Setelah Petapa Gotama mencapai penerangan Sempurna di bawah Pohon Budhi di hutan Uruvela, dua bulan kemudian sebagai seorang Buddha selama 45 tahun Beliau dengan penuh cinta-kasih mengajarkan Dhamma kepada para brahmana dan petapa, raja-raja dan pangeran-pangeran, cendikiawan dan mereka yang sederhana pikirannya, pedagang dan pekerja serta semua lapisan masyarakat lainnya sesuai dengan kemampuan dan pencapaian rohani mereka masing-masing.
Menurut Vinaya Atthakatha (samantapasadika), Sang Buddha mulai memberikan Vinaya setelah 20 tahun pencapaian Peneranngan Sempurna. Pada waktu itu mulai timbul prilaku bhikkhu-bhikkhu yang bukan saja merugikan perkembanan spiritualnya sendiri, tetapi juga berpengaruh terhadap citra Sangha dan agama Buddha pada umumnya. Di sampingitu, terdapat juga para bhikkhu yang sebelumnya adalah petapa dari berbagai aliran keagamaan yang berbeda pula tata krama dan tradisinya dalam menjalani kehidupan spiritual.
Dari latar belakang yang majemuk itu berbagai perilaku yang buruk dan perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan kehidupan seorang samana menurut pandangan agama Buddha. Oleh sebab itu, sewaktu Sang Buddha masih hidup, setiap kali terjadi seorang bhikkhu melakukan perbuatan yang dapat dicela oleh para bijaksana, maka Sang Buddha menetapkan suatu peraturan. Bilamana di kemudian hari ada peraturan itu dilanggar (apatti) dan dinyatakan bersalah. Dengan demikian makin lama makin banyak peraturan yang ditetapkan oleh Sang Buddha.
Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana (wafat), Arahat Maha Kassapa, melihat perlunya dikumpulkan Dhamma yang pernah diajarkan oleh Sang Buddha agar tidak timbul perselisihan di kemudian hari di antara para pengikutnya. Jangankan sebulan, seminggu setelah Buddha Gautama wafat (483 S.M) seorang yang menjadi bhikhu setelah berusia tua dan tidak disiplin bernama Subhadda berkata:
"Jangan bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Petapa Agung yang tidak lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita; tetapi kita sekarang dapat berbuat apa saja yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang kita tidak senangi". (Vinaya Pitaka II, 284).
Setelah mendengar ucapan Bhikkhu Subbadda demikian, maka Arahat Maha KAssapa atas bantuan Raja Ajasattu dari Magada, segera mengundang 500 orang Arahat berkumpul untuk mengumpulkan semua ajaran Sang Buddha yang diwedarkan-Nya selama ini dan menyusunnya secara sistematis.
Dalam Konsili Pertama yang dipimpin oleh Arahat Maha Kassapa yang berlangsung selama tujuh bulan di gua Sattapanni dekat Rajagaha. Arahat Upali mendapat kehormatan untuk mengulang kembali Vinaya dan Arahat Ananda mengulang kembali Dhamma yang disaksikan oleh para Arahat lainnya.
Vinaya adalah sebutan secara kolektif untuk peraturan latihan, disiplin dan tradisi kebhikkhuan serta tradisi keviharaan; selebihnya, yaitu semua diskusi, ceramah, dan khotbah yang disampaikan kepada bhikkhu, bhikkhuni, sananera dan samaneri, upasaka dan upasika, kesemuanya secara kolektif disebut Dhamma.
Dhamma dan Vinaya yang dikumpulkan dalam Konsili Pertama tersebut diterima dan disejutui sebagai ajaran Sang Budha. Ajaran inilah sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha Gautama menjelang Beliau mencapai Parinibbana: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
100 tabun kemudian, diadakan Konsili Kedua untuk menyelesaikan perselisihan mengenai Vinaya. Tiga bulan setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana tidak dirasakan perlu untuk merubah Vinaya, walaupun Sang Buddha membiarkan Sangha untuk merubah peraturan-peraturan kecil. Sang Buddha juga bersabda, jika Vinaya tidak dikurangi dan ditambah maka Sangha akan hidup rukun dan tidak akan terpecah.
