasa untuk memenuhi permintaan. Tetapi agama Buddha membedakan dua jenis konsumsi, yang bisa di istilahkan sebagai konsumsi yang benar dan konsumsi yang salah (Payutto,2005:32).

3.1.1 Konsumsi yang Benar

Sebagai usaha memenuhi keinginan terkadang manusia sulit untuk membedakan barang yang bermanfaat dengan barang yang tidak bermanfaat. Manusia lupa  terhadap keinginan yang dapat memberikan kebahagiaan dan  keinginan yang tidak dapat memberikan kebahagiaan. Kebanyakan manusia dengan ditutupi oleh kebodohan, manusia hanya bisa berjuang memenuhi keinginan atau melakukan konsumsi yang berlebihan, untuk mencapai kebahagiaan maka seharusnya seseorang harus melakukan konsumsi yang benar. Konsomsi yang benar yang dimaksud adalah bentuk pemakain barang dan jasa untuk memenuhi keinginan atau untuk kebahagian sejati. Konsumsi yang benar adalah di dasarkan kepada Chanda. Pengertian “Chanda adalah keinginan untuk sesuatu yang baik“ (Payutto,2005: 23). Tujuan dari Chanda dhamma dan kusaladhamma, yang berarti kebenaran dan kebaikan, kebenaran dan kebaikan harus diperoleh dengan usaha yang baik dan di dasarkan dengan kebijaksanaan. Mengenai konsumsi yang benar Payutto berpendapat bahwa:
Konsumsi yang benar selalu memberikan sumbangan pada kesejahteraan dan membentuk perkembangan dasar lebih lanjut potensi manusia. Ini adalah hal penting yang sering kali tidak terlihat oleh ahli ekonomi. Konsumsi yang di bimbing oleh Chanda menghasilkan lebih banyak dari sekedar pemuasan seseorang Ia memberikan sumbangsih pada kesejahteraan dan perkembangan spiritual. (Payutto,2005: 33).

Konsumsi yang didasarkan oleh Chanda ini lebih bertujuan untuk tidak merugikan makhluk lain dan lebih memperhatikan kepentingan makhluk lainnya juga konsumsi yang lebih menekankan pada azas manfaat. Misalnya untuk bertahan hidup manusia membutuhkan makanan, dengan demikian saat menelan atau makan-makanan bertujuan untuk kesehatan bukan sebagai kesenangan. Pada saat makan makanan seseorang harus merenungkan bahwa, dalam menikmati makanan bukan bertujuan sebagai kesenangan lidah, atau untuk memuaskan keinginan nafsu terhadap makanan, tetapi seharusnya seseorang lebih merenungkan bahwa tujuan dari makan-makanan adalah untuk menjaga kesehatan dan untuk kelangsungan hidup.
Konsumsi yang benar atau konsumsi yang didasarkan kepada Chanda selalu memberikan sumbangan kepada kesejahteraan. Maka dari itu konsumsi yang didasarkan chanda lebih banyak bermanfaat dari sekedar pemuasaan keinginan seseorang, karena konsumsi yang didasarkan oleh chanda dapat memberikan sumbangsih pada kesejahteraan dalam perkembangan spiritual manusia. Apabila semua aktivitas ekonomi dibimbing oleh chanda, maka hasilnya akan lebih dari ekonomi yang sehat dan kemajuan materi pada diri seseorang dan memungkinkan manusia untuk menjalani kehidupan mulia dan menikmati bentuk kebahagiaan yang lebih berarti.

3.1.2 Konsumsi Salah

Konsumsi yang salah adalah penggunaan barang dan jasa untuk memuaskan, keinginan untuk menyenangkan indria dan sebagai pemuasan ego, atau konsumsi yang didasarkan oleh Tanha ( Taniputra, tanpa tahun :29). Sedangkan pengertian Tanha itu sendiri adalah Kemelekatan atas objek-objek indrawi yang menyenangkan atau kemelekatan atas kenikmatan indrawi. Secara singkat Tanha dapat diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh, mendapatkan sesuatu, atau hawa nafsu keinginan rendah yang mengandung kemelekatan. (Taniputra, tanpa tahun: 20). Semua masyarakat sekarang ini sedang dilanda penyakit yakni manusia diliputi oleh tanha atau hawa nafsu keinginan yang rendah. Sehingga dalam memenuhi keinginan manusia rela menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsu keinginannya, manusia menjadi saling mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain.
Tanha dalam agama Buddha dekat hubungannya dengan perasaan, maka seseorang akan berusaha mencari hal-hal yang menyenangkan dirinya. Secara mendasar ada enam jenis objek yang dapat menimbulkan kasenangan. Yaitu (a). suara, (b). bau, (c). rasa, (d). sentuhan, (e). obyek-obyek mental, (f). wujud. Maka orang-orang cenderung mencari wujud-wujud yang indah untuk menyenangkan perasaan, dan cenderung menghindari wujud-wujud yang tidak menyenangkan. Misalnya dalam memilih pakaian seseorang pasti berusaha mencari pakain yang modelnya sesuai dengan keinginannya.
Menurut pandangan Buddhis, apabila konsumsi meningkatkan kesejahteraan sejati, maka konsumsi dikatakan berhasil, sebaliknya, bila konsumsi hanya menghasilkan perasaan puas, maka konsumsi dikatakan gagal. Selain itu memanjakan diri dalam kesenangan tanpa memperhatikan akibatnya seringkali membawa pada akibat buruk dan hilangnya kesejahteraan. Lebih jauh, konsumsi berlebihan yang tanpa terkendali dalam masyarakat konsumen dapat meningkatkan rasa tidak puas (Payutto, 2005: 33).
Konsumsi yang didasarkan oleh Tanha ini sangat merugikan orang lain, selain itu konsumsi yang salah akan membawa diri seseorang ke dalam pemuasan, keinginan dan nafsu indrawi, sehingga harus dihindari oleh seseorang pada kehidupan sekarang ini.

3.2 Penyebab Konsumrisme

Sebab atau yang menjadi awal terjadinya konsumerisme dalam diri manusia  adalah Sifat keserakahan (lobha), kebodohan (moha), dan keinginan nafsu (tanha). Jadi apabila seseorang memiliki sifat serakah, bodoh dan mempunyai keinginan nafsu akan berprilaku atau bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut (Taniputra, Tanpa tahun: 20)


3.2.1. Keserakahan (lobha)

Dalam agama Buddha, Lobha adalah keserakahan, ketamakan, ingin menerima tetapi tidak ingin memberi (KUBD, 2004: 37), yang menjadi sumber atau yang menjadi awal dari sifat konsumerisme adalah sifat keserakahan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari keinginan-keinginan, hal itu merupakan sifat alami manusia. Tindakan atau prilaku dengan mementingkan nafsu keserakahan yang tinggi inilah yang menyebabkan orang tidak akan pernah merasa puas terhadap apa yang telah dimilikinya atau kurang menerima apa yang telah diperolehnya sehingga akan mengakibatkan seseorang terjebak dalam keserakahan.
Mengenai keserakahan Sang Buddha mengatakan kepada para Bhikkhu bahwa:
Tinggal kanlah satu hal wahai para Bhikkhu, dan aku jamin engkau akan mencapai tingkat kesucian anagami (yang tidak terlahir lagi). Apakah satu hal itu keserakahanlah, wahai para Bhikkhu. Tinggalkanlah keserakahan, dan aku jamin engkau akan mencapai tingkat kesucian Anagami (Kuddaka nikaya, itivuttaka, ekavipatta: Lobha sutta).

Sifat serakah atau tidak pernah merasa puas terhadap apa yang dimiliki atau apa yang telah diperoleh inilah yang membuat sifat konsumerisme ini tumbuh subur dalam diri manusia. Oleh karena itu banyak manusia menempuh cara-cara yang salah dalam mewujudkan keinginannya.

3.2.2 Kebodohan (Moha)

Kebodohan batin muncul dalam diri manusia disebabkan karena setiap perbuatan yang dilakukan tanpa dipikirkan akibat yang akan diterimanya. Kaitannya dengan konsumsi yaitu dalam memenuhi keinginannya seseorang tidak melihat dari segi manfaat terhadap barang yang dinginkan tetapi lebih berdasarkan kepada pemuasan  keinginan nafsunya atau seseorang lebih mementingkan keinginannya. Misalkan sebuah mobil mewah mungkin berfungsi sama seperti halnya mobil yang lebih murah, tetapi mereka meminta harga yang lebih tinggi terutama karena nilai artificial yang dimilikinya. Sehingga dalam masyarakat orang yang mampu membeli mobil ini dianggap orang kaya dan mendapatkan kedudukan sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat.
Sang Buddha menjelaskan bahwa makhluk yang bingung karena kebodohan batin maka seseorang akan terlahir kembali dalam alam yang buruk “ kebodohan batinlah satu hal itu, wahai para bhikkhu. Tinggalkanlah kebodohan batin, dan aku jamin engkau akan mencapai tingkat kesucian anagami (Khuddaka Nikaya, Itivuttaka, ekanipata: Moha sutta). Dalam hal ini kebodohan juga dapat menjadi dasar seseorang berprilaku konsumerisme. Hal ini dikarenakan seseorang dalam bertindak atau berbuat tidak dapat membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang tidak baik, dan lebih mementingkan keinginnya. Disamping itu orang yang diliputi kebodohan dalam memenuhi keinginan tidak berdasarkan manfaat dari apa yang diinginkan dan lebih mengarah kepada keserakahan, dan kesenangan atau kebahagiaan semu.

3.2.3. Keinginan Nafsu (Tanha)

Manusia lebih egois dalam menyangkut hasrat nafsunya dibandingkan dengan makluk lainnya. Manusia memasrahkan diri pada keinginan nafsu atau kenikmatan nafsu tanpa memikirkan kesejahteraan lainnya. Orang dengan hawa nafsu ingin hidup lebih lama untuk menikmati kesenangan ( Dharmananda: 2005: 15).
Mengenai keinginan nafsu Sang Buddha mengatakan bahwa:
Apabila seseorang dikuasai oleh nafsu keinginan yang rendah dan beracun, kesedihanya akan bertambah dengan cepat dan banyak sekali seperti rumput birana yang tumbuh subur setelah berkali-kali turun hujan.
Nafsu keinginan adalah dorongan keinginan yang rendah, adalah sulit untuk melepaskan diri dari nafsu keinginan tetapi dalam dunia ini apabila ada orang yang dapat menaklukkan nafsu keinginan, maka kesedihan akan lenyap dari dalam dirinya seperti air yang menetes dari daun teratai. (Dh, XXIV :335-336)

Nafsu keinginan yang ada di dalam diri manusia sangat mempengaruhi terhadap tindakan manusia, untuk memuaskan nafsu keinginan terhadap barang-barang atau benda yang diinginkan tanpa memikirkan dampak atau akibat dari pemuasan keinginan tersebut. Oleh karena itu nafsu keinginan harus dikontrol agar tidak menimbulkan sifat konsumerisme.

