Selasa, 21 Februari 2012

KEWAJIBAN ORANG TUA KEPADA ANAK

Komunikasi antara orang tua dengan anak sangat penting dalam meningkatkan peranan orang tua dalam mendidik dan menentukan masa depan anak. Berbekal komunikasi akan membuat hubungan anak dan orang tua menjadi harmonis. Orang tua dapat mengarahkan anaknya untuk memiliki sikap mandiri dalam masyarakat, sehingga anak memiliki kebaikan serta kebijaksanaan sesuai denagn ajaran Sang Buddha.
Sedangkan pengarahan orang tua dalam mendidik anak-anaknya adalah dengan berpedoman pada ajaran Buddha yaitu:
“Dalam lima cara ini, O putra kepala keluarga, orang tua yang diperlakukan demikian oleh seorang anak seperti arah Timur, menunjukkan kecintaan mereka kepadanya: mereka mencegahnya berbuat jahat; mereka mendorongnya berbuat baik; mereka melatihnya dalam suatu profesi; mereka mencarikan pasangan (istri) yang pantas baginya; dan pada waktu yang tepat, mereka menyerahkan warisan mereka kepadanya” (Dh, III:189).

1 Mencegah Anaknya Berbuat Jahat

Menganjurkan anaknya untuk melaksanakan Pancasila Buddhis. Kenalkanlah anak terhadap berbagai bentuk perbuatan buruk selain yang terdapat dalam Pancasila Buddhis, misalnya memaki-maki, memfitnah, berjudi dan lain sebaginya. Sehingga anak tersebut mengerti terhadap perbuatan buruk itu dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Karena kita bukan makhluk individu melainkan makhluk sosial yang butuh bantuan orang lain.
Pengenalan ini dapat menggunakan media surat kabar ataupun cerita-cerita Buddhis sederhana yang mudah diterima anak. Tujuannya jelas, yaitu supaya anak mengerti dan tahu maka ia berusaha untuk tidak melakukan perbuatan itu.
“Tinggalkan kejahatan, karena dengan meninggalkan kejahatan akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan” (A, II:88). Jadi para orang tua harus menganjurkan kepada anak-anaknya untuk dapat meninggalkan kejahatan agar mendapatkan kebahagiaan yang sejati yaitu Nibbana.
“Si pembuat kejahatan menyesal dalam kehidupan ini, ia juga menyesal dalam kehidupan yang akan datang, ia menyesal di kedua alam kehidupan. Ia sangat menyesal ketika merenungkan perbuatan jahat, dan ia akan melebih menderita lagi setelah terlahir di alam sengsara” (Dh, Yamaka Vagga:17).

Sesuai dengan isi Dhammapada Yamaka Vagga di atas, maka kita tanamankan pengertian kepada anak bahwa kita harus meninggalkan perbuatan buruk sejauh mungkin agar dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang berbahagia. Jadi seseorang yang melakukan kejahatan akan merasakan penderitaan yang tiada akhir di kedua alam yakni alam surga dan neraka. Oleh karena itu, mencegah anak kita bila akan melakukan perbuatan buruk agar kehidupannya kelak bahagia.
“Apabila seseorang telah melakukan perbuatan jahat, janganlah mengulangi perbuatan jahat itu, janganlah merasa senang dengan perbuatan jahat tersebut. Oleh karena kejahatan akan membawa penderitaan” (Dh, Papa Vagga:117). Sebagai orang tua yang baik selalu memaafkan kesalahan anaknya, akan tetapi sesuai dengan bait Dhammapada tersebut dianjurkan kepada anak kita untuk tidak melakukan perbuatan jahat yang pernah dia buat.
Anak-anak diharapkan untuk tidak melaksanakan perbuatan buruk. Jika ia berbuat buruk akan mengakibatkan penderitaan dan membuat orang lain celaka. Misalnya ada sesorang yang bertanya arah jalan, akan tetapi orang yang ditanyai jalan tersebut menjawab dan menunjukkan arah jalan yang salah, padahal dia tahu arah jalan tersebut. Sehingga orang yang bertanya tersebut menjadi tersesat, sesuai dengan isi Khuddakapatha yaitu: “janganlah menipu orang lain, atau menghina siapa saja, jangan karena marah dan benci, mengharap orang lain celaka” (Kh, Metta Sutta: 215).