Oleh karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai yang mana merupakan peraturan kecil serta dipandang tidak pantas merubah Vinaya selagi "abu jenazah Sang Buddha masih panas", maka mereka tidak mengurangi maupun menambah Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha.
Akan tetapi, 100 tahun kemudian sekelompok bhikkhu dari Vesali/Vaisali telah merubah beberapa peraturan yang mereka pandang sebagai peraturan kecil. Kelompok bhikkhu lain menolak perubahan yang dilakukan oleh bhikkhu-bhikkhu dari Vesali dan tetap berpegang pada Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha yang telah ditetapkan dan diterima dalam Konsili Pertama.
Menghadapi perkembangan ini, atas bantuan Raja Kalasoka diselenggarakan Kosili Kedua di Vesali yang merupakan tempat terjadinya penyimpangan Vinaya. Dalam konsili ini, Dhamma dan Vinaya yang dihafal dan diturunkan secara lisan diucap ulang oleh 700 Arahat. Dalam Konsili ini bhikkhu-bhikkhu yang menyimpang dari Vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha disalahkan.
Pada Konsili Pertama para Arahat diakui otoritasnya dalam menentukan mana yang Dhamma dan mana yang bukan Dhamma; mana yang Vinaya dan mana yang bukan Vinaya. Akan tetapi, 100 tahun kemudian dalam Konsili Kedua otoritas para Arahat itu digugat oleh sekelompok bhikkhu yang dipimpin oleh Bhikkhu Mahadeva. Mereka berpendapat, bahwa dalam menentukan Dhamma dan Vinaya tidak dibedakan antara Arahat dan bukan Arahat.
Kelompokyang menggugat otoritas Arahat (yang jumlahnya besar) memisahkan diri dan mengadakan Konsili sendiri. Kelompok ini dinamakan Mahasanghika (Kelompok Besar) dan kelompok yang memandang bahwa para Arahat yang mempunyai otoritas menentukan Dhamma dan Vinaya disebut Staviravada (Sansekerta) atau Theravada (Pali). Dalam perkembangan selanjutnya Theravada dan Mahasanghika, masing-masing terpecah lagi dalam berbagai sekte.
Pada abad Ketiga sesudah Sang Buddha Parinibhana (249 SM) sewaktu Raja Maharaja Asoka Wardhana, diadakan Konsili Ketiga di Pataliputra (Patna). Berbeda dengan Konsili Kedua, dalam Konsili Ketiga tidak saja dibicarakan tentang Vinaya, tetapi juga tentang perbedaan mengenai Dhamma di antara para bhikkhu dari berbagai sekte agama Buddha.
Konsili Ketiga yang berlangsung selama sembilan bulan di bawah pimpinan Moggaliputra Tissa. Dhamma dan Vinaya diucap ulang kembali oleh 100 Arahat. Kelompok Therevada pecah menjadi Theravada dan Sarvastivada. Mazhab, Sarvastivada hijrah ke Kasmir dan kemudian di bawah perlindungan Raja Kaniska berkembang di India Utara.
Moggalana Tissa menyusun Kitab Kathavatthu yang isinya mengenai titik-titik perbedaan antara berbagai paham sekte agama Buddha. Kitab ini merupakan salah satu dari tujuh Kitab, Abhidhamma. Seluruh ajaran Sang Buddha telah tersusun dalam Kitab Tipitaka yang terdiri dari Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka.
Setelah Konsili Ketiga, Maharaja Asoka Wardhana mengirim Dharmaduta ke seluruh penjuru untuk menyebarkan Dhamma. Di antaranya Arahat Mahinda, putra Raja Asoka sendiri, ke Sri Lanka dengan membawa Tipitaka dan Kitab Tiptaka Atthakatha. Dalam perkembangan selanjutnya Therevada menjadi lemah dan merupakan sekte yang tidak berpengaruh lagi di daratan India, tetapi tertanam dengan kuat di Sri Lanka.