3.2.4. Sahabat Palsu

Agama Buddha memandang seorang teman menjadi dua macam yaitu sahabat baik (Kalyanamitta) dan sahabat Palsu (Akalyanamitta). Sahabat yang baik atau kalyanamitta ini dapat menjauhkan temannya dari perbuatan-perbuatan yang jahat atau tidak bermanfaat. Sedangkan Akalyanamitta atau sahabat yang jahat adalah sahabat yang hanya mencari keuntungan dalam persahabatnnya dan tidak melarang apabila temannya berbuat jahat. Dalam hubungannya dengan konsumerisme maka yang menjadi penyebab adalah sahabat palsu (Akalyanamitta), yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
3.2.4.1 Orang yang sangat serakah

Apabila seseorang berkumpul atau berteman dengan orang yang sangat serakah, maka seseorang akan terbawa atau mengikuti gaya hidup dari orang yang serakah, karena sahabat yang serakah ini hanya mengambil kesempatan, mengambil keuntungan dari persahabatannya itu.
Dalam Digha Nikaya III, 186 menggolongkan sahabat yang serakah sebagai berikut:
(1) Mereka hanya memikirkan tentang apa yang akan mereka peroleh dalam bersahabat dengan seorang teman (2) Mereka memberi sedikit dan berpikir bagaimana untuk memperoleh banyak. (3) Apabila mereka dalam bahaya mereka akan melakukan hal-hal untuk teman mereka (dengan maksud memperkokoh persahabatan dan saling melindungi) (4) Mereka bergaul dengan kita hanya mereka tahu bahwa hal itu memberikan keuntungan bagi mereka. (Wowor,2004:137)

Sahabat yang mempunyai sifat serakah, akan dapat merugikan bagi temannya. Kerena orang yang serakah hanya mencari keuntungan dari persahabatan yang dijalinnya. Dalam hal ini maka apabila seseorang bergaul dengan orang yang serakah maka akan merugikan dirinya sendiri, dan apa yang dimilikinya akan cepat habis karena sahabat yang palsu hanya mencari keuntungan dari persahabatan yang dijalinnya.

3.2.4.2 Orang yang Banyak Bicara

Mengenai sahabat palsu atau akalyanamitta, yang menjadi salah satu cirinya adalah  cenderung mempunyai kebiasaan berbicara mengenai hal-hal yang yang tidak ada manfaatnya atau tidak berguna, mereka senang membicarakan orang lain selain itu juga selalu mempunnyai alasan yang bermacam-macam apabila temanya membutuhkan batuan.
Sahabat yang hanya manis di mulut saja atau selau banyak bicara, tetapi tidak berbuat apa-apa harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi seorang sahabat. Sahabat yang banyak bicara mempunyai empat ciri yaitu: (1) selalu membicarakan hal-hal yang telah lampau dan tidak berguna, (2) cenderung membicarakan ha-hal yang belum terjadi, (3) membantu mengerjakan hal-hal yang tidak berguna, dan (4) apabila diminta untuk membantu, selalu mengatakan tidak dapat membantu (dengan bermacam-macam alasan untuk menghindar). Dalam hal ini apabila seseorang selalu berteman atau bergaul dengan seseorang yang banyak bicara tidak akan membawa manfaat dan hanya akan membawa kehancuran atau kemerosotan.

3.2.4.3 Seorang penjilat

Mempunyai teman yang bersifat penjilat juga dapat merugikan bagi orang lain. Sahabat yang bersifat penjilat cenderung menghasut untuk melakukan prilaku atau hal-hal yang tidak baik, mereka selalu mencari kesalahan pada diri sahabatnya. Sahabat yang penjilat ini mempunyai empat kriteria yaitu: (1) apabila sahabatnya berbuat jahat, mereka akan setuju dan membenarkannya, (2) apabila sahabatnya berbuat baik, mereka akan setuju dan membenarkannya, (3) dihadapan temannya mereka memuji-muji, (4) dibelakang mereka akan mencela temannya. Apabila seseorang bersahabat dengan orang yang mempunyai kriteria seperti ini maka mengakibatkan kemerosotan. Sehingga dalam memilih sahabat hendaknya seseorang harus berhati-hati.

3.2.4.4 Seorang Pemboros

Yang menjadi ciri keempat dari sahabat palsu adalah orang pemboros, ciri ini yang berkaitan sekali dengan perilaku konsumerisme. Sahabat yang seperti ini akan cenderung membawa pada kehidupan yang boros yang berfoya-foya untuk memuaskan nafsu keinginan. Sahabat yang mendorong seseorang untuk menuju ke jalan yang  membawa kehancuran dan kemerosotan mempunyai empat ciri yaitu (1) selalu mengajak temannya untuk minum-minuman yang memabukkan, (2) mengajak temannya berkeliaran di malam hari, (3) membuat temannya melekat untuk mengejar kesenangan, dan (4) membuat temannya menjadi penjudi.( D III, 186)
Teman- teman yang seperti inilah yang harus dihindari dalam mencari teman atau sahabat. Sehingga seseorang tidak terjebak atau terjerumus dalam perbuatan jahat atau hal-hal yang tidak bermanfaat, hingga akhirnya dalam kehidupan sekarang ini akan berbahagia, jauh dari prilaku boros.

3.3. Saluran Konsumerisme

Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menyatakan adanya enam saluran menghamburkan kekayaan yaitu: (1) Memuaskan diri dengan mabuk-mabukan, (2) Berjalan keluyuran tanpa menghiraukan waktu, (3) Sering Menonton dan ketempat-tempat keramaian, (4) Memuaskan diri dengan berjudi, (5) Berteman dengan mereka yang berkelakuan Buruk, dan (6) Kemalasan. ” (Choon Kim: 2004: 29).

3.3.1 Memuaskan Diri dengan Mabuk-mabukan

Kehidupan masyarakat sekarang ini, banyak para pemuda yang selalu menunjukkan jati dirinya dengan melakukan perbuatan yang sebenarnya kurang baik atau merugikan diri sendiri. Banyak para remaja yang terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik, dalam pergaulanya banyak para remaja yang menggunakan obat-obatan, maupun minuman yang dapat memabukan. Para remaja tidak memperhitungkan akibat dari penggunaan atau mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan tersebut.
Menurut pandangan agama Buddha, apabila seseorang mengkonsumsi, maupun minum-minuman keras merupakan pelanggaran sila. Khususnya pancasila Buddhis, yaitu sila kelima yang berbunyi bertekat untuk melatih diri untuk tidak minum-minuman, atau makan-makanan yang dapat melemahkan kesadaran atau menjadi mabuk. Dalam hal ini Sang Buddha juga menjelaskan enam akibat dari mabuk-mabukan yaitu: (a) Menghambur-hamburkan uang, (b) Menimbulkan perkelahian, (c) Mudah terserang penyakit, (d) Mendapatkan reputasi yang buruk, (e) Membuat tubuh menjadi lemah, (f) Melemahkan intelek/kemapuan berpikir. (Choon Kim: 2004: 30). Selain itu dalam Manggala Sutta, juga disebutkan: ” Tidak melakukan kejahatan, menjahui hal-hal yang dapat memabukkan. Dan selalu melakukan kebajikan inilah berkah termulia ” (Choon Kim: 2004: 30).
Kebiasaan minum-minuman keras yang memabukkan menyebab kan seseorang terjerumus oleh kenikmatan yang akhirnya menyebabkan kelalain dan ketagihan selain itu Minum-minuman keras yang memabukkan menimbulkan kehilangan uang secara jelas. Karena kebiasaan minum-minuman keras yang memabukkan menimbulkan ketagihan, maka selalu berambisi membeli minum-minuman terus menerus karena apabila tidak minum-minuman  tersebut akan ketagihan dan badan lemas tak bardaya. Sehingga setiap hari setiap waktu, selalu membeli minum-minuman keras. Apa bila hal ini selalu  dilakukan secara terus menerus lama-kelamaan uang yang dimilikinya akan habis, padahal untuk mencari dan mengumpulkan uang atau kekayaan tidak mungkin dilakukan karena orang yang sudah terseret dalam minuman keras akan malas melakukan pekerjaan apapun.
Sangat jelas sekali apabila orang yang terbiasa minum-minuman keras segala sesuatu tidak dapat terkendali, apa yang dilakukan tanpa adanya kesadaran sehingga menciptakan sifat yang tidak baik, yang tidak terpuji baik di dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan yang selalu mencerminkan sifat buruk dalam kehidupan dalam bermasyarakat. Selain itu dari segi kesopanan sangat jelas sekali bahwa orang yang gemar minum-minuman keras sangat tidak sopan , segala tingkah laku, cara bicaranya juga tidak mencerminkan tata susila.
Pengaruh dari minum-minuman keras juga meghilangkan segala-galanya termasuk kecerdasan. Kecerdasan menjadi menurun karena lemahnya kesadaran yang kemudian pikiran yang menjadi sumber kecerdasan akan menjadi lemah. Mengingat sangat berbahanya melakukan minum-minuman keras maka hendaknya prilaku tersebut tidak dilakukan, karena hanya dapat menimbulkan kerugian diri sendiri maupun orang lain apabila minum-minuman kerasa atau mabuk-mabukan dilakukan. 

3.3.2 Berjalan Keluyuran Tanpa Menghiraukan Waktu

Seseorang ingin mencari suasana baru dengan menikmati keindahan-keindahan lingkungan yang ada. Tetapi tidak pernah berfikir bahwa waktu dan tempatnya yang tidak pantas hanya digunakan untuk mengejar kesenangan dengan berkeliaran ditempat-tempat keramaian seperti tempat karaoke, diskotik dan  tempat-tempat keramaian lainnya.
Akibat seseorang yang sering berkeliaran pada waktu malam hari atau waktu yang tidak pantas adalah:
Orang tersebut tidak terjaga dan tidak terlindungi, anak istrinya tidak terjaga dan tidak terlindungi, harta kekayaannya tidak terjaga dan tidak terlindungi, dapat juga dituduh sebagai pelaku kejahatan, menjadi sasaran desa-desus palsu. Selain itu juga mendapatkan resiko mudah ditipu. Terlebih lagi, polisi akan mencurigai orang tersebut melakukan kejahatan dan oleh karena itu orang tersebut akan menerima resiko tertangkap dari perbuatannya yang tidak baik. Semua hal ini berarti ketidak beruntungan akan berpihak pada orang tersebut. (Wuryanto, 2007: 55)

Pada masa Buddha, orang ini tidak hanya sebagai kepala keluarga akan tetapi orang tersebut juga diharapkan dapat melindungi keluarganya. Oleh karena itu bila orang tersebut tidak berada di rumah pada malam hari, maka keluarganya akan tidak terlindungi dan akan menjadi sasaran kejahatan. Selain itu karena selalu ditinggal keluyuran sehingga kekayaan atau hartanya yang ada dirumah tidak aman, apabila ada yang mencuri atau mengambil hartanya tidak tahu karena selalu ditinggal pergi keluyuran.
Berkeluyuran pada waktu yang tidak tepat juga dalam masyarakat akan dicurigai melakukan perbuatan jahat, selain itu juga dijadikan pembicaraan orang dan menjadi sasaran yang tidak baik dan tidak dipercaya orang lain maka kesulitan yang dihadapinya semakin bertambah dan tidak ada orang yang membantu apabila mengalami kesulitan.