2 Menganjurkan Anaknya untuk Berbuat Baik

Memberikan ajaran Buddha kepada anak-anak secara sederhana melalui lagu-lagu Buddhis. Hal ini dapat dimulai dari menghafal lagu yang dinyanyikan. Hafal syair lagu diharapkan dapat membantu anak untuk memiliki keyakinan yang kuat dan pedoman hidup sesuai dengan Buddha Dhamma. Dalam Kitab Suci Sutta Pitaka menerangkan bahwa:
“Selama keyakinan ada di dalam sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tidak bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Selama malu masih ada sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tidak bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Selama takut moral masih ada sehubungan sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tidak bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Selama ada semangat yang diarahkan pada sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tidak bajik tidak akan mendapat jalan masuk, dan selama ada kebijaksanaan sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tidak bajik tidak akan mendapat jalan masuk” (A, V:93).

Pokok-pokok perbuatan yang perlu dikenalkan kepada anak-anak terutama adalah pengembangan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. Sebagai contoh memberikan uang atau makanan kepada pengemis yang datang ke rumah, membiasakan anak mengingat ulang tahun ayah dan ibunya. Semakin banyak hari dalam setahun yang digunakan untuk mengingat jasa ayah dan ibunya, akan semakin dekat hubungan orang tua dengan anak, begitu pula sebaliknya. Anak-anak akan selalu teringat bahwa dalam Dhamma telah disebutkan bahwa “anak yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua, tidaklah dihitung sebagai anak.” (Kh:393).
Memperkenalkan pada anak-anak pelaksanaan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari hari dan melaksanakan Atthasila atau delapan sila pada hari Uposattha sebagai contoh perbuatan baik. Perbuatan orang tua yang sesuai dengan sila akan lebih mudah ditiru anak daripada nasehat belaka tanpa contoh nyata. Anak-anak akan berbahagia memiliki orang tua yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Dengan demikian, mereka akan memiliki panutan hidup yang jelas. Mereka akan hormat dan kagum pada orang tuanya. “Jika anak-anak dibawa untuk menghormati serta mengagumi orang tuanya, maka banyak kenakalan anak-anak dan kecerobohan dapat dihindari” (Dr. J. C. Dobson, 1996:105).
“Si pembuat kebajikan berbahagia dalam kehidupan ini, ia juga berbahagia dalam kehidupan yang akan datang, ia berbahagia di kedua alam kehidupan. Ia sangat berbahagia ketika merenungkan perbuatan bajiknya, dan akan lebih bahagia lagi setelah terlahir di alam surge/bahagia” (Dh, Yamaka Vagga:18).
Jadi semua orang yang melakukan perbuatan baik akan memperoleh kebahagiaan yang tak terhingga. Maka dari itu seorang anak sebaiknya dianjurkan untuk melaksanakan perbuatan baik agar memperoleh kebahagiaan di kedua alam kehidupan ini. “Lebih baik tidak melakukan perbuatan jahat, karena akan menimbulkan penderitaan dikemudian hari. Lebih baik melakukan perbutan baik, karena tidak aka nada penyesalan setelah melakukannya (Dh, Niraya Vagga:314). Dari isi Dhammapada tersebut kita diarapkan untuk tidak melakukan perbuatan jahat agar memperoleh kebahagiaan di dunia ini karena tidak ada penyesalan yang membuat kita menderita. Dengan melaksanakan perbutan baik, seseorang akan memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Dia adalah orang yang menghormati yang lebih tua; yang tidak iri hati, yang tahu saat yang tepat untuk menjumpai gurunya, yang tahu saat tepat mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah-khotbah yang dibabarkan dengan baik oleh gurunya itu,” (Sn, Culavagga Sutta:325).
Sesuai dengan isi Sutta di tersebut, orang tua diharapkan mendidik anak-anaknya untuk menghormati orang yang lebih tua, tidak mempunyai sifat iri terhadap semua makhluk yang ada di alam semesta ini. Selain itu dianjurkan untuk mendengarkan khotbah-khotbah Dhamma yang pernah diajarkan oleh Buddha dengan tekun dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