Pada Abad Pertama Masehi diadakan Konsili yang disponsori oleh Raja kaniska. Pada waktu itu telah banyak timbul sutra-sutra yang tidak terdapat dalam Konsili-konsili sebelumnya, dan dipercaya berasal dari ucapan Sang Buddha sendiri oleh beberapa sekte agama Buddha. Konsili yang didominasi oleh Mazhab Sarvastivada tidak dihadiri dan tidak diakui sebagai Konsili Keempat oleh Mazhab Theravada.
Theravada mengadakan Konsili sendiri yang dipandan gsebagai Konsili Keempat yang disponsori oleh Raja Vatta Gamanabhaya (83 M) di Alu Vihara (Sri Lanka). Pada kesempatan itu Kitab Tipitaka dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah melestarikan Dhamma, karena dirasakan makin sedikit orang yang mampu menghafal Kitab Tipitaka dan agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma.
Dari Sri Lanka Kitab Tipitaka menyebar, antara lain ke Myanmar, Thailand, Laos, dan Kamboja. Sejak itu KitabTipitaka dalam bahasa Pali yang ditulis dengan berbagai aksara dan dari berbangsa yang berbeda pula telah beberapa kali dibaca ulang dan ternyata tidak terjadi penyimpangan.
Dari sejarah penyusunan Kitab Tipitaka terliliat, bahwa setelah Kitab Tipitaka Pali ditulis pada Abad Pertama di Vihara Aluha, Sri Lanka Vinaya Pitaka dalam versi bahasa Pali tidak berubah sampai sekarang dalam sistematika sebagai berikut:
A. Sutta Vibhanga
B. Khandhaka
C. Parivara
Sutta Vibhanga
Sutta Vibhanga terdiri dari:
a. Maha Vibhanga (Bhikkhu Viblianga)
b. Cula Vibhanga (Bhikkhuni Vibhanga)
a. Maha Vibhanga disebut juga Bhikkhu Vibhanga, terdiri dari 227 peraturan latihan yang menjadi sumber daripada Patimokha-sila. Peraturan-latihan ini tidak diberikan sekaligus, tetapi setelah tejadi kasus demi kasus yang menyangkut perilaku para bhikkhu yang dicela oleh para bijaksana. Bhikkhu Vibbanga terdiri dari:
1. Parajilca (Vinaya Pitaka III dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari empat disiplin apabila dilanggar menyebabkan secara otomatis gugur kebhikhuannya.
2. Sanghadisesa (Vinaya Pitaka III. 110 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari 13 disiplin. Bila dilanggar hanya dapat diselesaikan oleh Sangha yang terdiri dari sekurang-kurangnya ada 20 bhikkhu.
3. Aniyata (Vinaya Pitaka III. 187 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari dua disiplin yang berkenaan dengan pelanggaran yang tidakjelas.
4. Nissagiya Pacittiya (Vinaya Pitaka 195 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari 30 disiplin apabila dilanggar menyebabkan kejatuhan dalam mental-spiritual.
5. Pacittiya (Vinaya Pitaka IV.1 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari 92 disiplin apabila dilanggar menyebabkan kemerosotan sila.
6. Patidesaniya (Vinaya Pitaka 1V. 175 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari empat disiplin apabila dilanggar memerlukan pengakuan bersalah.
7. Sekhiyadhamma (Vinaya Pitaka IV. 185 dan seterusnya)
Bagian ini terdiri dari 75 disiplin tatakrama.
8. Adhikaranasamatha (Vinaya Pitaka 1V. 207 dan seterusnya)
Bagianini terdiri dari tujuh peraturan yang berkenaan dengan proses hukum untuk penyelesaian permasalahan dalam sangha.
Bhikkhu Vibhanga adalah sumber penyusunan 227 Patimokha Sila yang dibacakan pada hari uposatha setiap, tanggal satu dan 14 atau 15 penanggalan bulan.
b. CulaVibhanga, disebut juga Bhikkhuni Vibhanga yang terdiri dari 311 peraturan-latihan yang juga merupakan sumber Patimokba-sila untuk bhikkhu dengan susunan yang sama dengan Patimokha-sila untuk bhikkhu.
Bhikkhuni Vibhanga terdiri dari:
Delapan Parajika (Vinaya Pitaka 211. dan seterusnya),
17 Sanghadisesa (Vinaya Pitaka IV, 223 dan seterusnya),
30 Nissagiya Pacittiya (Vinaya Pitaka IV, 243 dan seterusnya),
116 pacittiya (Vinaya Pitaka IV, 243 dan seterusnya),
Delapan patidesaniya (Vinaya Pitaka IV, 346 dan seterusnya),
75 Sekhiyadhamma (Vinaya Pitaka IV, 349 dan seterusnya), dan
tujuh Adhikaranasamatha (Vinaya Pitaka IV. 207, dan seterusnya).
Khandbaka
Khandhaka terdiri dari:
(a). Maha vagga dan (b). Culla vagga
a. Maha vagga mengandung catatan rangkaian peristiwa mulai sesaat setelah mencapai Penerangan Sempurnasampai terbentuknya Sangha dan berbagai cara pentasbihan calon bhikkhu serta peristiwa-peristiwa yang menyebabkan timbulnya suatu peraturan-pelatihan. Peraturan-pelatihan itu berada tidak termasuk Patimokha-sila dan terdiri dari:
1. Mahakhandha (Vinaya Pitaka I.1 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai perisitwa sesaat setelah mencapai Penerangan Sempurna hingga terbentuknya Sangha dan berbagai metoda penerimaan menjadi bhikkhu.
2. Uposatha khandhaka (Vinaya Pitaka 1, 101 dan seterusnya).
Bagian ini mengenal pengumuman hari-hari uposatha dan berbagai jenis Sima.
3. Vassupanayika khandhaka (Vinaya Pitaka 1, 137 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai memasuki vassa dan cara pelaksanaannya; yang disampaikan oleh Mahinda kepada Raja Devanampiyatissa bagaimana perlunya mendirikan sebuah vihara di Cetiyagiri.
4. Pavarana khandhaka (Vinaya Pitaka 1, 157 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai hari pavarana, pada saat ini bhikkhu diminta untuk berbicara satu dengan lainnya tentang setiap kesalahan atau perilaku yang tidak patut yang mereka lihat, dengan atau curigai yang dilakukan selama vassa; dan bilamana polaksanaan vassa itu gagal.
5. Camma khandhaka (Vinaya Pitaka 1, 179 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai diperbolehkannya bbikkhu memakai sandal oleh Sang Bhudda.
6. Bhesaja khandbaka (Vinaya Pitaka 1, 199 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai peraturan-peraturan untuk bhikkhu yang akan menjalani operasi dan pemakalan obat-obat yang diijinkan oleh Sang Buddha.
7. Kathina khandhika (Vinaya Pitaka 1, 253 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai peraturan-peraturan ladhan yang berhubungan dengan kathina. penentuan oleh bhikkhu (yang bervassa di tempat itu) kepada siapa kain atau jubah akan diserahkan atas persetujuan Sangha.
8. Civara khandhaka (Vinaya Pitaka 1, 268 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai peraturan latihan yang berhubungan dengan bahan jubah dan enam jenis jubah yang diperbolehkan untuk bhikkhu.
9. Champoyya khandhaka (Vinaya Pitaka 1, 312 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai kegiatan-kegiatan Sangha yang patut dan yang tidak patut. Kasus bhikkhu-bhikkhu Campa.
10. Kosambika khandhaka (Vinaya Pitaka 1, 334 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai perselisihan di Kosambi dan di hutan Parileyyaka sewaktu Sang Buddha menjalani Vassa ke-10. Kasus bhikkhu-bhikkhu di Kosambi.
b. CullaVagga atau Cula vagga mengandung catatan sejarah peraturan pengeloahan Sangha sampai kepada Sangayana ke II, seratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Di dalam Culavibhanga terdapat beberapa acuan pada Sutta Vibhanga. Hal ini menunjukkan otoritas Sutta Vibhanga dalam penyusunan Culla vibhanga. Hal-hal yang dikupas dalam Culla vibhanga diberikan secam lebih ringkas bila dibandingkan dengan Maha vibhanga.
l. Kamma khandhaka (Vinaya Pitaka II, 1 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai tindakan-tindakan fonnal yang harus diambil oleh Sangha dalam keadaan tertentu.
2. Parivasika khandhaka (Vinaya Pitaka II, 31 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai tingkah laku bhikkhu yang dalam masa percobaan karena b6berapa pelanggaran disiplin.
3. Samuccaya khandhaka (Vinaya Pitaka II, 38 dan setcrusnya).
Bagian ini mengenai hukuman dan rehabilitasi setelah menjalani bukuman.
4. Samatha khandhaka (Vinaya Pitaka II, 73 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai masalah hukum dan penyelesaiannya.
5. Kudhakavatthu (Vinaya Pitaka II, 105 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai pelanggaran-pelanggaran ringan seperti memelihara jenggot dan kumis.
6. Senasana khandhaka (Vinaya Pitaka II, 146 dan seterusnya)
Bagian ini mengenai perilaku yang baik para bhikkhu di dalam tempat tinggal (kuti).
7. Sanghabheda khandhaka (Vinaya Pitaka II, 180 dan setcrusnya).
Bagianini mengenai peristiwa-peristiwa yang menjurus keperpecahan Sangha yang disebabkan oleh Devadatta.
8. Vatta khandhaka (Vinaya Pitaka II, 207 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai kegiatan-kegiatan rutin keviharaan dan pelaksanaan-pelaksanaan schari-hari, seperti pindatta, makan dan berdiam dalam hutan.
9. Patimokhathapana khandha (Vinaya Pitaka II, 236 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai saat pembacann pathimokha.
10. Bhikkhuni khandhaka (Vinaya Pitaka II, 253 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai pembentulcan Sangha Bhikkhuni dan delapan peraturan keras untuk bhikhuni.
11. Pancasati khandhaka (Vinaya Pitaka II, 284 dan seterusnya).
Bagian ini mengenai Sanghayana Pertama.
12. Sattasati khandhaka (Vinaya Pitaka II, 294, dan seterusnya).
Bagian ini mengenai Sanghayana Kedua.
Parivara
Parivara merupakan rangkuman dan pengelompokkan peraturan-peraturan dalam Vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk tujuan memberikan petunjuk dan pemeriksaan.
Aturan-aturan dalam Suttavibhanga dan Khandhaka-khandhaka disertai ceritera mengenai terjadinya aturan itu. Beberapa di antaranya benar-benar formal, yang semata-mata menunjukkan bahwa para bhikkhu atau beberapa bhikkhu telah melakukan pelanggaran atau mengiktui kebiasaan tertentu yang menyebabkan Sang Buddha menetapkan suatu ketetapan. Akan tetapi, ceritera yang nyata dimasukkan khusus dalam Mahavagga dan Culavagga serta sutta dari Sutta Pitaka.
Aturan-aturan penerimaan dalam Sangha didahului oleh ceritera mengenai kejadian setelah niencapai Penerangan, awal pembabaran Dhamma dan penerimun siswa-siswa pertama. Ceritera mengenal Rahula diberikan sehubungan dengan sayarat-syarat yang diperlukan untuk penerimaan pabbajjita. Aturan-aturan mengenai perpecahan adalah tingkah laku Devadatta.
Vinaya Atthakatha
Kadang-kadang istilah-istilah yang dipergunakan dalam Vinaya memerlukan penjelasan atau penafsiran. Penjelasan atau penafsiran itu disebut atthakatha. Kedudukan Atthakatha ini dibawah Pitaka. Kemudian dibuat penjelasan tambahan tentang Atthakatha sebagai pelengkap. Kitab ini disebut Tika. Dengan berjalannya waktu, kemudian Tika itupun dibuatkan pula penjelasannya. Penjelasan Ini disebut Anutika atau Matika.
Kitab Atthakatha karena ditulis oteh mereka yang memahami ajaran agama Buddha, dapat dipercaya dan menjadi pegagangan setelah Pitaka. Tika dan Anutika mengandung pendapat-pendapat acariya yang timbul kemudian kurang dipercaya sebagai sumber yang mempunyai otoritas.
Kitab-kitab lain yang ditulis oleh berbagai acariya menurut penafsirannya sendiri tidak tennasuk kedalam Tika dan Anutika dan dinamakan 'Ajaran para guru' (Acariyavada). Akan tetapi, Istilah 'Acariyavada' ini tidak sama dengan istilah 'Acariyavada' yang merupakan lawan dari istilah 'Thervada'.
Vinaya
Kosakata 'vinaya' berarti: mengusir, melenyapkan, memusnahkan segala perilaku yang menghalangi kemajuan dalam peningkatan rohaniah; atau sesuatu yang membimbing ke luar dari (samsara).
Sikap seorang bhikkhu yang menjalankan Vinaya dengan teguh tanpa melakukan pelanggaran pelanggaran apapun, dinamakan sikap berhati-hati. Seringkali disebut dalam Vinaya mengenai bhikkhu-bhikkhu yang bersikap hati-hati (kukkuccayanta bhikkhu), yang tidak akan menerima sesuatu benda sebelum diijikankan oleh Sang Buddha. Di samping itu seringkali disebut juga tentang bhikkhu-bhikkhu yang sedikit-kebutuhannya (appiccha bhikkhu), yang merasa malu melihat kelakuan para bbikkhu lainnya yang kurang patut atau tidak berhati-hati.
Disini, nampak sekali lagi hubungan yang penting antara Dhamma dan Vinaya. Dalam sikap berhati-hati dan sedikit kebutuhan itu terdapatlah sejumlah sikap batin yang baik dan bermanfaat bagi pelaksanaan Dhamma, antara lain, Hiri dan Ottappa. Sedikit kebutuhan berarti pula puas dengan seadanya (santutthi), suatu sikap yang sangat berharga bagi seorang bhikkhu.
Sikap batin lain yang sangat penting dalam sikap berhati-hati dan kesederhanaan itu ialah sati (kesadaran eling), yang merupakan landasan bagi latihan di tingkat apapun juga. Dengan kesadaran, betapapun banyaknya peraturan tentu akan dapat dipelihara atau ditaati sebaik-baiknya. Bahkan kesadaran (sati) akan menjaga pikiran kita dari unsur-unsur yang merugikan.
Sikap tidak berhati-hati menunjukkan tiadanya pengendalian diri, tiada kesadaran (sati). Mungkin juga tiadanya Hiri dan Ottappa. Sering pula terdapat nafsu-nafsu (tanha) yang tidak disadari keangkuhan (mana) tidak mau menempatkana diri di bawah Vinaya; atau Pandangan Salah (miccha-ditthi) yang seringkali menyertai keangkuhan dan membuat bermacam-macam alasan untuk tidak melaksanakan Vinaya.
Manfaat dan Sifat Vinaya
Untuk apakah Vinaya ditetapkan?
Sang Buddha menetaplcan Vinaya bagi para bhikkhu berdasarkan 10 alasan, yaitu untuk:
1) kebaikan Sangha (tanpa Vinaya, eksistensi Sangha tidak akan bertahan lama).
2) kesejahteman Sangha (sehingga bhikkhu akan sedikit mendapat rintangan dan hidup damai).
3) mengendalikan para bhikkhu yang tidak teguh (yang dapat menimbulkan persoalan dalam Sangha).
4) kesejahteraan bhikkhu yang berkelakuan baik (karena pengalaman sila dengan baik menyebabkan kebahaglaian hidup sekarang ini).
5) melindungi diri atau melenyapkan kilesa yang telah ada (karena banyak kesulitan dapat diatasi dengan laku moral yang baik.
6) mencegah timbulnya kilesa yang baru (kilesa tidak akan timbul pada orang yang memiliki sila yang baik).
7) memuaskan mereka yang belum puas dengan Dhamma (karena orang yang belum mengenal Dhamma akan puas dengan tingkah laku bhikkhu yang baik).
8) menambah keyakinan mereka yang telah mendengar Dhamma (karena orang yang telah mendengar Dhanna akan bertambah kuat keyakinannya melihat bhikkhu yang baik).
9) menegakkan Dhamma yang benar (Dhamma akan bertahan lama bila Vinaya dilaksanakan dengan baik oleh bhikkhu).
10) manfaat Vinaya itu sendiri (Vinaya dapat memberikan manfaat kepada makhluk-makhluk, terbebas dari samsara).
Dalam kitab Anguttara Nikaya terdapat dua alasan lagi:
"Untuk memperoleh sokongan gharavasa dan untuk memusnahkan kelompok bhikkhu yang beritikad buruk".
Alasan pertama merupakan hal yang petinting untuk Sangha dan kedua memperlihatkan bagaimana Vinaya telah melindunigi Sangha.
Dhamma telah terpelihara sampai sekarang berkat adanya Sangha; dan Sangha ini terpelihara karena adanya Vinaya yang ditaati. Jelaslah bahwa Vinaya memelihara Dhamma seumpama seutas benang mengikat bunga-bunga menjadi satu, sehingga tidak mudah dicerai-beraikan oleh angin.
Sang Buddha menetaplcan Vinaya tidak hanya bertujuan untuk kebaikan para bhikkhu saja, melainkan juga untuk kebaikan umat Buddha pada umumnya. Maka patutlah Vinaya ini dijunjung tinggi oleh para bhikkhu yang baik dan oleh umat yang mengerti Vinaya.
Bagaimana pentingnya vinaya dapat dilihat dari keputusan para Arahat pada sidang Sangayana Pertama untuk mengucapkan kembali Vinaya dan penetapan Vinaya Pitaka sebagai bagian pertama di dalam Kitab Suci Tipitaka.
"Vinaya adalah jiwa dari agama (sasana); selama Vinaya tegak berdiri, agama pun tegak berdiri. Oleh karena itu, marilah kita ucap-ulang Vinaya terlebih dahulu".
Mengajarkan Dhamma tanpa Vinaya, sama artinya dengan mengajarkan jalan tanpa menunjukkan bagaimana cara memulai dan menempuhnya. Sebaliknya, Vinaya tanpa Dhamma hanya merupakan peraturan-peraturan kosong yang sedikit manfaatnya. Hal ini berlaku bagi bhikkhu maupun gharavasa.
Oleh karena setiap bhikkhu berkewajiban menjalankan Vinaya dan kriteria baik-buruknya seorang bhikkhu berdasarkan kepatuhannya terhadap Vinaya, maka akan timbul dua komplikasi, yaltu:
1. Mereka yang tidak taat dan tidak sungguh-sungguh melaksanakan Vinaya. Oleh sebab itu sukar mengendalikan Bhikhu Sangha dengan baik.
2. Mereka yang melaksanakan Vinaya dengan sungguh-sugguh, tetapi dengan membabi-buta dan menganggap diri mereka lebih baik daripada bhikkhu-bhikkhu lainnya yang mereka cela karena tidak melaksanakan Vinaya. Mereka akan merasa jengkel bila berada dalam perternuan Bhikkhu Sangha. Oleh karena sikap mereka yang demikian itu, mereka tidak akan meraih kebahaglaan.
Vinaya akan membawa kebahagiaan bagi mereka yang melaksanakan dengan benar. Akan tetapi, menimbulkan kejengkelan, kegelisahan atau ketegangan dalam diri bhikkhu yang menjalankan Vinaya dengan "kesungguhan yang salah".
Namo Buddhaya,
BalasHapusmohon ijin tulisan ini saya link ke web pembelajaran saya ya www.buddhaku.com
buat bacaan anak-anak saya
Makasih