3.3.3 Menonton dan Ke Tempat-tempat Keramaian

Hiburan memang perlu untuk seseorang yang sedang kacau pikirannya, hanya saja ada batas-batas tertentu untuk dapat mengontrol dan mengendalikan pikirannya agar tidak melekat kepada setiap hiburan. Tetapi kebanyakan manusia sekarang ini, untuk memuaskan keinginan nafsunya selalu mencari tempat-tempat yang dianggap dapat memuaskan nafsu keinginannya. Misalnya ketempat teater atau tempat-tempat hiburan. Kata teater dan fair digunakan dalam konteks waktu Buddha dan tentunya berbeda dengan yang digunakan pada saat sekarang ini. Tentunya tidak akan jelek bila ke teater menyaksikan sandiwara, yang baik, tetapi akan berbeda jika seseorang menonton pertunjukan seperti tarian telanjang, dan yang lain-lain yang dapat menyebabkan kecanduan dan perzinahan. Orang tersebut akan menjadi korban anggur, wanita dan lagu dalam konteks kondisi modern. Orang yang seperti ini akan cenderung pergi ke diskotik, bar, dan tempat yang lain yang dapat memberikan kebebasan untuk menikmati kesenangan-kesenangan.
Sering pergi ketempat hiburan dan keramaian mengakibatkan pemborosan kekayaan. Terlalu sering pergi ketempat hiburan akan menjadi kebiasaan, kalau sudah biasa maka bila tidak pergi ketempat hiburan akan menjadi gelisah. Sehingga yang ada dalam pikiran hanya tempat-tempat hiburan dan keramian yang dapat memuaskan keinginan. Menurut Sigalaovada Sutta apabila orang salau beripikiran untuk mencari tempat-tempat hiburan, maka dalam pikiran atau dirinya adalah:
    1. dimana ada tari-tarian, sehingga pikiran gelisah dan mencari terus dimana ada tari-tarian pergi menontonnya dimana tenpatnya berada, 2. dimana pikirannya ada nyanyi-nyayian, dalam pikirannya selalu berpikir di mana ada nyayi-nyanyia atau pertunjukan akan melihatnya, 3. dimana ada pembacaan deklamasi, dalam pikirannya selalu ada deklamasi sehingga dimanapun berada akan melihatnya, 4. dimana ada pertunjukan musik, bagi orang yang sudah mempunyai kebiasaan pergi ketempat hiburan akan pergi menontonnya juga, 5. dimana permainan tambur, demikian juga permainan ini akan pergi menonton walau dimanapun berada, 6. di mana ada permainan gendering, seseorang yang mempunyai kebiasaan pertunjukan selalu berpikir dimana ada pertunjukan gendering kan menontonnya. (Wuryanto, 2007: 56).

Lebih lanjut, jika seseorang secara terus menerus ke teater atau selau mencari tempat-tempat hiburan atau keramian, maka orang tersebut tidak akan memiliki waktu untuk bekerja dan juga waktu untuk bersama dengan keluarganya. Orang tersebut akan melalaikan pekerjaan dan keluarganya dan hanya menghabiskan kekayaannya sehingga terjebak dalam prilaku konsumerisme.
   
3.3.4 Memuaskan Diri dengan Berjudi

Dalam agama Buddha berjudi adalah satu bentuk dari kecanduan. Karena berjudi merupakan akibat pemuasan yang tidak terkontrol. Kejahatan dari berjudi adalah ketika seseorang mendapatkan kemenangan, maka seseorang akan terus berjudi sambil berpikir bahwa dia tidak akan kalah lagi. Ketika sesorang itu kalah, dia tidak puas untuk menyerahkan dan memotong kekalahannya itu akan berharap nantinya keberuntungan akan datang untuk mengganti kekalahannya.
Kebiasaan berjudi akan jadi pemborosan atau menghabiskan kekayaan tetapi kebiasaan berjudi memang sulit untuk dihindari, karena perjudian sudah memasyarakat di dalam kehidupan baik di kota-kota maupun di desa-desa. Tetapi bila seseorang mengerti dan menyadari akan akibat atau bahayanya melakukan perjudian maka sedikit demi sedikit akan dapat menghindari perjudian itu.
Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha juga mengatakan bahwa terdapat enam bahaya melakukan perjudian. Keenam hal itu antara lain yaitu:
1. bila menang akan mendapat kebencian dari pihak yang kalah, 2. bila kalah akan menimbulkan penyesalan dan kebencian dari pihak yang menang, 3. kehilangan banyak uang, 4. ucapannya tidak dapat dipercaya di dalam pertemuan-pertemuan, 5. dijahui oleh sahabat dan handai tauladan, 6. tidak disenangi untuk diambil menantu karena penjudi tidak setia dan tidak dapat menyokong rumah tangga dengan semestinya (Wuryanto, 2007: 57).

Seseorang yang kalah dalam berjudi rela melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri atau perbuatan yang tercela yang melanggar norma atau melanggar hukum. Misalnya melakukan pencurian, merampok bahkan menjual apa yang dimilikinya hanya untuk modal bermain judi. Maka dari itu hendaknya seseorang menghindari perjudian.

3.3.5 Berteman dengan Mereka yang Berkelakuan Buruk

Sebagai seorang manusia atau sebagai makhluk sosial, manusia memang tidak bisa lepas dari orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu membutuhkan bantuan dari orang lain karena seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau tanpa adanya teman. Tetapi dalam hal ini seseorang juga harus dapat memperhitungkan atau memilih teman tentunya harus memilih teman yang mempunyai kelakuan yang baik dan dapat memberikan nasehat atau pertimbangan.
Dalam Vyagghapajja Sutta Angutara Nikaya VIII,54 Sang Buddha menasehati Vyagghapajja bahwa persahabatan, persaudaraan dan keakraban dengan pembuat kejahatan, penjudi, dan peminum akan mengarah pada habisnya kekayaan dan kehancuran seseorang. Selain itu dalam Sigalovada sutta Sang Buddha menyebutkan, mereka yang berkelakuan buruk: (a) Penjudi, (b) Orang yang tidak bermoral, (c) Peminum, (d) Pembohong, (e) Penipu, (f) Orang yang kasar.
Bergaul dengan teman-teman jahat akan menjadikan seseorang acuh tak acuh, sehingga bukan saja merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan orang lain. Bila bergaul dengan mereka cenderung akan mengikuti cara-cara mereka. Karena itu akan merugikan diri sendiri baik secara fisik maupun mental, karena kesukaran-kesukaran dan ketakutan-ketakutan timbul dari masa bodoh dan ceroboh. Sekalipun tidak mempraktekkan cara-cara mereka, bergaul dengan mereka yang mempunyai perbuatan jahat maka tetap akan merugikan diri sendiri. Sebagai salah satu perumpamaan, apabila daun pisang digunakan untuk membungkus ikan atau daging busuk, daun itu akan menjadi kotor dan berbau busuk, bahkan setelah daging atau ikan itu dibuang.






3.3.6 Kemalasan

Seseorang harus berkerja keras agar dapat tetap hidup dan memenuhi kebutuhannya. Dalam kenyataannya, kebutuhan manusia semakin meningkat. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan maka seseorang harus berusaha dengan giat untuk bekerja, guna memperoleh uang sebagai biaya kelangsungan hidup. Tetapi sebaliknya apabila seseorang selalu bermalas-malasan, dalam menjalani kehidupan, tidak mau bekerja dengan mengatakan banyak alasan.
Dalam Sigalovada Sutta, seseorang yang memiliki sifat malas akan banyak alasan dalam melakukan pekerjaan karena seseorang selalu berfikir atau beralasan: 1.hari terlalu panas, 2.terlalu dingin, 3.hari terlalu pagi, siang, maupun sore, 4.terlambat, terlalu cepat, 5.sangat lapar, 6.terlalu kenyang, sehingga seseorang dengan alasan tersebut tidak mau melakukan pekerjaan. (Wowor, 2004: 92 ).
Apabila seseorang selalu berfikir demikian maka seseorang akan malas melakukan pekerjaan apapun, sehingga harta kekayaan tidak didapatkan. Tidak mendapatkan kekayaan, sehingga kebutuhan untuk hidup tidak dapat tercukupi atau terpenuhi. Enam hal yang menjadi penyebab hilangnya kekayaan dan enam bahaya yang terjadi akibat melakukan hal-hal yang harta kekayaan habis. Apabila keenam hal ini tidak dapat dihindari oleh seseorang atau para perumah tangga maka kebutuhan hidupnya tidak akan terpenuhi. Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup maka kebahagiaan dan kesejahteraan tidak dapat dicapai.
Oleh karena itu hendaknya seseorang sedapat mungkin untuk dapat menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan pemborosan kekayaan, sehingga dapat hidup tenang, tentram dan bahagia karena kebutuhan hidup sehari-hari selalu terpenuhi tidak akan kekurangan suatu apapun.
Mengenai hal kemalasan Sang Buddha juga banyak menjelaskan dalam Samyutta nikaya (I,16:31) Sang Buddha mengatakan bahwa ketika seseorang dapat mengusir rasa malas, rasa tidak puas dan kelambanan ini, maka jalan mulia ada didepannya Selain itu juga dalam Dhammapada  Sang Buddha mengatakan “Orang yang malas tidak akan bertahan hidup ketika ia harus bertahan hidup dan mereka, meskipun muda dan kuat akan tetapi malas dan tidak memikirkan kebaikan tanpa kebijaksanaan tidak akan merealisasikan sang jalan” (Dh XX: 280).

3. 4 Konsumerisme Ditinjau dari Parabhava Sutta

Bagi masyarakat secara umum konsumerisme adalah bentuk pemakain barang yang tidak menurut kebutuhan, tetapi hanya berdasarkan tuntutan gengsi atau pola hidup yang berfoya-foya. Kebutuhan masyarakat pada suatau barang tidak didasarkan atas manfaatnya melainkan hanya keinginan semata.
Sedangkan Konsumerisme dalam agama Buddha terdapat dalam Parabhava Sutta. Dalam Parabhava sutta, diterangkan mengenai sebab-sebab kemerosotan atau hilangnya kekayaan seseorang. Dalam kenyataannya menghabiskan kekayaan ini adalah sangat mudah dibandingkan dalam mencari kekayaan. Dalam Parabhava sutta dijelaskan mengenai saluran-saluran dalam menghabiskan kekayaan atau sebab-sebab kemerosotan seseorang, yaitu sebagai berikut:


3.4.1 Tidak Mengenal Dhamma

Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai, Mendiskusikan Dhamma pada saat yang sesuai, itulah berkah utama. (Angutara Nikaya, Manggala sutta). Tetapi kenyataan dalam kehidupan sekarang ini masih banyak manusia yang tidak memiliki kesempatan mendengar dan mendiskusikan Dhamma. Dengan demikian, orang yang tidak mengenal Dhamma akan jauh dari prilaku baik dan mengkondiskan untuk berbuat jahat. Dalam Parabhava sutta sang Buddha mengatakan “ Orang yang sedang jaya mudah diketahui, orang yang sedang mengalami kemerosotan mudah diketahui, barang siapa yang mencintai Dhamma, jayalah ia, barang siapa membenci Dhamma, merosotlah ia”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipatta).
Dalam kehidupan sekarang ini apabila manusia selalu berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat, dan selalu mengumbar keinginan nafsunya. Mempunyai sifat serakah dan selalu mementingkan diri sendiri sehingga tidak mau berdana atau membantu sesama. Maka manusia seperti itu adalah manusia yang tidak mengenal Dhamma sehingga harus dijauhi.

3.4.2 Berkumpul Dengan Orang-orang jahat

Bergaul hendaknya seseorang harus dapat membedakan antara teman sejati (Kalyanamitta) dengan sahabat atau teman palsu (akalyanamitta). Apabila seseorang bergaul dengan orang-orang yang berkelakuan buruk, penjudi, pemabuk, tidak bermoral, penipu atau yang hanya mengharapkan keuntungan maka hendaknya tidak bergaul dengan orang-orang tersebut
Dalam Sigalovada Sutta, pathika vagga 15 dijelaskan bahwa terdapat empat macam sahabat palsu, yaitu:
(1) teman yang bertujuan menipu, (2) teman yang hanya manis dimulut saja, (3) mereka yang memuji-muji dan membujuk, dan (4) mereka yang mendorong seseorang yang menuju jalan yang membawa kerugian atau kehancuran. (Choon Kim: 2004: 36).

Keempat macam orang ini, bukanlah teman-teman yang sejati, mereka adalah teman yang palsu. Maka wajar jika seseorang tidak bergaul dengan mereka. Bergaul dengan mereka dapat memberikan penderitaan dalam hidup. Hendaknya seseorang harus bergaul dengan orang-orang yang mempunyai kelakuan atau kepribadian yang baik, yang dapat memberikan masukan atau saran. Akibat dari berkawan dengan teman yang berkelakuan buruk ini, dinyatakan Sang Buddha dalam Parabhava sutta, dimana Sang Buddha memberikan penjelasan kepada dewa yang menanyakan tentang sebab utama tentang kejatuhan seseorang. Buddha berkata bahwa:
Orang yang seperti ini akan beteman dengan teman licik yang dekat dengannya dan tidak akan membahagiakannya bila ia berkumpul dengan yang bajik. Selain itu apabila seseorang berkumpul dengan para pelacur, wanita pemabuk, pemboros, atau kepada seorang laki-laki dengan ciri yang sama, Inilah sebab musabab dari kemerosotan atau penyebab kejatuhan seseorang (Parabhava Sutta, Kudakka Nikaya, Sutta Nipatta).

Yang dimaksud orang-orang jahat disini adalah penjudi, pelacur, pemabuk, penipu, pembohong dan orang kasar. Apabila berkumpul dengan orang-orang tesebut, akan kehilangan kekayaan kerana terpengaruh olah kejahatan yang dilakukannya sehingga kekayaan yang kita miliki akan dapat cepat habis karena dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik atau kejahatan.
Apabila dalam kehidupan sekarang ini seseorang berteman dengan  seorang pembohong, penjudi, tidaklah baik karena seseorang akan terpengaruh malakukan berjudi sehingga apabila kalah akan banyak kehilangan harta atau uang. Bergaul dengan para pelacur akan sangat berpengaruh karena seorang pelacur akan selalu melakukan pemerasan terhadap kekayaan dan melakukan perbuatan yang melanggar norma kesusilaan. Bergaul dengan para pemabuk akan berpengaruh dalam minum-minuman yang memabukkan, sehingga akan ketagihan dan cenderung untuk membeli minum-minuman sehingga lama-kelamaan kekayaan kan habis untuk membeli minuman.
Bergaul dengan penipu sangatlah berbahaya karena, seorang penipu dapat juga menipu diri kita, hanya ingin menguasai atau ingin mendapatkan harta yang kita miliki. Bergaul dengan orang kasar akan terpengaruh kekasarannya sehingga dalam melakukan sesuatau tidak sadar akan cenderung akan kasar. inilah enam jenis orang yang jahat (penjudi, pelacur, pemabuk, penipu, pembohong, dan orang kasar) yang tidak bisa dijadikan teman dan selalu dihindari. yang mempunyai perilaku buruk atau jahat.
Maka hendaknya seseorang menghindari orang-orang tersebut, agar dapat hidup damai tentram dan dapat terhindar dari prilaku konsumerisme atau prilaku yang hanya menghaburkan harta kekayaan atau menghamburkan uang, sehingga mengakibatkan kemerosotan seseorang.






3.4.3 Kemalasan

Seseorang yang malas akan memberikan banyak alasan untuk tidak berkerja. Orang yang seperti ini menyalahkan cuaca atau iklim dengan berkata terlalu dingin atau terlalu panas, dan juga menyalahkan waktu dengan mengatakan terlalu pagi atau terlalu malam. Atau orang yang mempunyai sifat malas untuk bekerja orang tersebut akan menyalahkan perutnya dan berkata dia terlalu lapar atau terlalu kenyang. Sang Buddha mengatakan bahwa orang yang mempunyai sifat kemalasan, akan meninggalkan banyak hal, yang belum dikerjakan. Orang yang malas menggunakan uang yang telah dimiliki akan dihamburkan sehingga kekayaannya akan habis. Karena orang yang malas tidak berfikir untuk mencari uang untuk menambah kekayaannya.
Dalam hal kekayaan Sang Buddha mengatakan bahwa kekayaan akan tidak  dapat dipertahankan dalam waktu yang lama apabila pemiliknya tidak berhati-hati, dalam Angutara Nikaya diuraikan bahwa bila:
1.Ia tidak mencari dan menambah miliknya yang hilang, 2. Ia tidak memperbaiki miliknya yang rusak, 3. Ia tidak bersikap sedang atau secukupnya sewaktu mempergunakan kekayaannya, 4 Ia memiliki teman yang bermoral buruk untuk membantu mengurus rumah tangganya (Wowor,2004: 90-91)

Sang Buddha mengatakan kepada umat manusia untuk tidak bermalas-malasan karena hal itu dapat menyebabkan kejatuhan seseorang. Dalam Parabhava sutta (Sn I,6) Sang Buddha mengatakan “suka tidur, suka bergosip, malas dan mudah tersinggung adalah penyebab kejatuhan seseorang”. Jadi kemalasan merupakan sebab kehancuran seseorang, hendaknya seseorang bekerja untuk mendapatkan kekayaan, dan berusaha menambah harta yang telah dimiliki, dengan bekerja keras dalam melakukan pekerjaannya sehingga kesuksesan akan mudah dicapai. Selain itu manusia juga tidak terjerumus dalam konsumerisme yang hanya berfikir untuk memuaskan keinginan nafsu dan hanya hidup berfoya-foya.

3.4.4 Kurang Berdana

Dewasa ini, banyak umat awam yang telah salah mengerti pengertian dari berdana yang sesungguhnya. Mereka menganggap berdana hanya orang kaya yang perlu melakukannya, sedangkan orang miskin tidak perlu. Mereka juga menganggap membakar dupa yang besar di Vihara akan mendatangkan manfaat lebih besar daripada berdana kepada orang yang lebih membutuhkan. Masih banyak contoh lagi di masyarakat yang tidak tahu mengenai pengertian dari berdana
Berdana dalam agama Buddha lebih diartikan sebagai perbuatan memberi atau melepaskan apa yang kita miliki, sehingga dapat mengurangi rasa kemelekatan terhadap sesuatu yang menjadi milik kita. Dana juga dikenal dengan istilah danamaya yang berarti suatu kehendak yang baik yang patut ditimbulkan untuk mengikis lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan kemelekatan terhadap harta duniawi yang berupa sumbangan dana atau sumbangan kepada yang pautut menerima (S, Sagatha vagga :18)
    Perbuatan beramal dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dikakukan oleh seseorang dengan memberikan sebagian dari harta miliknya dengan tanpa mengharapkan imbalan baik berupa meteri maupun bukan materi kepada orang yang membutuhkan seperti korban bencana alam, fakir miskin, para pengemis atau panti-panti dan badan sosial lainnya (Angutara Nikaya, catukka Nipata : 62 )”.
Bagi kebanyakan orang beranggapan bahwa mengumpulkan kekayaannya dengan susah payah, akan  merasa berat jika harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk berdana, karena mereka berpikir bahwa harta yang mereka peroleh adalah dengan susah payah. Prinsip ini membuat seseorang menjadi kikir, egois, dan tidak peduli terhadap penderitaan orang lain. Sebagian orang kaya, selalu menginginkan agar hartanya bertambah terus dengan perasaan serakah. Ia dihinggapi perasaan takut jika suatu saat nanti kehilangan hartanya. Ia selalu memikirkan bagaimana hartanya nanti, tetapi lupa untuk berdana. Ia tidak mengetahui bahwa kekayaan yang ia miliki itu adalah hasil dari berdana pada kehidupannya yang lampau.
Demikian pada orang miskin, yang setiap hari selalu memikirkan bagaimana caranya agar memiliki uang yang banyak. Terkadang mereka menggunakan cara-cara yang melanggar sila untuk mendapatkan kekayaan. Hal ini disebabkan karena pada kehidupan yang lampau mereka kurang berdana. Dengan demikian, berdana adalah hal yang penting dan bermanfaat untuk dilakukan. Berdana merupakan salah satu dari sepuluh perbuatan baik dalam agama Buddha (Dasa Paramita). Berdana mendapatkan urutan pertama dalam Dasa Paramita. Dana adalah sifat yang harus dikembangkan terlebih dahulu sebelum melaksanakan 9 sifat yang lainnya. Berdana ibarat sebuah fondasi yang kokoh dalam membangun sebuah rumah.
Berdana merupakan sebuah ladang yang baik untuk menanam karma baik. Dengan berdana maka sifat-sifat buruk, seperti egois, serakah, konsumerisme, materialistis akan dapat berkurang. Dengan berkurangnya sifat buruk tersebut, maka hidup kita akan lebih bahagia. Salah satu cara melakukan karma baik adalah dengan berdana.
Bagi kebanyakan orang kurang menyadari bahwa pahala berdana atau keuntungan dari melakukan dana akan berakibat karma baik mempunyai 6 sifat utama yaitu: 1.Tidak dapat diusik siapapun. 2. Tidak dapat seorangpun yang dapat mencurinya. 3. Pahalanya mengikuti pelakunya setiap langkahnya. 4. Pahalanya mengikuti pelakunya hingga alam berikutnya. 5. Hanya berlaku untuk pribadi. 6. Dapat mengabulkan keinginan sebagaimana dikehendaki.
Disamping memiliki 6 sifat utama Sang Buddha juga memberikan contoh pahala-pahala dari berdana seperti di bawah ini:

1. Siapapun yang memberikan dana beras atau makanan, ia akan sehat dan bahagia sepanjang hidupnya. 2.Siapapun yang memberikan dana pakaian, tidak akan kekurangan pakaian dan memiliki kulit indah. 3.Siapapun yang memberikan dana penerangan, akan menyebabkan kita memiliki mata yang indah. 4.Siapapun yang memberikan dana kendaraan, akan merasa nyaman dalam perjalanan kemanapun. 5.Siapapun yang memberikan dana patung/ gambar Sang Buddha, akan terlahir dengan rupa yang indah. 6.Siapapun yang memberikan dana kitab suci, akan mendapatkan kecerdasan.7.Siapapun yang memberikan dana pembangunan vihara/bangunan, kelak akan memiliki rumah besar. http://buddhism.com, diakses tanggal 04 juni 2008.

Kenyataan-kenyataan seperti ini masih sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, kurangnya pengertian tentang berdana membuat seseorang untuk lebih cenderung bersifat serakah. Sang Buddha menjelaskan mengenai akibat dari kurang berdana tang terdapat dalam Parabhava Sutta yaitu “orang yang berada dalam keadaan makmur, tetapi tidak menyokong ibu atau ayahnya yang telah tua dan lemah inilah sebab penderitaan. Orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah (emas dan makanan), namun ia hanya memakainya untuk dirinya sendiri tanpa membagikannya pada orang lain (yang membutuhkan), inilah sebab penderitaaan”.(Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 )
Jadi apabila seseorang yang memeliki kekayaan secara melimpah, mempunyai banyak harta, tetapi menggunakan kekayaanya sendiri, dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya atau berfoya-foya, mabuk-mabukan, berjudi. Tanpa memikirkan penderitaan orang lain dan tidak mau berdana. Maka dalam kehidupan yang akan datang akan menderita atau terlahir menjadi orang yang miskin.

3.4.5 Berbohong

Menurut Agama Buddha berbohong merupakan pelanggaran sila, terutama sila keempat pancasila Buddhis yang menyatakan saya berjanji untuk melatih diri untuk tidak berbuhong. Apabila dalam kehidupan sekarang ini manusia selalu melanggar sila khususnya sila yang keempat ini maka akan berakibat pada kehidupan yang akan datang tidak akan dipercaya oleh orang lain. Selain itu apabila seseorang sering berbohong, dalam segala hal maka akan berakibat pada kemerosotan atau kehancuran seseorang dalam parabhava sutta telah dijelaskan bahwa:”Barang siapa menipu dengan mendustai pada seorang brahmana atau pertapa atau orang suci lainnya, inilah sebab musabab dari kemerosotan”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 )






3.4.6 Kesombongan

Seseorang yang terlahir dalam keluarga yang mempunyai kekayaan yang melimpah-ruah,  merupakan  sebuah kebahagiaan, sebuah prestasi tersendiri bagi pemilik kekayaan, tetapi kekayaan yang dimiliki tidak boleh digunakan sebagai kesombongan sehingga orang yang memiliki kekayaan tidak mau bergaul dengan yang miskin, mereka beranggapan tidak sederajat apabila bergaul dengan orang miskin.
Seseorang yang memiliki kekayaan seharusnya di pergunakan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu atau orang miskin. Sang Buddha mengatakan bahwa: ” Orang yang menyombongkan kelahirannya, kekayaan dan keluarganya, merendahkan sanak keluarga sendiri inilah sebab musabab dari kemerosotan”. (Parabhava Sutta, Khudakka Nikaya, Sutta Nipata 18 ). Sehingga apabila seseorang dalam kehidupan sekarang ini bersikap sombong dengan apa yang telah dimiliki akan menjadikan kehancuran seseorang atau runtuhnya seseorang.

3.4.7 Ketidakpuasan

Agama Buddha menyebut hawa nafsu keinginan sebagai tanha. Tanha juga dapat diartikan sebagai rasa tidak puas, ataupun rasa kehausan terhadap sesuatu. Sebagi contoh apabila seseorang merasakan makanan yang enak, lezat tentunya orang tersebut berkeinginan untuk menambah makanan tersebut, sebagai contoh lain apabila seseorang mempunyai keinginan untuk membeli sepeda motor yang bagus, yang semua orang belum memiliki, setelah keinginan itu terpenuhi maka orang tersebut timbul keinginan lagi untuk mempunyai atau membeli sebuah mobil.
Manusia tidak menyadari bahwa dirinya tidak akan terpuaskan, dengan apa yang telah mereka peroleh. Hal itu dikarenakan keinginan akan timbul lagi setelah seseorang mampu memenuhi keinginannya. Dalam Parabhava Sutta disebutkan “barang siapa mempunyai sedikit kekayaan, tetapi bernafsu besar, terlahir dalam keluarga ksatria, dan mengidam-idamkan untuk menjadi raja, inilah sebab musabab kemerosotan. Barang siapa tidak puas dengan istrinya sendiri, terlihat bersama-sama dengan pelacur dan istri-istri orang lain, inilah sebab musabab dari kemerosotan”.

3.5 Dampak Konsumerisme

Dampak dari konsumerisme ini akan memberikan akibat bagi para manusia yang berprilaku konsumerisme atau hidup berfoya-foya. Menurut Dhammananda prilaku konsumerisme akan berakibat sebagai berikut: (1) menurunnya nilai kemoralan, (2) hilangnya kekayaan secara Nyata, dan (3) penderitaan pada kehidupan yang akan datang (Dhammananda, 2003: 188).

3.5.1 Menurunnya Nilai Kemoralan

Perbuatan manusia semakin hari menunjukkan penurunan dalam melakukan perbuatan baik. Sesuai dengan yang diajarkan oleh sang Buddha, memang segala sesuatu tidak kekal adanya, demikian juga dengan tingkah laku atau perbuatan manusia, senantiasa mengalami perubahan, baik kearah posif dan negatif.
Menurunnya nilai-nilai moral manusia ditandai dengan semakin jauhnya praktek ajaran agama. Merosotnya keyakinan manusia terhadap ajaran agama atau religius menyebabkan perbuatan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran.  Bersama dengan merosotnya kepercayaan religius membawa, dampak kemorosotan moralitas. Terlihat hampir diseluruh dunia terjadi peningkatan kejahatan, peningkatan kenakalan remaja, usaha pelanggaran yang semakin meninggkat terhadap penyelesaian persoalan ekonomi dan politik dalam negeri, kemerosotan dalam otoritas dan disiplin” (Henry Hazlitt,2003: 21).
Perbuatan manusia yang cenderung memprihatinkan, secara umum tindakan kriminalitas dan kejahatan telah menunjukkan peningkatan. Dapat dilihat melalui data yang telah ditulis oleh para peneliti, seperti yang ditulis oleh Hisham Harum di The New Straits Time, 5 mei 1997:
Statistik polisi mengungkapkan bahwa pada tahun 1994, jumlah pelaku kriminal yang dilakukan karena ketergantungan obat, pemerkosaan, hubungan intim yang tidak semestinya, pembobolan rumah, dan pencurian adalah sebanyak 4192. dari angka ini terdapat 1.893 laki-laki dan 23 perempuan dari etnis melayu, 590 laki-laki dan 18 perempuan dari etnis cina. Dan 421 lai-laki dan 10 perempuan dari etnis india. Sedangkan pada tahun berikutnya jumlah pelanggar dari etnis melayu naik menjadi 2.402, sedangkan dari etnis china menjadi 922 dan 507 dari etnis india. Angka tahun 1996 adalah 2890 dari etnis melayu dan 770m dari etnis china (menunjukkan penurunan), 574 dari etnis india (Dhammananda, 2003: 189).

Dalam Dhigha Nikaya, Patika Vagga, Sigalovada Sutta disebutkan ada empat yang menyebabkan seseorang bisa terdorong  untuk melakukan kejahatan atau perbuatan jahat: ” keinginan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan”. Hal-hal inilah yang dapat menjadikan seseorang untuk melakukan perbuatan yang jahat yang dapat merugikan diri sendiri maupu orang lain.
Terjadinya kemerosotan moral secara umum telah tercermin dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dan masih banyak baidang bidang yang lainnya. Dalam kaitannya dengan prilaku konsumerisme yang menjadi sebab kemerosotan moral adalah dalam bidang ekonomi. Bagi kebanyakan manusia mempunyai kekayaan, mempunyai barang-barang yang bagus, dan indah merupakan kebahagiaan, yang didambakan oleh setiap manusia. Hal itu dikarenakan dengan barang-barang tersebut dapat menaikan derajat atau strata sosial dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi tentu saja dalam memperoleh kekayaan atau barang yang diinginkan dengan jalan yang benar. Karena tidak jarang seseorang rela merampok, mencuri demi memperoleh barang yang diinginkan.
Setiap manusia memiliki keinginan, segala tindakan atau tingkah laku  pasti didasari keinginan. Keinginan yang dapat menyebabkan kemerosotan moral adalah keinginan yang didasarkan keinginan nafsu yang didasari oleh keserakahan, karena keinginan terhadap sesuatu yang tidak didasari oleh kemampuan akan mempengarahi tindakan dan perbuatan. Contohnya ada orang berkeinginan memiliki sepeda motor dan uang banyak, tetapi ia tidak memeliki uang untuk membeli sepeda motor karena penghasilannya hanya cukup untuk dimakan satu hari itu saja, tetapi keinginan untuk memiliki sepeda motor tidak dapat dikendalikan, akhirnya untuk memenuhi keinginannya ia nekat mencuri sepeda motor oarang lain. Dari contoh di atas sudah jelas bahwa yang mendasari perbuatan seseorang adalah keinginan.
Tingkah laku manusia yang semakin brutal dan tidak sesuai dengan kemoralan, menyebabkan ajaran kebenaran atau ajaran agama ditinggalkan. Orang yang melakukan perbuatan jahat hanya berdasarkan keinginan nafsu, mengejar keinginan atau kenikatan duniawi yang dilakukan dengan berbagai usaha adalah tidak benar. Maka hendaknya seseorang berbuat harus sesuai dengan norma yang berlaku, sesuai dengan nilai kemoralan maka akan dapat hidup harmonis dan bahagia dalam dunia ini tanpa adanya kekerasan.

3.5.2 Hilangnya Kekayaan Secara Nyata

Harta kekayaan yang tidak akan dapat dipertahankan dalam waktu yang lama apabila pemiliknya tidak hati-hati. Dan dalam Anguttara Nikaya di uraikan bahwa” Seseorang tidak mencari dan menambah miliknya yang hilang, seseorang tidak memperbaiki miliknya yang rusak, seseorang tidak bersikap sedang (secukupnya), dan memiliki teman yang bermoral buruk untuk membantu rumah tangganya”. (Wowor, 2004: 90).
Sangat jelas sekali apabila seseorang selalu menuruti keinginannya untuk memenuhi keinginannya terhadap barang atau benda yang dinginkan atau seseorang dalam kehidupannya selalu hidup berfoya-foya, misalnya berjudi, mabuk-mabukan, sering pergi ketempat-tempat yang tidak pantas, atau selalu mencari keramaian, tanpa berfikir untuk mencari kekayaan, maka harta yang dimilikinya akan cepat hilang atau habis.


BAB IV
TINJAUN KRITIS TENTANG UPAYA MENGURANGI
KONSUMERISME

Pengaruh perkembangan teknologi sekarang ini berdampak pada perubahan gaya hidup manusia, perubahan gaya hidup sangat terlihat pada diri seseorang yaitu dengan perubahan gaya berpakaian, model rambut dan akseseris lainnya. Bagi kalangan masyarakat yang mempunyai kekayaan yang melimpah perubahan gaya hidup terlihat dengan berlibur keluar pulo, berlibur keluar negeri, dan membeli barang maupun mobil yang bagus. Bagi kebanyakan orang telah terbawa kepada sebuah gaya hidup yang glamor yang mewah, sebuah gaya hidup dimana seseorang dihargai karena memiliki kedudukan dan kekayaan yang melimpah. Gaya hidup yang dianut masyarakat sekarang ini adalah gaya hidup yang konsumerisme, dimana seseorang selalu memuaskan keinginannya dengan melakukan belanja besar-besaran, sebuah gaya hidup yang tidak hemat.
Konsumerisme merupakan prilaku yang tidak baik. Prilaku yang berkecenderungan untuk hidup berfoya-foya atau tidak hemat. Dalam Agama Buddha membedakan konsumsi atau konsumerisme menjadi dua yaitu: Konsumrisme yang berdasakan Chanda dan konsumrisme yang berdasarkan Tanha. Konsumerisme yang berdasarkan dengan Chanda adalah konsumerisme yang berdasarkan atas manfaat, jadi manusia mengonsumsi atas dasar manfaat dari sesuatu benda yang di konsumsi. Misalnya makanan, orang makan bukan karena keserakahan tetapi berfungsi untuk menjaga kesehatan. Sedangkan konsumsi atau konsumerisme yang berdasarkan dengan Tanha adalah konsumsi yang hanya memuaskan keinginan-keinginan atau hawa nafsu yang rendah, yang hanya menyenangkan diri sendiri.
Jadi dalam melakukan konsumsi hendaknya seseorang harus mampu mengelola atau mengendalikan nafsu keinginan dengan benar, sehingga seseorang akan dapat menekan keinginanya hingga akan mendapatkan kualitas mental yang kokoh (sila),  mampu mengendalikan keinginan atau mengendalikan pikiran (samadhi), dan memiliki kebijaksanaan (Panna). Dengan memeliki kualitas mental yang baik, serta mampu menjalankan sila dengan baik, serta mempunyai rasa puas dan dapat hidup seimbang (samajivita) maka kehidupan akan senantiasa mengarah pada kebahagiaan. Karena seseorang akan terhindar atau terbebas dari keinginan-keinginan yang rendah atau prilaku konsumerisme yang dapat membawa seseorang kedalam penderitaan

4.1 Memahami Konsumsi Secara Benar

Perkembangan gaya hidup konsumerisme sekarang ini sudah menyebar luas di masyarakat, baik itu masyarakat yang mempunyai ekonomi yang mapan maupun masyarakat yang mempunyai ekonomi menengah kebawah bahkan para remaja yang masih mengantungkan hidup pada orang tua. Semua memuskan keinginan dengan membeli barang-barang yang mewah tanpa melihat kegunaan atau fungsi dari barang yang telah dimiliki atau dibeli. Apabila manusia menyadari fungsi dari barang maka konsumerisme akan dapat dicegah.
Sebagai contoh seseorang yang mempunyai banyak mobil dan masih berusaha untuk membeli sebuah mobil mewah dan yang lebih canggih. Maka dalam diri orang tersebut hanya ada keinginan terhadap mobil mewah yang lebih canggih tanpa memperhatikan fungsi atau kegunaan mobil tersebut, yang mempunyai fungsi sama dengan mobil yang lama dan  lebih murah yang telah dimiliki.
Apabila manusia memahami arti dari konsumerisme secara benar, dengan tidak memuaskan keinginan nafsunya terhadap barang-barang maupun peralatan yang lainnya, maka gaya hidup konsumerisme akan teratasi dan tidak akan mejadi kebiasaan bagi masyarakat, sehingga akan terwujud kehidupan sederhana, hemat dan puas terhadap apa yang telah dimiliki. Tetapi apabila masyarakat selalu menuruti keinginan nafsunya atau selalu memuskan apa yang diinginkan, misalkan dengan berbelanja, berlibur keluar negeri, membeli mobil yang bagus dan mewah atau dalam arti selalu memuaskan nafsu konsumerismenya. Maka akan mengakibatkan seseorang terjerumus dalam penderitaan.

4.2 Melakukan Instropeksi Diri

Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya gaya hidup konsumerisme manusia juga perlu melaksanakan intropeksi diri yaitu dengan menjalankan kemoralan (Sila), hidup seimbang (samajivita), mudah merasa puas (santutthi), dan kesederhanaan atau sikap tidak berlebihan. Sehingga apabila seseorang memiliki sila atau kemoralan, mampu hidup seimbang dan memiliki kepuasan maka konsumerisme akan dapat teratasi.

4.2.1    Menjalankan Kemoralan

Untuk membangun manusia dalam mengatasi serta mengurangi gaya hidup konsumerisme agama Buddha menerapakan sila atau kemoralan yang merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama yang mencakup semua prilaku dan sifat-sifat yang baik yang termasuk dalam ajaran moral dan etika agama Buddha. Sila merupakan dasar manusia dalam membangun sifat dan prilaku yang baik dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Dalam ajaran gama Buddha sila atau kemoralan begitu penting, dan harus dimiliki oleh umat Buddha. Sila, merupakan suatu hal yang mendasar dalam agama Buddha. Karena sila merupakan dasar utama dalam pengamalan ajaran agama, merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk mencapai peningkatan batin yang luhur, dan dapat menuntun manusia untuk berbuat dan berprilaku secara baik.
Dalam hubungannya dengan gaya hidup konsumerisme, sila atau kemoralan  dapat digunakan sebagai pencegah terjadinya konsumerisme yaitu dengan menjalankan delapan sila atau melaksanakan Atthasilla. Dengan menjalankan Atthasila, maka seseorang dengan mudah mengurangi gaya hidup yang berlebihan sehingga akan tercermin suatu nilai kesederhanaan dimana Atthasilla merupakan latihan seseorang dalam kesederhanaan, mengurangi keserakahan, serta mengurangi rasa tidak puas terhadap apa yang telah dimiliki saat ini. Atthasilla berfungsi untuk melatih mengurangi rasa lobha, dosa, dan moha.     
 Atthasilla sering dilaksanakan oleh umat Buddha, baik itu para pabbajita atau wiharawan yaitu para Bhikkhu, Bhikkhuni, Samanera, maupun Garawasa atau perumah tangga yang meliputi Upasakka dan Upasikka pada hari-hari tertentu. Umumnya, pada hari uposattha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15, dan 23 menurut penanggalan lunar, tetapi saat menjelang hari raya waisak biasanya umat Buddha juga menjalankan Atthasila selama satu bulan. Kedelapan sila yang dilatih dan dipraktekkan itu terdiri dari lima sila yang umumnya dikatakan sebagai pancasila Buddhis, yang ditambah dengan tiga sila lainnya.
Praktek Atthasila atau delapan sila itu terdiri dari: (a) bertekat untuk melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. (b) bertekat untuk melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan. (c) bertekat untuk melatih diri menghindari perbuatan yang tidak suci. (d) bertekat untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak baik. (e) bertekat untuk melatih diri menghindari minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran. (f) bertekat untuk melatih diri menghindari makan-makanan pada waktu yang tidak tepat (setelah jam dua belas siang). (g) bertekat untuk melatih diri menghindari menyanyi, menari, bermain musik, serta melihat tontonan, memakai karang-karangan bunga, wangi-wangian, dan alat-alat kosmetik untuk menghias dan mempercantik diri. (h) bertekat akan melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah.
Dari delapan sila diatas, adalah bertujuan membangun untuk hidup secukupnya, apa yang diinginkan adalah yang benar-benar diperlukan untuk melangsungkan kehidupan. Seperti halnya yang terdapat dalam sila yang keenam dalam pelatihan Atthasila yaitu tidak memakan-makanan atau minuman (yang tidak diizinkan) diluar batas waktu yang ditentukan. Pelatihan sila yang keenam juga bertujuan untuk mengendalikan diri dalam hal makanan, menjadikan makanan sebagai makanan dan bukan sekedar umpan yang hanya memanjakan lidah atau terbentuknya sikap serakah yang hanya menjadikan hidup untuk mengejar kenikmatan.
Melalui delapan sila atau atthasila diajarkan, untuk tidak mengkonsumsi barang yang tidak diperlukan, atau barang yang dapat membahayakan makhluk lain. Sebagai contoh adalah alkohol atau minuman keras, yang dapat melemahkan kesadaran.
Dalam menghadapi gaya hidup yang terjadi pada saat sekarang ini yaitu gaya hidup konsumerisme setiap orang hendaknya melaksanakan latihan Atthasila, sebab pelaksanaan Atthasila merupakan suatu dasar yang dapat membentuk sikap yang positif dalam kehidupan ini, dan juga membentuk sikap yang sederhana. Dengan demikian Atthasila merupakan cara atau alternatif untuk mencegah terjadinya gaya hidup konsumerisme dalam kehidupan manusia pada saat sekarang ini.

4.2.1 Hidup Seimbang (Samajivita)

Upaya mencegah gaya hidup konsumerisme, dapat dilakukan dengan samajivita atau hidup seimbang. Hidup seimbang (samjivita) yaitu hidup sesuai dan seimbang dengan penghasilan, atau hidup tidak boros. Manusia dianjurkan untuk hidup tidak boros, tidak hanya menggunakan kekayaan yang dimiliki hanya untuk bersenang-senang atau berfoya-foya. Selain itu seseorang harus menggunakan penghasilan dengan cara-cara yang benar, yaitu dengan menggunakan penghasilannya sebagai modal usaha. Supaya kekayaan yang telah dimiliki atau penghasilan yang telah diperoleh tidak habis, melainkan terus bertambah.
Materi dalam Agama Buddha bukanlah musuh yang harus dihindari, namun juga bukan pula majikan yang harus dipuja. Hendaknya seseorang bersikap netral terhadap materi serta mampu mempergunakannya sewajarnya sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan materi yang seimbang dilakukan dengan membagi keuntungan yang didapat dalam beberapa bagian. Yaitu: (1) Manusia harus menggunakan satu bagian dari kekayaannya yang diperoleh dengan kerja keras itu dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya seperti makan, sandang, tempat tinggal, obat-obatan, dan lain-lain. (2). Dua bagian untuk menjalankan usahanya, untuk menambah modal supaya usahanya dapat berkembang. Jika penghasilan terus berkembang maka penghasilan akan semakin banyak. (3) Satu bagian disimpan sebagai cadangan atau untuk berdana dan kegiatan sosial lainnya. Tidak selamanya usaha itu berhasil, oleh karena itu perlu adanya cadangan, disamping dapat digunakan saat usahanya mengalami kerugian, juga dapat digunakan pada saat yang sangat mendesak seperti sakit dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Apabila manusia semua melaksanakan atau mempunyai pola hidup yang seimbang, tidak mempunyai pola hidup yang boros, yang hanya memuaskan nafsu keinginanya. Maka prilaku konsumerisme akan dapat teratasi dan akan tercipta suasanya yang harmonis dalam kehidupan berkeluaga maupun bermasyarakat.

4.2.2    Mudah Merasa puas (Santutthi)

Tujuan dari ilmu ekonomi adalah ekonomi yang dinamis dimana setiap permintaan dan keinginan dipenuhi secara terus menerus. Dalam agama Buddha keseluruhan mekanisme ini digerakan oleh Tanha. Agama Buddha menawarkan penghentian keinginan yang berdasarkan Tanha dengan menggunakan rasa puas atau dalam bahasa pali berarti Santutthi.
Santutthi berarti kepuasan hati menerima dengan iklas keadaan-keadaan pada saat saat tertentu. Menerima dengan keseimbangan batin (Upekkha) dan tanpa mengerutu. Seseorang harus puas dengan kehidupannya dan rumahnya, kendaraannya, pakainnya, makanannya, dan lain-lain yang diperoleh sesuai dengan penghasilannya. Mempunyai harta yang melimpah jika tidak tahu bagaimana menyimpan dan menggunakannya akan menimbulkan kegelisahan, kecemasan dan ketakutan. Manusia memang tidak akan pernah lepas dari keinginan, hal ini telihat pada kehidupan masyarakat dewasa ini, yang selalu memuaskan keinginan indera tanpa memikirkan akibat atau resiko yang disebabkan dari keinginannya. Manusia tidak menyadari bahwa setelah keinginan terpenuhi, maka akan timbul keinginan yang baru, maka tidak terpenuhinya keinginan akan mengakibatkan rasa tidak puas atau tidak senang.
Bagi kebanyakan orang di jaman modern ini. Tidak mudah untuk merasa puas kerena seseorang memiliki keinginan yang tiada batas dan selalu muncul sepanjang hidup. Semua media cetak dan elektronik penuh dengan iklan di mana-mana terdapat sarana yang dapat meningkatkan keinginan. Akan tetapi tidak semua keinginan manusia dapat terpenuhi sehingga mengakibatkan orang mengalami frustasi dan jauh dari kebahagiaan, tidak ada kepauasan. Orang yang tidak puas tidak akan mencapai keberhasilan hidup baik secara duniawi maupun spritual. Karena alasan inilah Sang Buddha meminta kepada para Bhikkhu agar menjalani hidup dengan sedikit benda-benda kepemilikan sehingga keinginan-keinginan dapat disingkirkan. Ketika pikiran tidak terganggu oleh keinginan yang tidak dapat terpenuhi, konsentrasi dalam hal spritual akan mudah berkembang. Selain para Bhikkhu dan Bhikkhuni tentunya perasan puas atau mudah merasa puas seyogyanya  juga harus dimiliki pula oleh umat berkeluarga atau upasaka dan upasika.
Para Bhikkhu menjalani kehidupan dengan disiplin dari yang mereka dapatkan tanpa memiliki banyak keinginan. Dalam hal makanan, para bhikkhu merasa puas dengan apa yang telah diperoleh sebagai dana, para bhikkhu memiliki sedikit jubah. Dengan demikian, ia selalu merasa puas dalam pikirannya. Orang dapat merasakan kepuasan dan kebahagian dengan membatasi keinginan-keinginan, pada waktu orang merasa bahagia dan puas dengan segala sesuatu yang telah dimiliki maka pikiran akan bebas, kedamaian dan ketenangan muncul dalam pikiran yang bebas. Tetapi apabila orang serakah dan selalu ingin  lebih akan mengakibatkan pikiran menjadi kacau dan tidak sehat, tidak lagi mengenal kedamaian. Ada juga orang yang memiliki keinginan tiada akhir, walapun telah memiliki segala sesuatu tetapi tidak pernah mengatakan cukup. Dengan banyak memliki maka akan merasakan kecemasan yang besar yang membuat orang tidak bahagia.
Orang yang memiliki rasa puas, memiliki keinginan yang lebih sedikit dibandingkan seseorang yang selalu merasa tidak puas dengan apa yang telah dimiliki. Sangatlah penting bagi manusia untuk memiliki kepuasan. Semakin orang bernafsu akan kepemilikannya, orang akan semakin menderita. Kepemilikan tidak memberikan kebahagiaan sejati pada manusia. Kebanyakan orang kaya di dunia saat ini menderita sejumlah masalah fisik dan mental. Dengan semua uang yang mereka miliki, mereka tidak bisa membeli solusi bagi masalah mereka, tetapi orang yang miskin yang telah belajar untuk memeliki kepuasan terhadap barang atau apa yang telah dimiliki dapat lebih menikmati hidup dari pada orang kaya.  Maka dari itu hendaknya seseorang seharusnya memiliki rasa puas terhadap apa yang telah dimiliki, sehingga seseorang tidak akan mempunyai keinginan yang lebih terhadap suatu benda atau barang.
Rasa puas muncul dari hilangnya keinginan. Bila orang merealisaikannya maka orang akan hidup bahagia. Sang Buddha berkata merasa puas adalah berkah utama. Maka dari itu setiap orang hendaknya memiliki sikap puas atau rasa puas. Sikap puas harus tertanam dalam diri masyarakat sekarang ini, sehingga seseorang tidak akan selalu memuaskan keinginannya secara berlebihan sehingga menjadi masyarakat yang konsumerisme. Dengan memiliki rasa puas terhadap apa yang telah dimiliki maka prilaku konsumerisme dalam diri seseorang akan dapat teratasi atau dapat dicegah.

4.2.3    Kesederhanaan atau Sikap tidak Berlebihan

Manusia sekarang ini sudah jauh dari sifat kesederhanaan, manusia senantiasa mengikuti keinginannya untuk memuaskan hawa nafsu, yang tanpa memperhatikan akibatnya. Yang terjadi sekarang ini manusia cenderung jauh dari sifat kesderhanaan, manusia lebih senang berfoya-foya untuk memuaskan keinginan. Misalkan saja yang terjadi pada saat sekarang ini manusia sudah terjerumus dalam sebuah gaya hidup konsumerisme. Dimana seseorang dituntut untuk selalu memenuhuhi keninginannya atau memuaskan nafsu keinginannya terhadap suatu barang. Selain itu manusia akan dihargai atau mempunyai status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat apabila memiliki atau mempunyai harta yang banyak, mempunyai barang-barang yang bagus, mempunyai mobil yang mewah. Demi tuntutan stasus sosial yang lebih tinggi maka seseorang berusaha memenuhi kebutuhannya.
Semua orang tidak berfikir bahwa kesederhanaan sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Karena sikap kesederhanaan dapat menjauhkan diri seseorang dari sifat keserakahan, yang dapat menghambat perjalanan menuju kepada kebebasan abadi atau Nibbana. Sikap kesederhanaan ini sudah dijalankan oleh Sang Buddha dan para pengikutnya. Para Bhikkhu dan Bhikkuni secara tradisional merenung mengenai sikap hidup yang tidak berlebihan, yang biasanya dilakukan sebelum makan dengan membacakan renungan, dengan memakan makanan atau dana makanan, bertujuan bukan untuk kesenangan lidah, tetapi untuk menjaga tubuh, sebagai kelangsungan hidup, dan untuk menghilangkan perasaan sakit, untuk kehidupan yang lebih tinggi. Melalui makan, dapat mengendalikan rasa lapar dan menghindari munculnya rasa sakit yang baru (karena makan berlebihan). Dengan perenungan seperti ini maka dapat hidup tanpa rintangan, tanpa cela, dan nyaman.
Tujuan dari sikap tidak berlebihan tidak terbatas pada kehidupan di vihara atau terbatas kehidupan seorang Bhikkhu dan Bhikkhuni. Tetapi mencakup semua manusia baik itu seorang Bhikkhu, Bhikkhuni maupun umat awam. Sikap kesederhanaan ini dapat diterapkan saat menggunakan sesuatu, baik itu makanan, pakaian, atau bahkan kertas dan listrik. Sikap kesederhanaan sangat begitu penting bagi manusia, maka dari itu manusia harus mempunyai sikap kesederhanaan, sikap kesederhanaan sangat dibutuhkan manusia pada kehidupan sekarang ini. Sehingga manusia tidak terbawa pada pola hidup yang mewah atau bergaya hidup konsumerisme.