3 Memberikan Pendidikan yang Terbaik Bagi Anaknya

Orang tua yang beragama Buddha harus berusaha menanamkan Dhamma kepada anaknya. Dhamma ajaran Buddha diberikan kepada anak sejak awal kehidupan mereka sebagai manusia. Seorang ibu yang sedang hamil harus rajin membaca Paritta Suci dengan penuh konsentrasi dan berusaha mengembangkan pikiran-pikiran baik kepada bayi yang dikandung. Supaya bayi yang kelak dilahirkankannya dapat menjadi umat Buddha yang bermoral baik. Agar anak memperoleh pendidikan yang sesuai, pilih sekolah yang bermutu. Selain itu perlu dipikirkan pula latar belakang agama pengelola sekolah. Hal ini penting untuk menjaga agar pendidikan agama Buddha yang telah diperoleh anak di rumah tidak kacau dengan agama yang diajarkan di sekolah. Berilah pengertian yang benar tentang adanya beberapa agama di dunia. Berilah pengertian yang baik dan bebas dari kebencian tentang alasan orangtua memilih agama Buddha serta alasan seorang anak harus mengikuti agama orang tua.
Pendidikan yang dimaksud disini meliputi pendidikan lahir dan batin. Pendidikan anak sesungguhnya diawali dari rumah artinya diperoleh dari orang tua si anak sendiri. Disebutkan bahwa, “Ayah dan ibu adalah guru yang pertama” (Kh:286). Sungguh tepat ungkapan yang mengatakan orang tua adalah guru di rumah, sedangkan guru adalah orang tua di sekolah. Memang orang tua tidak mampu mengajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan. Anak harus menuntut ilmu di sekolah sampai semaksimal mungkin, tetapi orang tua mempunyai kewajiban moral untuk menjelaskan kepada anak-anaknya tentang manfaat dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan mereka.
Seluruh sistem pendidikan Buddhis harus berakar dalam keyakinan (saddha), dan di atas semua dalam Buddha sebagai Tercerahkan Sepenuhnya, guru tak tertandingi dan pemimpin tertinggi untuk hidup benar dan pemahaman yang benar. Berdasarkan keyakinan ini, anak harus terinspirasi dalam kebajikan (sila) dengan mengikuti panduan moral yaitu Pancasila Buddhis. Mereka harus mengetahui ajaran Buddha dengan baik dan menerapkan ajaran itu dalam keadaan sulit kehidupan manusia saat ini. Yang paling penting, mereka harus menghargai nilai-nilai positif ajaran ini yaitu: kebaikan, kejujuran, kemurnian, kebenaran, dan ketenangan mental. Mereka juga harus mendapatkan semangat kemurahan hati dan pengorbanan diri (caga), sehingga penting untuk mengatasi keegoisan, keserakahan, dan fokus sempit pada diri anak. Untuk berusaha untuk memenuhi rasa kemurahan hati pada diri anak maka perlu mengembangkan kasih sayang dan cinta kasih. 
Pendidikan mental dengan melaksanakan latihan kemoralan sebagai keseimbangan kemajuan ilmu pengetahuan, hendaknya dilengkapi dengan memperbaiki pola pikir. Pola pikir hendaknya dikendalikan agar seseorang jangan hanya baik pada ucapan dan perbuatan luarnya saja, namun jahat dalam pikirannya. Perbaikan pola pikir ini dengan menggunakan sarana latihan meditasi. Dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan disebutkan tentang Konsentrasi Benar dan Samadhi Benar. Latihan meditasi digunakan untuk membiasakan pikiran bergerak dalam bidang yang positif. Dalam latihan meditasi, seseorang dikondisikan untuk selalu menyadari setiap saat segala sesuatu yang dikatakan, dilakukan dan dipikirkan.
Orang tua dapat menggunakan altar yang ada di rumah dalam menyampaikan Dhamma. Pada waktu sore hari sebelum anak belajar, anak diajak untuk membaca Paritta Suci. Setelah melaksanakan kebaktian anak diberi khotbah Dhamma atau nasehat-nasehat dari orang tua sendiri. Berawal melaksanakan kebaktian tiap sore inilah anak akan timbul sebuah keyakinan (Saddha). Keyakinan kepada Tri Ratna yang akan tumbuh dengan kuat dalam diri anak.