4.3    Memiliki Sahabat Sejati (Kalyanamitta)

Memiliki teman yang baik dapat menemukan kebahagiaan. Sahabat yang baik senantiasa membantu, simpati, menunjukkan hal-hal yang berguna dan benar. Apabila seseorang memiliki sahabat yang baik atau sahabat sejati maka seseorang akan dapat melakukan perbuatan yang bermanfaat yang akan menjauhkan pada perbuatan jahat. Terdapat empat macam sahabat yang baik atau sejati yaitu: (1) seorang teman yang mampu membantu di dalam berbagai cara, (2) seorang yang mempunyai simpatik baik dalam duka maupun suka, (3) seseorang yang memperkenalkan pada hal-hal yang berguna atau hal-hal yang baik, dan (4) seorang teman yang mempunyai persaan persahabatan. Seorang sahabat atau teman yang mampu membantu di dalam berbagai cara, harus dipandang sebagi sahabat atau teman yang berhati tulus, dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) selalu melindungi dan menjaga sahabat yang lemah, (2) melindungi harta kawan yang lemah, (3) apabila ada bahaya mereka memberikan bantuan atau pertolongan, dan (4) apabila ada suatu pekerjaan yang dilakukan ia akan membantu dengan menawarkan dengan lebih banyak bantuan dari pada yang diminta.
Seorang yang mempunyai simpatik baik dalam keadaan suka maupun duka, harus dipandang sebagai teman atau sahabat yang berhati tulus, mempunyai empat ciri-ciri sebagai berikut: (1) akan membuka hal-hal rahasia mengenai dirinya kepada kawannya, (2) senantiasa selalu menjaga rahasia kawannya, tidak membiarkan hal itu bocor, (3) tidak meninggalkan kawannya pada saat kawannya mengalami banyak kesukaran, dan (4) bahkan ia rela mengorbankan hidupnya demi sahabatnya.
Seorang sahabat atau teman yang memperkenalkan atau menunjukkan pada hal-hal yang berguna, harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus, mempunyai empat ciri-ciri sebagai berikut: (1) selalu sahabatnya untuk tidak berbuat jahat, (2) senantiasa menganjurkan temannya untuk selalu berbuat untuk hal-hal yang baik, (3) memberitahukan hal-hal yang belum pernah didengar, dan (4) memberitahukan metode untuk mencapai alam-alam kebahagiaan. Seorang sahabat yang mempunyai perasaan persahabatan, mempunyai empat ciri-ciri sebagai berikut: (1) ikut merasa berduka jika sahabtnya mendapat bencana, (2) ikut senang jika sahabatnya bahagia, (3) menghadapi mereka yang menghina atau mencela temannya, dan (4)  membenarkan mereka yang memuji kawannya.
Apabila seseorang mempunyai sahabat yang baik yang mampu memberikan nasehat, yang tidak mengharapkan sesuatu dari persahabat, dan mampu menasehati untuk selalu hidup hemat atau tidak boros, untuk membeli barang-barang yang tidak bermanfaat maka konsumerisme akan dapat dicegah. Maka hendaknya memiliki teman yang baik atau kalyanamitta sangat baik untuk pencegahan konsumrisme.



BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Gaya hidup yang dianut oleh masyarakat pada saat ini cenderung hanya mengikuti trend yang berlakum, semua lapisan masyarakat baik para orang tua maupun para remaja semua terpengaruh oleh gaya hidup konsumerisme. Gaya hidup dimana seseorang dihargai kerena banyak membeli barang-barang yang mewah yang dapat menaikkan status sosial seseorang. Budaya konsumerisme ini pun melekat erat di kehidupan remaja sekarang. Remaja didorong mengkonsumsi produk-produk tertentu, sehingga mereka mudah hanyut mengikuti trend.
Dalam kehidupan sehari-hari berbelanja atau mengkonsumsi adalah suatau hal yang wajar, tetapi apabila seseorang mengkonsumsi suatu barang atau kebutuhan secara berlebihan dan tidak melihat manfaat atau fungsi dari barang yang dibeli, maka hal tersebut dikatakan suatu  gaya hidup yang konsumerisme. Gaya hidup konsumerisme telah banyak diajarkan melaluli berbagai media, melalui iklan baik yang terang-terangan maupun iklan terselubung, bahasa iklan begitu membujuk dan merayu seseorang untuk membeli produk tertentu. Sementara itu, pusat-pusat pembelanjaan seperti mall, supermarket, semakin merebak di berbagai kota, ditambah dengan iming-iming dari mall, supermarket melalui pemberian diskon atau pun voucher belanja.
Dalam pandangan agama Buddha, melakukan konsumsi seharusnya tidak berlebihan, karena dalam agama Buddha apabila konsumsi hanya menghasilkan perasaan puas maka dikatakan tidak bermanfaat, hal itu dikarenakan konsumsi yang hanya manghasilkan perasaan puas adalah berdasarkan Tanha, yang hanya mengutamakan kepausan indera, dan menghancurkan tujuan objektif yaitu meningkatkan kesejahteraan. Dalam agama Buddha hendaknya seseorang melakukan konsumsi yang benar yang didasarkan kepada Chanda, yang dapat memberikan sumbangan pada kesejahteraan dan membentuk dasar perkembangan lebih lanjut dari potensi manusia. Konsumsi yang didasarkan kepada Chanda akan lebih bermanfaat bagi seseorang dan memungkinkan seseorang untuk menjalani kehidupan mulia. Namun demikian cara konsumsi yang diinginkan adalah apabila dengan didasarkan pada sila, hidup seimbang, kepuasan, dan kesederhanaan.
Maka dari itu hendaknya seseorang harus mengembangkan atau harus mampu memahami konsumerisme secara benar sehingga seseorang dapat mengetahui fungsi atau manfaat dari barang atau benda yang diinginkan. Selain itu hendaknya seseorang harus mampu mengembangkan sila dengan baik dengan menjalankan Atthasila, sebagai dasar untuk hidup sederhana, seperti yang telah dijalankan oleh para Bhikkhu dan Bhikkhuni pada jaman Sang Buddha maupun pada saat sekarang ini. Selain itu memiliki perasaan paus terhadap apa yang dimiliki atau apa yang diperoleh sehingga orang tidak akan mempunyai keinginan yang lebih terhadap suatu benda atau barang. Sikap puas atau rasa puas inilah yang harus tertanam dalam diri masyarakat sekarang ini, sehingga seseorang tidak akan selalu memuaskan keinginannya secara berlebihan sehingga menjadi masyarakat yang konsumerisme.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dan untuk menambah pemahaman kepada pembaca, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
Bagi kebanyakan orang yang selalu hidup dengan sikap atau gaya hidup boros, suka berfoya-foya yang hanya memuaskan keinginan indera atau seseorang yang memiliki prilaku konsumerisme akan dapat dicegah dengan priluku kesederhanaan serta puas terhadap apa yang telah dimiliki. Prilaku konsumerisme dapat mengakibatkan seseorang untuk berbuat atau bertindak yang mengarah kepada hal-hal yang tidak baik seperti halnya melakukan pencurian, perampokan bahkan melakukan tindakan korupsi.
Seseorang harus memiliki sikap kesederhanaan, rasa paus terhadap barang yang telah dimiliki, dan selalu hidup dengan seimbang (samajivita), hidup tidak boros, sehingga tidak terjadi besar pasak dari pada tiang. Selain itu juga hendaknya seseorang selalu mengembangkan atau menjalankan sila pancasila Buddhis maupun menjalankan sila dengan melaksanakan Atthasila seperti yang telah dilakukan oleh para Bhikkhu dan Bhikkuni. Sehingga seseorang akan hidup bahagia karena jauh dengan keinginan nafsu yang dapat mengakibatkan penderitaan.




DAFTAR PUSTAKA


Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur penelitian: Jakarta: PT. Rineka Cipta Esa

Baudrillard, Jean. 2006. Masyaraakat Konsumsi: Yogyakarta: Kreasi Wacana

Chanchaochai, Danai. 2006. Dhamma Moments: Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer

Choon Kim, Tan. 2004. Ajaran Buddha menuju hidup bahagia: Palembang: Yayasan Svarnadipa Sriwijaya

Denden. 2008. Konsumerisme, Penyakit di akhir Tahun. (Online),  (http://pikiran-rakyat.com), diakses 30 Januari 2008

Dhammananda, Sri. 2003. Keyakinan Umat Buddha: Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya

______.  2003. Hidup dan Masalahnya: Jakarta: Ehipasiko.

______.2005. You & Your Problems (Anda dan permasalahan Anda). Gunung sindur Bogor: Vipassana Giri Ratana- Cibinong.

Haris. (Online), 2008. Konsumerisme dan gaya hidup remaja. (http://konsumerisme dan gaya hidup remaja.com) diakses 5 Februari 2008

Jotidhammo, dan Rudy Ananda Limiadi. 1999. Kitab Suci Agama Buddha Khuddaka Nikaya. Klaten: Vihara Bodhi vangsa dan Wisma Dhammaguna

Kitab Suci Agma Buddha.2005. Dhammapada: Dewi karaniya abadi

Majalah Jurnal Perempauan. 2004: Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sttva Buddhist Center

Payutto P. A. 2005. Ekonomi Buddhis jalan tengah untuk dunia usaha: Jakarta: PP Magabudhi

Ratna, Novian. Tanpa Tahun. Jalan Tengah Memahami Iklan: yogyakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS 2002

Rashid, Teja. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi.
   
Soerawidjaja. (Online), (www.Berfikir fungsional melawan kosumerisme.com). diakses 7 Februari 2008

Sudjana, Nana. 1988. Tuntunan penyusunan Karya Ilmiah: Bandung: CV. Sinar Baru

Tanpa Nama Penulis. 2008. Bahaya konsumerisme. (Online), (http://freewebs. com/kolektifbunga/konsumerisme.htm, diakses 5 Februari 2008)

_______.2008. (Online), Konsumerisme memicu korupsi. (http://indonesian. irib.ir/index. php?option =com_content &task= view& id=655& Itemid=29 diakses 5 Februari 2008)

_______. 2008. Konsumerisme. (Online), (http://friendster.com, diakses 01 Maret 2008).

Taniputra, Ivan. Tanpa tahun. Pencerahan sosial dan ekonomi: Malang: Club Penyebar Dhamma

Taryadi. 2008. Konsumerisme dan Bahaya Jajan (Online),  (http://nasimaedu.com, diakses 30 Januari 2008)

Tim penyusun. Kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. 2001. KBBI edisi III. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta: Balai Pustaka

______. Kitab Suci Agama Buddha. 2002. Digha Nikaya: CV. Dewi Karaniya Abadi

______. 2003. Kamus induk Istilah Ilmiah: Jakarta: PT. Tika Mustika

______. 2008. Pedoman Penulisan Skripsi Kajian Pustaka. Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa Batu

______.2003. Materi kuliah Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha. Jakarta. CV. Dewi Kayana Abadi.

Utomo, Joshua W. 2008. (Online), Gelombang Binal Konsumerisme.       (http://pembelajar.com, diakses 7 Februari 2008)

Widiastuti, Retno. (Online), (http://kompas.com/kompas- cetak diakses 10 Februari 2008)

Wuryanto, Joko. 2007. Wirausaha Buddhis: Jakarta: CV. Yanwreko Wahana Karya

Wowor, Cornelis. 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha: Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana.

Zed, Mustika. 2004. Penelitian kepustakaan: Jakarta: Yayasan Obor Indonesia





















   

2 komentar:

  1. mantap isi blognya sangat menginsipirasi bagi umat budhis yg membacanya dan dipraktekkan.

    BalasHapus
  2. semangat membaca,, semangat juga untuk mempraktekkan...

    BalasHapus