4 Membantu Mencarikan Pasangan Hidup yang Sesuai

Orang tua wajib membantu anak dengan hati-hati dan penuh kebijakan agar anak-anaknya mendapatkan pasangan yang baik. Perkawinan adalah suatu kesepakatan untuk hidup bersama seumur hidup yang tidak dapat dipisahkan secara mudah. Oleh karena itu orang tua wajib memberikan petunjuk-petunjuk agar perkawinan membawa kebahagiaan bagi putra-putrinya. Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan istri untuk membentuk perkawinan yang bahagia. Dalam Maha Manggala Jataka disebutkan bahwa pedoman memilih menantu perempuan yaitu: “Ia hendaknya ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati, dan mampu member keturunan, memiliki keyakinan, kemoralan, serta berasal dari keluarga baik-baik” (J, X:453). Sedangkan kriteria memilih menantu laki-laki yaitu: “Hendaknya setia, tidak tergolong lelaki hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros” (Parabhava Sutta:116).
Memberikan pedoman atau prinsip untuk memilih pasangan yang baik sebagai berikut: “Siapapun yang beristri luwes, umur sepadan, patuh, baik dan subur; penurut, bajik serta berasal dari keluarga baik-baik. Inilah berkah-berkah yang terdapat pada istri.” Walaupun begitu pemilihan mungkin dibatasi pada batasan-batasan tertentu saja. Lebih baik mengelak memilih seorang pria untuk menjadi suami bila orang itu adalah hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros.
Dalam Anguttara Nikaya diuraikan bahwa ada empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus  membina hubungan sebagai suami istri  yang harmonis. Keempat hal itu adalah dana (kerelaan), piyavaca (ucapan yang menyenangkan dan halus), atthacariya (melakukan hal-hal yang berguna untuk orang lain), samanattata (memiliki ketenangan batin, tidak sombong) (A, II:3).
Konsep dana (kerelaan) adalah konsep dasar dalam kehidupan ini. Dana berupa materi maupun bukan materi akan mampu menghasilkan kedekatan hati. Sebenarnya tidak akan ada kebahagiaan yang kita peroleh apabila kita tidak berusaha mendapatkannya. Dalam Hukum Karma (S, III:415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Dalam mencari dan membina pasangan hidup, kerelaan jelas amat diperlukan. Kerelaan materi di awal perkenalan dapat dikembangkan dengan kemampuan merelakan keakuan. Kerelaan keakuan ini berbentuk pengembangan sifat saling pengertian. Saling memaafkan. Kesalahan pasangan hidup, sering kali bukanlah karena disengaja. Oleh karena itu, menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali - kali kepada pasangan untuk dapat membangun kualitas dirinya. Berilah pasangan kesempatan untuk memperbaiki diri dengan memaafkan kesalahan yang telah dilakukan. Kemarahan bukanlah tanda cinta melainkan tanda keakuan yang segala harapannya ingin terpenuhi. Dengan kerelaan, orang akan lebih mudah mengerti serta menerima kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap ini akan menjadi salah satu tiang kokoh dalam menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya dengan pasangan hidup.
Piyavaca (ucapan yang menyenangkan dan halus) pasti akan senang orang yang mendengarkan. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Dengan kata halus tetapi berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam mencari dan membina pasangan hidup. Sampaikanlah pujian kita pada pasangan hidup dengan kalimat yang menyenangkan. Demikian pula, ucapkan kritikan pada pasangan hidup dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, untuk menghindari kesalahfahaman. Menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri. Sebab, orang tentunya akan menjadi sedih apabila orang yang dicintainya juga sedang sedih.
Atthacariya adalah melakukan hal-hal yang berguna untuk orang lain. Tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Orang yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai, konsep ini sesungguhnya tidak tepat. Oleh karena itu cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi.
Samanattata (batin seimbang, tidak sombong) sangatlah penting bagi seseorang. Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah karmanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
Buddha memberikan empat persyaratan agar rumah tangga bahagia di alam-alam kehidupan selanjutnya. Persyaratan itu adalah “Memiliki keyakinan yang sama, kesamaan dalam kemoralan, kesamaan dalam kedermawanan, serta kesamaan dalam kebijaksanaan sesuai dengan Buddha Dhamma,” (A, II:59). Bila keempat kesamaan tersebut dapat dipenuhi maka kebahagiaan tersebut akan tercapai. Serta suami istri dapat hidup bersama pada kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

5 Menyerahkan Warisan Pada Saat yang Sesuai

Masalah memberikan warisan sering dihindari dalam pembicaraan masyarakat, padahal urusan ini banyak menimbulkan perkara antar anggota keluarga bila orang tua telah meninggal. Oleh karena itu, dalam tradisi Buddhis memberikan harta warisan kepada anak diberikan ketika orang tua masih hidup. Hal ini mempunyai maksud bila anak tidak mampu memenuhi harapan orang tua maka orang tua masih dapat memberikan dukungan maupun nasehat yang diperlukan. Sehingga anak akhirnya akan mampu memperoleh kemajuan sesuai dengan kemajuan yang dinginkan.
Warisan yang paling berharga adalah ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Sedangkan harta warisan yang diterima oleh anak yang tidak bermoral akan bisa menghancurkannya, tetapi sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang tua untuk dengan bijaksana menyerahkan harta miliknya yang telah dikumpulkan dengan kerja keras pada saat yang tepat kepada anaknya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar